Pemuda Gagal Move on - celestialruby

Pemuda Gagal Move on

Hari Sumpah Pemuda adalah alasan yang amat heroik buat menjadikan anak-anak karang taruna–dan beberapa pemuda-pemudi yang cuma kepengin menyemarakkan acara–sebagai babu. Perayaan yang telat dua hari dari tanggal 28 tak menyurutkan niat Pak RW dan pengurus lainnya untuk mewujudkan ide brilian ini. Amat brilian.

Ibu bilang, setidaknya aku bisa mengabdi untuk kompleks kalau aku tak bisa mengabdi untuk negara seperti yang dilakukan para pemuda pada tahun 1928 silam, setidaknya untuk satu hari saja–padahal biasanya kami juga yang repot menyiapkan lomba 17-an.

Hidup kompleks! Kami, para pemuda yang berbudi pekerti dan gagah berani, tak akan membiarkan para penyusup masuk dan memorakporandakan seisi kompleks! Muahahahaha!

Saat ini kami tengah bersatu untuk berjuang hingga titik darah penghabisan demi menjaga keamanan dan ketertiban lingkungan kompleks. Berbekal sebuah senter di tangan, kami turun ke medan perang. Yang menjadi musuh terbesar kami saat ini bukanlah maling atau orang jenis apa pun, melainkan kegelapan malam, kantuk, kelaparan ...,

... dan kengerian.

Poin terakhir adalah hal yang tengah mati-matian kuhadapi saat ini. Dengar, aku tak tahu apa yang tengah bersemayam di balik semua kegelapan ini, dari mana pastinya asal suara gemeresik daun yang hilang-timbul sejak tadi, atau kesiur angin yang gemar meniup tengkuk, membuatku terus berburuk sangka.

Kini, sunyi menggerogoti, Feri yang sesekali membuka percakapan tak membantu dalam memperbaiki suasana hatiku. Aku ... jadi kepikiran kata-katanya. Sekarang sudah berganti hari, yang artinya tengah malam, pasti orang tuaku sudah membungkus diri dalam selimut dan tak lagi mencemaskan keadaan anaknya yang tengah terjun menjaga keamanan kompleks. Sempat kulirik di ponsel bahwa hari ini sudah tanggal 31 Oktober, yang mana merupakan hari Halloween. Dan Feri sempat bilang di pos satpam tadi ... hari ini malam Jum'at. Tengah malam, Halloween, malam Jum'at, mari tunggu sosok berwujud apa yang akan muncul di depan wajah kami, atau gentayangan mengelilingi kami, atau nangkring sambil cekikikan di pohon.

Senterku tak berhenti menyala sejak tadi, terus kuedarkan ke segala sudut, aku sempat diminta untuk jalan paling depan karena senterku paling terang, tapi kutolak mentah-mentah. Tidakkah mereka tahu aku terus-terusan menjaga posisi agar tetap di tengah dan toleh depan-belakang tiap satu menit sekali demi memastikan apakah ada salah satu di antara mereka berubah wujud?

Aku tak punya kekuatan untuk mengumpat lagi meski hanya dalam hati saat ini meskipun sangat ingin, takut kualat. Kuharap setelah satu kali mengelilingi kompleks, kami dapat kembali ke saung, atau bahkan kembali ke rumah.

... haruskah aku melancarkan aksi kabur ke rumah sekarang?

Lagi-lagi, Feri yang tampak paling santai dan tidak keberatan mengenai ide meronda edisi spesial Sumpah Pemuda ini–malah memanfaatkannya untuk menakut-nakuti dua temannya yang cupu, terutama aku–membuka percakapan dengan bertanya, "Harusnya kita kelilingnya berlima 'kan?"

Aku gelagapan sejenak, lalu merespons pelan, "E- eh iya ya ..., Bang Faris, Bang Satria, ke mana ya?"

Hadi berdecak. "Positif pulang ini mah! Ngomongnya mau beli kopi sama makanan lagi, yang ada mah ke rumah!" sambar Hadi.

"Emang iya?" tanyaku.

"Pasti, Dim, gak mungkin lama banget gini!" ujar Hadi mantap, agak emosi.

Feri mengangkat salah satu sudut bibirnya. "Gimana kalo ... mereka bukan pulang." Suaranya yang serak dan agak berat makin menimbulkan kesan–sok–misterius.

Kian kebal dengan ucapan-ucapannya yang selalu mengarah ke sana, aku sudah mampu untuk meliriknya sinis, alih-alih buru-buru memberhentikan pembicaraan. "Terus?" sosorku.

Matanya bergantian menatap kami berdua dramatis. "Mereka diculik, tau lah, malam Jum'at gini, demit pada panen."

"Alah, kamu ini!" protesku.

Sementara itu Hadi tampak mencemooh diam-diam.

Feri mengangkat alis, ekspresinya jelas jauh dari meyakinkan, tapi perkataannya cukup membuat bulu badanku meremang. "Kenapa, sih, Dim? Kan emang bener!"

Aku tak tahan untuk tak menggebuk punggungnya. Kulayangkan tangan kananku, lalu melesat dan mendarat di punggungnya. Satu pukulan, dua pukulan, lalu berhenti pada kali ketiga. Dia mengaduh, kutatap dengan puas ekspresi wajah Feri yang kini tengah meringis dan mengusap-usap bekas pukulanku.

"Syukurin!" ucapku dalam hati yang enggan kusuarakan.

Kami kembali melanjutkan perjalanan tanpa pembicaraan apa pun. Tak ada yang amat menarik untuk diperhatikan. Sejauh ini kami belum menemukan penyusup, maling, atau apa pun yang patut dicurigai. Kompleks kami tergolong aman selama aku tinggal di sini, belum pernah kudengar ada laporan warga yang kemalingan. Pak RW beserta jajarannya hanya mengusulkan acara ini sebagai seru-seruan. Bagiku ini tidak ada seru-serunya! Batinku disiksa dengan keberadaan bocah tengik di depanku ini, pikiranku terus dipaksa memikirkan makhluk dunia seberang serta kemungkinan-kemungkinan mistis yang bakal terjadi. Aku bahkan baru menyadari bahwa imajinasiku bisa seliar ini.

Namun kali ini, kurasa aku menyorot sesuatu yang menarik perhatianku . Tatkala senterku mengarah pada satu sudut, tanganku terhenti untuk waktu yang cukup lama, mataku pun begitu.

"Fer," panggilku pelan, lelaki itu menoleh. "Chantika," bisikku.

Kedua temanku menghentikan langkahnya.

"Gebetanku kenapa?" tanyanya.

"Itu." Telunjukku kuarahkan pada seorang gadis bertubuh semampai, meski posisinya membelakangiku, tapi aku yakin itu adalah gebetannya Feri–yang sempat jadi gebetanku juga–dari surai legamnya yang terurai panjang.

"Itu apa?" Feri masih tampak kebingungan, dahinya berkerut, matanya menyipit, mencoba mencari keberadaan seseorang yang kumaksud.

"Itu, Fer, gebetanmu berkeliaran malem-malem," kukuhku, penuh penekanan dalam setiap kata.

Tak kusangka, gadis itu menoleh, sorot cahaya senter makin mempertegas strukur wajahnya yang menawan. Kulit mulusnya yang kuning langsat terlihat bersinar, bibir tipisnya mengulas senyum, tatapan kedua manik sehitam jelaga itu mampu membius dan mengalihkan seluruh atensiku. Seketika, gerakan gadis itu terlihat seperti slow motion. Kepalanya kembali menatap ke depan, kakinya ia langkahkan gemulai. Bersamaan dengan itu, kami kembali melanjutkan perjalanan. Sejak saat itu, Chantika selalu berjarak sekiranya lima meter di depan kami.

Sampai pada suatu waktu, kulihat gadis itu berhenti, lalu masuk ke dalam sebuah rumah yang besarnya kira-kira tiga kali lipat rumahku. Pilar-pilar rumah itu tampak gagah menyangga atap dan berwarna keemasan, temboknya yang kokoh berwarna putih bersinar. Dari luar, lampu-lampu itu sekiranya berjumlah lebih dari sepuluh, membuatnya kelihatan silau, amat kontras dengan suasana sekitar. Mata rakyat jelataku terpana melihat rumah yang sedemikian mewah. Rasanya aneh jika rumah semencolok ini baru kuketahui keberadaannya. Dan ... ini rumahnya Chantika? Astaga!

Gadis cantik itu melenggang masuk, melewati rumput-rumput yang mengelilingi bangunan megah tersebut dengan gerak kemayu, gaun merah muda yang ia kenakan lebih dari cukup untuk membuatku tak berkedip selama sepuluh menit penuh. Pesonanya lagi-lagi membuat pertahananku runtuh, aku kembali gagal move on, meski waktu itu ia mempermalukanku dengan menolak pernyataan cintaku di depan teman-temannya.

"Chantika ...," desisku. Pandanganku masih terpaku pada satu titik, seolah dunia di sekitarku memburam. Kakiku melangkah, aku ingin menyusulnya, aku harus menghampirinya.

"Dimas! Dimas!" Kuabaikan teriakan-teriakan yang menyuarakan namaku, aku hanya terus berjalan, mengejar cewek yang sempat menjadi incaranku dua tahun penuh.

Chantika menoleh. Kedipan sebelah mata gadis itu sukses membuatku mempercepat langkah. Entah apa halaman rumah itu yang luasnya melebihi lapangan bola atau memang jalannya yang lambat, jika kuperkirakan sudah lima belas menit aku menatapnya sejak kulihat ia berbelok ke rumah itu. Lantas karena yakin bahwa jalannya yang lambat, aku menyusulnya cepat-cepat, berharap bisa segera menyentuh atau sekadar bersisian dengannya.

Gadis itu masuk melalui pintu bertepatan saat aku telah berada di teras rumahnya, aku semakin melebarkan langkah, membuka pintu, lalu masuk. Yang menyambutku adalah sebuah ruangan luas bergaya klasik cenderung kuno dengan wallpaper warna keemasan yang melapisi temboknya, serta lampu kristal yang menggantung di langit-langitnya. Kutolehkan kepala kanan dan kiri. Chantika tak mungkin sudah jauh, pasti masih ada di sekitar sini.

"Mas Dimas?" Aku mendapati perawakan seorang wanita berusia sekitar lima puluhan tahunan berpakaian necis tengah berdiri di hadapanku. Aku sama sekali tak ingat pernah bertemu dengannya, maka dari itu aku heran bagaimana bisa ia mengetahui namaku. Kutelaah penampilan wanita itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Gurat wajahnya amat ramah dan lembut, senyum yang diulas kelihatan tulus serta tatap matanya yang teduh. Irisnya cokelat terang, membuatnya kelihatan seperti madu, wajahnya bulat dan cerah seperti rembulan, rambutnya yang tergerai hingga bahu berwarna cokelat tua, aku tak akan bohong kalau wanita ini memang cantik meski sudah tua. Melihat penampilannya yang anggun membuatku makin tak yakin pernah mengenalnya.

"Sini, saya antar masuk." Nada suaranya tak kalah ramah dan berwibawa. Aku yang membeku selama beberapa detik langsung mengikuti langkahnya melewati lorong rumah yang dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan.

Begitu diantar ke ruangan lain, yang kudapati bukanlah mantan gebetan yang telah sukses membuatku memutar kembali memori-memori menyayat hati di mana dia dengan amat menjaga sopan santun, berkata tidak mau untuk menjadi, ekhem, pacarku, melainkan dua orang pemuda bertubuh tinggi.

Salah satunya yang ber-hoodie hitam menoleh. "Dimas?" Wajah Bang Faris tampak keheranan.

***

Ada beberapa hal yang mau kuluruskan di sini. Kemarin adalah hari Jum'at, bilang bahwa semalam adalah malam Jum'at hanya omong kosong Feri. Lalu, keparat macam apa yang percaya bahwa saat itu sudah berganti hari sementara di sisi lain percaya bahwa saat itu masih malam Jum'at?

Setelah aku cukup sadar untuk tak meracau lagi, aku langsung mencoba mengingat-ingat hari, bertanya pada Ibu, kemudian ingin menyumpah di telinga Feri saat itu juga–sudah kulakukan sejam yang lalu saat dia dan Hadi datang menjengukku dan ibuku tidak di kamar. Aku berjanji akan menonjoki kepalanya begitu tanganku tak terlalu lemah untuk menonjok.

Ah iya, tadi malam, menurut keterangan dua jelmaan bekantan itu, aku bengong selama lima belas menit di depan salah satu kebun milik warga, lalu masuk ke dalamnya, bukan masuk ke dalam rumah mewah. Karena nyali Feri tak sampai sebesar biji jeruk, dia panik memanggilku alih-alih ikut masuk ke dalam mengejarku, lalu kedua kawanku yang setia itu lari-lari menuju rumahku, membangunkan kedua orang tuaku dengan kabar mengejutkan bahwa aku kesurupan, dan turut memanggil Pak RW. Gara-gara kebrutalan mereka dalam mengetuk pintu rumah orang, jelas beberapa orang di sekitar sini ikut terbangun dan otomatis mengundang keributan di tengah malam. Beberapa dari mereka malah menangkap aku hendak maling pisang sehingga pura-pura kesurupan.

Ada setidaknya selusin warga di luar Pak RW dan kedua orang tuaku, termasuk teman-teman kami yang sudah kebagian giliran meronda, berduyun-duyun datang ke kebun yang mereka maksud dengan masing-masing membawa senter. Kemudian aku dan dua orang lainnya–Bang Faris dan Bang Satria–ditemukan tergeletak tak sadarkan diri di dalam kebun tersebut. Kami digotong ke rumah masing-masing.

Hadi dan Feri menceritakan semua kejadian itu seolah-olah sekumpulan warga bersatu sambil membawa obor, hendak menciduk babi ngepet yang selama ini berkeliaran dan meresahkan warga. Heroik, dramatis, kepingin diludahi. Semua detail mereka ceritakan tanpa terkecuali, dan dengan nada lebay, tak luput melimpahkan kesalahan padaku karena telah mengundang semua keributan ini, dan aku balik menyalahkan Feri karena telah berkata yang tidak-tidak.

Oh iya, aku baru bangun subuh tadi, muntah, lalu langsung menyombong tentang lihat dan masuk rumah mewah dan tak luput soal Chantika ....

Kini aku punya alasan buat rebahan seharian sementara pemuda-pemudi lain masih harus kerja bakti membersihkan kompleks–masih dalam rangkaian acara perayaan Sumpah Pemuda. Oh, atas kejadian tak mengenakkan yang terjadi tadi, Pak RW berjanji kegiatan ini tak lagi dilaksanakan tahun depan.

"Dimas, Chantika di depan suruh masuk nggak?" tanya Ibu sambil nyengir.

Jantungku terlonjak di balik rongga dada. Meski demikian, aku berusaha terlihat kalem. "Hm," responsku.

Begitu Ibu keluar, aku buru-buru bangun dan duduk sejenak, merasakan pusing yang menusuk untuk beberapa saat. Lalu kusibak selimut, lantas turun dari ranjang. Aku perlu memastikan keberadaan Ibu dulu sebelum melipir ke luar.

Kulihat gadis itu masih berada di teras, celingukan dan hendak melepas sandalnya. Kuhela napas panjang, kemudian memantapkan langkah untuk menghampirinya. Tak kuacuhkan fakta bahwa penampilanku yang jauh dari kata rapi dengan hanya kaus putih polos dan boxer abu-abu serta wajah pucat, ileran, dan belekan.

"Eh, Dimas, kok ... –" Buru-buru kuletakkan telunjuk di depan mulut.

Aku bergegas meletakkan pantat di atas kursi teras sebelum tubuhku benar-benar oleng.

"Udah baikan?" Meski pertanyaannya diarahkan padaku, pandangan matanya jelas menghindari wajahku.

"Hm." Hanya itu yang bisa kusuarakan.

Dari pagar yang terbuka lebar, dapat kulihat Feri yang masih jadi tukang sapu–sungguh, kelihatan cocok–menatapku sambil menganga yang tengah duduk di samping gebetannya, di rumahku. Aku menaik-naikkan alis dan menyeringai tanda meledek. Aku ingin meledakkan tawa di depan wajah tukang sapu yang baru dilantik tersebut, tapi aku sadar tengah jaga image.

Aku memang tak setinggi Feri, tak seputih Hadi, tidak setampan Bang Faris, dan juga tidak setajir Bang Satria, tapi jelas aku tak serendahan itu untuk mendapatkan gadis sekelas Chantika. Kali ini aku menang telak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #halloween