24. Takdir yang Mengukir Getir
♬ Even if you pass me by,
I will find you.
Then I’ll reach out again to you ... ♬
⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻
Kamu bisa jadi apa pun!
Sungguh. Selama belasan tahun lamanya Tala menyapa dan menghirup napas di muka bumi ini, tidak pernah ada satu orang pun yang mengatakan kalimat itu padanya. Tidak ada. Suatu kalimat yang mungkin terdengar tak lebih dari omong kosong belaka bagi sebagian orang, tetapi bagi Tala yang selalu dianggap sebagai beban tanpa kelebihan di kelas selama ini ... sangatlah berarti.
Menghadirkan kembali berjuta angan, mimpi-mimpi yang sempat menepi, juga secercah harapan yang bisa ia gunakan sebagai lentera penerang jalanan sejauh kakinya melangkah, untuk beberapa waktu ke depan. Mungkin terdengar naif di telinga orang lain, tetapi bagi Tala ... berarti segalanya. Bahan bakar yang terus memacunya untuk tak pernah berhenti atau sekadar berlama-lama menjeda langkah.
Belasan angkot berwarna biru tua yang biasa mereka tumpangi sudah melintas sedari tadi. Akan tetapi, Tala dan Langit malah sibuk berdialog dan tenggelam di dalamnya. Ketika mentari benar-benar siap mengucapkan salam perpisahannya pada garis cakrawala dan persimpangan tempat melangitkan angan itu ... barulah Tala dan Langit memutuskan menyudahi kisah di penghujung hari ini, lantas memberikan tanda pada angkot selanjutnya untuk menepi.
Tidak ada komunikasi atau interaksi berarti setelahnya. Mereka hanya membisu sembari menikmati sapuan angin sore yang menerobos lewat celah jendela angkot, damai. Tala yang biasanya tidak henti merusuh pun kali ini bersikap lebih tenang. Bukan apa-apa. Ia memang masih memikirkan gengsi dan harga diri yang melayang begitu saja di depan Langit, sebelumnya. Namun, benaknya lebih sibuk untuk merajut melodi mimpi yang menolak sunyi.
Tala tak mau menyerah ... itu yang tertanam begitu kuat di setiap penjuru hatinya. Tala ingin mencoba banyak hal. Matematika, pelajaran di bidang akademik lainnya ... Tala tak mau membenci hal yang berada di luar kemampuannya. Tala ingin keluar dari zona nyaman. Mumpung masih muda ... mulai trial dan error sedari dini bukanlah suatu hal yang memalukan, 'kan?
Saat ini, biarlah Tala memaksimalkan usaha untuk olimpiade berikutnya. Tak apa. Kompetisi sains nasional memanglah diadakan setiap tahun. Anak kelas dua belas tidak akan dikerahkan untuk jadi delegasi sekolah lagi. Karena itulah, tahun ini adalah kesempatan terakhir Tala untuk melambung di KSN, tetapi semesta sukses memporakporandakannya begitu saja.
Kalau boleh Tala berterus terang, jelas saja ia kecewa berat. Tala tidak benar-benar sembuh. Usaha kehidupan yang totalitas sekali untuk menggagalkan usahanya berkali-kali tanpa mengenal jemu atau iba sama sekali, tidak lantas membuat Tala patah dan memutuskan untuk undur diri. Tidak akan. Tala masih punya kesempatan di olimpiade lainnya, meski tidak seresmi KSN. Tidak apa-apa. Mari terus mencoba, hingga semesta benar-benar penat untuk sekadar menghalangi perjalanannya.
Akan tiba masanya ... suatu saat nanti. Pasti.
Tala tak peduli meski orang lain menilainya sebagai manusia yang terlalu naif dalam memandang kehidupan. Karena justru hal itulah yang Tala inginkan. Tala ingin kembali merasakan sudut pandang anak-anak lagi. Di mana ia masih menggenggam erat keyakinan akan mimpi-mimpinya, tanpa perlu mengkhawatirkan banyak hal. Tala hanya mau berjuang layaknya sedang memainkan sebuah game. Tak peduli seberapa kali pun mendapat game over, Tala masih punya semangat untuk mencobanya lagi.
Tala ingin sampai ke puncak sana ... jikalaupun sudah sampai, Tala akan kembali mendaki dan memulai perjalanan yang baru. Melangkah dan terus melangkah ... bukankah memang begitu hakikat dari kehidupan yang sesungguhnya?
Berdiam diri hanya membuang-buang kesempatan hidup yang menyediakan berjuta spektrum warna di balik perjalanan panjangnya. Setidaknya, begitulah yang Tala yakini saat ini.
Benar saja. Tala dan Langit sungguhan tenggelam dalam diam dan benaman pikirannya masing-masing. Tidak ada suara yang keluar di antara keduanya. Lima belas menit berlalu, hanya terdengar deru angkot yang membelah jalanan berdebu. Angkot biru tua itu melaju tanpa mengetem di perempatan seperti biasa, mengingat hari yang beranjak malam, dan tak banyak calon penumpang yang ditemukan.
Dengan waktu tempuh yang lebih cepat dari biasanya, Tala dan Langit pun turun di bibir gapura, lantas memasuki gang sembari melangkah beriringan. Masih tidak ada suara. Yang ada hanyalah bisikan angin yang menelisik sela-sela rimbun dedaunan. Tala asyik sekali mengamati pemandangan senja yang indah di angkasa sana. Sampai tak menyadari langkah lelaki di sampingnya yang sudah melemah, mengeratkan genggaman di tali ranselnya dengan tangan bergetar, dan netra hitam legam yang tak lepas dari pijakannya sendiri.
Jangan dulu ... baru belakangan ini Langit menjalani hidup yang ia mau. Semua itu belumlah cukup. Dan kalau boleh lancang ... manusia memang tidak akan pernah mengenal kata 'cukup', bukan?
Sebelum keduanya benar-benar berpencar ke rumah masing-masing, Tala menatap netra hitam legam itu lebih dulu. Lama, seolah ia tak mau lekas-lekas melepasnya. Tala mengerjap. Hari sudah tambah gelap. Tala harus cepat-cepat kembali. Kalau tidak, ketika menginjakkan kaki di rumahnya nanti, Tala mesti menyiapkan mental untuk disambut Ibu yang mengomeli.
"Makasih ...." Setelah mengucapkan satu kata itu, Tala membiarkan jeda panjang mengudara. Tala menarik kedua sudut bibirnya ke atas, menciptakan suatu kurva manis yang tak pernah Langit lihat sebelumnya. Manik cokelat terang itu menyorotkan binar sekaligus rasa yang tak terbahasa. Tala memiringkan kepala. "Untuk segalanya."
Tidak. Langit yang seharusnya berterima kasih. Tentang mimpi-mimpi yang telah anak perempuan itu selamatkan agar tak benar-benar menepi dan berakhir sebagai tak lebih dari melodi sepi ... iya. Pada Bentala, pada dunianya.
"Jangan pernah berhenti, lho, ya! Selama aku masih mengejarmu di belakang sini, jangan pernah kurang ajar untuk seenaknya mengakhiri perjalanan duluan!"
Langit balas merekahkan senyuman indah, diterpa cahaya mentari jingga yang hanya tersisa sekian watt di angkasa raya sana. Tanpa sepatah kata pun, Langit menganggukkan kepala.
Sebelum dirinya benar-benar terpaku dan melupakan kenyataan bahwa waktu tak akan membeku dari perguliran semu hanya untuk mengabadikan temu, Tala lekas-lekas melambaikan tangannya pada Langit, lantas berlarian menuju rumahnya di seberang jalan. "Dah!"
Di sisi lain, sepasang kaki satu anak manusia itu masih bergeming di posisinya. Tak peduli dengan angin malam yang makin menusuk tulang, atau nyanyian binatang malam yang menyeru setiap orang untuk kembali berpulang ke rumahnya masing-masing ... Langit masih saja di sana. Napas berat diembuskannya.
Kenapa semesta tak pernah memberinya kesempatan? Tentang langkah yang kian menjauh itu ... Langit tahu, rentang jarak tak akan mau berbelas kasihan.
Bagian pertama, kedua, ketiga, keempat ... siapa pun bisa mengetahui urutan angka itu seketika. Akan tetapi, setiap orang harus sampai ke halaman paling belakang untuk menyadari bagian mana yang akan menjadi 'terakhir'-nya.
"Kak Tala! Kak Tala!" Tidak ada balasan dari rumah bercat abu tersebut. Hingga suara itu menyisakan serak dan isak yang tak terelak sekalipun, masih saja tidak ada sahutan. Tetes demi tetes cairan bening berdebum ke tanah. "Kak Talaaa!"
Benar. Kehidupan tidak akan pernah memberi umat manusia kesempatan untuk mengetahuinya lebih awal.
Malam hari beranjak matang. Purnama rembulan sudah meninggi, sempurna merajai angkasa gelap. Meski begitu, sensasi dingin yang menusuk tulang itu tidak menyurutkan kaki Tala untuk terus mengayuh pedal sepeda. Baginya, ini adalah malam kelam yang membara. Dialognya bersama Langit ketika di halte dekat persimpangan tadi sungguh efektif mengisi daya semangatnya dengan cepat, seolah bermuatan listrik berjuta voltase.
Karena itu pulalah, Tala memutuskan untuk menyambangi perpustakaan daerah dan menyerap berbagai ilmu dari tumpukan buku pelajaran di sana, yang memang tak selengkap fasilitas di perpustakaan umum dekat balai kota. Tujuan lainnya adalah menumpang wifi, demi menonton sekaligus mengunduh video pembelajaran latihan soal matematika tingkat tinggi di kanal YouTube. Apa pun ... apa pun! Semua media gratis yang bisa digunakan akan Tala maksimalkan sebagai sebuah kesempatan untuk melangkah lebih dulu.
Kalau boleh Tala geer sejenak, Langit pasti sedang keheranan saat ini, karena malamnya tak lagi diganggu oleh Tala. KSN memang sudah berlalu, bersamaan dengan berakhirnya kontrak belajar bersama antara Tala dengan Langit. Akan tetapi, itu bukanlah alasan yang cukup untuk membuat Tala berhenti mengajak Langit membahas latihan soal bersama. Hanya saja, untuk malam ini, Tala sedang membutuhkan lebih banyak referensi baru. Demi langkahnya yang tak akan pernah menemukan jalan buntu.
Nyaris pukul sembilan malam. Mang penjaga perpustakaan mulai berdeham kencang, memberi kode dengan jelas bahwa dirinya sedang mengusir satu-satunya anak perempuan yang masih mendiami salah satu bangku di pojok perpustakaan. Mau ditutup. Kalau tidak menurut, bisa-bisa Tala masuk daftar hitam dan tidak diperbolehkan mengunjungi tempat ini lagi. Bahaya. Dengan tergesa, Tala pun mengakhiri kegiatannya. Tangan itu rempong sekali mengemasi alat tulisnya ke dalam tas jinjing krem.
Tala bangkit dari duduknya, lantas memastikan keberadaan kunci di saku celana. Ya. Tidak ada orang di rumah. Ibu sedang membantu tetangga yang akan mengadakan pernikahan di waktu dekat ini, makanya Tala membawa kunci sendiri. Sebelum benar-benar meninggalkan bangunan yang tak seberapa luas tersebut, Tala melambai sok kenal sok dekat pada penjaga perpus. "Dadah, Mang! Semangat kerjanya! Kalau mau kangen aku, enggak apa, kok. Feel free! Aku usahakan datang lagi, nanti."
Tidak, tidak. Tidak usah datang. Merepotkan saja! Pria usia setengah baya tersebut mendengkus sebal, masih mempertahankan tampang masamnya. Gagal sudah rencana untuk tutup dan pulang duluan sebagaimana biasanya.
Di sepanjang perjalanan pulang, Tala melajukan sepedanya dengan senandung ringan. Seperti orang mabuk. Benak Tala seakan teradiksi oleh rumus-rumus yang kian tergurat jelas setelah berkali-kali diperkuatnya dengan memperbanyak latihan soal selama ini. Persis kata Langit, akan tiba saatnya ....
Jarak antara perpustakaan daerah dengan rumah Tala tidaklah begitu jauh. Hanya membutuhkan sekitar sepuluh menit jika menggunakan sepeda. Persis ketika Tala memarkirkan sepeda ke dalam rumah, tetes demi tetes air hujan mulai menyapa permukaan bumi yang gersang. Sebelum kembali mengunci pintu dari dalam, Tala celingukan dahulu di halaman.
Ibu belum juga pulang, ya? Padahal hujan ... Tala takut kalau sendirian di rumah ketika hujan lebat apalagi mati lampu! Oke, tenang. Ini hanya gerimis. Tala menyimpan tas jinjingnya ke atas meja belajar. Akan tetapi, sudut matanya menangkap sebuah lipatan kertas di antara celah jendela kamar.
Tunggu. Sewaktu Tala meninggalkan rumah sehabis mandi dan makan malam tadi, rasanya belum ada kertas di sana. Apa itu pesan dari Ibu? Kalau masih teror yang sama ... kenapa kali ini kertasnya tidak diremas seperti biasa? Bahkan aksinya tak lagi terbatas di sekolah ... apakah pelaku di balik surat tidak jelas itu mengikutinya sampai ke rumah? Gila!
Meski begitu, setelah membaca isinya, Tala tak lagi peduli soal siapa pengirim surat misterius tersebut. Tidak. Yang Tala tahu, suara detik pelan jarum jam yang terus menyisir rotasi waktu itu ... benar-benar menunjukkan bahwa ialah pengendali di atas segalanya. Manusia hanyalah budak, tak akan pernah mampu melawan setiap guratan takdir yang berupa kolaborasi antara detik, detak, dan semesta yang sudah terukir.
Tidak akan.
Ya. Pada akhirnya, untuk ke sekian kali, lagi, lagi, lagi dan lagi, semesta tergelak puas di balik layar kehidupan manusia, tahu pasti bahwa sedari awal, memang dialah pemegang segala kendali di muka bumi.
⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻
♬ Lost in longing,
I’m standing still. ♬
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top