1. Dihantui Penyesalan
Tap bintang dulu sebelum baca.
Terima kasih.
♡♡♡
Matahari terlihat mendung di atas sana. Sama eperti keadaan hati Rista saat ini. Hatinya dilanda hampa dan suram semenjak ditinggal laki-laki tercinta. Gadis itu masih terpaku pada gundukan tanah di hadapannya. Gundukan berbentuk persegi panjang itu ditumbuhi rumput yang terawat. Di bawah gundukan itu terdapat raga seseorang yang dia cintai sampai saat ini. Raga yang mungkin telah menjadi tulang karena sudah beberapa bulan terpendam tanah. Raga itu sudah tak bisa dilihat lagi atau disentuh. Laki-laki yang dia cintai telah pergi untuk selamanya. Penyesalan menghantuinya sampai saat sekarang. Menyesal karena tak ada di samping Gema saat mengembuskan napas terakhir.
"Maafin aku, Mas," lirih Rista diiringi air mata mengalir di pipinya.
Jika saja dia tak meninggalkan Gema saat itu, mungkin masih bisa melihat laki-laki yang dia cintai mengembuskan napas terakhir, atau melihat prosesi pemakamannya. Tapi takdir berkata lain. Rista mengalami kecelakaan ketika akan ke tempat pertemuan, dan di saat Gema menjalani cuci darah yang terakhir. Mobil yang dia kendarai mengalami kecelakaan tunggal, mengakibatkan dirinya terluka parah dan mengalami koma beberapa hari.
Rista mengusap air mata, menenangkan hati yang terasa sesak saat mengingat kesalahannya. Terlebih saat mengingat pesan terakhir Gema melalui chat.
Ta. Mas ingin bertemu Tuhan. Ingin bilang padaNya untuk memberikanmu kebahagiaan. Mas juga ingin meminta agar kamu mendapat suami yang lebih baik dari Mas. Kamu jaga kesehatan, ya. Jangan khawatirkan Mas. Tak lama lagi rasa sakit Mas akan hilang.
Tepat saat ini adalah hari jadi mereka selama dua tahun. Jika tahun kemarin mereka merayakan bersama, tapi kali ini berbeda. Ratu harus merayakannya sendiri tanpa sang calon suami. Rencana pernikahan mereka pun berantakan seketika. Harapan untuk hidup bersama redup ditelan takdir.
Deringan ponsel memecah keheningan, membuyarkan pikiran Riata. Dia mengusap air mata, lalu merogoh ponsel di dalam tas. Ponsel kembali dia masukkan ke dalam tas, mengabaikan sang penelepon. Sejenak, dia menatap ke arah pusara Gema.
Aku pergi dulu, Mas. Aku pasti akan ke sini lagi. Doaku selalu menyertaimu. Rista membatin.
Rista mengayun langkah, meninggalkan pusara Gema. Sudah hampir dua jam dia di sana, hanya menangis dan menyalahkan diri sendiri. Hal itu yang selalu dia lakukan saat di depan pusara Gema.
Rintik hujan mulai turun. Rista mengayun langkah cepat agar segera tiba di area parkir, menjadikan tasnya sebagai tameng agar air hujan tak mengenai kepalanya. Dari arah berlawanan terlihat seorang laki-laki berjalan dibawah naungan payung. Tatapan laki-laki itu mengarah pada gadis yang berjalan cepat, sedangkan Rista masih fokus pada langkahnya.
Laki-laki itu menoleh ke arah gadis yang baru saja bersimpangan dengannya. Menatap dengan seksama sampai punggung gadis hilang dari pandangannya.
Queen.
***
"Ris, tadi Kak Calvin telepon. Dia nyuruh aku buat bujuk kamu supaya terima tawaran dia," ucap April saat Rista tiba di dekatnya.
"Dia sudah telepon aku. Keputusan aku nggak akan berubah. Aku nggak akan ambil job dari perusahaan manapun. Aku sudah bukan model lagi," balas Rista kukuh pada pendiriannya.
Pilihannya sudah bulat, meninggalkan dunia model. Dan sesuai permintaan laki-laki yang dia cinta. Meski Gema tak memaksanya dan sudah tiada, Rista tetap menunaikan janji untuk berhenti menjadi model setelah kontrak selesai.
Tidak ingin kehilangan kenangan, dia membeli aset berharga milik Gema. Studio foto. Rista mempertahankan studio itu karena Gema merintisnya dari nol. Tahu jika dunia fotografer sangat disukai sekaligus pekerjaan utama calon suaminya. Terutama, pendapatan Gema selama ini untuk menyokong panti asuhan di mana dia dibesarkan. Jika studio itu ditutup, maka pemasukan dari panti akan berkurang. Studio itu memiliki banyak kenangan dalam perjalanan asmara mereka. Tempat di mana mereka dipertemukan. Dan studio itu adalah impian mereka untuk mewujudkan masa depan.
Langkah Rista seketika terhenti, menatap ke arah sesuatu di atas meja kerja milik Gema. Matanya mengerjap, memastikan jika apa yang dia lihat tak salah. Bukan halusinasi. Rista bergegas keluar dari ruangan itu.
"Kamu tahu siapa yang kirim bunga di ruanganku?" tanya Rista pada April yang sedang menatap majalah edisi terbaru.
April sontak menoleh ke arah Rista. "Nggak tau, Ris. Tadi kurir yang antar bunga itu," balasnya.
Kurir? Siapa yang kirim bunga itu?
Rista kembali masuk ke dalam ruangan Gema. Tatapannya kembali tertuju pada buket bunga yang tergeletak di atas meja. Tak pernah ada orang yang mengirim bunga itu kecuali Gema. Itupun saat laki-laki itu masih hidup. Rista mengayun langkah ragu untuk memastikan pengirim bunga tersebut. Tak mungkin Gema mengirim bunga itu sedangkan dia sudah tak ada di dunia. Tangannya bergerak ragu meraih kartu ucapan yang terselip.
Jaga kesehatan.
Jangan lupa makan.
I love you
~ Gema ~
Kartu ucapan di tangannya seketika terjatuh. Air mata Rista meleleh. Tak mungkin Gema mengirimkan bunga tersebut saat ini. Dia terisak.
Pintu ruangan itu terbuka. April bergegas menghampiri Rista karena mendapati sahabatnya menangis dalam keadaan luruh di atas lantai.
"Kamu kenapa, Ris?" tanya April sambil menatap wajah sahabatnya yang basah akan air mata. Dia membantu Rista agar berdiri.
Rista menunjuk kartu ucapan yang tergeletak di atas lantai. Tatapan April mengikuti jari telunjuk sahabatnya. Dia bergegas meraih kartu ucapan itu, menatap isi pesan yang tertera. Seketika April bergeming. Tak percaya.
Mas Gema? Bagaimana mungkin dia mengirim bunga sedangkan dia-
"Nggak ada orang lain yang tahu kalau Mas Gema sering kasih bunga itu ke aku," ucap Ratu.
April menoleh ke arah Rista, lalu memeluknya untuk menenangkan. Diusapnya punggung Rista dengan lembut.
"Mungkin orang lain pernah lihat kamu menerima bunga itu, atau lihat Mas Gema pegang bunga itu." April berusaha menenangkan.
"Tujuannya buat apa? Dan nggak ada yang tau kalau sekarang aku ambil alih studio Mas Gema," imbuh Rista.
"Tapi nggak mungkin Mas Gema yang ngirim. Aku yakin."
Rista menggeleng lemah. April masih berusaha menenangkan sahabatnya itu. Mereka pun bingung, siapa pengirim bunga itu. Tak ada yang tahu jika Gema sering memberikan bunga itu pada Rista. Bunga itu bukan kesukaan Gema, jadi sudah bisa dipastikan jika bunga itu untuk Rista, karena hanya Gema yang sering memberikan bunga itu pada Rista. Tapi, siapa yang mengirim bunga itu jika bukan Gema?
***
Rista kembali mengunjungi pusara Gema. Terlihat sebuket bunga tergeletak di atas sana. Pandangan gadis itu mengitari sekitar. Sepi. Siapa yang sudah mengunjungi pusara itu? Beberapa jam yang lalu belum ada bunga itu dan Rista tak membawa buket bunga, melainkan kelopak bunga mawar untuk ditabur. Terlebih buket bunga itu kesukaan Gema. Dugaannya pasti orang dekat. Bisa jadi sahabat dekat Gema atau saudara angkat di panti.
Mas. Hari ini ada yang kirim bunga yang biasanya kamu kasih ke studio atas nama kamu. Aku nggak tahu siapa yang ngirim, tapi Mas tahu sendiri kalau cuma Mas yang suka kasih bunga itu ke aku. Terus siapa yang kirim bunga itu ke aku kalau bukan Mas? Apa Mas yang beneran kirim? Tapi bagaimana mungkin?
Pikiran Rista buyar saat ponselnya berdering. Dia bergegas meraih benda pipih itu dari dalam tas. Jarinya menggeser warna hijau saat tahu siapa yang telepon. Ponsel ditempelkan pada telinga. Karena tak tenang mengenai bunga di atas meja kantor, Rista menghubungi Ifan untuk mencari siapa pengirim bunga itu, karena sahabat atau orang terdekat Ratu tak pernah mengirim bunga tersebut.
"Iya, Fan," sapa Ratu pada Ifan adik panti Gema.
"Ifan sudah cari tau, Kak, tapi bukan anak panti yang kirim. Mungkin orang lain," balas Ifan.
"Nggak mungkin, Fan. Cuma Mas Gema yang selalu kirim bunga itu buat Kakak. Nggak mungkin orang lain yang kirim. Kakak yakin." Ratu menatap makan Gema.
"Tapi juga nggak mungkin Mas Gema yang kirim, Kak. Beliau sudah nggak ada di dunia ini."
"Kakak pikir juga gitu," timpal Rista. "Ya sudah, Kakak pulang dulu. Ini Kakak lagi di makam Mas Gema. Kabari Kakak kalau kamu nemu petunjuk."
Rista memutus sambungan telepon setelah mendapat balasan dari Ifan. Tatapannya kembali pada makam Gema. Sejenak menghela napas lelah. Langkah kembali dia ayun untuk meninggalkan tempat itu. Masih penasaran akan gerangan pengirim bunga di ruang kerja Gema.
Deringan ponsel kembali terdengar membuat langkah Rista terhenti. Ditatapnya layar benda pipih yang masih di tangannya. Kedua dahinya berkerut. Dia menempelkan benda pipih tersebut pada telinga setelah menggeser warna hijau pada layar.
"Kenapa, Pril?" tanya Rista pada April di seberang sana.
"Ada cowok nyariin kamu. Lebih tepatnya nyari pemilik studio ini. Katanya, dia mau beli studio ini."
Mau beli studio itu? Siapa? Sampai kapanpun aku nggak akan jual studio itu.
"Rista!"
"I-iya. Aku ke sana sekarang."
Sambungan telepon terputus. Rista bergegas meninggalkan area pemakaman untuk kembali ke studio. Penasaran akan sosok laki-laki yang mencarinya. Untuk apa laki-laki itu membeli studio milik Gema yang sekarang sudah atas nama Rista?
***
Gimana nih sama part 1?
Masih bikin penasaran, ya. Hehehe ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top