01 | Dompet Merah Jambu

"Jadi gimana? Setuju enggak kalau misalnya untungnya dibagi sesuai yang tadi udah gua usulin?" tanyaku.

Kedua cowok di hadapanku lalu saling tatap. Seakan orang di hadapan masing-masing baru saja mencopot kabel CPU komputer mereka saat mereka sedang mengerjakan esai Bahasa Inggris yang bobot nilainya sepertiga dari nilai akhir semester. Aku sampai gereget mendorong kepala mereka berdua sampai bibir mereka saling bertemu.

"Setuju," jawab orang di sisi depan-kananku. Namun pandangannya tak berubah. Masih tajam menusuk kalbu.

"Oke. Rafi setuju nih. Lo gimana, Luke?" sambarku. Lukas―yang baru saja kupanggil Luke (ejaan bahasa Inggris, please)―menghela napas berat. Aku gugup menunggu jawaban darinya. Seperti sedang menunggu pengumuman nilai ujian akhir semester kelas Matematika Sains.

"Setuju, dah," jawabnya. "Sekarang bisa dibagiin?"

Dadaku seketika terasa ringan, sampai-sampai aku merasa badanku akan terbang menembus langit-langit gedung ini. Aku pun mengeluarkan dompet merah jambu yang menjadi sumber perselisihan, lalu menyerakkan isinya di atas meja.

"Oke." Aku mencoret-coret kertas di hadapanku dengan pulpen merah. "Berdasarkan perhitungan, Rafi dapet 167.000, Luke dapet 125.000."

"Nama gue Lukas."

Terus kenapa?

"Semuanya sesuai sama yang udah tadi kita omongin panjang lebar, ya. Rafi pemodal 57%, dapet untung 57%. Luke pemodal 43%, dapat untung 43%," paparku sambil menghitung lembaran uang nominal Rp10.000.

Pada dasarnya, aku membagi dua semua uang yang ada di dalam dompet itu sesuai kesepakatan dan menyerahkannya pada mereka berdua. Lagi pula, kenapa sih hal yang sudah jelas penyelesaiannya seperti ini bisa jadi masalah?

Padahal mudah saja untuk menghitung pembagian keuntungan jika pemilik modalnya lebih dari satu. Keuntungannya tinggal dibagi saja sesuai dengan seberapa besar modal yang mereka keluarkan untuk usaha itu. Gitu aja kok repot?

"Udah sesuai, kan?" tanyaku, meski kedua anak itu sedang menghitung uang yang baru saja kusodorkan pada mereka.

Rafi mengangguk. "Udah nih," katanya.

Luke mengonfrmasi dengan anggukan, beberapa detik kemudian.

"Bagus dah, kalo udah bener," ujarku sambil tersenyum puas, lalu bangun dari kursi tempatku duduk setengah jam terakhir. "Gua cabut, yak."

Mereka berdua berterima kasih padaku, sembari aku berjalan keluar dari kelas mereka.

Aku setengah berlari menyusuri koridor gedung sambil sesekali menengok arlojiku. Sialan. Lima menit lagi aku sudah harus masuk kelas. Aku membuat perhitungan di kepalaku, lalu dengan cepat memutuskan untuk membawa bekalku ke dalam kelas.

Toh, hari ini guru mata pelajaranku selanjutnya juga sedang cuti hamil. Hal buruk apa yang bisa terjadi saat jam kosong?

***

Hal buruk apa yang bisa terjadi pada jam kosong? Banyak.

Aku masuk ke dalam kelasku membawa tas jinjing warna beige di tangan kanan, tas bekal di tangan kiri, dan mendapati kepala Departemen Kesiswaan sekolahku sedang berdiri di depan meja guru. Kenapa aku mengatakan ini hal yang buruk? Berikut kupaparkan situasinya.

Pertama, beliau adalah guru Matematika Sains, bukan guru Bahasa Indonesia.

Kedua, ada sebuah peraturan yang beliau buat: jika ada siswa yang masuk kelas setelah beliau masuk, maka siswa itu dianggap terlambat. Sebagai catatan, bel pergantian jam bahkan baru berbunyi saat aku melangkah masuk ke dalam kelas.

Bahkan ada aturan toleransi keterlambatan 10 menit yang aku tak sempat untuk menjelaskannya saat ini.

Ketiga, seluruh teman sekelasku sudah ada di dalam kelas ketika aku datang. Ini pertanda buruk. Apa anak-anak malang ini tidak sempat beristirahat? Mungkin hanya mereka dan Tuhan yang tahu.

Keempat, beliau melihatku membawa tas bekal ke dalam kelas. Terakhir kali aku melihat seseorang siswa melakukan hal yang sama di kelas beliau, anak itu berakhir malang. Ia sampai harus berutang 260 ribu Rupiah pada ibu kantin karena harus mentraktir bakso satu kelas.

Maksudku, aku senang karena dapat traktiran gratis. Tapi tetap saja aku tak sudi kalau harus mentraktir 30 orang bakso sepuluh ribuan plus es teh tiga ribu. Aku masih sayang pada tabunganku. Namun, apa boleh buat kalau keadaannya sudah seperti ini...

"Duduk," titahnya dingin. Aku berlari ke satu-satunya tempat duduk yang tersisa seperti tikus menjauh dari kucing oren yang sedang mengejarnya.

"Sebelumnya, ibu minta maaf harus mengumpulkan kalian sebelum istirahat selesai," mulainya. Aku menoleh pada Riyan yang duduk di sebelah kananku.

"Dari kapan lo pada disandera di sini?" tanyaku setengah berbisik.

"Lima belas menit habis bel istirahat bunyi," jawabnya ketus. Ia bahkan tak sudi sekadar untuk melirik padaku.

"Noah sama Riyan kalau masih mau ngobrol mending keluar deh. Terutama kamu, Noah. Kamu enggak kasihan apa, temanmu sampai enggak istirahat gara-gara kamu?" Sang kepala kesiswaan menyambar tiba-tiba. "Mana datang-datang masih bawa kotak bekal, pula. Kamu dari tadi ngapain aja sih emang?"

"Maaf, bu," cicitku sambil menundukkan kepala. Beliau menerima responsku begitu saja dan melanjutkan omongannya yang sempat terputus.

"Jadi seperti yang sudah Ibu sampaikan tadi pagi waktu selesai upacara, sekolah kita mau mengirim perwakilan ke Olimpiade Sains Nasional. Sekolah sudah memutuskan kalau dari kelas ini, yang mewakili sekolah kita ke OSN adalah Noah Dwiputro Adimulyo, Alisja Mahdijawati Sutji, Mirza Raihan Assalam, dan Felix Emmanuel Chandragunawan," beliau mengakhiri pengumumannya yang terlampau formal.

"Sekian, terima kasih." Beliau berjalan keluar kelar.

Arge, salah satu teman sekelasku, tiba-tiba bangkit dari kursinya. "Lah bu, saya kok―"

Di saat yang sama, beliau menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap kami. Napas legaku sampai tertahan sejenak di paru-paru.

"Oh iya, Bu Arin nitip ke Ibu buat nyampein ke kalian," beliau membuka ponselnya, "kerjakan tugas di buku paket halaman 76 pilihan gandanya saja. Nanti ketua kelas atau perwakilan kalau kalian udah pada selesai bukunya dikumpulkan di meja Ibu, ya."

"Oh iya, satu lagi. Hari Rabu Noah traktir bakso sekelas pas jam Matematika Sains," tambahnya sambil setengah tertawa. Padahal beliau tidak tahu kalau aku hampir kena serangan jantung.

Duh, tabungan iPhone-ku...

Oh iya, Arge tidak sempat melanjutkan kalimatnya tadi. Alih-alih mengejar Bu Ida, kepala kesiswaan sekaligus guru Matematika Sains di sekolah kami, ia malah menatapku sinis.

Apaan sih dia.

***

"Weh, No!" panggil seseorang sambil menampar bahuku sampai berbunyi keras.

"Sakit, tahu," jawabku datar. Kami berjalan beriringan menyusuri koridor gedung.

"Mampus gu―"

"Tolongin―"

Kami berhenti bicara di saat yang sama.

"Lo duluan," sambarku.

"Tolongin gua dong, No," pintanya. Aku berhenti berjalan dan menoleh padanya dengan takjub. Ia balas memandangku seperti orang bingung.

Kalau anak ini sampai minta tolong orang lain, kemungkinannya dua: dia malas buat menyelesaikan masalah itu, atau masalahnya terlalu besar buat dia selesaikan sendiri. Atau keduanya.

Aku membalasnya dengan gumaman.

"Gua putus sama Putri, No," lirihnya.

"HAH?!" Orang-orang sampai menoleh padaku. "Kok bisa? Gimana ceritanya?"

"Gua juga enggak ngerti, No. Sumpah. Dia― dia tiba-tiba datang ke gua terus bilang 'kita putus' terus pergi." Rahangku jatuh dari tempatnya, takjub.

"Gitu doang?"

"Gitu doang, sumpah!" Cowok bungkuk itu lanjut berjalan. Ia melangkah seperti anak 3 tahun yang kesal karena tidak dibelikan mainan oleh ibunya. Suara sepatunya menghentak lantai menggema di seluruh koridor, menyaingi hiruk pikuk pergantian kelas.

Tiba-tiba ia balik badan menghadapku. Untungnya karena aku memiliki refleks yang baik, aku berhasil menghentikan langkahku sebelum sempat menabraknya. Aku mengalihkan pandanganku pada orang di depanku ini. Yang ada di hadapanku sekarang adalah Mikail, sahabatku, memandangku dengan mata berbinar.

"Noah," panggilnya.

"Ya?" jawabku.

"Mau gak lu bantuin gua balikan sama Putri?"

Fuck no.

"Waduh, gimana ya?" Aku mengusap tengkukku, berusaha mencari kata-kata yang pas untuk mengungkapkan ketidak bersediaanku. "Kalo yang kayak begini sih... gua belum ada pengalaman, Mik. Sori berat."

"Tolong, lah. Kalo lu bisa mecahin masalah sengketa wewenang antara OSIS sama MPK sekolah kita, kenapa lu enggak bisa bantuin gua?" Masalahnya sengketa wewenang antara OSIS dan MPK itu beda dengan masalah putus cinta!

"Gua takut bikin masalahnya tambah parah, Mik. Sori," pungkasku sambil berjalan cepat meninggalkan cowok itu diiringi suara dirinya yang memanggil-manggil namaku.

"NOAAAAH!"


Uploaded by RS on 09/18 at 09.43 PM Local Time

***

Um. Hai semua 👋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top