Oíche Shamhna - lemonychee

Oíche Shamhna

Halloween telah tiba.

Tanggal 31 Oktober merupakan puncak perayaannya, jalanan semakin ramai dipenuhi anak-anak yang sedang menggenakan kostum khas Halloween, mereka tertawa begitu bebas dan bahagia. Tentu saja, Halloween selalu terasa menyenangkan bagi mereka.

Aku menatap semua itu di balik jendela usang kamarku, di belakangku, Aisel, Aive, dan Airen tengah menungguku memberikan aba-aba.

"Kita keluar sekarang, kumpulkan permen yang ada di keranjang dekat pintu, masing-masing bawakan 75 butir," ucapku dengan mata masih berfokus pada jendela. Aisel mengangguk, lantas berjalan keluar dari kamar diikuti oleh Aive, Airen, dan Aku.

Malam ini, kami akan berburu permen. Dua gadis remaja dan kedua adiknya ini akan sibuk mencari permen di jalanan. Manisan itu lezat, tapi kami tidak sedang berlomba-lomba mencicipi rasa manis yang menyenangkan hati itu. Memang, tujuan kami mencari permen adalah untuk menyenangkan hati kami, sayangnya alasannya tidak sesederhana itu.

Kami mengincar Paman Jack.

Siapa dia? Dia adalah orang yang bertanggung jawab atas seluruh rasa sedih yang menerjang hidupku, lebih tepatnya hidup kami berempat.

"Apakah kita akan berhasil hari ini, Kak Ashley?" tanya Aive yang tengah diselimuti keragu-raguan, aku menganggukkan kepalaku, berusaha meyakinkan dirinya bahwa kami bisa menangkap Paman Jack tahun ini.

"Kurasa optimisme tidak akan membantu banyak," celoteh Aisel sembari memakaikan jubah hitam pada pundaknya, lalu mengikatkan tali berwarna putih kecoklatan pada kerahnya, "ini tahun ketiga kita mencari Paman Jack."

Aku tersenyum kecil. "Kita sudah berganti rencana bukan? Aku yakin yang kali ini berhasil."

Keluarga kami adalah pemburu hantu--arwah lebih tepatnya, orang tua kami terbunuh saat hendak mencari Paman Jack. Kami dicap sebagai orang aneh saat kami mengatakan bahwa ayah dan izbu dibunuh Paman Jack. Jasad mereka ditemukan di sebuah bar tua yang tak beroperasi lagi.

Kata mereka, kami berempat hobi sekali berhalusinasi, dan menakuti-nakuti anak-anak lain dengan kisah itu, dongeng yang dianggap tidak nyata oleh sebagian orang modern. Meskipun tidak nyata, tradisi tetap berjalan.

Di saat orang lain sibuk menaruh ratusan labu di depan rumah demi menghindari kedatangan Paman Jack, kami malah sibuk mencarinya.

Airen pernah mencari tahu sedikit soal Paman Jack, dia adalah pemabuk berat, sehari tanpa alkohol seperti mencambuknya beribu-ribu kali dengan pecut--tubuhnya begitu menderita, mata merahnya akan melotot lalu dia akan berteriak dengan kencang dan merusak kota.

Pada zaman dahulu, ada seorang laki-laki, Jack namanya. Pembohong besar dan pemabuk, Jack pernah meminta iblis berubah menjadi koin emas untuk membayar minumannya, dengan tipu muslihatnya, Iblis itu terkurung karena Jack menaruh salib di dekat koin itu. Tentu saja si iblis harus mengabulkan permintaan Jack untuk keluar. Jack meminta agar si iblis tidak memasukkannya ke neraka ketika dia mati. Terlena, dia melakukan terlalu banyak kejahatan sehingga dia tidak bisa pergi ke surga maupun neraka dan di dunia ini dia berkeliaran.

Itulah dongeng pengantar tidur yang sering kudengar tentang Jack si pemabuk dan pembual besar itu.

Banyak yang tidak percaya dengan keberadaan Paman Jack, orang tua kami dikabarkan meninggal karena bunuh diri dengan menusukkan beling kaca pada leher mereka. Orang bodoh mana yang langsung mempercayai sebab kematian orang tuanya.

Ini ulah Paman Jack, aku yakin akan hal itu, arwahnya tidak akan pernah hilang karena tidak ada yang berniat mengirimnya ke neraka kecuali kami berempat, empat saudara yang kehilangan kasih sayang.

Kami punya rencana untuk memancingnya dengan Westvleteren XII. Entah kenapa aku percaya bahwa itu akan berhasil, memancing arwah dengan menggunakan bir langka, aku yakin banyak yang akan menertawakan kami.

Maka itulah alasan kami untuk mencari permen vanilla karamel sebanyak mungkin untuk menukarnya dengan Westvleteren XII, begitulah perjanjianku dengan Bibi Samantha, salah satu orang yang menyimpan bir langka itu. Jumlah yang dia minta bukan main, dia meminta tiga ratus butir permen vanila karamel.

Permen itu tidak mudah didapatkan, hanya diproduksi oleh satu toko kecil setiap bulan Oktober selama lima belas hari dan mereka meletaknya di dalam labu supaya arwah mahkluk halus tidak kemari, katanya permen itu tiga kali lipat lebih manjur dari Jack O'Lantern. Konon, Paman Jack membenci bau dan rasanya. Tradisi aneh ini hanya bisa ditemui di kota kecil ini.

Kami terpaksa harus mencuri, melakukan perbuatan hina seperti yang dilakukan Paman Jack, tapi tujuan kami berbeda. Entah apa alasan Paman Jack membunuh orang tua kami, mereka jelas hanya ingin berpetualang.

Sebenarnya aku merasa amat bersalah, melibatkan Aive dan Airen yang masih berusia delapan tahun, mereka jelas masih terlalu polos untuk menodai tangan mereka dengan lumuran dosa.

Namun kalau hanya aku dan Aisel yang bekerja, nantinya tidak akan sempat, dan juga Aive dan Airen pasti akan merasa kalau kedua kakaknya yang kembar itu selalu tidak mau melibatkan mereka, bagi mereka itu seperti tanda tak sayang.

Dengan kostum penyihir hitam dan topeng yang menutupi sebagian wajahku, aku mulai menyambar satu per satu permen vanila karamel dari labu berdiameter dua puluh sentimeter. Sesekali mataku melirik ke sana-kemari, memastikan tidak ada orang yang mencidukku.

Kadang aku harus pura-pura mengetuk pintu rumah, mengatakan "Trick or treat?", dan diam-diam mengambil permen vanila karamel itu saat mereka hendak mengambil manisan untukku.

Aku juga sempat menyuruh beberapa anak kecil bertopeng hewan untuk mengambilkan permen itu untukku, lantas menukarnya dengan manisan yang aku dapat dari orang-orang. Aku malah mengajak anak-anak itu ikut terjun melakukan dosa bersamaku. Tidak ada cara lain, tiga ratus butir permen vanila karamel menentukan apakah aku, Aisel, Aive, dan Airen bisa bertemu dengan Paman Jack atau tidak.

Kami percaya akan perkataan Bibi Samantha, rumahnya punya banyak koleksi kuno tentang dongeng-dongeng dan dia percaya pada kami. Katanya ada cara untuk memanggilnya, bisa dengan menyajikan bir Westvleteren XII, dan aku percaya.

Setelah aku menyelesaikan bagianku--mengambil 75 butir permen vanila karamel, aku berjalan ke titik temu yang sudah kami tentukan.

Lima belas menit kemudian, Aisel dan yang lainnya sudah datang sembari mengayunkan keranjang dengan pelan. Senyum Aive dan Airen yang paling lebar, pipi merah mereka memgembang.

Aku melirik mereka, tanda tanya memenuhi kepalaku, apa yang bisa membuat mereka tersenyum pada keadaan ini?

"Mereka mencuri lebih banyak permen lagi." Seakan bisa membaca pikiranku, Aisel langsung mengatakan apa yang terjadi.

Tunggu, kenapa mereka malah senang ...?

"Mana tahu Bibi Samantha akan membantu lebih banyak," ucap Airen dengan intonasi gembira, kedua tangannya menyerahkan keranjang yang sudah dipenuhi manisan dan juga permen vanila karamel.

Rasanya menyakitkan, mereka jadi harus berbuat dosa begini, ah, seharusnya aku tidak melibatkan mereka. Namun, kalau sudah terlanjur begini, apa boleh buat.

"Baik, kita akan berangkat sekarang. Airen, Aive, kalian bisa berlari?" Aku melirik keadaan sekitar, jaga-jaga, mana tahu salah satu dari kami ketahuan mencuri. Semuanya aman, sepertinya tidak ada yang tahu.

Airen dan Aive mengangguk dengan antusias. Baru saja aku hendak berlari--baru saja mengambil posisi--Airen menyentuh tanganku, kedua mata birunya menatapku.

"Ada apa, Airen?" Gerakanku terhenti, mataku menatapnya, menunggunya memberikan jawaban.

"Kita benar-benar bisa menangkap Paman Jack?" tanya Airen dengan polosnya. Jujur saja, aku bahkan belum tahu cara menangkapnya. Yang aku utamakan sekarang adalah bertemu dengannya dan menanyakan alasan dia membunuh orang tuaku.

"Entahlah, semoga." Ucapan yang kulontarkan ini dipenuhi keraguan dan ketakutan. Aku tidak yakin bisa menangkapnya, aku tidak mungkin bisa menangkap arwah, mungkin Bibi Samantha akan memberikan kita petunjuk.

"Yeh, aku tidak sabar melihat Ibu dan Ayah pulang!" seru Aive sembari melompat kegirangan. "Ayo kita ke Bibi Samantha sekarang."

Rencana yang bahkan belum matang ini kujalankan, semoga saja ada sedikit pencerahan.

***

Tiga tahun kuhabiskan hanya untuk mencari cara untuk menemuinya—atau setidaknya memunculkannya, aku memang lamban. Tahun lalu ketika aku menemukan Bibi Samantha pada malam Halloween, kukira aku langsung bisa mencari Paman Jack, tapi nyatanya tidak. Ada bayaran untuk sebotol Westvleteren XII.

"Aku minta tiga ratus butir vanila karamel." Dia meminta barang yang tidak bisa dibeli itu.

Di depanku terlihat sebuah rumah yang sederhana dan tidak besar, butuh tangga untuk mencapai pintu kayu rumah tersebut. Setelah kami semua naik dan berdiri di depan pintu, Aisel mengetuk pintu itu dengan buku jarinya sebanyak tiga kali, lalu menunggu selama beberapa saat. Apa Bibi Samantha sedang tidak ada di rumahnya? Kenapa dia belum membukakan pintu?

Setelah menunggu selama lima menit, Bibi Samantha menampakkan batang hidungnya. Wanita berusia sekitar lima puluh tahun itu tersenyum menatap kami semua. "Ternyata kalian kembali, ada urusan apa?"

"Kami ingin bir itu, bir yang Bibi bilang bisa memancing Paman Jack," ucapku mewakili keinginan kami berempat. Tanpa bertanya, seharusnya dia sudah tahu tujuan kami menemuinya, apa dia sedang melontarkan basa-basi?

"Aku tidak menyangka kalian percaya pada omonganku tahun lalu, dan kalian kembali ke sini hari ini," kata Bibi Samantha sembari tertawa kecil.

Mata Bibi Samantha memicing--menatap Airen dan Aive dengan tajam. "Siapa dua gadis berambut pendek ini? Wajah mereka benar-benar mirip."

Tatapan Bibi Samantha membuat Airen dan Aive bersembunyi di balik jubah hitam khas penyihir milikku, mereka sepertinya tidak suka dengan Bibi Samantha yang rambutnya belum sepenuhnya memutih.

"Mereka adikku juga," balasku sembari mengusap-usap kepala Airen dan Aive untuk menenangkan mereka.

"Kembar seperti kalian," ucap Bibi Samantha, tangannya menjulur; hendak mengelus pipi Aisel. Aisel langsung mundur dan melemparkan tatapan waspada.

Senyum Bibi Samantha langsung luntur. Aisel memutar bolanya. "Jangan menunda waktu lagi."

"Adik kembarmu selalu begini, ya." Tatapan mata Bibi Samantha mengarah padaku, tatapannya yang sudah berubah menjadi ramah seakan tengah membelaiku. Aku jadi rindu Ibu.

Dia membuka pintunya lebih lebar agar kami semua bisa masuk, tubuhnya lalu terduduk di atas kursi goyang dari kayu, salah satu tangannya menjulur. "Mana permennya?"

Sebagian permen vanila karamel itu sudah dikumpulkan dalam keranjangku, aku menyerahkan keranjang itu padanya. Bibi Samantha menyunggingkan senyuman saat melihat isinya.

Tiga ratus permen itu tidak cukup ditampung oleh satu keranjang berdiameter 30 sentimeter, sebagiannya lagi kuletakkan pada keranjang milik Airen--dia yang ingin membawanya.

Saat aku hendak mengambil keranjang Airen, Bibi Samantha mengangkat tangannya. "Aku ingin anak itu yang memberinya sendiri padaku."

Airen terkejut, kakinya spontan mundur dua langkah. Aive menepuk pundak Airen--sepertinya Aive ingin menemani Airen. Mereka berdua berjalan mendekat ke kursi goyang Bibi Samantha.

"Bibi, tolong pastikan kami bisa menangkap Paman Jack, kami sudah memberi Bibi lebih banyak permen." Suara Airen terbata-bata saat mengucapkan itu, mata Bibi Samantha langsung membulat.

"Kalian mencuri berapa banyak, sayang?" Gerakan tangannya terhenti.

"Kami mencuri seratus butir lagi ...." Begitu kalimat itu dilontarkan oleh Aive, Bibi Samantha langsung tertawa dengan begitu kencang.

Ada apa? Kenapa dia malah mengumbarkan tawa?

"Lucu sekali," ucap Bibi Samantha di sela-sela tawanya, "kedua kakak kalian mengajak kalian mengikuti permainan berdosa ini."

Dia tidak berhenti tertawa, Aive dan Airen yang ketakutan menambah jarak mereka dengan Bibi Samantha.

Rasa bersalah memelukku, seharusnya aku tidak melibatkan mereka sejak awal, mereka masih terlalu kecil dan polos.

Bibi Samantha mengusap air mata yang mengucur akibat tawa, dia tertawa sedaritadi. "Bau dosa kalian sungguh kental untuk suasana Halloween, ah, manisnya."

"Bisa tolong percepat ini? Kami tidak punya waktu untuk mendengar kamu tertawa." Aisel memutar bola matanya dengan kesal lantaran tidak sabaran.

Bibi Samantha memelankan suara tawanya, dia lalu berdiri dan mengambil keranjang milik Airen, melirik ke dalam untuk melihat isinya. "Um, apa kalian yakin kalian tidak sedang menipuku?"

Aku menggelengkan kepalaku dengan mantap, mana mungkin aku berbohong soal ini.

"Ini adalah malam Halloween, malam penuh dosa bukan? Kalian saja mencuri, bagaimana aku bisa menjamin kalau kalian tidak berbohong?" Senyum menyeringai tercetak di atas wajah Bibi Samantha.

Kenapa dia terus menerus menunda waktu? Sebenarnya dia punya bir itu atau tidak? Apa bir itu benar-benar bisa membuat Paman Jack keluar? Apakah dia hanya melakukan trick pada kami?

"Bercanda!" ucapnya dengan nada melengking, lalu tertawa lagi. "Ah! Malam Halloween yang menyenangkan!"

Dia menyerahkan sebotol bir yang kuyakini adalah Westvleteren XII, dia juga menyerahkan sebuah labu kecil yang isinya sudah dilubangi. "Tuangkan isinya ke dalam labu, dia akan datang."

"Terima kasih," ucapku sembari menerima botol kaca dan labu itu, kedua kakiku dengan cepat langsung melangkah menuju pintu--begitu juga dengan ketiga saudaraku.

Aisel membatu saat ia mencoba membuka pintunya, dia menatapku, seketika aku tahu apa yang terjadi.

Pintunya terkunci, tidak bisa dibuka.

Tawa Bibi Samantha terdengar lagi. Ruangannya menggelap seakan-akan ada yang sedang menyerap cahaya. Aku panik, keringat dingin mengucur dari pelipis.

Apa yang sedang terjadi? Kenapa gelap tiba-tiba mampir?

Dari remang menjadi gelap, kini seisi ruangan gelap gulita, aku tidak melihat apapun. Aku bisa mendengar suara Aive dan Airen yang panik; dengan cepat aku memeluk mereka.

"Anak-anak yang naif, aku menyukai bau kalian." Bukan suara Bibi Samantha yang terdengar, melainkan suara laki-laki yang sedang menggema di ruangannya.

Aku melihat ada cahaya yang datang dari arah kanan. Dengan penuh kewaspadaan, aku merentangkan kedua tanganku, membiarkan ketiga adikku tepat berada di belakang.

"Selamat hari Halloween!" Suara serak laki-laki itu sama sekali tidak terdengar ramah. "Senang menemukan pendosa polos seperti kalian."

Perapian di rumah Bibi Samantha menyala mendadak, ruangan mulai menerang. Pada saat mataku sudah bisa melihat ruangan--meski masih samar karena pencahayaan nya kurang, seseorang dengan jubah hitam mendekati kami.

Wajahnya tidak memiliki kulit, matanya tidak terisi, dia seperti tengkorak, lebih tepatnya dia memang tengkorak.

Aku takut, seluruh tubuhku bergetar, aku juga bisa mendengar tangisan Aive dan Airen. Wajah tengkorak itu semakin mendekat, terus mengurangi jarak antara kami.

"Kenapa kalian ketakutan begitu? Kalian bukannya sedang mencariku?" Tengkorak itu berucap demikian.

Tunggu, dia adalah Paman Jack? Dia benar-benar adalah Paman Jack?

"P-Paman Jac-ck?" tanyaku dengan gemetar, dia semakin mendekat dan hawa panas yang ia pancarkan mulai menbuatku gerah.

"Betul, Nak." Dia tersenyum (meski tidak memiliki kulit tapi kedua sudut rahang giginya terangkat sedikit). "Kalian mau menangkapku dengan Westvleteren XII, sungguh lucu!"

"Kalian begitu naif, sama seperti iblis itu." Suaranya tidak berubah, tetap menyeramkan.

Aisel yang inisiatif langsung mencari cara untuk keluar, kami benar-benar melupakan tujuan kami untuk menghilangkan arwah Paman Jack, masa bodoh, kami harus keluar dari rumah ini.

"Sebenarnya aku senang kalian masih menganggapku, tidak seperti orang lain yang sudah menganggapku sebagai dongeng horor," ujar Paman Jack yang terus mendekat.

Di sampingku, Aisel tengah mencoba membuka pintu dengan peniti, gedoran kencang membuat Paman Jack terbang langsung ke tempat kami berdiri.

"Naif sekali, kalian tidak bisa keluar lagi." Kalimat yang dilontarkan oleh Paman Jack membuatku merinding. Aku benar-benar takut. Dia langsung mengeluarkan hembusan angin yang membuat kami berempat menjauh dari pintu dan mendekat ke perapian.

Aisel berdecak, ia merapatkan kedua giginya sembari menatap Paman Jack yang tertawa, lentera yang ia pegang sampai bergoyang-goyang karena tawanya yang begitu membahana.

"Aku akan membuatnya takut dengan Jack O'Lantern, alihkan perhatian dia," bisik Aisel.

Tak terpikir benda lain selain botol Westvleteren XII, aku langsung melempar bir mahal itu sejauh mungkin agar fokus Paman Jack teralihkan ke sana.

Benar saja, saat suara pecahan kaca terdengar saat botol kaca itu jatuh mengenai lantai. Paman Jack langsung melirik ke arah ke sumber suara, lantas berkata, "Kamu membuang bir yang begitu mahal, hah?"

Dari nada bicaranya, dia terlihat marah, meski dia sekarang hanya arwah dan tidak akan bisa lagi menikmati bir, benda itu masih terasa penting baginya.

Kami akan bersatu melawannya. Entah di mana Bibi Samantha sekarang, dia pastilah dalang di balik semua ini.

Aisel melepaskan salah satu tali hiasan (yang ia ikatkan pada kerah kostumnya tadi) dari benang--yang bahannya sama persis seperti sumbu lilin, ia lalu membakarnya dengan perapian.

Aive dengan cepat menyerahkan permen vanila karamel itu kepada Aisel, dan Aisel meletakkannya di dalam labu tadi, lantas memasukkan benang yang setengah terbakar tadi ke dalam.

Semua terjadi dengan cepat, aku tidak tahu bahwa mereka mempersiapkan sesuatu di belakangku.

Sempurna sudah, labu kecil yang menyala dengan aroma vanila karamel Aisel julurkan ke depan; berusaha menakut-nakuti Paman Jack.

Paman Jack seharusnya takut pada Jack O'Lantern tapi kenapa dia malah menertawakan kami?

"Aih, kepolosan kalian sangat murni," ucap Paman Jack di sela-sela tawanya, "kalian kira aku takut dengan benda itu."

"Dongeng bodoh itu telah menipu kalian, ahahah!" Tawa Paman Jack terdengar semakin kencang dan semakin mengerikan. Dia langsung menghempaskan Jack O'Lantern sederhana yang dibuat oleh Aisel dengan tiupan angin--yang datang entah dari mana.

Aisel biasanya bisa tetap tenang dalam kondisi apapun, tapi kali ini, dia malah terjatuh, terduduk di atas lantai kayu dengan tatapan putus asa.

"Kita sekarang sama-sama pendosa bukan?" ujar Paman Jack menatap kami berempat dengan begitu bahagia. "Kalian terus mengingatkanku pada iblis itu, dia bodoh sekali, dia memang pendosa yang naif, sama seperti kalian."

Hilang sudah seluruh harapanku, rencana balas dendam kami gagal total.

Bibi Samantha muncul tiba-tiba dari arah selatan, dia berjalan dengan santai, tubuhnya yang tinggi membungkuk--menyejajarkan kepalanya dengan kepalaku.

"Kerja bagus, Samantha," puji Paman Jack, ternyata Bibi Samantha memang benar-benar dalang di balik semua ini, "kamu bisa menemukan orang yang akan menemaniku, aku suka anak-anak ini."

"Kalian siap mati? Kalian tidak akan bisa ke mana-mana lagi," tanya Bibi Samantha sembari mengacungkan beling botol kaca yang aku lempar tadi. "Silakan pergi menemani kakek buyutku."

Bibi Samantha ternyata keturunan Paman Jack, dia sengaja mencari anak-anak seperti kami untuk menemaninya. Kenapa aku tidak menyadarinya dari awal?

Dengan keputusasaan ini, siapa yang tidak ingin mati? Kalau kami mati, kami bisa bertemu dengan orang tua kami bukan?

Aku mengambil beling kaca itu, langsung menancapkannya pada leherku, darah merah segar mengucur, aku bisa mendengar suara panik Aive dan Airen, sedangkan Aisel hanya menatapku dengan tatapan kosong.

Aku sudah menyerah, terjebak di sini selamanya sama saja dengan mati.

Kesadaranku perlahan menghilang, kelopak mataku terbenam, tapi indra pendengaranku yang masih mendengar suara meringis dari Aisel, Aive, dan juga Airen. Mereka juga mengikuti jejakku? Aku sungguh seorang kakak yang buruk.

Kasihan Aisel, kasihan Aive, kasihan Airen. Jikalau mereka tidak bunuh diri, Paman Jack juga akan mengambil paksa arwah mereka. Sungguh menyedihkan takdirku.

Hari Halloween adalah hari di mana pintu perbatasan manusia dan arwah dibuka, juga hari dimana pendosa seperti kami bunuh diri.

Dosa adalah dosa. Seharusnya aku tidak melakukan dosa ini, seharusnya aku tidak mengajak ketiga saudaraku melakukan ini. Kalau tidak kuajak, paling hanya aku yang mati.

Penyesalan terus datang, setelah kesadaranku direnggut, aku akan menjadi arwah yang akan menemani Paman Jack, begitu juga saudaraku yang lain. Kami kalah.

Kenapa tidak ada yang percaya kalau dongeng itu nyata?

Pada zaman dahulu, ada seorang laki-laki, Jack namanya. Pembohong besar dan pemabuk, Jack pernah meminta iblis berubah menjadi koin emas untuk membayar minumannya, dengan tipu muslihatnya, Iblis itu terkurung karena Jack menaruh salib di dekat koin itu. Tentu saja si iblis harus mengabulkan permintaan Jack untuk keluar. Jack meminta agar si iblis tidak memasukkannya ke neraka ketika dia mati. Terlena, dia melakukan terlalu banyak kejahatan sehingga dia tidak bisa pergi ke surga maupun neraka dan di dunia inilah dia berkeliaran. Jangan lupa, dia juga mencari arwah anak-anak untuk menemaninya saat akhir dari bulan Oktober.

Fin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #halloween