04. Persimpangan Pertemukan Angan
♬ No, everything is still filled with you
I still can’t go anywhere ♬
⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻
Sebagian besar area angkasa sudah dirajai kegelapan pekat. Di ufuk barat, yang tersisa hanyalah semburat tipis cahaya kemerahan yang bersiap mengantar kepergian bola gas raksasa matahari. Suara kepakan sayap burung yang terbang menuju rumah tempat pulang, juga gemeresik rimbun dedaunan dari pohon yang tak jauh dari halte itu malah menjadi partitur musik misterius. Melodi sepi ... menyuarakan hari-hari yang telah lama usai itu untuk kembali menyeruak, muncul ke permukaan.
Persis lima tahun lalu, beribu satuan hari yang telah lampau. Di sini, masih di persimpangan yang tak pernah temukan kesudahan.
Kala itu, horizon di atas sana juga tak kalah jingganya. Setiap sudut langit tampak matang. Tala berlarian dari arah sekolahnya menuju halte di dekat persimpangan.
Persimpangan itu memang berupa jalan utama yang menghubungkan bagian-bagian penting kota. Ada alun-alun kota, rumah sakit terbesar di Bandung, juga dikelilingi banyak instansi sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang cukup ternama. Tak heran, setiap kali jam pulang sekolah, persimpangan ini akan disesaki anak-anak berseragam putih-biru maupun putih-abu.
Akan tetapi, kerumunan itu perlahan akan menyisakan kekosongan di saat sudah sesore ini. Tala menghela napas panjang. Bahunya naik-turun tak beraturan. Penat sekali! Ini baru pertemuan pertama klub basket SMPN Persada Satu Bandung, dengan Tala sebagai seorang anak kelas tujuh yang baru masuk. Akan tetapi, porsi latihannya cukup gila juga! Latih tanding dengan kakak kelas yang jelas sudah senior dan punya ritme permainan ... Tala benar-benar kewalahan.
Sesampainya di halte, Tala langsung mengempaskan badan ke tempat duduk. Kakinya diluruskan, menjangkau tepian trotoar. Jangan lupakan kedua tangan Tala yang sudah menggelepar mengenaskan di atas bangku halte sebelah tubuhnya. Perlahan, anak itu mencoba menata tempo sirkulasi pernapasannya. Tala menyingkap poni yang menutupi sebagian besar dahi. Tampaklah cucuran keringat yang meluncur deras di sekujur tubuhnya.
Di saat yang sama, sudut mata Tala menangkap eksistensi sosok lain yang tengah duduk di pinggiran bangku halte. Tala mengerjap ketika keduanya saling tatap. Itu anak laki-laki yang kelihatannya seumuran dengan Tala. Masih pakai seragam SMP. Bibir anak itu tampak pucat pasi, seolah sudah tak memiliki energi untuk terus menjalani hari.
Anak laki-laki itu gelisah, terus mengetuk-ngetukkan ujung sepatu pada permukaan trotoar. Tala yang sedang menunggu angkot pun berkali-kali mengalihkan perhatian pada anak di sebelahnya. Tala menggigit bibir, sedikit cemas tanpa alasan. Apa anak laki-laki itu membutuhkan bantuan?
Akan tetapi, sebelum Tala sempat angkat suara untuk memastikan semuanya baik-baik saja, mendadak anak tadi bangkit, lalu menghampiri sebuah mobil hitam yang menepi. Tala hanya bisa membeku dengan keadaan mulutnya terbuka lebar, efek dari kalimat yang tidak tersampaikan dengan tuntas.
Ya sudahlah. Hari itu, Tala memilih untuk melupakannya begitu angkot berwarna biru tua sudah tiba. Di sepanjang perjalanan, yang terus Tala pikirkan hanyalah segarnya air dingin untuk menghilangkan dahaga dan keringat yang menempel di badan, nyamannya kasur dan dekap selimut untuk menuntaskan penat, dan lezatnya masakan Ibu untuk mengisi ulang energi. Menyenangkan sekali!
Tala membuka jendela angkot lebar-lebar, membiarkan sapuan kencang dari angin malam yang menerbangkan rambut dan sedikit peluhnya. Jadi pengin ke alam mimpi! Tala menunduk terkantuk-kantuk. Nasib baik, ia sudah mengatakan titik pemberhentian tujuannya pada Mang Angkot, sehingga Tala tersentak sadar ketika angkot mengerem tajam.
Akan tetapi, hal yang paling tidak Tala duga sebelumnya adalah kenyataan bahwa manik cokelat terangnya melihat mobil hitam yang sama di seberang rumah. Mobil hitam yang menepi di persimpangan tadi!
Bagai sengaja diguratkan semesta, keduanya bersinggungan lagi di titik temu yang berbeda. Lelaki misterius itu sudah berganti pakaian dengan baju tidur berwarna cokelat, hampir menyatu dengan keadaan sekitar yang gelap. Ia duduk sendirian di dinding pendek yang menjadi pembatas antara rumah dengan halaman depan, persis di dekat pohon mangga yang menjulang tinggi. Raut mukanya tampak marah. Kedua alis tebal yang mengerut, rahang mengeras, juga netra hitam legam yang menatap kakinya sendiri dengan nyalang.
Sadar sedang diperhatikan seseorang, akhirnya anak itu mengangkat kepala dan tatapannya kembai bertabrakan dengan manik Tala. Oh, tidak. Tala langsung berlari memasuki rumahnya yang persis berada di seberang tempat anak laki-laki itu. Memalukan! Bagaimana kalau Tala dikira penguntit, atau parahnya dianggap kriminal yang berniat menculik anak tadi? Meski begitu, ini, kan, memang rumah Tala. Kebetulan saja, 'kan? Mana Tala tahu kalau anak yang ia temui di persimpangan tadi adalah tetangga barunya.
Hari-hari berikutnya berlalu seperti biasa. Rutinitas terus berulang tanpa ada sesuatu yang berarti. Tala tak lagi memikirkan soal tetangga baru itu. Akan tetapi, Tala suka menanyai Ibu, diam-diam menginvestigasi segala sesuatu tentang anak lelaki itu dari ibunya. Dari sanalah Tala mengetahui bahwa anak baru itu bernama Langit.
Langit ... sangat kontradiksi dengan namanya, Bentala.
Waktu berlalu tanpa merasa perlu menunggu umat manusia yang termangu. Satuan hari mengejar purnama, lantas purnama memburu rangkaian tahun. Tala tak peduli pada Langit. Meski bertetangga, mereka tak pernah berinteraksi apa pun. Langit jarang keluar. Lelaki itu hanya terlihat ketika termenung sendiri di halaman depan rumahnya, atau bepergian naik mobil bersama keluarganya, entah ke mana. Tala pun lebih memilih untuk bermain dengan tetangganya yang lain.
Selama ini, Tala dan Langit hanya saling tatap dalam diam ketika tak sengaja bertemu atau berpapasan di mana pun, lantas mengalihkan pandangan dengan canggung. Begitu seterusnya. Hingga kini, keduanya sudah memasuki semester dua kelas sepuluh, di satu sekolah yang sama. Akan tetapi, Tala tak tahu bahwa pengumuman kejuaraan pada apel pagi hari Senin itu, tak lain adalah pertanda bahwa kisah Tala di halaman-halaman berikutnya akan kembali berurusan dengan Langit.
"Selamat kepada Langit Maharaja dari X MIPA-3 yang sudah lolos di KSN Matematika tingkat provinsi, sebagai delegasi SMANSABA!"
Tepukan tangan riuh seketika bergemuruh. Seisi lapangan dipenuhi apresiasi siswa, sebagian lagi bertepuk tangan supaya kegiatan ini cepat selesai, sebagian yang lain bertepuk tangan untuk menyalurkan ucapan selamat karena Langit sudah memberikan bahan yang pas sebagai materi perbandingan untuk ceramah orang tua masing-masing nanti malam.
Berbeda dengan Tala yang saat ini sedang tenggelam dalam diam sembari mengamati Langit yang melangkah maju ke dekat podium upacara. Pada akhirnya, anak itu yang berhasil menggenggam erat mimpi Tala ... bukan Tala. Sorot kekecewaan tampak jelas menggantung di antara manik cokelat terang Tala. Kedua tangannya mengepal erat, dan napas Tala jadi tak beraturan tanpa alasan.
Semua rasa sakit itu masih tersimpan rapat di penjuru hati. Bahkan ketika Tala sudah kelas sebelas dan mendapati bahwa Langit menjadi teman sekelasnya. Setiap kenaikan kelas, para siswa memang kembali diacak untuk belajar berbaur dan beradaptasi dengan orang-orang yang berbeda. Akan tetapi, dari tiga ratus siswa di angkatannya, Tala tak pernah mengira akan sekelas dengan laki-laki bernama Langit itu.
Hari pertama di kelas sebelas, dan Tala tampak tertekan. Sepanjang berlangsungnya jam pembelajaran, Langit terus aktif dan menjawab pertanyaan guru dengan baik. Selama itu pulalah ujung jari Tala terasa bergetar hebat. Tala menarik kedua tangannya ke dalam kolong bangku, berusaha menyembunyikan fakta bahwa ia tremor tidak jelas.
Anak lelaki bernama Langit itu benar-benar tak tergapai ....
Tidak bisa dibiarkan.
Bel tanda jam pelajaran berakhir sudah berbunyi nyaring, memenuhi setiap penjuru SMANSABA. Sepengetahuan Tala, Langit memang bukan anak yang aktif di kegiatan klub atau organisasi. Benar saja. Baru masuk jam pulang, anak itu sudah menghilang dari dalam kelas.
Terburu-buru, Tala lari menuju persimpangan di dekat sekolahnya. Seperti biasa, kerumunan siswa dari arah sana-sini sudah mulai berhamburan, bersiap menuju halte, atau jajan lebih dulu di pedagang kaki lima yang berbaris sepanjang jalan seberang halte. Di antara punggung anak lain, akhirnya Tala menemukan laki-laki bermata besar yang sedang berdiri bersandar pada tiang halte sembari memejam, seolah berusaha meredam keributan yang ada di sekitarnya.
Tanpa aba-aba, senyuman lebar terkembang di kedua sudut bibir Tala. Setelah susah payah membelah kerubungan siswa, Tala langsung menepuk pundak Langit satu kali. Langit membuka mata, memperlihatkan manik hitam legam yang dalam itu pada Tala.
Berusaha meningkahi keadaan sekitar yang bising, Tala berteriak cukup keras. "Kamu yang juara olimpiade waktu kelas sepuluh itu, ya?"
Ya. Dan Tala tak pernah mengira sebelumnya, bahwa kala itu, persimpangan sukses mempertemukan angan yang tiada berkesudahan ....
⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻
♬ Even if you pass me by
I will find you
Then I’ll reach out again to you ♬
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top