9. Pilihan Sulit

Setelah part ini,
mungkin aku akan slow update.
Nunggu sampai bintang tembus 1k.
Tambah mood-ku lagi ambyar. Lengkap sudah.



"Studio ini bukan milikku lagi, Pri. Pemiliknya sekarang adalah Dannis, fotografer di studio ini sekaligus sahabat Mas Gema. Aku menyerahkan studio ini padanya karena permintaan Mas Gema. Mau nggak mau aku harus setuju. Aku minta maaf karena baru sekarang bicara sama kamu," ungkap Rista akhirnya. Menurutnya, April berhak tahu karena menyangkut pekerjaan.

"Kamu serius?" tanya April tak percaya.

"Mana mungkin aku bercanda kalau sudah menyangkut Mas Gema." Rista kembali menyandarkan bahu pada sandaran kursi.

"Ris, aku mau nanya sama kamu."

Rista langsung menatap sang asisten. Raut April terlihat tak menentu.

"Apa benar kalau apartemen kamu sudah dijual?" tanya April memastikan.

"Kata siapa?" tanya Rista balik menutupi rasa terkejutnya.

"Kemarin aku ke apartemen kamu, tapi sekuriti bilang katanya kamu sudah nggak tinggal di apartemen itu lagi. Kamu jual apartemen gara-gara studio ini? Kenapa kamu jadi nyusahin diri kamu sendiri seperti ini, sih? Kenapa kamu nggak balik lagi aja jadi model?"

Akhirnya bangkai yang dia sembunyikan tercium juga. Helaan napas terlihat jelas pada raut Rista. Memang sudah waktunya April tahu jika dia sudah tidak memiliki apa-apa saat ini. Dia hanya bisa mengangguk lemah pada April tanpa ingin berkata.

"Sekarang kamu tinggal di mana?" tanya sang asisten dengan nada khawatir.

"Kamu nggak perlu khawatir seperti itu, Pril. Aku masih tinggal di apartemen itu tapi di unit lain. Tumpangan sementara sampai aku dapat tempat tinggal baru."

"Sejak kapan kamu dekat sama tetangga apartemen? Aku lagi nggak salah denger, kan?"

Suara ketukan pintu menjeda obrolan mereka. Pintu pun terbuka dan sosok Dannis terlihat memasuki ruangan itu. Gerakannya terhenti saat melihat April bersama Rista.

"Aku permisi." April mengangguk, lalu beranjak dari posisinya. Mengerti jika Dannis ingin berbicara dengan bosnya.

Dannis menatap wanita yang baru saja melewatinya. Seperti ada yang tidak biasa dengan asisten Rista. Setelah kepergian April, Dannis beranjak duduk di kursi tamu. Wajah gadis di depannya susah ditebak.

"Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Dannis membuka obrolan.

"Aku minta maaf karena harus kasih tau April mengenai pemilik studio saat ini bukan lagi aku, melainkan kamu," ungkap Rista.

Syukurlah. Dengan seperti ini aku akan mudah melepaskanmu dari studio ini. Dannis membatin lega.

"Dia berhak tau karena studio ini tak akan mungkin bertahan sampai saat ini tanpa kerja kerasnya. Aku cuma nggak mau saja dia kecewa karena menyembunyikan masalah ini. Dan juga masalah aku sudah nggak lagi punya tempat tinggal, dia sudah tau."

Bagus. Kamu mempercepat semuanya, Queen. Ini di luar dugaanku.

"Kamu marah? Dari tadi kamu cuma diam?" Rista memastikan.

"Aku harus bagaimana? Menghentikanmu pun sudah terjadi dia tahu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengikuti keinginanmu," balasnya pura-pura menahan kesal.

"Tapi April belum tau kalau aku tinggal sama kamu. Dia hanya tau kalau aku masih tinggal di sana tapi di unit lain. Aku akan segera cari tempat tinggal baru supaya nggak terus ngerepotin kamu. Semoga kamu mau sabar sedikit lagi."

"Kamu tak perlu khawatir mengenai tinggal di apartemenku. Selama kamu tidak memberi akses orang lain ke sana, maka tidak akan ada orang yang bisa ke apartemenku. Aku harap, kamu bisa menjaga rahasia ini dari siapapun termasuk asistenmu itu."

Rista hanya bisa mengangguk lemah. Jika sudah mendapat peringatan, maka dia tak boleh mengecewakan demi menghargai Dannis. Bersyukur laki-laki itu baik padanya meski kebaikan itu karena permintaan Gema.

Pembahasan mereka selanjutnya adalah perihal kolega yang menginginkan Rista agar menjadi model BA produk mereka, tapi permintaan itu ditolak mentah-mentah olehnya. Dia sudah janji pada Gema untuk tidak kembali ke dunia model sampai kapanpun. Janji dilakukan oleh Rista meski awalnya dia akan lepas dari dunia model setelah menikah dengan Gema.

"Kemajuan studio ini ada di tangan kamu. Beberapa perusahan menginginkan kamu untuk menjadi BA mereka. Seharusnya kamu bisa memanfaatkan momen ini untuk memajukan studio, bukan untuk janjimu yang seharusnya tidak perlu kamu lakukan." Dannis mengingatkan.

"Apa? Nggak perlu aku lakukan?" tanya Rista. Menatap Dannis heran. "Apa kamu nggak memikirkan dan memahami keinginan Mas Gema? Dia menginginkan aku agar berhenti jadi model," lanjutnya.

"Sejak kapan dia ingin menghancurkan pekerjaan orang lain, termasuk orang yang dia cintai? Permintaan Gema sebelum kalian menikah, bukan untuk saat ini." Dannis menatap wanita di hadapannya dengan bola mata tajam.

"Nggak. Aku masih bisa mencari perusahaan lain yang masih membutuhkan jasa studio ini. Jangan harap aku akan kembali menjadi model."

Senyum lebar menghiasi wajah Dannis, menampilkan giginya yang putih dan rapi. Ingin membalas gadis itu dengan kalimat menekan, tapi khawatir akan berdampak pada emosinalnya.

"Pilihanmu ada tiga sampai pekan depan." Dannis kembali serius dengan obrolan. Tatapannya kembali tajam ke arah Rista. "Dapatkan lima klien dari perusahaan dalam waktu sepekan. Jika tidak, kamu harus mencari pekerjaan lain. Atau kamu kembali ke dunia model dan kita majukan bersama studio ini dengan bakatmu." Dannis beranjak dari kursi, melangkah untuk meninggalkan ruangan itu.

"Kamu nggak berhak ngatur aku, Dannis!" seru Rista.

"Aku pemilik sah studio ini, jadi semua keputusan ada di tanganku," balas Dannis tanpa membalikkan tubuh, membuka pintu, lalu keluar dari ruangan itu.

"Dannis!"

Kamu memang keras kepala. Jika kamu tidak bisa diingatkan dengan cara halus, hanya dengan cara seperti ini agar bisa membuatmu sadar dan bangkit. Hidupmu tidak akan berhenti hanya dengan meratapi kepergian Gema dan mmenuhi janjimu padanya. Kamu masih harus melanjutkan hidup tanpa dibayang-bayangi masa lalu. Sekarang waktunya kamu belajar move on.

Deringan ponsel mengalihkan pikiran Dannis. Benda pipih itu segera diraih dari dalam saku. Dannis segera menempelkan ponsel ke telingan setelah menggeser warna hijau. "Berita apa yang akan kamu sampaikan?" tanyanya sambil memasuki mobil.

"Pekan depan aktris itu tiba di Indonesia. Saya sudah mengatur waktu untuk Tuan agar bisa bertemu dengannya," ungkap Kelvin.

Dannis melajukan mobilnya untuk meninggalkan area studio. "Atur saja semuanya dengan baik. Sekarang, carikan aku hotel untuk beberapa hari ke depan."

Terlihat Rista berdiri di pintu, menatap kepergian mobil Dannis karena terlambat mengejar laki-laki itu. Meski Dannis tahu jika Rista mengejarnya, dia tidak peduli sama sekali. Untuk saat ini, pilihannya menjauhi Rista adalah jalan terbaik sampai gadis itu sadar.

***

Rista bergegas masuk ke dalam apartemen Dannis setelah menekan beberapa digit kode akses. Gelap. Penerangan di ruang tamu masih padam, petanda jika Dannis belum pulang ke rumah itu. Rista bergegaa menyalakan lampu agar ruangan yang dia pijak saat ini menunjukkan kehidupan. Langkahnya terayun menyusuri ruangan lain, berharap laki-laki itu sudah pulang. Nihil. Dia menatap ke arah pintu kamar sang empunya rumah.

Kamu sebenarnya di mana? Nomor kamu susah dihubungi. Chat aku juga nggak dibalas. Jangakan dibalas, dibaca saja nggak. Kita perlu bicara masalah studio. Aku nggak mau balik lagi jadi model atau keluar dari studio peninggalan Mas Gema.

Tanda pesan masuk membuyarkan pikiran Rista. Dia bergegas meraih benda pipih itu dari dalam tas. Terlihat pesan balasan masuk berasal dari Dannis. Rista bergegas membuka pesan tersebut.

From: Dannis
Untuk beberapa hari aku tidak akan pulang ke apartemen.

Rista bergegas mengetik pesan balasan untuk Dannis. Gerakannya terhenti saat Dannis kembali mengirim sebuah foto. Laki-laki itu mengirim sebuah foto tangkap layar. Rista menyentuh foto tersebut agar lebih jelas, dan terlihat jelas percakapan Dannis dan Gema dalam suatu chat yang cukup lama.

Gema
Aku pernah memintanya buat berhenti jadi model, tapi dia menolak. Di situ aku merasa bersalah padanya karena sudah menghalangi masa depannya. Tapi dia sudah mengiyakan jika akan berhenti jadi model setelah kita menikah.

Dannis
Kamu jelas salah. Sudah tahu itu impiannya, kenapa kamu menyuruh dia berhenti? Biarkan dia meraih mimpinya.

Gema
Aku cuma kasian saja sama dia karena harus kerja keras untuk memenuhi hidup. Kamu tau sendiri kalau dia harus mandiri setelah perceraian orang tuanya. Kalaupun setelah kami nikah dia kukuh buat terus jadi model, ya itu nggak masalah asal dia nyaman dan nggak forsir tenaga.

Dannis
Lebih baik seperti itu.
Sudah! Jangan bahas dia lagi!
Aku muak dengarnya!

Tubuh Rista seakan mati sesaat setelah membaca percakapan itu. Pikirannya tak menentu saat ini. Dannis tahu semua tentang kehidupannya. Tak disangka jika hubungan mereka sangat dekat walau terhalang jarak dan waktu.

Setelah cukup lama terdiam, Rista mengayun langkah perlahan untuk menuju kamarnya. Dia kembali dihadapkan pada pilihan sulit setelah melepas studio Gema. Kembali ke dunia model sama saja mengkhianati janji dengan laki-laki yang dia cintai. Saat seseorang jatuh cinta, maka dia akan melakukan apa pun sekehendaknya demi orang tercinta. Dia akan kehilangan waktu berharga hanya karena memikirkan satu orang. Dan bisa jadi orang yang terlalu cinta akan kehilangan sahabat hanya demi mempertahankan satu orang yang belum tentu menjadi miliknya.

***

Sinar matahari menyelinap masuk ke dalam kamar itu melalui celah tirai yang tak tak tertutup rapat, membuat tidur nyaman Rista terganggu. Gadis itu mengerjapkan mata beberapa untuk menyempurnakan penglihatannya. Setelah indera penglihatannya terbuka sempurna, dia beranjak duduk, meraih ponsel untuk memastikan waktu. Dia beranjak dari ranjang untuk segera keluar rumah saat mengingat sesuatu. Tatapannya mengitari sekitar saat tiba di ruang makan. Sepi. Langkahnya terayun untuk menuju kamar Dannis, berharap laki-laki itu sudah pulang dan ada di sana.

"Dannis!" serunya memastikan. Menyusul ketukan di pintu kamar itu.

Sudah berulang kali Rista menyerukan nama laki-laki itu, tapi tak ada jawaban dari dalam sana. Pikirnya, mungkin Dannis ada di sana atau memang tidak ada. Rista mengangkat tangan ragu, menyentuh gagang pintu kamar di depannya, lalu ditekan ke bawah. Seketika matanya membulat saat pintu kamar Dannis tak terkunci. Perlahan Rista mendorong pintu itu. Aroma mine langsung menyapa indera penciumannya, menyeruak masuk ke dalam paru-paru. Langkahnya terayun perlahan untuk masuk ke dalam kamar itu.

"Dannis," panggilnya lagi.

Hening. Pandangan Rista mengitari setiap sudut ruangan yang dia pijak saat ini. Kagum. Kamar itu terlihat rapi dan luas melebihi kamar yang dia tempati saat ini. Tak salah jika apartemen milik Dannis masuk unit termahal. Salah satu apartemen mewah di daerah Jakarta.

Apa yang aku lakukan di sini? Dannis sudah bilang nggak akan pulang beberapa hari ke depan, tapi kenapa aku nggak percaya, malah masuk ke kamarnya? Tapi ini bukan salah aku. Kenapa dia nggak kunci kamar pas mau pergi?

Saat tersadar sudah memasuki kamar orang tanpa izin, Rista mengayun langkah untuk keluar dari kamar itu. Dia tak ingin mencari masalah dengan laki-laki itu. Tinggal di rumah Dannis pun sudah termasuk dalam masalah. Rista duduk di ruang makan. Merasa ada yang kurang saat dia duduk di ruangan itu. Biasanya, Dannis ada bersamanya saat di ruangan itu, membuatkan sarapan atau sekedar minuman. Apa dia mulai rindu dengan sosok laki-laki itu?

Pandangan Rista mengarah pada bunga Peony yang masih terpajang di sudut ruangan. Bunga itu terlihat indah saat mekar sempurna. Entah di mana Dannis membeli bunga itu karena bunga itu cukup sulit untuk tumbuh di Indonesia.

Ponsel segera diraihnya dari dalam saku untuk memastikan barangkali ada pesan atau telepon masuk. Baru saja dia membuka ponsel, pesan dari Dannis masuk di waktu yang sama. Rista bergegas membuka pesan itu.

From: Dannis
Sudah puas menjelajah kamarku?

Seketika Rista melongo saat ketahuan telah memasuki kamar laki-laki itu. Dari mana Dannis tahu jika dia sudah masuk ke kamarnya? Apa kamar itu terpasang CCTV, atau ada perekam suara?

Rista bergegas menghubungi nomor laki-laki itu. Dia butuh bicara dengannya perihal studio. Nomor Dannis aktif, tapi  dia harus bersabar menunggu karena belum ada tanda-tanda tersambung.

"Halo," sapa seseorang di seberang sana saat panggilan telepon tersambung.

Ini bukan suara dia.

"Nona Rista."

"Ini siapa? Di mana Dannis?" tanya Rista memastikan.

"Saya Kelvin. Tuan sedang ada pertemuan penting dengan kolega. Ada yang bisa saya bantu?"

"Di mana dia saat ini? Aku mau ketemu sama dia."

"Saya akan sampaikan pada Tuan."

"Satu lagi."

Hening.

"Kamu atau Dannis yang kirim pesan ke aku?"

"Itu Tuan, Nona."

Setelah memastikan pengirim pesan itu, Rista menutup sambungan telepon. Mengirim pesan padanya bisa, tapi tidak bisa menerima telepon. Aneh. Tapi, Rista terusik akan tindakan laki-laki itu. Alasannya tidak pulang bukan karena kejadian kemarin, melainkan karena laki-laki itu memang sedang sibuk. Kenapa Rista merasa khawatir saat laki-laki itu tak kembali ke rumah?

***

Part ini tanpa picture. Hanya ada video di atas.
Jangan rindu, ya, kecuali bintang sudah sampai 1k.
Dannis sama Rista mau pisah rumah dulu. Hahaha ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top