03. Memori yang Dihidupkan Kembali
♬ Even the wind
Pauses waiting for you still ♬
⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻
Kanvas semesta sudah ditumpahi berliter-liter cat jingga yang berarak. Di ufuk barat sana, mentari sedang menyanyikan bait-bait perpisahan pada batas garis cakrawala, sebelum kelamnya malam merajai angkasa dan merenggut segalanya. Sebentar lagi waktunya mentari terlelap.
Bel tanda jam pelajaran hari ini berakhir sudah berbunyi nyaring sejak dua jam yang lalu. Sekolah sudah sempurna sunyi senyap. Kehidupan yang tersisa di sana hanyalah eksistensi anak OSIS yang belum selesai rapat, juga Mang Muh, penjaga sekolah yang sigap ke sana kemari menjalankan tugasnya.
Akan tetapi, Tala, Langit, beserta dua puluhan siswa lainnya adalah pengecualian. Ini hari Rabu, jadwal bimbingan per mata bidang bagi para delegasi SMANSABA yang berpartisipasi dalam Kompetisi Sains Nasional. Tak heran Tala baru pulang ketika hari sudah beranjak malam begini, dan Mang Muh tidak akan berpatroli untuk menyuruh anak-anak langsung pulang lebih cepat.
Berkutat dengan latihan soal matematika tingkat HOTS selama dua jam penuh sudah lebih dari cukup untuk membuat leher dan pundak Tala terasa pegal. Anak itu mengangkat tangan tinggi-tinggi, lantas meregangkan badan sekenanya. Saatnya pulang! Mandi, makan, dan rebahan! Tala memejamkan matanya erat dalam beberapa waktu, seolah sudah siap untuk direngkuh alam mimpi saat itu juga. Untunglah ada Langit yang mengarahkan anak itu agar tidak menabrak dinding atau tempat sampah.
Di tengah perjalanan keluar kawasan sekolah, Tala menguap lebar. Tidak tahu malu dan sopan santun! Bagaimana kalau ada lalat yang masuk terowongan sana? Kebiasaan. Refleks, Langit hendak mengulurkan tangannya untuk menutupi mulut aib Tala yang malah bertingkah tidak peduli. Akan tetapi, pergerakan spontan Langit terdahului oleh datangnya peluru bola kertas berkecepatan tinggi.
Kaget! Tala tersentak. Menyadari mulutnya tidak bisa kembali menutup karena dijejalkan sesuatu, sontak saja Tala melotot dan mengeluarkan sesuatu itu dari mulutnya. Sebelum benar-benar meledak, Tala membuka isi kertas yang diremas-remas membentuk bola tersebut. Tampaklah hitungan-hitungan yang cara pengerjaannya tidak asing di mata Tala. Ini, kan, pengerjaan jawaban uuntuk soal HOTS selama bimbingan tadi!
Oh, begitu. Tanpa perlu diberitahu atau mengadakan investigasi terlebih dahulu, Tala sudah langsung mengetahui siapa pelaku di balik aksi kriminal barusan. Tala langsung mengarahkan tatapan sebalnya pada Tara yang sedang tergelak heboh di gerbang utama, berkisar lima meter dari posisi berdirinya Tala.
Tidak lucu. Anak itu begitu totalitas menyalurkan tawanya sembari memukul-mukul pagar sekolah, cukup untuk membuatnya terguncang-guncang. Kasihan, pagar. Bukannya jahat pada pagar atau apa, tetapi Tala berharap bahwa pagar itu tumbang saja untuk sejenak, biar Tara yang menempel bagai benalu itu bisa ikut jatuh ke tanah.
"Sini, kamu! Mau coba resep bola-bola kertas yang dilumuri saus ingus dan taburan upil imut punyaku, hah?"
Mendapati alarm bahaya yang begitu dekat, Tara langsung kabur melarikan diri ke tempat parkir kendaraan khusus siswa, sebelum Tala benar-benar mengejarnya. Gelak yang berupa polusi udara itu tak kunjung berhenti, bahkan ketika lelaki itu memaksakan diri untuk berteriak di tengah semburan tawanya. "Dasar, jorok!"
Tala mendengkus kesal, memilih untuk mengurungkan niat memburu Tara. Anak perempuan itu berkacak pinggang, lalu balas berteriak, "Enggak usah sok ngatain orang, kalau bisanya cuma kabur! Dasar, payah!"
"Udah, udah." Langit terkikik geli. Kenapa, deh, Tala selalu marah dan over-reacting untuk hal-hal kecil yang terbilang sepele?
Anak perempuan itu melempar bola kertas tadi ke dalam tempat sampah yang jaraknya cukup jauh. Masuk. Tala bersiul dan menyugar poni rambutnya sok keren. "Oh, ya. Persis seperti yang diharapkan dari seorang kapten tim basket putri SMANSABA."
Dan ... narsistik. Tala banget.
Petang makin matang. Kini, Tala dan Langit sedang duduk di halte dekat persimpangan. Tala terus mengedarkan pandangannya ke arah kanan, menunggu kedatangan angkot berwarna biru. Lama sekali. Kalau sudah nyaris malam begini, angkot di jalanan memang jadi sepi. Sedari tadi, hanya ada satu-dua angkot yang melintas. Itu pun bukan angkot jurusan alamat tempat tinggal Tala dan Langit.
Di tengah terpaan cahaya mentari yang seolah nyaris kehabisan energi, dalam diam, Tala mengamati Langit lamat-lamat. Bertahun-tahun Tala mengenalnya, selama itu pulalah Tala belum pernah menemukan perubahan berarti dari Langit. Oh, ya. Lima tahun. Yang berbeda hanyalah tinggi badan dan garis rahangnya yang terlihat makin tajam.
Benar. Sosok itu masihlah sama. Tanpa sepengetahuan Langit, manik cokelat terang Tala sudah sibuk menjelajahi figur lelaki di sampingnya, mulai dari atas sampai bawah. Rambut hitam halus yang menari dimainkan melodi angin, juga ... oh! Jangan lupakan pancaran sinar jingga dari senja yang membuat Langit terkesan jauh lebih hangat sekaligus misterius. Selain itu, ada bagian favorit Tala yang kini ....
Tiba-tiba saja, seolah merasakan sinyal tertentu, Langit langsung balas menatap Tala. Mata keduanya bertabrakan. Itu agak mengejutkan ... tetapi Tala hanya mengerjap, tanpa melepaskan tatapan. Netra itu ....
Netra hitam legam itu yang selalu menjadi favorit Tala. Daksa penat Tala tak mampu lagi menahan diri untuk tidak tenggelam dalam kungkungan tatapan Langit yang sedalam samudra tak berujung. "Kenapa?"
Tala tersentak. Kesadarannya serasa langsung ditarik paksa, sebelum seluruh jiwa Tala sempurna disedot iris hitam itu untuk masuk ke dimensi tak dikenal tanpa tahu jalan pulang. Tala menelan salivanya susah payah. Bodoh! Kenapa pula ia malah bertingkah tanpa alasan seperti itu? Memalukan!
Lekas-lekas, Tala mengalihkan pandangannya pada langit senja. Sungguh! Tala sangat menyukai senja. Akan tetapi, kehadiran seseorang di sisinya ini bisa-bisanya malah jauh lebih menyeret Tala untuk jatuh, daripada arakan mega jingga yang indah di atas sana. Tala berdeham singkat, berusaha mengusir rasa canggung di sudut hati. "Persimpangan ini ... banyak kenangan, ya."
"Persimpangan Kenangan ... enggak jelek juga," cetus Langit tanpa perlu berpikir panjang, atau sekadar memikirkan soal detak jantung Tala yang makin menggila saat ini. Senyuman manis itu terkembang tanpa merasa bersalah sudah membuat anak perempuan di sampingnya gonjang-ganjing dalam hati. Langit terkekeh kecil. "Di sini tempat kita pertama kali kenalan, ya? Padahal tetanggaan ...."
Sistem kehidupan Tala seolah berjalan secara ganjil dan tidak seperti biasanya. Oh, beberapa saat lalu, ribuan kupu-kupu seakan tengah menggerayangi perutnya. Kenapa, deh? Perasaan, Tala sudah melaksanakan ritual pengeluaran feses tadi pagi. Ini bukan sensasi sakit perut, kok!
Meski begitu, mendengar pembicaraan Langit yang terasa mengarah ke kisah yang telah lama lampau, sejenak Tala teralihkan dari dunianya sendiri. "Iya! Langit sombong banget. Jarang keluar rumah juga. Aku mana mau ajak kenalan duluan!"
Tawa manis tanpa sukrosa itu mengalun lembut. Kedengarannya Langit senang sekali. Kini, matanya bahkan hanya menyisakan satu garis lurus. "Aku orang sibuk, sih. Jadinya pas kamu main sama anak tetangga lain, aku lagi produktif dan belajar banyak hal." Belajar bersabar untuk menerima segala takdir yang diguratkan semesta, contohnya, sambung Langit dalam hati.
"Heleh, ngeles terus! Tinggal bilang aja, lagi simulasi jadi kaum rebahan all night all day long!" Detik berikutnya, Tala teringat sesuatu, lantas langsung heboh mengeluarkan ponsel dan earphone di sakunya. Kedua sudut bibir Tala tertarik ke atas. Tangannya terulur untuk memasangkan sebelah earphone pada telinga Langit. "Langit tahu, enggak? Aku habis download lagu kesukaan Langit, lho! Crossroads-nya GFriend!"
"Tala!"
Serentak, Tala dan Langit menoleh pada sumber suara dari arah sekolah yang memang letaknya tak begitu jauh dari persimpangan dan halte tempat keduanya duduk menunggu angkot. Tampaklah Tara, dengan raut mukanya yang tampak khawatir. Namun, Tala menanggapinya dengan negatif. "Enggak usah usik hidupku, bisa?"
"Kamu belum pulang?"
Tala mengernyit tidak suka. Meski begitu, Tala tetap menjawab, "Kelihatannya? Angkot jurusan rumah aku dan Langit belum muncul juga."
Menyebalkan! Kenapa Tala harus ketemu cecunguk buluk ini lagi, sih? Bikin mood turun saja.
"Lihat, deh, Lang. Gara-gara dia, nih! Kenapa coba, anak baru itu jadi masuk tim matematika kita buat KSN nanti? Padahal setiap sekolah cuma bisa mengirim maksimal tiga siswa untuk delegasi satu mata bidangnya, 'kan? Kita jadi berempat, lho! Emang boleh?"
Mendapati Tala yang malah asyik mengobrol dengan udara kosong di samping kirinya membuat Tara tambah cemas. Tanpa ragu, Tara menggenggam punggung tangan Tala erat-erat. "Tal! Langit, kan, udah enggak ada ...."
"Apanya yang enggak ada? Langit, kan di sini bareng a ...." Kalimat serobotan Tala menggantung di udara. Bola mata Tala bergetar, menatap Tara dengan raut muka yang terguncang hebat. Suara Tala jadi tercekat. "Bareng aku ... di sini."
Detik berikutnya, Tala langsung mengamati sosok Langit yang sedang duduk di samping kirinya. Senyuman manis itu belum juga luntur, tak juga berkurang walau hanya satu mili. Tala mengerjap berulang kali. Seolah baru melepaskan kacamata transparan, ketajaman penglihatan Tala langsung berubah drastis. Sosok Langit membayang, blur. Tak sampai lima detik, tubuh Langit terpecah menjadi berjuta partikel tak dikenal yang menyebar dan bergabung dengan arakan jingga, perlahan-lahan hilang ditelan garis cakrawala.
Setetes cairan bening terjatuh dari pelupuk mata Tala begitu saja. Langit ....
Tanpa bisa dikendalikan lagi, pikiran Tala terlempar jauh pada hari-hari yang telah lalu. Persis lima tahun lalu, ketika Tala dan Langit baru saling berkenalan di persimpangan ini.
Ya. Tanpa bisa dihindari, memori itu dihidupkan kembali.
⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻
♬ Even the fluttering starlight
Lingering on .... ♬
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top