28. Menyelam atau Tenggelam?
♬ Even the wind,
Pauses waiting for you still ... ♬
⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻
Mega. Sinonim dari awan adalah Mega. Sosok 'awan' yang tak lagi mampu menahan segalanya untuk tetap baik-baik saja. Awan yang mengirimkan sinyal pada Tala, untuk membantunya menjaga langit kita. Iya. Di balik surat misterius itu pastilah Mega.
Tidak salah lagi. Semuanya jadi terdengar logis dan saling berkorelasi. Tak heran kalau Tala bisa mendapat kertas-kertas itu di sekolah, bahkan hingga di sekitar rumah, seperti surat terakhir yang sengaja diselipkan di celah jendela kamar Tala. Pantas saja.
Tak memedulikan tatapan heran Tara yang duduk di sampingnya, Tala langsung bangkit berdiri. Tergesa, anak perempuan itu kembali menjejalkan tiga gumpalan kertas di tangannya ke dalam tas abu. Tara tak tahan lagi untuk menyuarakan tanda tanya yang memenuhi benaknya. "Kenapa, sih? Ada apa?"
"Semuanya sudah tersingkap sempurna. Kenapa aku enggak sadar dari awal?" Setelah memastikan ritsleting tasnya terpasang dengan rapat, bergegas, Tala berlarian, menuju area sekolah lagi. Tanpa aba-aba atau alasan yang konkret, Tara mengikuti insting alamiahnya untuk mengikuti langkah Tala yang terburu-buru.
Di tengah suasana sekolah yang lengang mengingat hampir seluruh siswa sudah pulang karena tidak punya kepentingan lain untuk bertahan di sekolah, Tala menyusuri koridor di pinggir lapangan. Matanya bergerak cepat untuk memindai sekitar. Kelas yang masih ramai ... seharusnya, masih ada anak organisasi yang masih rapat atau sekadar mendiskusikan sesuatu di sekitar sini.
Benar saja. Langkah Tala terhenti di bingkai pintu kelas dekat tangga menuju lantai dua. Terdengar suara seorang perempuan yang sedang mengakhiri kegiatan rapat rutin karena kontrak waktu telah habis. Tanpa merasa perlu untuk izin menginterupsi atau sekadar mengetuk, Tala langsung membuka daun pintu dan menyembulkan kepala.
Manik cokelat terang itu menangkap presensi sekumpulan anak-anak yang mengenakan kacu biru dengan lambang bunga dan tanda tambah di bagian leher belakang. Tala mengerjap cepat. Itu anak Palang Merah Remaja yang baru selesai mengikuti materi pertolongan pertama untuk orang patah tulang. Kebetulan sekali! Mega memang mengikuti organisasi PMR, 'kan?
Kini, seluruh atensi di ruang kelas tersebut sempurna terarah pada Tala. Sebagian mendelik sebal, kesal karena tamu tak diundang ini sukses menunda sekaligus menghambat proses penutupan kegiatan. Mereka sudah tak sabar untuk pulang! Sebagian besarnya sudah bersiap dengan ransel besar di punggung.
Meski begitu, Tala tidaklah memiliki waktu dan tingkat kepekaan yang cukup untuk mengurus itu semua. Apa pedulinya? Tala menatap seorang perempuan yang tampaknya adalah Ketua PMR, berdiri di dekat papan tulis. Tala angkat suara. "Mau ketemu Mega. Bentar aja."
"Oke, silakan. Tapi sekarang kita sudah mau menutup pertemuan hari ini, tidak akan lama. Jadi tunggu saja." Di saat yang sama setelah kakak kelas itu tutup mulut, bisik-bisik gaduh siswa lain membuatnya tersadar. Gaya bicaranya langsung berubah, tidak lagi kaku. "Oh, enggak. Mega enggak ikut rapat PMR minggu ini, dan kayaknya emang enggak akan pernah lagi. Teman sekelasnya bilang kalau Mega mau pindah ke Tasik mulai hari ini, enggak sekolah lagi di sini."
Tunggu ... apa? Pindahan? Kembali ke Tasik? Sejak kapan keluarga Langit berencana pindah? Tala yang tetangganya saja belum pernah mendengar kabar itu sebelumnya, deh. Tala termenung lama di bingkai pintu, bersama Tara di belakang punggungnya yang hanya bisa melongok ke dalam kelas dengan tatapan bertanya-tanya.
Dehaman Ketua PMR itu membuat Tala sedikit tersentak, mengembalikannya dari dimensi ilusi yang diputar di kepala. Lagi, tanpa kata atau gestur undur diri, Tala langsung memacu langkah, pergi, kembali berniat keluar kawasan sekolah.
Tak sempat menghentikan pergerakan Tala yang tiba-tiba itu, Tara hanya bisa mengambangkan tangannya di udara. Begitu sadar kalau perhatian anak PMR masih berorientasi ke arahnya, Tara pun membungkuk kikuk, lantas refleks bicara untuk mewakili Tala yang kekurangan asupan sopan santun. "Terima kasih! Maaf sudah mengganggu waktu rapatnya!"
Detik berikutnya, lelaki itu juga melarikan diri untuk mengejar Tala yang sudah mencapai gerbang utama. Keki setengah mati karena merasa dirinya bagaikan orang linglung yang hanya bisa planga-plongo mengekori Tala sejak tadi, Tara pun berinisiatif untuk menarik pergelangan tangan anak perempuan itu. Karena gaya inersia, Tala pun sedikit terbanting ke belakang untuk mempertahankan posisinya.
"Kenapa, sih, Tal? Ada apa?"
"Aku harus ketemu Mega! Aku ...." Tala gelagapan, rentetan informasi yang baru diterimanya tanpa jeda itu sukses membuat kemampuan komunikasi Tala jadi tersendat-sendat, tak dapat bicara atau merespons kalimat orang dengan sempurna. "Aku harus ke rumah! Aku harus pulang ... siapa tahu semuanya belum terlambat. Siapa tahu aku masih bisa ketemu Tala!"
Oke. Jawaban yang tidak pendek itu tidak bisa membuat Tara paham apa maksudnya. Tara tidak memiliki ide sama sekali. Meski begitu, ada kenyataan mutlak yang Tara ketahui: apa pun maksudnya, Tala begitu ingin bertemu dengan anak bernama Mega itu. Seolah sudah menjadi hal krusial yang harus dilakukannya. Sangat. Walau merasa tidak berhak sok tahu dan turun tangan, Tara spontan saja menawarkan bantuan. "Biar aku antar. Nunggu angkot pasti lama lagi."
Perjalanan sepuluh menit dari sekolah ke rumahnya menggunakan sepeda motor milik Tara, seolah menjadi suatu destinasi yang panjang. Tak kunjung sampai-sampai. Padahal Tala biasanya hanya naik angkot yang suka mengetem di pertigaan. Hukum waktu yang berlaku di semesta Tala mendadak seakan tengah dijeda oleh tangan jahil tak kasat mata. Lama sekali! Bagai seabad lamanya. Ayolah! Bagaimana kalau keluarga Langit sudah pergi, ketika Tala tiba?
Menyadari hasrat nan aura Tala yang grasah-grusuh heboh membuat Tara berkali-kali menyalip sana-sini. Tara serius sekali menyimak arahan Tala untuk sampai ke alamat rumahnya. Suara klakson terdengar ramai di sekitar, saling meneriaki karena sama-sama mengebut dan tidak mau disalahkan.
Sepeda motor Tara membelah jalanan dengan kecepatan tinggi. Setidaknya, kalau diomeli Papa sekalipun, Tara punya alasan untuk pembelaan diri. 'Kasihan, temanku lagi buru-buru, Pa!' Begitulah alibi yang akan diajukannya, kurang lebih.
Sepeda motor Tara berhenti ketika memasuki sebuah gang, persis di hadapan rumah bercat abu. Ini pastilah tempat tinggal Tala. Akan tetapi, anak perempuan itu malah langsung berhambur ke arah rumah minimalis di seberangnya. Sejenak, Tara melongo keheranan. Bukankah tadi Tala bilang rumahnya yang cat abu, selagi jadi penunjuk arah?
Di sisi lain, persis ketika Tala hendak mengetuk pintu depan rumah Langit dengan tergesa, daun pintu itu terbuka lebih dulu dari dalam. Sosok yang dicari Tala sedari tadi, kini menampakkan diri, berdiri tepat di hadapannya. Tak hanya Tala, Mega juga tampak kaget hingga matanya sedikit melebar. "Kak Tala?"
"Itu semua pasti kamu, kan, Ga?" sambar Tala, tak mau percakapan mereka berlarut-larut sebagaimana film India yang sibuk zoom-in zoom-out ketika terjadi pertemuan tak terduga. Tala menarik napas dalam-dalam, berusaha bersikap setenang mungkin. "Soal surat-surat misterius itu ... untuk menjaga Langit kita."
Tak dapat dikendalikan lebih lama lagi, tangisan Mega pecah seketika. "Iya. Harusnya ... harusnya aku langsung bilang Kak Tala aja, enggak usah terlalu mikirin soal Kak Langit yang pasti marah. Kalau aja aku punya sedikit keberanian buat langsung kasih tahu Kak Tala sejak awal, enggak usah pakai kode-kode enggak jelas, enggak usah peduli sama permohonan Kak Langit yang enggak mau Kak Tala tahu, mungkin ... mungkin Kak Langit bisa punya akhir kisah yang lebih indah."
Ah ... ternyata benar. Tala mendongak, menatap langit petang yang beranjak matang, sekaligus menahan air mata supaya tak ikut-ikutan jatuh. Tala menghela napas panjang. "Sampai akhir, anak itu emang masih aja bersikukuh buat menyimpan segalanya sendirian, ya? Sampai dia benar-benar pergi, aku masih aja enggak tahu apa-apa soal Langit."
Teringat sesuatu, masih dengan mata sembap nan suram, Mega sedikit mengangkat kepalanya yang menunduk dalam. "Aku sekeluarga mau pamitan, Kak. Mau balik lagi ke Tasik ...."
Oh, ya. Tala baru teringat informasi tersebut. "Kenapa?" serobotnya.
"Kita pindah ke Bandung buat memudahkan pengobatan Kak Langit. Dan ... yaaa, tenaga medis di rumah sakit Bandung jelas lebih baik dari Tasik, 'kan? Setelah Kak Langit pergi, kita udah enggak punya alasan buat bertahan di sini, Kak." Suara anak kelas sepuluh itu begitu parau. "Mama terus-terusan nangis, katanya setiap penjuru rumah dan kota Bandung udah lekat banget sama Kak Langit."
Tala mematung di tempatnya. Tangan yang selalu terkepal erat seolah ingin berkelahi dengan semesta itu, kini merosot tanpa energi. Iya. Dilihat dari mana pun, jelas saja keluarga Langit berhak merasa paling sedih atas kepergian lelaki itu. Tala hanya jadi sahabat Langit sejak setahun lalu. Semua kenang itu tak pernah cukup jika dibandingkan dengan hubungan darah mereka. Tala seharusnya bisa menguatkan Mega dan keluarganya pasca kepergian Langit, bukan malah sibuk menyalahkan semesta dan menganggap diri sendiri sebagai korbannya ....
Lamunan Tala terhenti ketika Mega kembali angkat suara seraya menyerahkan sebuah paper bag di tangannya. "Oh iya, Kak. Ini ... buat Kak Tala. Dari Kak Langit."
Dari ... Langit?
Seulas senyuman tulus terbit di antara kedua sudut bibir Mega, tak jauh berbeda dengan kakaknya. "Terima kasih sudah mau menjadi dunianya Kak Langit."
Masih di bawah tatapan penasaran Tara yang perannya tak lebih dari pohon bisu di sini, Tala pun lekas menyeberang untuk kembali ke rumahnya sendiri. Di halaman depan, setelah membuka sepatu dan membanting tas di sembarang tempat, Tala membuka tas kertas dari Mega. Hal yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah buku dengan sampul bernuansa Kota London.
Dalam hati, Tala membaca halaman pertamanya yang dipenuhi hand littering Langit.
Tentang Bentala, Duniaku.
Ya. Setelah berjuta purnama, akhirnya, Tala punya kesempatan untuk menyelami isi pikiran anak laki-laki itu.
⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻
♬ Unfurling Singing star ...
Will it reach you? ♬
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top