12. Attend the Party

Pikiran Rista masih dipenuhi perihal ucapan Dannis dan bukti-bukti yang mengarah pada kecurigaan hubungan laki-laki yang dia cintai bersama wanita bernama Deana. Jawaban dari Tio membuat rasa curiga timbul di hatinya seperti yang dirasakan oleh Dannis.

Mas, apa benar kamu memiliki hubungan dengan dia? Apa hubungan itu terjadi saat kamu sudah bersamaku atau sebelum kita jadian? Semoga tuduhan itu salah. Aku sangat percaya padamu. Nggak masalah kalau kamu memiliki hubungan bersama dia sebelum kita jadian dan kalian putus setelah kita jadian. Aku bisa mengerti.

Suara pintu terbuka membuat pikiran Rista buyar. Sudah pasti itu sang empunya rumah. Rista membetulkan posisi duduknya agar terlihat tenang. Dia menoleh ke sumber suara saat mendengar pintu dibuka.

"Tunggu." Rista beranjak dari kursi, mengayun langkah untuk menghampiri lelaki itu.

Gerakan Dannis terjeda. Tatapannya masih pada gagang pintu.

"Ada yang ingin aku bicarakan. Aku juga sudah siapkan makan malam buat kamu." Rista mengungkapkan keinginannya. "Kamu nggak perlu khawatir. Aku nggak masak, jadi dapurnya masih bersih seperti setelah kamu masak," lanjutnya.

"Aku tidak lapar." Dannis menoleh ke arah gadis yang berdiri tak jauh dari posisinya. "Apa yang ingin kamu bicarakan? Masalah Gema? Studio? Atau ..."

"Luangkan waktu kamu sebentar. Aku ingin membicarakan masalah wanita itu dan tempat tinggalku selanjutnya."

Pintu kamar kembali Dannis tutup. Dari ucapan Rista yang menarik perhatiannya adalah mengenai tempat tinggal. Dia tidak akan membiarkan Rista keluar dari apartemennya.

Dannis mengikuti gadis itu menuju ruang makan, lalu duduk di kursi yang biasa dia duduki. Beberapa menu makanan sudah tersaji di atas meja. Piring dan gelas pun sudah disediakan. Riata menuang minuman di dalam gelas.

"Kamu sudah menemukan tempat tinggal baru?" tanya Dannis tanpa ingin basa-basi.

"Aku minta maaf karena selama ini sudah bikin kamu repot. Aku juga minta maaf karena selama ini nggak percaya sama kamu. Terima kasih untuk semua bantuanmu," ungkap Rista.

Hening.

Rista mengangkat kepala karena tak mendapat balasan dari lawan bicara. Helaan napas terlihat jelas pada rautnya. "Aku akan pulang ke rumah kakek. Sudah nggak ada yang bisa aku lakukan di sini karena kamu melarang aku untuk ikut mengelola studio itu, dan sampai kapanpun aku nggak akan kembali ke dunia model. Maka aku memutuskan untuk pulang ke kota kelahiran Ibu dan aku berniat mencari pekerjaan di sana. Tapi sebelum itu, aku ingin bertemu dengan Deana untuk memastikan hubungan dia dengan Mas Gema biar aku nggak dibayangi rasa penasaran sebelum pergi dari kota ini," jelasnya.

Jadi dia kukuh untuk tidak kembali ke dunia model? Keras kepala. Tapi aku tidak bisa membiarkan dia kembali ke kampung orang tuanya. Dia akan bekerja apa di sana?

"Apa kamu bisa membantu aku untuk yang terakhir kali?" Rista memastikan.

Suasana masih hening. Dannis sibuk dengan pikirannya sendiri, sedangkan Rista menanti jawaban dari lelaki itu mengenai permintaannya.

"Nggak apa-apa kalau kamu nggak bisa. Aku bisa cari cara lain biar bisa ketemu dengan dia. Maaf." Penyesalan hadir karena sudah meminta bantuan lelaki itu.

"Duduk. Kamu pasti lapar karena sudah menungguku cukup lama." Dannis angkat suara.

Rista mengangkat kepala. Terlihat laki-laki di dekatnya menyendok nasi untuk memulai makan malam. Dia segera duduk di kursi sebelumnya, lalu kembali memerhatikan lelaki yang kini sibuk menyendok sayur. Senyum samar terukir di wajah Rista. Sebelumnya mengatakan jika dia tidak lapar, lalu sekarang justru menikmati makanan yang tersaji. Aneh.

Suasana masih tanpa obrolan selama benerapa menit. Keduanya masih sibuk menyantap makanan yang tersaji dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Dannis sibuk memikirkan cara untuk mencegah Rista agar tetap tinggal di apartemennya, sedangkan Rista memikirkan cara agar bisa bertemu dengan wanita itu.

"Aku akan membantumu bertemu dengan wanita itu dengan syarat tetap tinggal di sini." Dannis membuka obrolan di sela menyantap makanannya.

"Ini tempat tinggal kamu. Aku nggak bisa lama-lama tinggal di sini. Dan lagian sudah nggak ada yang bisa aku lakuin di sini. Bukankah kamu sendiri yang bikin aku seperti ini?"

Ini tempat tinggal kita, Queen. Masih banyak yang harus kamu kerjakan di sini. Dannis membatin.

"Kamu bisa kembali ke studio, tapi dengan dua syarat."

Gerakan Rista terhenti, mengangkat kepala untuk menatap Dannis. Lelaki itu pun menatapnya, menanti jawaban dari ucapan yang dia lontarkan.

"Apa pun syaratnya, aku akan melakukannya asal bisa kembali ke studio itu."

"Pertama, kamu harus tetap tinggal di apartemen ini. Kedua, kamu harus menjadi brand ambasador prodak terbaru di perusahaanku. Setelah kamu setuju, maka aku akan membantumu bertemu dengan wanita itu," ulas Dannis.

"Itu sama saja kamu menjerumuskan aku untuk kembali ke dunia model."

"Tidak. Tawaran itu hanya berlaku untuk perusahakanku. Setelah itu, kamu bisa menolak tawaran dari perusahaan lain. Anggap saja itu sebagai rasa terima kasih karena aku sudah membantumu selama ini. Kamu tetap akan mendapat honor sesuai perjanjian. Itu jika kamu setuju dan ingin kembali ikut mengelola studio peninggalan Gema."

Kenapa harus aku? Bukankah ada model lain atau artis yang lebih berbakat dari aku? Kenapa dia memilihku untuk menjadi BA pada produk di perusahaannya?

Tatapan Dannis tertuju pada gadis di hadapannya yang masih belum memberi jawaban. Tahu bahwa pilihan yang dia berikan akan dipikirkan matang-matang oleh gadis itu. Hanya itu cara agar membuat Rista tetap tinggal di apartemennya. Selain membantu gadis itu, dia harus memantapkan hati untuk rencana selanjutnya.

"Aku tunggu sampai besok." Dannis beranjak dari kursi setelah meneguk minuman. Merasa sudah tidak ada lagi yang perlu dilanjutkan dalam obrolan bersama Rista. Dia hanya memberi waktu untuknya memberi jawaban sampai besok. Jika Rista setuju, maka dia mendapat banyak keuntungan. Jika dia menolak, maka dia akan kehilangan kesempatan untuk kembali ke studio itu, dan dia harus enyah dari kota Jakarta.

Rista hanya menatap punggung Dannis yang perlahan mulai menjauh dari ruang makan. Jawaban masih belum bisa dia berikan. Masih harus mempertimbangkan syarat-syarat yang Dannis berikan. Terasa berat pilihan yang harus dia ambil karena syarat itu menyangkut janjinya, tapi dia pun berharap bisa kembali ke studio. Apa setiap keputusan harus ada yang dikorbankan?

***

Sejenak, Rista terdiam saat tiba di halaman studio, menatap bangunan peninggalan laki-laki yang dia cintai. Keputusan yang akan dia berikan sudah dipikirkan dengan matang. Keputusan untuk kebaikan bersama. Dia mengayun langkah setelah menenangkan hatinya yang tak menentu. Tak menentu karena harus memilih pilihan yang sulit baginya.

Seperti biasa, suasana di halaman studio terlihat sepi. Hanya ada kendaraan milik pekerja yang terparkir di halaman. Rista mengedarkan pandangan, merasa ada yang berubah ketika sudah di dalam studio. Tatanan dan cat dinding sudah berganti dari sebelum dia datang terakhir ke studio itu.

"Kak Tata."

Sapaan itu membuat Rista mengalihkan pandangan. Terlihat Sandi berdiri tak jauh dari posisinya saat ini. Senyum ramah terpaksa dia ukir.

"Dannis ada?" tanya Rista.

"Belum datang, Kak. Mungkin sebentar lagi karena jam sebelas ada pemotretan," balas Sandi.

Langkah kembali Rista ayun untuk menuju ruang pemotretan, sedangkan Sandi mengikutinya dari belakang.

"Kapan studio ini dicat ulang? Prasaan pas Kakak trrakhir ke sini belum dirubah," lanjut Rista.

"Baru kemarin, Kak. Kata Kak Dannis biar suasananya kembali baru."

"Kakak ke ruang pemotretan. Nanti kalau Dannis sudah datang, tolong kabari Kakak atau bilang ke dia kalau Kakak sudah menunggu."

Setelah kepergian Sandi, Rista masuk ke dalam ruang pemotretan. Dia kembali mendapat kejutan karena ruang pemotretan pun tak luput dari perubahan. Rista menghela napas. Dia mengharapkan agar Dannis berdiskusi dengannya jika akan merubah tatanan studio, tapi Rista lupa jika studio itu bukan lagi miliknya, jadi Dannis berhak melakukan apa pun pada studio itu tanpa harus kordinasi dengannya.

"Rian, Rangga," ucap Rista saat melihat dua anak panti berada di ruang pemotretan. Dia baru menyadari jika dua laki-laki di ruang pemotretan bukan karyawan sebelumnya, melainkan remaja panti.

"Kak Tata," balas Rangga sambil tersenyum ramah.

"Kalian ngapain di sini?" tanya Rista.

"Kerja lah, Kak. Kakak apa kabar?"

"Kakak baik," balas Rista sambil tersenyum paksa.

Dua remaja itu kembali melanjutkan pekerjaan, sedangkan Rista duduk di kursi yang ada di ruangan itu. Tak mengerti apa tujuan Dannis untuk merubah tatanan dan karyawan studio. Jika hanya merubah karyawan, Rista tak mengapa. Tapi dia merasa kecewa saat Dannis tak berdiskusi dengannya jima akan merubah tatanan studio itu.

Sudah hampir satu jam Rista menanti, tapi yang ditunggu tak kunjung tiba. Semua orang dan alat sudah siap untuk melakukan pemotretan. Suara langkah sepatu terdengar memasuki ruangan itu, membuat beberapa orang menatap sumber suara, termasuk Rista. Siapa lagi jika bukan Dannis yang datang?

"Semua sudah siap?" tanya Dannis sambil meletakkan jas dan dasi di atas meja.

"Sudah, Kak."

Dannis melepas dua kaitan kancing pada kemeja yang dia kenakan secara cepat, menggulung lengan kemeja, lalu memberi instruksi pada semua kru. Rista hanya menyaksikan pemotretan yang sedang berlangsung. Pemotretan yang sedang Dannis tangani adalah produk miliknya sendiri. Totalitas selalu dia dikedepankan agar hasil memuaskan dan memikat hati konsumen. Seperti tak ingin pusing mencari model, Dannis menggaet anak panti untuk menjadi BA produknya.

"Break!" seru Dannis setelah mendapat beberapa tangkapan foto. Kamera di tangan Dannis diulurkan pada Tio. "Lanjutkan
Pemotretan. Ganti dengan background baru. Setelah selesai, bawa hasilnya ke ruanganku."

"Aku, Kak?" Tio memastikan sambil menerima kamera dari Dannis.

"Kamu pasti bisa." Dannis menepuk bahu Tio sambil tersenyum meyakinkan.

Setelah meyakinkan sang adik panti, Dannis beranjak dari posisi untuk menghampiri gadis yang sudah menantinya. "Ikut aku," ucapnya saat berhenti sejenak di hadapan Rista.

Rista beranjak dari kursi untuk mengikuti Dannis menuju ruangan lain. Sudah bisa diduga oleh Dannis jika gadis itu akan datang ke studio untuk mencarinya. Terutama untuk memberikan jawaban. Mereka tiba di dalam ruang kerja yang kini sudah menjadi milik Dannis. Pandangan Rista kembali mengitari ruangan yang dia pijak saat ini. Kekhawatiran yang muncul dalam benaknya ternyata tidak salah. Dannis ikut merubah tatanan dan warna dinding di ruangan itu.

"Aku sengaja mengubah warna dinding dan tatanan ruangan karena ingin suasana baru di studio ini," ucap Dannis saat melihat Rista bergeming, menatap ruangan yang mereka pijak saat ini.

"Kenapa kamu nggak diskusi dulu sama aku waktu mau rombak studio ini?" balas Rista dengan bertanya.

"Untuk apa aku berdiskusi denganmu mengenai perubahan di studio milikku sendiri?" tanya Dannis balik.

Ucapan Dannis menelak pertanyaan gadis itu. Dia berhak melakukan apa saja pada studio yang kini telah sah menjadi miliknya. Lagipula dia melakukan semua itu untuk mengubur kesedihan agar menjadi semangat baru.

Walaupun aku sudah nggak jadi bagian dari studio ini, seharusnya dia menghargai aku sebelum merombak studio ini.

"Apa jawabanmu mengenai pilihan yang aku berikan?" Dannis mendaratkan tubuh pada kursi setelah bertanya hal itu.

Rista mengayun langkah, duduk di kursi berseberangan dengan Dannis. Suasana mendadak hening di dalam ruangan itu karena menanti jawaban dari lawan bicara. Rista sengaja menjeda waktu untuk memantapkan hati memberi keputusan. Kejutan perubahan studio membuat goyah pada keputusannya. Tapi dia masih ingin ikut mengelola studio itu. Bukankah dia akan mendapat keuntungan banyak saat menerima tawaran Dannis? Jangan sampai kesempatan itu hilang hanya karena keegoisan semata.

"Kapan aku bisa kembali bekerja ke studio ini?"

Senyum miring tersungging pada raut Dannis. Diraihnya berkas yang sudah disiapkan untuk Rista tanda tangani. "Sesuai kontrak yang akan aku berikan," balasnya santai sambil menyerahkan berkas itu pada Rista.

Tangan Rista bergerak meraih berkas itu, membacanya dengan seksama dan jangan sampai terlewat satu kata pun. Jangan sampai dia kembali ceroboh dalam membaca berkas yang akan membuatnya rugi. Cukup sekali kerugian itu menimpanya saat menyerahkan studio pada Dannis.

Rista menandatangani perjanjian yang sudah disepakati setelah memastikan semuanya aman. Setelah itu, dia memberikan berkas tersebut pada Dannis. Senyum kembali menghiasi wajah Dannis saat melihat Rista sudah setuju dengan perjanjian di dalam map itu. Setidaknya dia berhasil menahan Rista agar tetap di dekatnya.

"Bagaimana pertemuan dengan wanita itu?" tanya Rista melanjutkan obrolan.

"Aku mendapat undangan pesta dari kolega dalam waktu dekat dan bisa dipastikan jika wanita itu akan ikut hadir di sana. Jika kamu ingin bertemu dengannya dalam waktu dekat, aku rasa ini waktu yang tepat. Aku tidak memaksa jika kamu tidak mau atau merasa risih bertemu di sebuah acara, dan aku akan mengusahakan agar kamu bisa bertemu dengannya secara privasi. Kamu tahu sangat susah bertemu dengan seorang artis," jelas Dannis.

"Gimana aku bisa masuk ke acara itu sedangkan nggak punya undangan?"

"Apa satu undangan tidak cukup untuk membuat kita bisa masuk ke dalam pesta itu?"

Datang ke pesta itu bersama dia? Aku khawatir pacarnya cemburu saat tau kedekatan kita, apalagi tau kalau aku tinggal di apartemen dia. Tapi ini kesempatan langka biar aku cepat ketemu wanita itu. Rasa penasaran aku sudah nggak bisa dibendung lagi buat nunggu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top