HUMANBUSTERS - E-Jazzy
HUMANBUSTERS
Oleh E-Jazzy
Manusia itu penganut hantuisme. Seolah-olah tak cukup jadi rasis, fasis, dan is-is lainnya, kalian juga mendeskriminasi kami, para hantu.
Ghostbusters, Ghost Hunters, Lockwood & Co.—para hantu diburu habis-habisan di sana. Aku bisa sebutkan banyak lagi budaya kalian yang sangat hantuis, menganggap kami sebagai wabah mematikan yang perlu dibasmi habis.
Sekarang, keadaan akan berbalik. Tutup rapat jendela, kunci pintu, tidurlah dengan jimat-jimat di bawah bantal kalian, dan berdoalah wahai manusia. Kami bangkit dari kubur malam ini dan akan memburu kalian sampai tak bersisa.
***
Aku dikuburkan di TPU yang letaknya tak jauh dari sebuah kompleks perumahan. Saat aku dan yang lainnya bangkit, senja sudah lama berlalu. Jalanan sekitar pekuburan begitu gelap sementara perumahan manusia dan jalanan di sekitarnya terang benderang—seperti yang bisa diharapkan dari kaum manusia yang hanya memikirkan diri mereka sendiri.
"Bos," kata anak zombie di sebelahku. "Malam berhantu yang diyakini manusia, 'kan, biasanya malam jumat? Kenapa kita memutuskan menyerang malam minggu?"
"Biar surprise," jawabku.
Si anak zombie mengangguk paham. Aku tidak tahu namanya, dan dia sendiri juga tidak ingat—kadang kami ingat hanya secuil dari kehidupan lama kami, misal, dulunya aku ketua BEM dan kadang refleks memimpin segala kegiatan persatuan hantu di sekitar sini.
Aku mengamati sekitar. Ada hampir seratus hantu yang berhasil keluar dari kubur di malam yang penting ini—beberapa ikat orang dalam kain kafan kotor, wanita-wanita yang punya skill terbang, lusinan pria berjas serta wanita berpakaian mewah meski sudah agak rusak gara-gara terlalu lama dalam tanah, dan puluhan manusia tengkorak. Sisanya, yang tidak bisa bangun karena tidak banyak tersisa dari mereka (hanya tinggal rambut, gigi, dan tulang yang lepas-lepas misal), memberi kami sorakan penyemangat.
Selain aku, ada sepuluh zombie lain, yang tidak dikubur pakai kafan dan keluarga kami terlalu miskin untuk memakaikan kami baju mewah atau memakaikan rias wajah. Jadi, kami bangun dengan tampang kusut seperti ... yah, zombie—seperti manusia yang kena penyakit parah sampai membusuk. Anak di sebelahku hanya pakai kemeja dan celana kain hitam, yang sudah robek-robek dan kotor. Pakaianku ... mungkin dulunya juga semacam kemeja dan celana kain sepertinya, tetapi sekarang sudah tidak berbentuk dan bernoda becek karena sudah berbulan-bulan kuburanku kebanjiran.
"Bos," panggil salah satu pria berjas. Dia menunjuk seorang pria tua yang tidur dengan kepala terdongak dan dengkuran keras di kursi kayu dekat gerbang TPU. "Langsung sikat, Bos?"
"Yang itu belakangan," kataku, "penjaga pemakaman itu yang membersihkan makam kita dan memotongi rumput liar di kuburanku semalam. Biarkan dia hidup lebih lama sedikit."
Kami berderap, terbang, atau meloncat menuju peradaban manusia terdekat. Menyeberangi jalan yang sepi, aku dan si anak zombie sampai lebih dulu ke jalan masuk kompleks karena kami lumayan cepat (jangan percayai stereotype zombie di film-film yang mengatakan bahwa kami lamban; kalau kami mau dan kaki kami masih utuh, kami bisa lari).
Kemudian, kami disusul beberapa wanita terbang. Sebenarnya para wanita terbang itu yang paling cepat di antara kami dan bisa saja sampai lebih dulu andai saja mereka tidak singgah-singgah dulu di semua pohon yang mereka lalui—kadang aku heran apakah itu semacam kebiasaan menongkrongi pohon atau cuma karena ujung baju mereka tersangkut dahannya.
"Formasi 2-2!" Aku memberi perintah, membuat para hantu kalang kabut menggaet temannya agar bisa berpasangan. "Ingat, jauhi vacuum cleaner, senapan listrik, rantai besi, atau apa pun yang bisa manusia pakai untuk memburu kita. Ambil pelajaran dari kawan-kawan kita si penghisap darah di seberang benua sana—mereka kira dapur tidak berbahaya, dan ternyata mereka takluk karena bawang-bawang yang disimpan para manusia keji! Jangan lengah! Kita adalah pemburunya malam ini!"
"Aye!" Mereka bersorak.
Para hantu bergerak dua-dua, mulai memasuki rumah-rumah terdepan kompleks. Di sisiku, tersisa si anak zombie, yang memandangiku penuh harap.
Aku terpaksa membawanya bersamaku, memasuki sebuah rumah besar yang tampaknya dihuni sebuah keluarga. Pintu garasinya terbuka, tetapi kosong—mungkin orang tuanya pergi. Berarti hanya ada anak-anaknya di dalam sana. Aku menyeringai.
Aku mengajak si anak zombie mengetuk-ngetuk jendela dan mencakari kacanya lebih dulu untuk kesan teatrikal. Saat terdengar suara seseorang akan membuka pintu, kami menyingkir dan menyasar pintu belakang. Saat melewati MCB listrik, aku menurunkannya dan membuat listrik rumah itu jeglek.
Terdengar suara teriakan kaget yang memuaskan dari dalam rumah.
Masuk lewat dapur, kami sengaja membuat suara-suara dengan menyeret langkah, menjatuhkan barang-barang, dan mengerang-erang serak yang tidak sulit dilakukan karena aku belum minum apa-apa sejak mati.
"Dek?" kata seorang anak perempuan. "Siapa di luar? Sekalian cek MCB listrik, ya!"
"Apa?" Kali ini suara anak laki-laki dari luar.
"Oke!" balas si anak perempuan.
"Ha?"
"Graaaah!" Aku meraung.
"Ya, makanya—kalau gerah, cek listriknya! Di dalam juga panas! AC-nya mati!" hardik si anak perempuan.
"Kok, kayak bukan suara adikmu, ya?" kata suara lain.
Bersamaan dengan itu, listrik menyala. Aku dan si anak zombie berdiri di depan pintu ruang tengah. Sekitar dua meter dari kami, dua anak perempuan yang tengah duduk di depan televisi menoleh dan mendapatiku bersama si anak zombie. Karena aku profesional, aku sudah pasang gaya dengan kedua tangan terentang ke depan dan wajah menyeringai jahat, tetapi anak zombie di sebelahku adalah amatiran. Dia malah menganga ... yah, wajah terpelongonya mungkin lumayan seram juga karena luka robek di hidungnya.
Salah satu anak perempuan menjerit dan memanjati lemari pajangan, yang satu lagi tersaruk mundur dengan tangannya yang meraba-raba lantai. Tidak ada vacuum cleaner di ruangan itu, jadi aku mendekat dengan percaya diri dan mencoba menerkamnya—
Blitz! Kilat menyambar dari sebuah benda persegi yang diacungkan oleh si anak perempuan. Dia tampak gemetar, tetapi juga tertawa dan berkata, "Live dari rumahnya temanku, guys! Hantu asli—no hoax! Ada dua biji seperti yang kalian lihat—hantu cowok yang mukanya bonyok dan hantu anak kecil yang ... ih."
Aku mencoba mendekat meski silau, tetapi si anak perempuan terus memutariku masih sambil mengacungkan benda persegi laknat itu.
Aku berputar untuk ganti target ke anak remaja lain yang duduk di atas lemari, tetapi lemarinya ketinggian ....
Dari arah pintu lain di seberang ruangan, seorang lelaki remaja sekitar umur 15-an masuk. Dia baru akan mengatakan sesuatu saat melihatku. Terpana dengan mulut membulat, dia mengangkat benda persegi yang sama dan mengarahkannya padaku.
"Mundur!" Aku meneriaki si anak zombie, yang berpose malu-malu saat perempuan dengan senjata persegi itu mengarah padanya. Aku menariknya dan kami kabur lewat pintu belakang.
Keadaan tak lebih baik di rumah lain. Teman-temanku berlarian keluar, diuber manusia-manusia dengan senjata persegi yang sama. Beberapanya berseru, "Viralkan!" entah teriakan perang macam apa itu.
Salah satunya berkomentar pada temannya, "Paling cuma kostum halloween."
Temannya membalas, "Yang penting viral dulu."
Salah satu wanita terbang meluncur turun dari pohon di sebelahku.
"Aigo, Bos!" sengalnya. "Aku barusan dinistakan sekumpulan remaja yang nongkrong nonton drakor di depan sana! Padahal aku cuma kepingin ikutan nonton!"
"Bubar, semuanya!" Aku mengomando.
Kami terbirit-birit ke jalan depan. Beberapa tengkorak tertinggal karena tulang pahanya digondol anjing-anjing penjaga kompleks.
"Masa cuma sampai sini?!" keluh salah satu anak laki-laki berkain kafan. Dia meloncat-loncat heboh di sisiku. "Apakah hanya sampai sini perjuangan kita?!"
"Manusia terlalu barbar!" tukasku.
"Aku tidak mau menyerah sampai sini!"
"Tunggu! Apa yang kau—"
"Akiramenai!" Dia melompat ke jalan, menghadang sebuah mobil yang tengah melaju.
Ban mobil mendecit di aspal jalan saat pengemudinya mengerem, tetapi ia tidak berhenti. Kaca depannya diturunkan, dan mobil melaju kembali, kian kencang.
"Halah! Begal sialan!" teriak seorang pria di belakang roda setir. Dia mengemudikan mobilnya menabrak si lelaki berkain kafan, melindasnya. "Modus pocong murahan—hih! Biar mati kau sekalian!"
"Aku sudah mati!" Kawanku menjerit nelangsa di bawah gilasan ban mobil.
Aku membantunya berdiri setelah mobil itu berlalu, kemudian memerintah cepat kepada yang lainnya. "Kembali ke makam!"
Kami semua kocar-kacir menyeberangi jalan dan kembali ke TPU. Si anak zombie di sisiku menoleh dan menjerit, "Mereka mengejar kita!"
Namun, saat satu demi satu dari kami melompat masuk kembali ke dalam tanah, para manusia tidak bisa mengikuti. Mereka tidak mau mengikuti. Mereka berkerumun di depan gerbang masuk pekuburan, menatap ngeri ke arah kami yang menghilang satu per satu. Dasar tidak tahu diri, harusnya kami yang ketakutan!
"Kita akan kembali lagi, 'kan, Bos?" tanya si anak zombie sebelum dia masuk ke makamnya.
"Tentu," jawabku penuh tekad. "Segera setelah kita punya harga diri lagi di sini!"
"Kapan, tuh?"
Aku tidak bisa menjawab. Kusuruh anak itu cepat-cepat masuk. Sesaat sebelum aku melompat ke dalam makamku sendiri, aku menoleh terakhir kali dan melihat si pria tua penjaga makam yang terperanjat bangun dari tidurnya.
"Hah? Lho?" Si penjaga makam mengerjap-ngerjap melihat sekumpulan warga. "Saya ketinggalan apa?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top