8. Senyum di atas Luka
Yang sudah tap bintang selama ini, sarange ♡
Bintang dari kalian adalah semangat untukku.
♡
♡
♡
Rista menatap pantulan cermin, menampilan dirinya dalam balutan pakaian yang pernah dia pakai satu tahun silam di tanggal dan bulan yang sama. Pakaian yang dibelikan Gema untuk dia pakai saat sang kekasih merayakan ulang tahun. Kenangan itu kembali muncul, mengingatkan masa indah bersama laki-laki itu. Air mata menggenang di pelupuk mata, lalu tanpa bisa dibendung cairan putih itu mengalir begitu saja membasahi pipinya yang sudah berlapis make up.
Kamu masih ingat baju ini, Mas? Baju ini yang kamu beli sehari sebelum ulang tahun kamu. Kamu minta aku buat pakai baju ini besoknya. Hari itu aku sangat bahagia karena kamu kasih aku kado dengan surprise romantis, bukan aku yang kasih kamu kado. Mas, aku kangen saat-saat itu. Saat kamu selalu bikin aku bahagia setiap hari. Kangen kamu yang selalu suport aku saat kerjaan numpuk. Aku kangen banget sama kamu, Mas.
Tangis tak bisa dibendung oleh Rista karena rasa sesak yang tak mampu ditahan karena kerinduan, kedihan, dan rasa beraalah. Ketukan pintu pun tak dia hiraukan, membuat sang pengetuk memaksa masuk. Dannis bergegas menghampiri Rista, memastikan jika gadis itu baik-baik saja. Tangis Rista membuatknya khawatir terjadi sesuatu. Tahu jika hari itu adalah ulang tahun Gema.
"Kendalikan dirimu," ucap Dannis sambil menyentuh kedua lengan Rista.
"Kenapa harus aku?" tanya Rista di sela tangis.
"Bukan hanya kamu. Ada orang di luar sana pernah atau sedang mengalami hal yang sama denganmu, dan mereka berusaha untuk bisa bangkit. Sekarang giliran kamu."
Gadis di hadapannya masih terus menangis karena kalut tanpa ada keinginan untuk membalas. Dannis menghela napas, menarik tangan Rista agar memeluk tubuhnya. Tak ada penolakan dari gadis itu, meluapkan tangis di dada bidang laki-laki yang dipeluknya saat ini. Suasana hening seketika, hanya tersisa isakan dari gadis itu. Dannis sengaja membiarkan suasana hening agar keadaan hati gadis itu tenang, meski hatinya tak tenang.
Pelukan terlepas setelah keadaan hati Rista tenang. Diusapnya sisa air mata yang masih menggenang di pipi. Dannis kembali menghela napas, menenangkan hatinya yang tak keruan. Merutuki diri karena sudah rela menjadi sandaran gadis itu.
"Maaf," ucap Rista setelah menyadari kesalahannya.
"Sudah cukup tenang?" Dannis memastikan.
Hanya anggukan yang Dannis terima. Dia tak yakin gadis itu akan baik-baik saja jika harus mengunjungi makam Gema.
"Aku tak yakin kamu akan mengunjungi makam Gema sedangkan kondisimu seperti ini," ungkap Gema.
"Aku akan baik-baik saja."
Bagaimana aku bisa percaya jika sekarang saja kondisimu seperti ini?"
"Aku akan ke sana sendiri jika kamu tak ingin ikut." Rista beranjak dari posisinya, meraih tas di atas tempat tidur.
Cekalan mendarat di lengan gadis itu. "Are you crazy?"
"What ever." Rista mengempaskan cekalan Dannis, meninggalkan tempat itu.
Dannis segera mengejar gadis itu untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi. Bukan maksudnya sengaja mengatakan hal itu karena terpancing akan perilaku Rista.
"Dengarkan aku lebih dulu," ucap Dannis saat berhasil mecekal lengan Rista.
"Aku nggak butuh penjelasan dari kamu. Terserah jika kamu mau beranggapan aku seperti apa." Rista mengempaskan cekalan lelaki itu, melanjutkan langkah untuk masuk ke dalam lift.
Lift segera dijegal oleh Dannis. "Oke. I'm sorry. Aku salah."
Rista tak memedulikan ucapan lelaki itu, memilih membuang wajah karena kesal.
"Aku ingin mengantarmu ke pusara Gema," sergah Dannis setelah masuk ke dalam lift.
Keadaan di dalam lift menjadi hening karena tak ada yang ingin mengeluarkan suara. Bahkan Rista tak membalas ucapan lelaki di sampingnya saat ini. Ucapan Dannis masih membuatnya kesal.
Aku harus tenang menghadapinya. Butuh waktu lama untuk membuatnya move on. Ucapan Gema tak salah. Dia memang tipe wanita yang tak mudah goyah. Dannis membatin.
Pintu lift terbuka. Keduanya segera keluar dari dalam sana untuk menuju mobil. Dannis pun membukakan mobil untuk gadis itu. Setidaknya dia harus bersikap lembut untuk membuat keadaan hati Risa tenang.
"Apa kamu akan membeli bunga terlebih dahulu sebelum ke makam Gema?" tanya Dannis membuka suara setelah mobilnya melaju meninggalkan basemen apartemen.
Masih hening. Gadis itu tak membalas pertanyaan Dannis, membuatnya menoleh sekilas. Tatapan gadis itu masih ke arah luar kaca. Kosong. Dannis meraih ponsel untuk mengirim pesan pada Kelvin agar membeli bunga dan diantarkan ke pemakaman sesegera mungkin.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, mobil yang mereka naiki tiba di area pemakaman. Rista langsung turun dari mobil, berjalan lebih dulu meninggalkan Dannis.
"Tuan," panggil seseorang pada Dannis.
Dannis sontak membalikkan badan, menatap sumber suara. Terlihat Kelvin menghampirinya, memberikan bunga pesanan sang bos.
"Saya sudah melacak pengirim bunga itu, dan sudah mendapat alamat rumahnya." Kelvin menyampaikan.
"Ikut aku." Dannis beranjak dari hadapan sang asisten setelah menginstruksinya.
Kelvin mengikuti sang bos dari belakang. Dari sekian banyak anak buah yang berkhianat darinya, hanya Kelvin yang catatannya bersih. Terlihat dari caranya bekerja. Rapi. Bisa jadi karena ada darah Indonesia dalam tubuhnya.
Langkah Kelvin terhenti saat sang bos mengangkat tangan, menginstruksinya agar diam pada posisi. Jarak mereka dengan makan Gema tak sampai 10 meter. Rista sudah lebih dulu berdiri di sana menatap makam Gema.
"Tunggu di sini. Aku akan segera kembali." Dannis beranjak dari posisinya untuk menghampiri gadis itu.
Terlihat buket bunga sudah menghiasi pusara Gema, membuat Dannis mengerutkan dahi. Bunga di tangannya segera diulurkan pada Rista. Rista menerima bunga itu, lalu meletakkannya di samping bunga yang sudah ada dekat batu nisan.
Ingatan Dannis tertuju pada saat pertama kali datang ke makam Gema. Dia pernah melihat buket yang sama saat itu. Jika bukan Rista yang membawa, berati ada orang yang sudah lebih dulu tahu jika hari ini ulang tahun Gema. Siapa orang itu?
Dannis bergegas menghampiri Kelvin, membiarkan gadis itu menikmati waktunya di hadapan pusara Gema. "Siapa pengirim bunga itu?" tanyanya saat tiba di hadapan sang asisten yang masih sabar menunggu.
"Namanya Deana. Dia seorang aktris yang cukup terkenal. Bunga itu dikirim oleh asistennya. Saat ini, orang itu sedang tidak ada di Indonesia. Saya akan terus memantaunya," ungkap Kelvin.
Deana. Kenapa namanya tidak begitu asing di telingaku? Tapi dia siapa? tanya Dannis membatin.
"Ini fotonya, Tuan." Kelvin mengulurkan ponselnya pada sang Bos.
Tatapan Dannis langsung menuju pada benda pipih di tangan sang asisten. Terlihat seorang wanita cantik berpose layaknya model. Wajah wanita itu tak asing dalam ingatan Dannis. Apa Dannis pernah melihat dia sebelumnya? Apa karena wanita itu seorang Aktris dan Dannis pernah melihatnya di layar televisi atau internet?
Gerakan sang asiten membuat Dannis terkesiap. Menyadari jika Rista sudah ada di dekatnya, mengungkapkan jika keperluannya di makam itu sudah selesai.
"Kamu jalan terlebih dahulu. Ada yang ingin aku bicarakan dengannya," kata Dannis pada gadis itu.
Rista hanya mengangguk lemah, beranjak dari posisinya untuk menuju area parkir, sedangkan Dannis dan Kelvin masih pada posisi.
"Cari tahu pengirim bunga itu." Dannis menunjuk ke arah makam Gema. "Aku menduga jika bunga itu dikirim oleh orang yang sama," lanjutnya.
"Baik, Tuan."
Dannis menepuk bahu sang asisten, beranjak dari posisi untuk menyusul Rista, meninggalkan area pemakaman. Terlihat Rista sudah menantinya di dekat mobil. Dia bergegas membukakan pintu mobil gadis itu. Setelah keduanya masuk, mobil segera dilajukan menuju panti.
"Apa kamu pernah bermasalah dengan seorang aktris? Atau kamu berteman dekat dengan seorang aktris?" tanya Dannis membuka obrolan.
Pertanyaan itu sontak membuat Rista mengalihkan perhatian. "Maksud kamu?" tanya Rista tak mengerti.
"Pengirim bunga di studio Gema adalah seorang aktris. Namanya Deana. Dugaanku, kamu atau Gema mengenal dekat wanita itu," ungkap Dannis.
Ingatan Rista mencari kepingan tentang wanita itu. Dia memang kenal wanita itu, tapi hanya sebatas kenal tanpa memiliki hubungan dekat. Pun mengenalnya tak secara langsung, melainkan perantara sang tunangan. Gema pernah mengenalkan wanita itu padanya di sebuah acara peresmian.
"Kamu yakin kalau dia pengirimnya?" Rista memastikan.
Tawa sumbang memecah suasana. Dannis tak menyangka jika gadis itu akan meragukannya. "Aku akan langsung memecat Kelvin jika informasi itu salah," sergah Dannis setelah tawanya reda. Ucapannya mengandung goresan.
"Tapi ... apa alasan dia mengirim bunga itu buat aku? Setauku, dia hanya berteman biasa dengan Mas Gema. Aku mengenal dia saja dari Mas Gema. Kami hanya bertemu beberapa kali saja."
Apa Gema mengenal dekat wanita itu sampai dia tahu hari-hari penting dalam hidupnya? Atau ... tidak, tidak, tidak. Aku tidak boleh berpikiran buruk tentang Gema. Pasti ada alasan lain kenapa wanita itu bisa tahu. Aku harus segera mencaritahu masalah ini.
"Kita pastikan nanti. Aku akan terus mencari informasi tentang wanita itu. Jika perlu, aku akan menemuinya langsung."
Rista hanya mengangguk pasrah. Dia menyerahkan sepenuhnya masalah itu pada laki-laki di sampingnya. Laki-laki yang selama ini sudah membantunya setelah kepergian sang kekasih. Bantuan itu tidak murni sepenuhnya dari laki-laki itu, melainkan permintaan Gema.
***
Senyum bahagia terlihat jelas pada raut Rista saat becanda dengan anak-anak panti. Setelah doa bersama dan merayakan ulang tahun Gema, anak-anak panti mengerumuni Rista dan Dannis karena mereka membawa bingkisan. Lebih tepatnya Dannis yang sudah menyiapkan lewat Kelvin. Suasana yang tadinya sedih, kini berganti bahagian dan penuh tawa.
"Kakak Tata cium aku," pinta salah satu gadis kecil penghuni panti.
Rista menuruti permintaan gadis kecil itu, mencium kedua pipi mungilnya. Gadis itu masih melingkarkan tangan di leher Rista, meminta agar dia yang menciumnya. Berulang kali gadis itu mencium bibir Rista tanpa henti, membuat Rista tak nyaman dan bingung.
"Kira, kasian Kak Tata kalau kamu seperti itu," tegur ibu panti karena melihat perilaku gadis kecil itu sudah berlebihan.
"Habisnya Kakak Tata cantik. Kira gemes sama Kakak Tata," ungkap gadis kecil itu.
"Nggak apa-apa, Bu." Rista menyambar sambil tersenyum ramah.
"Kak Tata memang selalu menjadi perhatian anak-anak panti karena kecantikannya. Bukan hanya cantik, tapi Kak Tata juga baik dan ramah. Nggak salah Mas Gema pilih dia. Tapi sayang, setelah Mas Gema nggak ada, Kak Tata banyak berubah."
Ucapan itu membuat perhatian Dannis teralih. Laki-laki itu duduk di samping Dannis. Dia adalah Tio, anak panti yang umurnya lebih muda dari Gema dan Dannis. Dia cukup mengenal dekat sosok Rista. Tahu jika sang kakak sangat mencintai wanita itu bahkan sampai ajalnya.
"Kamu kenal Deana? Atau wanita itu pernah ke sini bersama Gema?" tanya Dannis.
Deana? tanya Tio dalam hati sambil mencari nama itu dalam ingataknnya.
Dannis menatap laki-laki di sampingnya. Laki-laki itu terlihat sedang berpikir.
"Oh, iya. Kak Deana yang artis itu, kan?" tebak Tio saat mengingat sosok wanita itu.
"Iya, kamu benar."
"Dia pernah ke sini sama Mas Gema, tapi sudah lama. Malah sebelum Mas Gema dekat sama Kak Tata," ungkap Tio.
Sepertinya dugaan Dannis benar. Tapi bisa jadi salah. Dia akan mencaritahu lebih detail tentang hubungan wanita itu dengan Gema. Tak mungkin hanya sekedar teman bisa sedetail itu tahu hari-hari penting dalam hubungan Gema dan Rista. Tugas Dannis selanjutnya adalah membuat pertemuan dengan wanita itu saat dia tiba di Indonesia.
"Dannis, ayo makan dulu. Ibu sudah masakin sayur kesukaan kamu."
Ajakan itu membuat pikiran Dannis buyar. Senyum paksa dia tampilkan untuk menghargai sang ibu panti. Dia beranjak dari bangku untuk memenuhi permintaan wanita yang pernah mengasuhnya selama beberapa tahun. Rista pun sudah lebih dulu duduk bersama anak-anak panti di ruang makan.
Apa aku harus setiap hari membawamu ke sini supaya kamu bisa terus tersenyum seperti itu? tanya Dannis dalam hati saat melihat tawa Rista yang natural bersama anak-anak.
***
Langit sudah menenggelamkan matahari, merubah waktu menjadi malam, menjadikan warna gelap di atas sana. Waktu terasa cepat bagi keduanya dihabiskan bersama anak-anak panti. Dannis menemukan sisi lain pada diri wanita di sampingnya saat ini. Wanita itu menenggelamkan kebahagiaannya karena kepergian Gema. Apalagi yang gadis itu tutupi dari dirinya?
"Aku berniat memasukkan Sandi dan Tio ke studio," ungkap Dannis setelah cukup lama di dalam mobil tanpa obrolan. Mereka sedang berjalan menuju arah Jakarta.
"Bukankah mereka masih belajar kursus?" tanya Rista tanpa mengalihkan perhatian.
"Mereka sudah setuju dengan tawaranku, dan mereka sudah tidak ikut kursus selama dua bulan ini."
Tatapan Rista sontak mengarah ke arah laki-laki di sampingnya.
"Mereka tidak bercerita karena khawatir membuat beban baru dalam masalah keuanganmu."
Gerakan Rista terhenti saat sebuah tangan mencekal lengannya. Dia berniat menghubungi Tio untuk memastikan, tapi usahanya dihentikan oleh laki-laki di sampingnya. Dannis menepikan mobilnya di bahu jalan.
"Jangan membuat mereka semakin merasa bersalah padamu. Keputusan mereka sudah yang terbaik, dan kamu tidak perlu memperkeruh suasana. Aku yang akan menangani masalah ini," ucap Dannis.
Helaan napas terdengar jelas dari arah gadis itu. Cekalan di tangannya terlepas. Dannis kembali melajukan mobilnya untuk segera tiba di apartemen karena rasa lelah sudah mendera tubuh. Setelah obrolan itu, suasana di dalam mobil kembali hening. Sesekali Dannis menoleh ke arah gadis di sebelahnya untuk memastikan. Dia menghela napas saat melihat Rista sudah memejamkan mata. Selalu ada perasaan aneh dalam dirinya saat melihat Rista tertidur.
***
Kira-kira Deana siapa?
Apa hubungan Deana sama Gema?
Apa Dannis bisa memecahkan masalah itu?
Sudah tap bintang?
Hehehe ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top