4. Tuduhan
Happy reading ...
Jangan lupa tap bintang, ya.
.
.
☆
Tidur nyaman Dannis terganggu saat suara bel kembali mengusik indera pendengarannya. Dia meraih ponsel di atas nakas untuk memastikan jam. Layar ponselnya menunjukkan waktu 07.30. Beberapa panggilan telepon dan pesan dari seseorang terlihat jelas di layar ponselnya. Benda pipih itu kembali diletakkan ke tempat semula, lalu beranjak dari tempat tidur. Sebelum keluar dari kamar, dia merapikan kimono yang membalut tubuhnya. Langkah mulai dia ayun untuk keluar kamar, menemui seseorang yang sudah menantinya di luar pintu.
Pintu pun terbuka. Sosok wanita berdiri di hadapannya saat ini. Sudah bisa diduga jika gadis itu akan menemuinya setelah beberapa hari mengabaikan panggilan telepon atau pesan darinya. Gadis itu terpaku menatapnya yang hanya mengenakan kimono.
Ada apa denganku sehingga membuatnya menatap seperti itu? tanya Dannis dalam hati sambil menatap penampilanmya dari atas hingga bawah.
"Kenapa telepon dari aku nggak diangkat?" tanya Rista pada laki-laki di depannya karena merasa diabaikan oleh Dannis.
Danis menatap gadis di hadapannya. Rista terlihat menahan kesal karena sudah beberapa menit menanti di depan pintu, tidak mendapat telepon balik darinya, atau mendapat balasan pesan dari Dannis. Hal itu yang membuatnya datang ke apartemen laki-laki itu untuk meminta kepastian.
"Silakan masuk," ajak Dannis pada tamunya sambil membuka pintu lebar.
"Di sini saja," tolak Rista cepat.
"Bukan hanya telepon darimu saja yang tak kuangkat, tapi hampir dari semua orang yang menghubungiku," ungkap Dannis.
"Jadi menurut kamu studio itu nggak penting?" tanya Rista.
"Jika kedatanganmu ke sini untuk membahas studio Gema, silakan kita bicarakan di dalam. Tapi jika kedatanganmu ke sini hanya ingin berdebat, silakan kembali ke apartemenmu dan mempertimbangkan dengan baik permintaan Gema." Dannis menyentuh gagang pintu, lalu mendorongnya agar tertutup.
"Maksud aku bukan seperti itu," balas Rista sebelum pintu itu tertutup.
Gerakan Dannis seketika terhenti. Dia menatap Rista dengan tatapan datar. Tujuan Dannis mengabaikan gadis itu agar bisa menimbang dengan baik permintaan Gema, dan dia memang sedang sibuk mengurus bisnis.
"Aku akan masuk," ucap Rista selanjutnya karena tak mendapat balasan dari Gema.
Dannis kembali membuka pintu lebar agar gadis itu masuk ke dalam apartemennya. Langkah Rista terayun ragu untuk masuk ke dalam sana, merasa risih karena kedatangannya disambut dengan penampilan Dannis yang hanya mengenakan kimono. Rista mengedarkan pandangan saat tiba di dalam apartemen itu. Sebenarnya, dia merasa ragu menemui laki-laki itu saat tahu bahwa Dannis tinggal di unit eksklusif. Di mana dalam satu lantai hanya ada tiga apartemen, sedangkan yang biasa terdiri dari delapan apartemen.
"Silakan duduk. Aku akan membuatkanmu minuman," ucap Dannis saat mendapati Rista hanya berdiri di dekat sofa ruang tamu.
"Aku hanya sebentar, jadi kamu nggak perlu buatkan aku minuman," balas Rista sebelum laki-laki berlalu dari hadapannya.
Gerakan Dannis terhenti, mengerutkan dahi setelah mendengar balasan dari Rista, lalu membalikkan tubuh. Gadis itu masih berdiri di samping sofa. Dia mengayun langkah mendekati sofa tunggal, lalu duduk beranjak duduk di sofa tersebut. Rista pun segera duduk di ujung sofa setelah mendapat instruksi dari empunya rumah.
"Apa itu benar pesan dari Mas Gema?" tanya Rista membuka obrolan.
"Apa kamu pikir foto itu editan?" tanya Dannis balik karena merasa dituduh.
"Aku hanya ingin memastikan jika permintaan itu benar dari Mas Gema sebelum mengambil keputusan untuk melepas studio itu padamu."
"Tunggu. Aku akan membuktikannya padamu." Dannis beranjak dari sofa untuk meninggalkan ruangan itu.
Rista menatap kepergian Dannis yang perlahan menjauh dari pandangannya, lalu hilang saat memasuki sebuah ruangan. Penasaran dengan apa yang akan dilakukan laki-laki itu. Rista menghela napas jengah, berusaha agar tetap tenang menghadapi masalahnya. Posisi duduknya segera dibenarkan saat mendengar suara pintu terbuka. Dia menatap ke sumber suara untuk memastikan. Terlihat Dannis sudah mengubah penampilannya dari mengenakan kimono menjadi pakaian santai, celana hitam pendek dan kaus putih tanpa lengan. Rista membuang wajah saat laki-laki itu sudah tiba di dekat sofa.
"Semoga bukti ini bisa membuatmu percaya." Dannis meletakkan selembar kertas di atas meja.
Tatapan Rista mengarah pada selembar kertas yang Dannis letakan di atas meja. Dia meraih kertas itu, menatapnya seksama. Seketika matanya membulat saat melihat kebenaran akan ucapan Dannis. Gema meminta Dannis untuk mempertahankan studio itu demi panti di mana mereka dibesarkan.
"Ini nggak mungkin," lirih Rista tak percaya.
"Aku tidak akan mungkin membohongimu, apalagi membawa nama Gema."
Air mata mengalir di pipi Rista. Masih tak percaya jika Gema akan meminta pada sahabatnya untuk mempertahankan studio itu, bukan padanya. Sekuat apa pun dia menyangkal, kertas di tangannya adalah bukti kuat yang harus dia terima.
"Kamu tidak perlu khawatir. Walaupun studio itu sudah di tanganku, kamu masih bisa mengunjunginya setiap saat, atau ingin ikut berproduksi di sana. Aku tahu jika studio itu memiliki kenangan istimewa antara kamu dan Gema."
Tak ada respon dari Rista. Gadis itu masih terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri perihal studio Gema. Pilihan membuatnya berat antara melepas atau mempertahankan tempat itu. Sama seperti saat akan meninggalkan dunia model, dia harus menempuh pilihan berat. Demi janjinya pada orang tercinta, keputusan berat pun harus dia ambil demi mengukuhkan hubungan satu sama lain.
"Aku akan memikirkannya lagi." Rista beranjak dari sofa.
"Kamu tidak memiliki banyak waktu," balas Dannis tanpa menatapnya.
"Permisi." Rista beranjak dari posisinya untuk meninggalkan tempat itu tanpa menunggu balasan dari sang empunya rumah.
Dannis masih pada posisinya, membuang wajah tanpa ingin melihat kepergian gadis itu. Pandangannya beralih pada pintu setelah tubuh Rista tak lagi terlihat. Dia menghela napas, beranjak dari sofa untuk menuju kamar. Kedatangan Rista mengusik pikirannya.
Sesuai ucapan Gema, dia wanita yang tak mudah percaya pada orang lain. Tapi kali ini, aku yakin jika dia akan percaya padaku setelah melihat bukti ini. Semoga kamu senang karena sudah menuruti salah satu permintaanmu. Dannis membatin.
***
Awan mendung masih membayangi kota Jakarta sejak pagi. Seakan selalu membersamai hati Rista yang dilanda galau. Galau menentukan pilihan untuk melepas studio Gema pada Dannis. Meski Dannis teman dekat Gema, tapi dia tak bisa percaya begitu saja karena baru bertemu Dannis.
Ini kunjungan ketiganya ke makam Gema dalam satu bulan setelah beberapa pekan yang lalu dia ke sana. Tujuannya tak lain untuk mengurai kerumitan yang sedang dia pikirkan. Studio itu tempat berharga baginya. Tidak akan mudah baginya melepas tempat itu untuk orang lain. Terlebih, dia sudah mengorbankan asetnya demi mendapat studio itu.
Rintik hujan mulai turun membasahi area pemakaman. Rista bergegas membuka payung yang sudah ada di tangannya. Masih enggan untuk beranjak dari pusara Gema karena kegelisahannya belum mereda. Hujan pun mulai deras, sedangkan Rista masih bergeming, menatap ke arah pusara Gema dengan raut sedih.
"Sampai kapan kamu akan terus di sini?"
Pertanyaan itu membuat perhatian Rista teralih. Dia menatap ke sumber suara. Terlihat Dannis berdiri tak jauh dari posisinya dalam keadaan yang sama, dinaungi payung di atas kepala mereka. Rista menatapnya heran karena tiba-tiba ada di tempat itu. Kali kedua bertemu di tempat itu dalam keadaan yang sama. Bedanya, pertemuan pertama tak disadari oleh Rista.
"Kamu sedang apa di sini?" tanya Rista balik, mengabaikan pertanyaan Dannis.
"Mencarimu."
Dia nyari aku? Apa masalah studio Mas Gema?
"Ikut denganku," ajak Dannis, lalu beranjak dari posisinya.
"Aku bisa pulang sendiri," tolak Rista tanpa beranjak dari posisinya.
Dannis menghentikan langkah saat mendengar balasan dari gadis itu. "Apa aku harus menyampaikan masalahmu di depan makam Gema?" tanyanya.
"Dia sudah tahu."
"Apa dia tahu jika kamu sedang dikejar orang karena belum mengosongkan apatemen yang sekarang bukan lagi milikmu?" Dannis membalikkan tubuh.
Mata Rista seketika membulat setelah mendengar pertanyaan laki-laki di hadapannya. Bagaimana mungkin Dannis tahu jika dia sedang disuruh untuk mengosongkan apartemen itu sedangkan sampai saat ini belum ada orang yang tahu, termasuk April.
"Ikut aku atau aku jelaskan semuanya di sini?"
Rista menatap ke arah makam Gema, lalu kembali pada laki-laki di depannya. Dia mengangguk lemah. Merasa bingung karena Dannis bisa tahu masalah yang sedang dia hadapi. Begitu banyak masalah yang menghampirinya setelah kepergian Gema. Dannis membukakan pintu untuk Rista setelah tiba di dekat mobilnya. Rista menatap Dannis, berusaha menanamkan rasa percaya pada laki-laki itu. Dia bergegas masuk setelah mendapat instruksi dari laki-laki itu melalui lirikan mata. Dannis bergegas menyusul masuk, melajukan mobilnya untuk menuju sebuah kafe. Suasana di dalam mobil masih hening tanpa ada yang ingin membuka suara.
"Tidak perlu bingung dari mana aku bisa tahu masalahmu. Sebelum menemuimu, aku ke studio, dan di sana bertemu orang yang mencarimu agar apartemen yang kamu huni segera dikosongkan," ungkap Dannis membuka obrolan.
Tak ada jawaban. Dannis menoleh sekilas ke arah gadis di sampingnya. Gadis itu hanya menunduk dengan ekspresi sedih. Helaan napas keluar dari mulut Dannis. Dia tak ingin semakin membuat keadaan hati gadis itu semakin keruh.
Mobil yang mereka naiki tiba di halaman sebuah kafe. Hujan yang tadinya deras perlahan mereda, menyisakan rintik hujan kecil. Sebelum Dannis membukakan pintu untuknya, Rista sudah lebih dulu turun dari mobil itu. Tanpa penolakan, Rista mengikuti Dannis untuk masuk ke dalam kafe itu. Mereka duduk di sofa kosong yang ada di sisi kafe. Keadaan kafe cukup sepi, menambah suasana hati Rista semakin kikuk.
"Apa kamu tidak sadar jika sudah menghancurkan kehidupanmu sendiri hanya untuk kenangan yang seharusnya mulai dikubur." Dannis membuka obrolan sambil menatap buku menu.
"Hidupku sudah hancur sejak kepergiannya," balas Rista seadanya.
"Apa kamu pikir hidupmu akan berhenti sampai di sini saja? Apa Gema akan senang melihatmu seperti ini? Apa sedangkal itu cara berpikirmu?" tanya Dannis beruntun karena terpancing.
Gadis di hadapannya tak memberi jawaban. Dia menutup buku menu, mengangkat tangan kanan untuk memanggil pelayan kafe. Dannis membiarkan obrolan terjeda agar Rista bisa berpikir mengenai ucapannya. Pelayan kafe tiba di hadapan mereka. Dannis menyampaikan pesanannya.
"Mbaknya?" tanya sang pelayan pada Rista.
Rista menjadi pusat perhatian dua manusia yang ada di dekatnya. Gadis itu masih bergeming tanpa ingin membuka suara.
"Matcha milk tea." Dannis menambahi.
Mata Rista sontak terbuka sempurna, mengangkat kepala untuk menatap laki-laki di hadapannya. Dari mana dia tahu jika Rista menyukai minuman itu?
Setelah kepergian pelayan, suasana di antara keduanya kembali tanpa obrolan. Dannis mendorong map yang dia bawa ke hadapan Rista.
"Untuk sementara kamu bisa tinggal apartemenku sampai menemukan tempat tinggal baru, atau kamu ingin apartemenku menjadi milikmu, aku bisa memberikannya padamu." Dannis melanjutkan obrolan.
"Apa aku masih bisa berpartisipasi di sana setelah memberikan studio itu padamu? Kamu tahu jika aku tak bisa lepas dari studio itu karena banyak kenanganku di sana bersama Mas Gema. Terlebih, selama ini sebagian penghasilan studio itu diberikan untuk panti asuhan yang sudah membersarkan kalian."
Kenapa tidak dari kemarin kamu mengambil keputusan? Menyusahkan dan membuang waktuku!
"Kamu tidak perlu khawatir mengenai hal itu. Aku sudah memikirkan semuanya matang-matang sebelum mengambil keputusan ini." Dannis menimpali.
Rista membuka map di hadapannya, membaca dengan cermat setiap kata yang tertuang pada lembaran kertas di dalam map itu.
Apa ini jalan terbaik yang harus aku ambil untuk memenuhi permintaan Mas Gema? Kenapa rasa seberat ini melepas studio itu?
Sejenak, Rista menarik napas dalam, lalu mengeluarkan perlahan untuk melegakan hatinya yang terasa sesak. Dia meraih pena, menempelkan ujungnya pada sisi kertas yang seharuanya dia tandatangani. Berulang kali memantapkan hati untuk membubuhkan persetujuan. Pena di tangannya bergerak cepat mengukir tanda agar masalah studio cepat selesai. Lagipula, dia masih bisa terlibat dengan tempat itu.
"Aku hanya akan menerima sebagian. Anggap saja aku menanam saham di studio itu."
"Bagaimana dengan apartemenmu?"
Obrolan sesaat terjeda ketika pelayan datang membawa pesanan mereka.
"Sementara waktu aku ingin tinggal di studio sampai menemukan tempat tinggal baru." Rista memberikan map di tangannya pada Dannis setelah membubuhkan tanda tangan pada lembar kertas di dalamnya.
"Kamu bisa tinggal di apartemenku sampai menemukan tempat tinggal baru. Aku hanya tak ingin karyawan studio berpikir buruk tentangmu," balas Dannis sambil menerima map itu.
"Terima kasih. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti itu dan nggak mau ambil pusing."
Dannis hanya menatap gadis di hadapannya tanpa ingin membalas. Rencananya satu per satu berhasil. Dia sudah melakukan apa yang Gema inginkan. Selanjutnya, dia harus bisa membuat gadis itu move on dan melanjutkan hidupnya dengan baik.
Deringan ponsel membuyarkan suasana. Dannis meraih ponsel yang tergeletak di atas meja karena suara bersumber dari ponsel miliknya.
"Ada apa?" tanya Dannis setelah benda pipih itu menempel telinganya.
Rista hanya bisa menjadi pendengar setia walaupun tak ingin mendengar obrolan laki-laki di depannya bersama orang yang tidak dia kenal.
"Temui aku di apartemen 30 menit lagi," timpal Dannis pada sang penelepon.
Tanpa menunggu balasan, Dannis memutus sambungan telepon. Ponsel kembali diletakkan pada tempat semula.
"Apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Rista.
"Silakan," balas Dannis singkat.
"Apa Mas Gema menceritakan semuanya tentang aku padamu sampai kamu tahu hal yang mungkin orang terdekatku nggak tau?"
Sebelum menemuimu sudah tentu aku mencari tahu tentangmu sedetail mungkin. Bukan aku jika tidak mengetahui semua tentangmu.
Dannis hanya mengangguk tanpa ekspresi. Rista pun hanya tersenyum getir karena dugaannya benar. Tak menyangka jika Gema akan seterbuka itu pada Dannis mengenainya, membuat Rista segan pada laki-laki itu.
***
Jangan Jutek gitu, Queen.
Lama-lama ntar kamu kepincut sama Dannis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top