08. Suara Aksara Bait-bait Lara
♬ Unfurling Singing star ...
Will it reach you? ♬
⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻
"Tala, Langit?"
Panggilan lembut dari Tika sukses menarik atensi kedua manusia yang sedang asyik dengan dunianya sendiri di kamar itu. Setelah terdengar ketukan dua kali, muncullah Tika yang menyembulkan kepala dari bingkai pintu. Langit yang duduk di kursi belajar pun langsung menghadapkan badannya ke arah pintu. Sementara itu, masih dalam posisi rebahan, Tala hanya mendongakkan kepala dengan kedua alis yang terangkat, bertanya-tanya.
Demi mendapati kedua anak itu sedang belajar dengan cara masing-masing—Langit duduk tegak, sedangkan Tala guling-guling di kasur untuk menghafalkan materi—Tika pun mengulas senyuman manis. Terkadang, Tika takut Tala dan Langit akan muntah rumus karena terlalu sering dijejalkan materi. Tika duduk di pinggiran kasur, lalu menepuk pundak Tala. "Ke bawah, yuk? Kita makan. Ada puding mangga juga, lho! Tala mau?"
"Mau, mau!" Sontak saja Tala mengangguk-angguk sampai kepalanya seolah nyaris lepas dari pangkal leher. Merasa tak perlu lagi untuk berbasa-basi menolak, Tala langsung bangkit dari rebahan dan membiarkan buku paket biologi milik Langit masih terbuka di atas kasur.
Di saat Tala dan Tika sudah semangat sekali melangkah keluar dari bingkai pintu kamar, barulah Langit angkat suara. "Cuma Tala? Langit enggak diajakin, Ma?"
"Enggak usah! Sana belajar aja, biar ranking-nya enggak kekejar Tala." Alih-alih Tika, pertanyaan penuh kode dari Langit malah ditimpali oleh Tala. Anak perempuan yang tidak tahu diri itu menjulurkan lidah dengan tampang mencemooh, merasa menang. "Semangat! Tepuk semangat! Se! Ma! Ngat! Seeemangat! Dadah, Langit!"
Langit mengerutkan kening dalam-dalam, berusaha menahan terkembangnya senyuman di sudut bibir begitu melihat kehebohan Tala yang totalitas menghayati aksinya menampilkan tepuk semangat ala anak SD. Kedua mata besar Langit kini memicing hingga menyisakan garis lurus. Langit mengomel-ngomel, "Yang sebenarnya anak Mama, tuh, siapa, sih?"
Meski bersungut-sungut begitu, pada akhirnya, Langit juga ikut keluar kamar dan menuruni anak tangga di belakang punggung Tala. Sesampainya di dapur, tampaklah dua anggota keluarga lainnya yang sudah duduk mengelilingi meja makan. Tala langsung menduduki kursi yang tepat di samping papanya Langit. "Hai, Om! Mega juga!"
"Hai, Tala," sahut Aksa dengan raut muka ramahnya. Pria tersebut tampak begitu senang dengan kehadiran Tala. "Sini, ikut makan. Apa mau puding aja?"
Di saat yang sama, perempuan yang selisih dua tahun dari Tala dan berstatus sebagai adik Langit itu hanya menganggukkan kepalanya sekali untuk membalas sapaan Tala. Biasalah. Anak itu memang sangat tertutup. Tala malah lebih dekat dengan Langit dibandingkan Mega yang sama-sama perempuan. Entahlah. Mungkin cukup dipengaruhi oleh faktor usia dan adanya fakta bahwa Mega masih SMP.
"Whoa, ada ayam krispi!" pekik Tala tanpa sadar. Detik berikutnya, barulah Tala teringat bahwa tawaran Aksa belum sempat dijawabnya. "Eh, kalau boleh, sih, mau ikut makan juga, Om. Hehe. Tadi makan nasi goreng buatan Ibu, sih. Tapi ... enggak apa, deh, makan sekali lagi. Enggak enak kalau udah ditawari."
Mendengar nada sok lembut dari mulut Tala yang sudah sigap meraih salah satu piring di meja makan membuat Langit berdecak malas. Kebiasaan. "Bilang aja kalau emang perut gentong." Baru teringat sesuatu, Langit berdiri saja di anak tangga terakhir. "Eh ... kursiku dijajah? Lagi?"
Benar. Seperti biasa, Tala hanya nyengir lebar, lantas bernafsu mengambil nasi untuk diletakkan di piringnya. Kursi di meja makan hanya ada empat, sesuai jumlah anggota keluarga Langit. Mereka tidak punya alasan untuk menyediakan kursi kelima, 'kan? Toh, sebenarnya, tidak ada yang pernah mengira bahwa meja makan mereka akan kedatangan satu tamu tak diundang begini.
Tak mau memperkusut masalah, Langit pun mendengkus singkat, lantas terpaksa menyeret kursi lain yang sering digunakan Tika ketika menyetrika pakaian.
Makan malam berlangsung dengan khidmat. Yang terdengar hanyalah suara dentingan alat makan. Di meja makan, keluarga Langit memang jarang melakukan interaksi berarti. Hanya Tala yang suka berisik di sini. Akan tetapi, makanan enak di hadapannya jauh lebih menarik dan cukup untuk membungkam mulut itu meski sejenak.
Mendapati cara makan Tala yang sudah seperti tidak menemukan nasi selama tiga hari tiga malam begitu, Aksa terkekeh kecil. Lihatlah! Mereka mulai makan bersama-sama, tetapi piring Tala tampak mau tandas lebih dulu. Aksa menyodorkan piring yang di atasnya ada ayam krispi buatan Tika. "Mau tambah lagi? Tuh, ayamnya masih ada."
"Aaah." Tala ikut terkekeh, mengikuti Aksa. "Cukup, deh, Om. Kalau kebanyakan, nanti diledek Langit."
"Eh, enggak apa. Gampang soal itu, mah. Bilang aja ke Om, kalau Langit nakal." Aksa melirik Langit di samping Mega dengan jenaka. Lantas, sebelah tangan Aksa yang bebas pun refleks menepuk-nepuk puncak kepala Tala. "Ayo. Makan yang banyak, biar cepat besar."
Hangat. Tala menipiskan bibirnya, berusaha menahan buncahan sensasi yang menggetarkan bulu kuduknya. Pundak itu bergetar. Tahu-tahu, cairan bening yang ditahannya malah lolos begitu saja, menciptakan jejak di kedua buntalan pipi Tala.
Lho? Begitu melihat Tala yang malah menangis sesenggukan di depan piringnya yang sisa satu suap nasi lagi, Aksa mengernyit bingung. "Eh, kenapa? Kenapa, Tala? Kalau kekenyangan mah enggak apa, atuh. Enggak usah dipaksa. Om bercanda aja."
Tala menggeleng-geleng. Bukan itu maksudnya. Tangan Tala terangkat, menutupi mulutnya sendiri. "Tala masih mau makan, kok, Om. Tapi Tala keingat Ayah."
Sesaat, setiap penjuru dapur tersebut dipenuhi keheningan. Merasa tidak enak, Aksa pun menepuk pundak Tala dan mengusapnya lembut. "Enggak apa. Kan, ada Papa di sini. Papanya Langit, sih. Tapi kalau Tala mau, panggil Papa juga enggak apa."
Demi mendengar usaha Aksa dan Tika untuk menghibur Tala habis-habisan, anak perempuan itu pun mengusap ujung matanya, menghentikan tangis. Tala menarik ingus kuat-kuat. "Makasih, Ma, Pa. Aku senang bisa punya ortu double. Jadi keingat Ibu, pasti lagi sendiri di rumah. Tala mau pulang aja." Dengan kedua sudut bibir yang masih tertekuk ke bawah, Tala menandaskan nasi di piringnya dan meraih puding di piring yang lain. "Tapi habisin dulu ini, ya. Sayang kalau enggak dimakan."
Di salah satu sudut meja makan, Langit memutar bola matanya malas. Basa-basi. Padahal kalau tidak dimakan Tala sekalipun, Langit mau, kok, habiskan pudingnya.
Tandas. Baiklah. Misi Tala sudah selesai di dapur Langit. Dengan tampang yang penuh rasa berterima kasih itu, Tala pun berpamitan undur diri dan bangkit dari duduknya. Akan tetapi, atensi gadis itu teralihkan ketika melewati tempat duduk Langit.
"Eh, kenapa Langit keringatan banget? Perasaan dari tadi cuma duduk santai, kok." Penasaran sekali anak ini. Tala sampai bungkuk-bungkuk di dekat meja makan hanya untuk mengamati kaus abu muda di bagian punggung Langit yang basah kuyup. "Cuaca juga normal, deh. Udah malam juga ini. Enggak panas."
Keheranan Tala malah membuat sekitarnya tambah senyap. Eh, tidak. Atmosfernya jadi jauh berbeda. Drastis. Seolah ada yang baru mengganti genre kehidupan seenaknya. Menyadari bahwa tidak akan ada yang menanggapinya, Tala pun mengangkat bahu lalu kembali berdiri. Ya sudahlah. "Mungkin belajar tadi memang butuh banyak tenaga, ya. Oke, Tala pamit dulu. Makasih, Ma, Pa. Dah!"
Detik berikutnya, anak itu sudah keluar rumah dan menutup pintu depan. Akan tetapi, lagi-lagi sudut matanya malah menangkap sesuatu yang menarik di dekat pohon mangga. Lebih tepatnya di antara semak-semak ... ah, masih ada kertas yang digunakan Langit untuk menimpuknya tadi!
Karena kurang kerjaan maksimal, Tala pun menghampiri semak itu dan meraih kertas tadi. Lucu, deh. Ini di kertasnya bertema London. Kenapa Langit tega sekali menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang Tala dan dibuang begitu saja?
Sembari melangkah perlahan untuk menyeberangi jalanan menuju rumahnya, manik cokelat terang Tala berkilat antusias. Ia baru tahu kalau Langit suka menulis diari begini. Jarang sekali bagi seorang lelaki, 'kan? Tala saja tidak tertarik melakukannya. Buang-buang waktu saja. Mending latihan basket atau kerjakan soal untuk persiapan olimpiade.
Begitu Tala membaca kalimat pertama sampai terakhir di lembaran tersebut, rasa penasaran tadi berubah menjadi kekosongan. Sebelah tangan Tala masih bergeming di kenop pintu depan rumahnya. Seluruh pergerakan Tala terjeda. Sebelum benar-benar masuk rumah, Tala mengarahkan matanya untuk kembali menyisir setiap senti kertas di tangannya dari atas hingga bawah, terus berulang, seolah tengah memastikan sesuatu.
Semesta jahat. Selalu saja jahat. Merenggut segalanya tanpa perasaan.
Kehidupan ini memuakkan. Kenapa detak ini terus menemani, jika pada akhirnya tetap dihadapkan kenyataan yang tidak menyediakan pilihan untuk lari?
Lari ... aku ingin melarikan diri.
Ke mana? Tidak ada rumah untukmu pulang ....
Semesta selalu punya cara terbaiknya sendiri untuk mengusaikan suatu kisah kehidupan.
Benarkah? Bukan sekadar mengendalikan lalu lepas tangan di tengah ketiadaan?
Bising. Kebisuan ini terlalu bising.
Entah bagaimana menjelaskannya, tetapi ada gelenyar tak terdefinisi yang menjalar di seisi tubuh Tala. Tangan dan kakinya seketika tremor tanpa alasan. Tunggu ... hei, kenapa ini? Bukankah ini hanya tulisan biasa? Bisa saja Langit malah iseng-iseng ketika menuliskannya, 'kan? Namun, kenapa semua ini terasa sampai pada Tala?
Ada yang ingin Langit suarakan di sini ....
Ya. Tala mendengarnya. Suara aksara dari lara-lara yang menggelora di antara belantara akara.
⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻
♬ I will find you
Then I’ll reach out again to you ♬
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top