17. Pembual Andal Artifisial
♬ I saw just like you
I wandered just like you ♬
⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻
Jika ada plot twist terbesar pada hidup anak-anak SMANSABA di awal tahun ini, maka jawabannya adalah ulangan dadakan matematika peminatan yang diselenggarakan sehabis masa SMANSABA Day. Selama sudah melewati acara besar tahunan sekolah itu, jelas saja para murid jadi lengah, merasa kalau ulangan tengah semester sudah lewat, menganggap suatu mata pelajaran yang tidak mengadakan ulangan hanya akan melakukan penilaian melalui faktor lain.
Akan tetapi, kenyataan justru menghadirkan kejutan paling mantap. Setelah diumumkan mengenai pelaksanaan ulangan matematika peminatan pada Senin pagi ini oleh Pak Prana, kelas langsung dipenuhi seruan siswa yang mengeluh tak terima. Ini sudah lewat masa UTS, 'kan? Seharusnya Pak Prana mulai sibuk untuk mengisi rapor siswa! "Ah, enggak asyik banget."
Begitulah kalimat-kalimat protes keberatan yang mengudara. Meski begitu, semuanya berbanding terbalik dengan Tala. Anak perempuan itu sudah menduga dan menyiapkan kemungkinan terburuknya sejak awal. Ah. Sebenarnya, tanpa perlu memikirkan adanya probabilitas penyelanggaraan ulangan dadakan ini sekalipun, Tala memang tidak pernah berhenti belajar, kok. Karena itulah dirinya akan selalu siap jika dihadapkan situasi macam ini.
Di saat Pak Prana berusaha menjelaskan sembari memberi pengertian pada anak muridnya, manik cokelat terang Tala justru asyik menjelajah daun pintu setiap tiga detik sekali, seolah ada yang kurang, dan memang kenyataannya seperti itu. Tala menggigit bibir bawahnya, menahan gelisah.
Langit belum juga datang. Kertas ulangan sudah dibagikan Pak Prana. Sebelum membaca soal, Tala masih sempat saja memikirkan hal lain. Apa mungkin Langit pindah lagi ke Tasik, ya? Akan tetapi, buat apa? Dan ... tidak berpamitan sama sekali pada Tala, ataupun bundanya, sebagai tetangga yang baik?
Tidak sopan! Langit selalu saja begitu. Kalau memang sedang bepergian, setidaknya tolong beri kabar, dong! Tidak perlu memakan banyak waktu, kan, untuk sekadar mengetikkan chat atau menelepon sejenak? Setidaknya memberi Tala kejelasan ....
Aih, masa bodoh. Apa peduli Tala? Langit tidak masuk. Dengan begini, jelas saja Tala punya kesempatan lebih besar untuk dapat top score! Ayo, jangan hilang fokus!
Dua puluh menit berlalu dalam keheningan panjang. Yang terdengar hanyalah detik konsisten jarum jam, gesekan halus antara pensil dengan permukaan kertas, juga langkah kaki Pak Prana yang mengitari setiap penjuru kelas untuk memastikan tidak ada praktik kecurangan di kelasnya.
Begitu Tala menyelesaikan separuh jumlah soal dari keseluruhan, derit halus pintu yang terbuka berhasil merebut atensi semua penduduk kelas dari kertas ujian di meja. Termasuk Tala. Anak perempuan itu melayangkan tatapan nyalang ke arah Langit yang melangkah masuk dan mengangguk sopan pada Pak Prana.
Sadar dengan siapa yang datang, Prana langsung angkat suara. "Aaah, Langit sudah enggak apa-apa, Lang?" Prana mempersilakan Langit untuk duduk di bangkunya. Meski pertanyaannya terdengar cukup aneh, Tala justru lebih tertarik pada kalimat Prana yang selanjutnya. "Ah, ya. Langit memang sudah izin untuk datang terlambat pada Bapak, tadi pagi. Ini ulangannya sudah dimulai, Lang. Enggak apa, ya? Nanti kalau Langit belum selesai, Bapak minta dua puluh menit tambahan dari jam pelajaran selanjutnya."
Sudah izin? Pada Pak Prana? Aaah! Pantas saja wali kelas mereka itu tidak menanyakan alasan absensi Langit, sebelumnya. Tala mendengkus keras. Ulangan berlangsung dengan tenang. Hingga waktu habis dan setiap lembar jawaban dikumpulkan, nyatanya Langit tidak membutuhkan tambahan waktu sama sekali.
Meski masih sebal karena Langit mengingkari janjinya untuk berangkat bersama tadi pagi, rasa senang mulai merambati setiap sudut hati Tala. Bukan apa-apa. Hanya saja ... Langit tidak mengerjakan ujiannya dengan maksimal, 'kan? Langit datang terlambat, diburu waktu, dan tidak meminta tambahan durasi pengerjaan ujian. Seharusnya, anak itu tidak sempat mengeluarkan jurusnya yang selalu tepat sasaran ketika menghadapi soal begini.
Iya! Langit tidak akan sempat mengecek ulang dan memastikan bahwa jawabannya benar seperti biasa. Ini celah yang cukup besar! Kesempatan Tala untuk menyalip nilai Langit yang juara paralel pertama dari satu angkatan secara berturut-turut di setiap semesternya. Kehormatan besar! Senyuman di sudut bibir Tala sedikit mengembang. Kesempatan tidak selalu datang dua kali. Kali ini pasti bisa!
Akan tetapi, semua angan itu seketika sirna begitu tiba jam istirahat dan Ardi datang dari ruang guru untuk membagikan hasil ulangan siswa. Tala terpaku di posisinya, dengan tangan menggenggam erat kertas ulangan yang dibubuhkan tinta merah bertuliskan dua digit angka, 78.
Apa? Sungguhan?
Itu masih di atas nilai KKM, hanya saja ... matematika peminatan itu tidak sesulit biologi, lho. Tala saja mendaftarkan diri untuk olimpiade di bidang matematika, karena takluk atas betapa mengerikannya pelajaran satu itu. Akan tetapi, kenapa hasil pengerjaan ulangan biologi terakhirnya malah lebih bagus dari ini? Tala sukanya matematika ... biasanya juga biologi yang nilainya hancur ....
Di saat Tala masih tenggelam dalam lamunannya, Langit datang menghampiri bangku Tala dan menepuk pundak anak perempuan tersebut satu kali. "Hei, Tal! Maaf, ya, tadi enggak sempat ngabarin buat cancel janjinya. Uhm ... tumben enggak ke kantin? Udah jam istirahat, lho."
Seolah baru saja diingatkan kembali atas kesalahan yang sudah dilalui, Tala tersentak. Mari lupakan sejenak soal nilai ulangan matematika peminatan. Ada hal yang lebih menarik untuk Tala investigasi dan tindaklanjuti di sini. Kedua mata Tala memicing, menatap lawan bicaranya dengan tajam. "Dari mana? Apa susahnya, sih? Waktu kamu chat Pak Prana buat izin datang telat, apa susahnya teruskan ke aku? Seenggaknya biar aku enggak usah nunggu lama!"
"Iya, maaf. Enggak ingat." Langit menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Habislah. Ia pasti akan diceramahi tiga hari tiga malam. Perang dingin tidak bisa terhindarkan lagi.
Baru terpikirkan suatu hal lain, Tala melipat kedua tangan di depan dada. Garang sekali gayanya. "Oh, jangan-jangan ... kamu segitu enggak maunya, ya, Lang, berangkat sama Mega? Sampai bikin alasan totalitas begini. Sampai melarikan diri dari aku segininya?"
Oke. Cukup. Ini, sih, sudah kelewatan. Mana ada karangan yang begitu. Jelek sekali. Langit memutar kedua bola matanya, berusaha mencari kesabaran sekaligus jawaban tepat yang tidak akan memancing rentetan kesalahan lainnya. "Enggak gitu. Aku betulan ada keperluan. Lihat sendiri, kan, rumah aja kosong?"
"Emang!" Tala mendesis sebal, tak tahu lagi mau menyanggah apa karena memang begitulah kenyataannya. Iya juga. Rumah Langit, kan, jelas-jelas tidak ada orangnya ketika Tala datang untuk mengajak berangkat ke sekolah bersama, tadi pagi. Mama Tika dan Papa Aksa tidak akan mungkin sampai ikut-ikutan sekongkol untuk menciptakan skenario kejadian karangan yang murahan begini, 'kan? "Ke mana? Sejak kapan enggak di rumah?"
Menyadari suara Tala yang berusaha untuk terdengar galak begitu membuat Langit menahan tawanya dengan menipiskan bibir. Oke. Mari selesaikan semua ini. Menyaksikan Tala yang sok marah memang selalu menjadi hiburan tersendiri bagi Langit. "Sejak tengah malam. Dadakan. Belajar buat ulangan tadi aja enggak sempat."
"Berapa nilai?" sambar Tala dengan cepat, cukup semangat begitu teringat ulangan yang baru diselesaikannya. Rekor baru, rekor baru ... ayolah. Sekali saja. Kemungkinan Tala untuk mengungguli hasil ulangan Langit ....
"Sembilan puluh lima." Terlanjur menangkap ekspresi puas dan merasa menang di air muka Tala, Langit jadi mengira kalau anak perempuan itu dapat nilai sempurna. Tak sempat mengamati mendung yang menjalari Tala saat ini, Langit malah sudah kembali menambahkan, "Di bagian esai, aku ada pengoperasian yang kurang tepat, jadinya cuma benar setengah di nomor empat."
Eh? Muka suram itu ... Langit sepertinya salah bicara. Ya, kesalahan besar.
Terlambat. Di saat mulut Langit terbuka untuk menelan semua kalimatnya kembali, Tala sudah angkat suara lebih dulu. "Dan itu yang kamu bilang enggak sempat belajar, sebelumnya. Padahal aku yang usaha lebih keras, tapi kenapa kamu lagi yang ada di atas sana sendirian?"
"Tal ...."
"Aku mau ke toilet. Enggak usah ikut." Setelah sedikit mengentakkan mejanya, Tala bergegas keluar kelas. Tangan itu mengepal erat.
Lagi-lagi begitu. Semesta selalu saja berlaku tidak adil dan seenaknya.
Tiba-tiba, Tala menabrak seseorang ketika hendak keluar dari kerumunan siswa di koridor. Bersamaan dengan itu, segumpal remasan kertas terjatuh tepat mengenai ujung sepatu Tala. Apa, sih? Padahal Tala sedang tidak berada dalam suasana hati yang baik. Kenapa selalu saja ada yang tambah memperburuk harinya?
Refleks, Tala memungut kertas itu dari atas permukaan tanah. "Jangan buang sampah sem ...."
Belum habis gerutuannya, Tala sudah lebih dulu teringat sesuatu. Situasi ini terasa cukup familiar. Remasan kertas ... kertas misterius seperti pada SMANSABA Day kemarin?
Secepat yang ia bisa, Tala berbalik badan dan melongokkan kepala ke sana kemari. Kalau benar kertas ini sama seperti sebelumnya, pastilah pelaku itu belum jauh dari sini. Hanya saja, tidak ada yang mencurigakan di antara kerumunan siswa. Apalagi langkah Tala memang melawan arus massa karena tujuannya berlawanan arah dengan kantin yang ramai dikunjungi di jam istirahat begini.
Aih! Sedikit menepi ke dekat mading, Tala membuka gumpalan kertas di tangannya.
Arakan awanku tak lagi mampu menahan segalanya untuk tetap baik-baik saja ....
Bantu aku menjaga langit kita.
Perang dingin sungguhan meletus di antara Tala dan Langit. Benar saja. Tala tidak akan semudah itu untuk bersikap sebagaimana biasanya. Hingga jam pulang pun, anak perempuan itu hanya melengos pergi dan duduk di halte seorang diri, tak lagi mengajak Langit.
Oh, cukup. Tak mau semua ini berlangsung lebih lama lagi, Langit menggenggam bahu Tala erat-erat, meminta anak itu untuk lebih memperhatikannya. "Dengar aku, Tala."
Masih menolak untuk bersuara, Tala terpaksa memandangi Langit dalam diam.
"Semua hal yang kamu rasakan memang harus divalidasi. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Sedih, kesal, sebal, kecewa ... enggak apa. Manusiawi." Langit menatap manik cokelat terang Tala lamat-lamat. Tatapan sayu yang menyorotkan kelembutan dan berjuta misteri di balik hitam legamnya. Langit mengerjap. "Tapi jangan sampai semua itu malah menyakiti diri kamu sendiri."
Tidak ada kalimat lain yang menanggapinya. Perlahan, keduanya ditelan suara derum kendaraan yang memadati jalanan.
Di hari-hari nanti, barulah Tala yang menyadari, bahwa Langit adalah pembohong paling ahli dan mumpuni.
Ya. Langit memanglah seorang pembual andal. Sayangnya, batang hidung itu tak pernah memanjang untuk memberi tahu Tala lebih awal.
⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻
♬ Why?
Does my heart fall apart? ♬
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top