06. Berjuta Tanya dalam Senyap
♬ Lost in longing
I’m standing still ... ♬
⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻
Jam pulang adalah suatu momen yang paling dinanti-nanti oleh setiap manusia berlabel siswa di muka bumi. Setidaknya, begitulah yang biasa kita jumpai.
Akan tetapi, ketetapan mutlak tersebut tidak begitu berarti bagi Tala dan Langit. Sama saja. Karena di saat jam pembelajaran sudah berakhir sekalipun, mereka belum boleh pulang hari ini. Ada bimbingan bagi para siswa yang mengajukan diri untuk berpartisipasi dalam Kompetisi Sains Nasional.
Mengenai perekrutan delegasi SMANSABA dalam olimpiade bergengsi tersebut memang sudah diumumkan sejak jauh-jauh hari. Satu tim mata bidang tertentu hanya terdiri atas tiga siswa dari kelas sepuluh maupun kelas sebelas. Tiga kursi itulah yang Tala dan Langit incar sejak awal. Katanya, minggu depan akan diadakan tes untuk menentukan delegasi yang terpilih.
Cahaya jingga mentari menerobos lewat celah rimbun dedaunan pohon cemara yang berbaris rapi di pinggiran alun-alun kota. Tala dan Langit berjalan beriringan menuju halte di dekat persimpangan sana. Setiap langkah mereka hanya diisi senyap. Hanya terdengar derum kendaraan yang memadati jalanan. Tala terus mengembangkan senyuman, sembari tak henti memandangi bayangan keduanya yang memanjang di pijakan.
Keadaan halte tidak seramai waktu jam pulang tadi. Kini, hanya ada segerombol manusia yang tengah bercengkerama dengan seplastik minuman dingin di tangan. Meski begitu, sebagian besar dari mereka memilih berdiri di pinggiran trotoar, sehingga Tala dan Langit masih punya spasi untuk duduk di bangku halte.
Baru saja beberapa detik berdiam diri untuk menunggu datangnya angkot, Tala sudah bosan dan langsung melirik Langit di sebelahnya. Tampaklah Langit yang sedang sibuk memasang earphone di telinganya. Tala mendengkus. Tidak sopan!
Secara tidak langsung, Langit seolah sedang membangun sekat pembatas untuk dunianya sendiri. Tala tidak diizinkan masuk! Dengan kedua sudut bibir tertekuk ke bawah, Tala menepuk paha Langit cukup kencang. "Mau ngapain? Ikut!"
"Lho? Dengar musik, kok." Dahi Langit mengernyit kebingungan. Kenapa bahasanya 'ikut'? Memangnya, Langit mau ke mana? Meski begitu, Langit langsung peka dan menyodorkan sebelah earphone di telinganya. "Ya udah, nih. Mau ikut dengar? Ini lagu favoritku."
Tak salah lagi, seringaian sebal milik Tala kini berubah jadi mesem-mesem kelewat senang. Biasalah. Tanpa ragu, Tala menerima earphone dari Langit dan memasangkannya pada telinga kiri. Tala memejamkan mata. Dalam hati, anak itu menahan antusiasme yang meledak. Lagu favorit Langit macam apa, ya? Tala asyik menebak-nebak dalam benak.
Setelah Langit menyalakan pemutar musik di ponselnya, Tala mendengarkan denting nada ballad itu lamat-lamat. Hingga suara penyanyi sampai ke telinganya, Tala langsung melotot. Kaget dengan dua hal: beat-nya yang mendadak naik, juga suara penyanyi yang ternyata wanita dan berbahasa Korea.
Tala mengerjap. Tebakannya jauh melenceng. Walau begitu, Tala hanya membisu, terus menikmati lagu yang menawarkan berjuta emosi tersebut. Entahlah. Tala tidak pernah tertarik untuk menyelami dunia K-pop begini, sebelumnya. Ia tidak memiliki ide sama sekali mengenai makna lagu yang didengarnya, tetapi rasa itu tersampaikan. Entah bagaimana menjelaskannya.
Diam-diam, diliriknya Langit yang sedang memejam di sebelah Tala. Lelaki itu tampak begitu tenggelam dalam nada-nada yang mengisi indra pendengaran. Satu lagi yang dapat Tala simpulkan tanpa alasan jelas: lagu ini terasa berbicara tentang Langit.
Selesai. Musik itu berakhir di sana. Tala menyerahkan kembali earphone tersebut pada pemilik aslinya. "Kamu suka girl group Korea, Lang? Aku baru tahu."
"Enggak juga, sih." Langit terkekeh kecil. Kedua netra hitam legam itu jadi tampak segaris, menciptakan lesung manis di kedua buntalan pipinya. "Terlepas dari stigma masyarakat kita yang menganggap fan korea sebagai tanda kurangnya jiwa nasionalis seseorang, musikalitas mereka emang bagus, kok. Apalagi lagu yang kita dengar, barusan. Judulnya Crossroads, dari girl group yang namanya GFriend."
Anak perempuan itu tercengang, membuka mulutnya lebar-lebar. "Crossroads? Persimpangan?"
"Ya. Persimpangan. Suatu titik temu untuk melangkah seiringan ...."
Tala kehabisan kata. Dirinya hanya bisa mematung seraya memandangi senyuman Langit yang merekahkan misteri. Benar. Semua tentang laki-laki itu selalu kelabu. Belum pernah mampu Tala deteksi sebagai putih atau hitam.
Sebelum tatapan Tala sempat menguasai dirinya, Langit langsung angkat suara untuk mengalihkan topik pembicaraan. "Tal, kamu pulang naik apa? Dijemput?"
"Oh, enggak. Naik angkot," timpal Tala, masih dengan raut muka yang tampak terus tenggelam dalam pikiran.
Berikutnya, tidak ada lagi bait-bait percakapan yang melangit di antara mereka. Gerombolan manusia di sebelah mereka perlahan menghilang, sebagian sudah dijemput, didatangi ojek online, atau jurusan angkotnya yang tiba. Di saat itulah, angkot biru tua yang ditunggu-tunggu pun akhirnya muncul dari ujung jalanan dalam jarak pandang Tala.
Tala langsung menaiki angkot dengan cepat semenjak mobil angkutan tersebut menepi. Sementara itu, Langit malah sibuk dengan panggilan masuk di ponselnya. Langit mendekatkan telepon genggam hitamnya ke telinga sambil menyingkir dari hadapan angkot. "Iya, Mang. Aku mohon. Enggak usah, ya ... oke? Enggak usah bilang Papa. Batal aja ... makasih, Mang! Dadah!"
"Eh, Lang! Mau bareng, enggak?" teriak Tala tanpa merasa malu dengan penumpang lain. Anak itu menyembulkan kepala dari balik jendela angkot yang dibuka lebar-lebar.
Langit sedikit tersentak, lantas menganggukkan kepala. Sebelum angkot benar-benar meninggalkannya, Langit pun masuk dan duduk di jok yang berseberangan dengan posisi Tala.
"Langit suka naik angkot juga, ya," gumam Tala.
Langit mengangkat alis. "Tala juga."
"Ey!" Anak itu langsung menepuk pahanya sendiri dengan kencang, lantas tergelak puas. "Kehidupan aku, sih, emang selalu terhubung dengan angkot. Dari kelas tujuh juga langganan. Iya, enggak, Mang?"
Dengan sok akrabnya, kini Tala ganti menepuk pundak sopir angkot dengan kencang. Kasihan. Mang itu tampaknya kena mental, kaget luar biasa. Setir yang digenggamnya sampai sedikit oleng. Bukan apa-apa. Akan tetapi, Tala niat sekali berdiri dan menghambur ke jok seberang di tengah angkot yang sedang melaju, hanya untuk menepuk pundak Mang tersebut.
Meski sudah dilirik penumpang lain dengan tatapan aneh, Tala tak menyadarinya sama sekali dan malah nyengir lebar. Gelak kencangnya memenuhi seisi angkot yang sunyi. "Eh, tapi serius. Setahu aku, Langit punya sopir pribadi, 'kan? Waktu kelas tujuh, pertama ketemu aku di persimpangan juga Langit dijemput mobil, 'kan?"
Langit memamerkan senyuman pasrah. Anak di hadapannya ini tidak bisa mengerem mulut sama sekali, ya? Kencang sekali ... didengar orang-orang, lho! Biar apa? Langit jadi malu! "Itu dulu aja. Lagi ada keperluan. Ke sininya enggak."
Setelah membulatkan bibir sambil mengangguk-angguk paham, Tala akhirnya mau diam. Kini, anak itu sudah fokus kembali dengan ritual rutinnya.
Tala asyik menyegarkan badan dengan menghadap jendela yang mengantarkan udara sore. Tak peduli dengan rambut lepek nan bermandi keringatnya yang berkibar dan menampar-nampar penumpang lain di sebelahnya. Di saat Tala akhirnya menoleh pada Kedai DoDi di seberang jalan yang baru saja dilalui, sudut mata Tala malah telanjur salah fokus menatap Langit.
Bukan. Bukan karena mukanya yang tambah keren dengan bingkai rambut halus yang dibelai pelan angin sore. Melainkan karena bibir Langit yang tampak begitu pucat. Napasnya pun tak begitu beraturan. Langit kelelahan? Tanpa alasan? Mereka, kan, cuma duduk santai di angkot. Bukan berjalan kaki sampai ke rumah ....
"Lang, kamu enggak apa?"
Langit balas menatap Tala. Seolah paham arah manik cokelat terang itu ke mana, Langit langsung menjilati bibirnya yang tahu-tahu terasa kering sekali. "Enggak, kok."
Mobil angkutan kota berwarna biru tua itu terus melaju membelah jalanan sore yang tak begitu padat. Lagi dan lagi, entah untuk keberapa kalinya, yang ada hanyalah tanda tanya berbahasa senyap.
Malam beranjak matang. Rembulan dengan purnamanya sudah bertengger cantik di antara angkasa kelam. Akan tetapi, ketenangan belum juga mampir ke dalam rumah tempat berpulang itu.
"Pa, mau sampai kapan?"
Satu-satunya pria berusia menjelang kepala empat di rumah itu memandangi putranya dengan mata berkaca-kaca. "Ini semua demi kamu, Langit. Kamu. Semua tentang kamu."
"Tapi Langit udah capek, Pa." Laki-laki itu tampak tak mampu lagi menahan sesuatu yang meledak di dalam sana. Kedua telapak tangannya terkepal erat. Kini, muka pucat Langit malah menyalakan kemarahan yang membuat rahangnya tampak mengeras. "Langit tahu Papa ngelakuin segalanya cuma buat Langit. Langit tahu. Langit juga sayang sama Papa. Tapi sekali lagi ... boleh kasih Langit spasi? Dikit aja."
Di menit berikutnya, Langit memutuskan untuk langsung lari menaiki anak tangga menuju kamarnya. Dengan tergesa, ia duduk di kursi belajar dengan tumpukan buku yang bergeletakan, lantas membuka jendela di hadapannya.
Netra hitam legam itu terus menyusuri kelam angkasa dalam diam. Apa yang akan dihadirkan semesta di ujung jalan sana?
Ya. Pada akhirnya, semesta hanya menyimpan berjuta tanya-tanya itu dalam senyap.
⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻
♬ Going back and forth
Lingering on ... ♬
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top