19. Pemeran Amatiran di Kehidupan
♬ No, everything is still filled with you
I still can’t go anywhere ... ♬l
⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻
Pernahkah kau merasa sedang dihadapkan pada suatu benteng tinggi nan kokoh yang tiada sisakan walau hanya satu celah pun? Suatu blokade barikade yang menamparmu dengan telak, memperingatkan bahwa kau tak mampu lagi menerobos masuk lebih jauh. Suatu sekat tak kasat mata yang perlahan kau sadari bahwa dinding itu terlalu mustahil untuk ditembus.
Tala tahu. Sejak awal memutuskan untuk mengajak Langit berbincang di persimpangan itu, Tala tahu kalau dirinya tidak akan pernah bisa benar-benar diterima dalam kehidupan Langit. Lagi, Langit itu tak tergapai. Hal yang Tala pikirkan hanyalah bagaimana caranya untuk mendahului langkah anak manusia itu. Berlari, mengejar ... terus saja begitu. Hingga akhirnya, Tala sadar bahwa dirinya hanya berotasi di sekitar Langit, berjalan di belakangnya.
Di saat Tala mencoba meraih punggung itu, barulah Tala menyadari bahwa di baliknya ada berjuta jalanan kelam yang tak akan pernah mampu Tala jadikan pijak. Gelap, pengap, tak ada apa pun selain spektrum abu yang penuh tanya berbalas senyap.
Bel berbunyi nyaring, bergema di setiap penjuru SMANSABA yang ramai seperti biasa. Jam pelajaran hari ini telah berakhir. Suara derit meja terdengar di sana-sini, mengiringi seruan riang para siswa yang tak sabar untuk kembali ke rumah masing-masing dan rebahan.
Di bangkunya sendiri, Tala sedikit tersentak. Manik cokelat terang itu diedarkan untuk memindai keadaan di sekitarnya. Barulah anak perempuan itu tersadar. Oh, sudah waktunya pulang. Tala akhirnya terbangun dari lamunan panjang. Tangan mungil itu terkepal kuat, merasakan suatu kemarahan tanpa alasan mulai membakar di dalam sana, tinggal bersiap untuk meledak.
Anak laki-laki itu ... seenaknya sekali. Ia membiarkan kabut misteri itu tetap merajai dunianya, tetapi malah sewenang-wenang merangsek masuk ke hidup Tala. Tidak adil ....
Dengan langkah kakinya yang cepat, hasil dari latihan basket yang tak kaget lagi dengan praktik lari naik-turun tangga berulang kali, Tala berlarian menuju lantai bawah, tempat di mana UKS berada. Ransel abu yang sangat berat karena memikul beban dari tumpukan buku tebal pelajaran itu tidak menghambat pergerakan Tala sama sekali. Keringat sebesar biji jagung melintasi dahinya.
Tanpa merasa perlu mengetuk pintu terlebih dahulu, lekas saja Tala membuka sepatu dan melemparnya ke sembarang arah, lantas memasuki ruang UKS begitu saja. Di sana, terdapat anak lelaki yang tengah duduk menunduk di atas ranjang, juga dua anak PMR yang sedang sibuk membereskan meja dan kotak perlengkapan obat.
Demi menyadari kedatangan eksistensi yang lain itu, Langit sedikit mendongakkan kepala. Netra hitam legam itu bertabrakan dengan tatapan Tala yang menyimpan tanda tanya sekaligus kekesalan. Kedua alis tipis Tala mengerut dalam, membuat tampangnya tambah garang. "Kamu itu kenapa, sih?"
Tak menghiraukan pertanyaan Tala, Langit lebih dulu mengangguk pada dua anak PMR yang masih ada di ruangan sana, tampak sibuk dengan kegiatannya masing-masing. "Kalian pasti mau kunci UKS sekarang. Aku pulang, ya, kalau ditanya Pak Prana. Makasih."
"Lang?" Malah Tala yang menyahut penuh keheranan. Anak perempuan itu hanya bisa merengut ketika mau tak mau mengekori langkah Langit yang sudah keluar UKS lebih dulu. "Hei? Lang? Emang udah enggak apa-apa? Kamu enggak apa-apa, kan ... emang?"
Langit menjeda langkahnya seraya mencengkeram pegangan tangga. Rasa pusing mendera karena transisi posisinya yang terlalu mendadak untuk kondisi tubuh Langit. Demi menetralisir segalanya seolah tidak terjadi apa-apa, Langit memejamkan mata, lantas menjilat bibir bawahnya supaya tidak tampak terlalu kering dan menyedihkan.
Oh, ayolah. Dia masih harus menaiki anak tangga untuk mengambil tas di kelasnya. Rasa sakit ini kenapa sulit sekali diajak kompromi? Apa boleh buat. Langit jadi berbalik badan untuk menghadap Tala, tak peduli dengan pandangannya yang masih cukup buram.
Detik berikutnya, cengiran lebar melintang di kedua sudut bibir tipis Langit. Cerah sekali. Sampai Tala kebingungan dan berpikir bahwa Langit saat ini berbeda dengan sosok lelaki yang menunduk suram di UKS beberapa waktu lalu. Orang yang berbeda ... Tala yakin ada Langit palsu di sini.
Mendapati muka panik Tala yang langsung berubah jadi tampang penuh dendam kesumat itu membuat Langit terbahak kencang. Dengan dramatis dan dibuat-buat, Langit menepuk pundak Tala berulang kali, bertingkah seolah sedang melampiaskan tawa dan mencoba menularkannya pada lawan bicaranya. Meski begitu, Tala mengempaskan tangan Langit dari bahu. Tala sedang tidak ingin bercanda saat ini. "Kenapa, sih, Lang?"
"Lho? Kamu yang kenapa, Tal. Segitu khawatirnya sama rival abadimu ini?" Berbanding terbalik dengan Tala yang sudah menegangkan urat, Langit justru membalasnya dengan santai. Kekehan kecil diselipkan di akhir kalimatnya. Akan tetapi, tampang Tala masih saja serius. Anak itu pasti sudah tahu trik licik Langit dan mengantisipasi usaha Langit yang mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Iya ... senyuman Langit memang manis, tetapi semua itu terasa disalahgunakan.
Tala mendengkus singkat. Tatapan tanpa kedip di netra cokelat terang itu menuntut sebuah jawaban, bukan hanya pengalihan. Biarkan saja kalau Langit ataupun orang lain menganggapnya berlebihan. Tala hanya mau mendengar apa yang sebenarnya selalu disembunyikan anak laki-laki itu darinya.
"Oh, ya. Soal mimisan tadi ... kayaknya sel darah merahku buta maps, deh. Atau lupa buka GPS, ya? Mereka tahu-tahu jadi salah alamat, malah keluar dari hidung." Hening. Hanya ada gelak renyah Langit yang bermaksud menertawakan kalimatnya sendiri, tetapi pada kenyataannya tidak lucu sama sekali. Langit melirik air muka Tala yang masih masam. Langit meringis. Tidak mempan, ya? "Ya enggak apa-apa. Aku cuma kecapekan. Kayaknya sejak SMANSABA Day beres, deh. Lebay banget, ya?"
"Tahu, enggak, Lang? Kamu tuh orang paling licik yang pernah aku tahu." Tala tak peduli dengan gestur tubuh Langit yang sudah tampak tak nyaman. Tidak mau ... Tala masih memiliki banyak hal yang belum disuarakan. "Kamu sukses mengubrak-abrik hidup aku, tapi aku enggak pernah diperbolehkan masuk kehidupan kamu, Lang, meski cuma menginjakkan kaki di perbatasan gerbangnya. Kamu bisa gentayangan di hidup aku seenaknya, sementara aku masih berdiri di sini, cuma bisa lihat punggung kamu."
Tidak ... tidak ada. Sedari awal, Tala sudah sukses menginvasi dunia Langit, kok. Sejak sebuah pertanyaan dilayangkan bibir tipis Tala di persimpangan itu ... kamu cuma enggak sadar, Tal. Dan aku emang enggak pernah berniat menunjukkannya. "Kenapa enggak? Aku ... enggak. Sejak kapan aku boleh masuk?"
"Kamu selalu berurusan dengan hidup aku, Lang." Tala tersenyum pahit. "Juara olimpiade, hidup di dekatku, ngambil alih mimpi aku, bahkan kamu berperan besar menangani masalah antara aku sama Nata. Kamu terlalu sering terlibat di setiap kehidupan aku, Lang. Tapi gimana hidupmu? Enggak pernah masuk jam olahraga, sering kelihatan pucat, tahu-tahu mimisan kayak tadi, gampang berubah, sulit ditebak ... dan apa yang aku tahu tentang Langit? Enggak ada. Bahkan soal kertas diari yang kamu buang itu ...."
Langit melebarkan mata. Ternyata benar, sobekan catatan harian yang malah dilemparkannya pada malam-malam yang lalu itu benar-benar dipungut Tala. Oh, astaga. Seolah baru menyadari bahwa dirinya sudah mengaku secara tidak langsung begitu membuat Tala sedikit gelagapan, lantas membuang pandangannya ke sembarang arah.
Semua itu tidaklah cukup untuk membungkam Tala, hanya saja nada bicaranya jadi jauh lebih melunak kali ini. Tala menghela napas panjang. "Katanya, setiap orang adalah tokoh utama di kisah hidupnya masing-masing. Tahu enggak, Lang? Kalau boleh aku ini berperan dalam kehidupanmu, aku merasa jadi tokoh sidekick paling enggak berguna yang pernah ada."
Lagi-lagi, Langit menampik kalimat Tala dalam hati. Sungguh. Semua itu tidaklah benar. Pada kenyataannya, Tala adalah tokoh terbaik yang pernah Langit temukan di hidupnya.
Tala menunduk dalam-dalam, baru dihantam kesadaran bahwa semua yang dikatakannya di sore hari ini terdengar sangat drama dan dilebih-lebihkan. Hiperbola sekali ... Tala Bodoh! Anak perempuan itu berbalik badan, memunggungi lawan bicaranya. Jangan lupakan kepala yang masih menunduk dan tangan yang memegangi tali ransel di pundaknya. Tala menggigit bibir. "Aku udah bawain tasnya. Di pojok ruang UKS tadi."
Sejenak, Langit mengerjap. Setelah sukses memvalidasi apa yang ada di pikirannya, Langit menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Makasih."
Baru teringat sesuatu, Tala pun kembali menghadap Langit. "Aku masih marah, lho, ya! Sebagai gantinya, sampai KSN nanti ... Langit harus jadi tutor belajarku!"
Ya. Tala selalu saja merasa bahwa dirinya tak lebih dari seorang pemeran amatiran di kehidupan Langit.
⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻
♬ How far have you drifted?
Guide to the sky ... ♬
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top