18. Dinding, Berpaling dan Asing

Lost in longing,
I’m standing still ... ♬

⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻

Detik detak kehidupan belum mencapai titik akhir penantian. Kisah kehidupan masih terus berputar pada porosnya. Jalinan waktu bertautan, saling bergenggaman untuk merekam dan menjejaki bait-bait kehidupan yang belum jua menuntaskan tugasnya. Mentari terus timbul-tenggelam di antara garis horizon bumi, tak kunjung bosan menyaksikan langkah-langkah anak manusia yang berharap menggapai perubahan.

Hari yang baru telah tiba. Tadi pagi, Tala dan Langit sudah berangkat sekolah bersama seperti biasa. Selalu saja begitu! Meski berjuta omelan dan kekesalan Tala masih berdesakan dalam setiap sudut jiwanya, anak perempuan itu tetap saja tidak melayangkan protes ketika berjalan di depan Langit tanpa bahasa. Langit yang mendatangi rumah Tala lebih dulu, kali ini. Pagi sekali.

Ibunya Tala pun mengiringi kepergian keduanya dari halaman rumah. Apa boleh buat, 'kan? Mana bisa Tala menolak Langit mentah-mentah dan malah memilih untuk berangkat sendiri. Ibu akan memarahinya habis-habisan! 'Dia temanmu! Tetanggamu! Langit sudah sengaja datang ke sini, hargai! Harus sopan jadi anak'. Kurang lebih begitulah kalimat yang akan Ibu keluarkan di bayangan Tala. Tak salah lagi.

Dengan dengkusan singkat dan masih mempertahankan gengsinya untuk tidak bicara sepatah kata pun pada Langit, akhirnya Tala mempercepat langkah menuju gapura di ujung gang, tempat mereka biasa menunggu angkot. Anak perempuan itu bersungguh-sungguh untuk tidak membiarkan Langit menyusul kecepatan langkahnya. Semua itu dilakukannya agar mereka tidak usah berjalan beriringan.

Tala masih kemusuhan! Kaki mungil itu sengaja sekali dientakkan lebih kuat pada setiap pijakan yang dilaluinya. Menyadari kenyataan tersebut, Langit, si pelaku utama, malah mendengkus geli. Kedua sudut bibirnya menyeringai, tak tahan untuk menjahili. Detik berikutnya, Langit mempercepat langkah, menyamai ritme Tala. Tak terima, Tala kembali menambah kecepatan. Langit juga.

Begitu saja seterusnya, hingga Tala tak sadar bahwa dirinya sudah rempong berlarian hanya untuk mempertahankan jarak yang terbentang antara dia dengan Langit. Sebelum semuanya benar-benar terlambat, lekas saja Langit menahan bahu Tala. Sepersekian detik kemudian, sebuah sepeda motor melaju kencang tepat di depan batang hidung Tala.

Oh, yang benar saja. Anak itu sampai tak ingat bahwa dirinya sudah sampai di gapura penghubung gang dengan jalan raya, dan nyaris tertabrak jika tak segera dihentikan Langit beberapa saat lalu. Totalitas sekali! Langit menarik pundak Tala untuk menepi ke trotoar selagi menunggu angkot. Langit tersenyum menang. "Gengsi, sih, boleh. Tapi jangan sampai nyari mati, dong. Nyusahin orang aja."

Dibilang begitu membuat buntalan tebal pipi Tala makin merah padam, menggembung marah. Apa pedulinya? Kenapa lelaki itu bertingkah seolah tidak memiliki kesalahan apa pun? Tala menolak untuk berkomunikasi dengan Langit. Meski mulutnya ingin memaki, Tala tetap berusaha menahannya. Ingat. Tala sudah berencana untuk menganggap eksistensi Langit sebagai tak lebih dari angin lewat.

Angkot berwarna biru tua muncul dari ujung jalan, lantas menepi. Tala dan Langit langsung menaikinya. Ya. Hanya mereka berdua. Langit tidak mengajak Mega berangkat bersama. Tala menyadari itu sejak awal, tetapi ia masih puasa berbicara dan hanya bisa memupuk rasa sebal dalam hati. Kenapa, sih? Padahal mereka adik-kakak, satu atap, satu sekolah ....

Hari Selasa yang cukup terik, dibuka dengan pelajaran bahasa Indonesia yang membuat kepala-kepala tertunduk mengantuk. Bahkan Tala yang pantang diganggu saat jam pelajaran pun sudah takluk dan menguap berkali-kali. Meski begitu, Tala terus memelototkan matanya ke arah papan tulis. Demi mengusir kantuk, Tala terus menjawab pertanyaan gurunya dengan suara bervolume tinggi, seolah sedang meneriaki orang tua yang pendengarannya sudah tak lagi berfungsi.

Jam pelajaran berganti, dan pita suara Tala rasanya nyaris putus. Jadwal olahraga. Tanpa menunggu aba-aba atau instruksi dari gurunya, Tala sudah langsung meraih seragam olahraga dari tas. Sebelum langkahnya benar-benar membawa Tala untuk mengganti seragam di toilet, seluruh atensi Tala teralihkan seketika oleh bisik-bisik yang mengudara di ruang kelasnya.

"Lihat, deh ... anak itu benaran hilang, ya? Sejak kapan, coba? Ada yang lihat?"

"Lho ... hei! Aku enggak sadar sama sekali. Padahal jelas dia duduknya di depan mejaku. Aku cuma balik badan buat masukkin alat tulis ke tas, dan ambil baju olahraga. Pas aku lihat ke depan lagi, udah enggak ada!" timpal suara yang lain.

Tala refleks membalikkan badan untuk mencari tahu dari mana perbincangan itu berasal. Tiga anak perempuan di sana balas menatap Tala, baru menyadari kehadiran Tala di sekitar mereka. Alesha, salah satu dari ketiganya yang belum angkat suara apa pun sejak tadi, kini melangkah menghampiri posisi Tala. "Tal, Langit emang enggak pernah masuk jadwal olahraga, ya?"

Tiba-tiba ditanyai begitu membuat Tala mengerjap kaget. "Kenapa tanya aku?"

"Ya ... di kelas ini, yang paling dekat sama Langit, kan, kamu, Tal," balas Alesha dengan tampang diplomatis.

"Enggak tahu, Les. Aku pernah tanya, tapi enggak dijawab betul-betul! Dia malah sombong, bilang kalau dia enggak butuh nilai olahraga, bla bla bla. Dia selalu aja gitu! Sombong, narsis, sok misterius ... dikira keren, apa?" Di luar kesadarannya, Tala justru malah mengomel dan meluapkan kekesalannya pada Alesha.

Lawan bicaranya itu hanya bisa meringis. Jawaban Tala tidak membantu sama sekali. Tak lama, terdengar suara dari siswa lain. "Kata temanku yang kelas sepuluhnya sekelas sama Langit, sih, dia emang enggak pernah masuk kelas PJOK, selain bagian teori."

Sejak kelas sepuluh ... berarti bisa dikatakan sepanjang sejarah kehidupannya sebagai seorang anak SMA. Oh, atau mungkin ... sejak tahun-tahun sebelumnya? Selama SMP? Ayolah. Langit keluar kelas saja tidak ada yang sadar. Sepertinya, lelaki itu memang memiliki hawa keberadaan yang tipis, persis seperti karakter di salah satu anime yang pernah ditonton Tala. Tahu-tahu saja Langit sudah lenyap dari bangkunya.

Tala menghela napas panjang. Pasti ada alasannya. Langit tidak akan mungkin membolos begitu saja. Guru-guru juga tidak menanyakan ketidakhadirannya. Ataukah mereka sudah membuat kesepakatan? Semacam ... 'Tidak apa, Nak Langit. Kalau tidak mau, tidak usah mengikuti jam pelajaran olahraga. Yang penting, teruslah sumbangkan medali emas untuk sekolah, ya?', mungkin?

Oh, yang benar saja! Itu, sih, diskriminasi. Tidak adil! Sebelum Pak Uzaz datang ke kelas dan memarahinya karena belum juga mengganti seragam, Tala pun hanya bisa bermonolog dalam hati seraya berjalan menuju toilet putri.

Hingga Tala kembali dan Pak Uzaz sudah berada di dalam kelas untuk memaparkan penjelasan dan instruksinya pada materi atletik kali ini, tampaknya rasa penasaran teman-teman Tala belum juga padam. Alesha mengacungkan tangan, lantas menanyakan pertanyaan yang sama, masih tentang Langit.

Meski begitu, jawaban Pak Uzaz malah membuat kening Tala tambah mengernyit. "Langit emang punya izin tertentu buat pelajaran olahraga, kok."

Izin tertentu? Rahasia macam apa lagi ini?


Bel berbunyi nyaring, memenuhi setiap penjuru SMANSABA. Pergantian jam mata pelajaran. Setelah mengganti lagi seragam dan menggenggam sebotol minuman dingin yang baru dibelinya, Tala mengempaskan badan di atas kursi. Panas sekali! Sekujur tubuhnya sudah lengket oleh hujan keringat. Tala menenggak minumannya hingga habis separuh, lantas mengibas-ngibaskan buku tulis di depan muka, mencari udara segar.

Di saat yang sama, sudut mata Tala akhirnya menangkap presensi lelaki yang duduk di kursi sebelah bangkunya. Langit! Anak itu sudah ada di kelas. Lagi-lagi, entah sejak kapan masuknya. Tala bangkit dan memutuskan untuk menghampiri lelaki itu. Mari kita lupakan sejenak soal gengsi dan aktingnya yang sedang bertingkah seolah tak lagi mengenal Langit.

Tala tak tahan lagi! Apa salahnya, sih, tinggal terus terang? Setidaknya, biar Tala tidak perlu berburuk sangka, berpikiran macam-macam, dan merasakan kecemburuan sosial begini. Tala menarik bahu Langit agar tak lagi menunduk dalam. "Lang! Kamu dari mana aja? Tadi, kan, pelajaran olahra ...."

Kalimat Tala tak mampu dituntaskan. Manik cokelat terang itu telanjur membulat ketika kepala Langit mendongak untuk menatapnya. Langit mengerjap, berusaha mengusir pening yang menjalari kepalanya. "Aku ...."

"Langit, hidung kamu mimisan!"

Seruan panik Tala membuat kepala Langit refleks kembali menunduk sedikit. Pergerakan kecil itu membuat cairan merah menetes dan jatuh tepat di punggung tangan Langit. Lekas saja, Langit buru-buru mengusapnya. Oh, tidak. Langit tidak mau begini terus ... tatapan panik orang-orang, seruan kalang kabut ... Langit tidak pernah mau.

Di saat kesadaran Langit tampak susah payah dipertahankan, akhirnya Pak Prana yang memang jadwalnya mengajar di kelas ini, membawa Langit keluar kelas dan menanganinya lebih lanjut.

Kepergian Langit diiringi perbincangan ramai teman sekelasnya. Akan tetapi, meski di sekitarnya bising sekali, dunia Tala terasa senyap. Manik cokelat terang itu menatap darah di lantai dekat kursi Langit lekat-lekat.

Sebenarnya ... apa lagi yang anak itu sembunyikan? Mau setinggi apa ia biarkan dinding kokoh itu bertumbuh liar?


Ya. Dinding itu membuat Langit berpaling, dan Tala baru menyadari bahwa mereka masihlah tak lebih dari kata asing.

⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻

Going back and forth,
Lingering on ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top