[30] Akhirnya, Masih Tidak Bisa Bersama(?)
"Seseorang menyediakan kita tempat untuk singgah tanpa membolehkan kita menetap karena yang lainnya membangunkan kita rumah, menunggu kita untuk pulang, dan tinggal selamanya."
***
"Enggak dipertimbangkan dulu, Fela?"
Suasana di dapur 'rumah Anand' ini menjadi muram karena wajah laki-laki itu kehilangan senyuman santainya.
Tadi dia serius?
"Aku harus bagaimana lagi, Fel? Bisa tidak kamu tolongin aku, sebutkan apa yang kurang dari aku atau apa yang perlu aku perbaiki dari diri aku. Kamu betul-betul tidak suka dengan aku, ya?"
Bunda. Aku tidak bisa mendengarkan ini. Aku harus bagaimana?
"Aku bersedia menunggu, berapa lama pun itu. Aku tahu. Aku paham apa yang kamu alami dahulu. Bisa, Fel, aku mau menemani kamu sembuhin luka itu. Tapi, belakangan ini aku merasa cemas. Sepertinya aku gak punya harapan lagi."
Anand membuka botol anggur. Minuman tersebut tidak mengandung alkohol terlalu tinggi. Seharusnya dinikmati bersama aromanya yang menenangkan syaraf-syaraf yang lelah seakan terapi. Namun, dalam kondisi ini di mataku minuman berwarna merah itu bagaikan pelarian. Anand menenggak dua tegukan besar alih-alih menyesap sedikit demi sedikit dengan lebih dulu memutar gelas untuk mengetahui kualitas minuman yang dibelinya. Anand tidak butuh rasa, ia ingin minum saja.
"Ngapain lihat aku? Untuk kamu sudah aku siapkan air rebus seratus derajat celsius. Jangan coba-coba minta milikku, gak baik buat air susu."
"Kamu meminumnya seperti lagi minum air putih."
Anand menyesap anggur merah dari gelasnya yang tinggal sedikit. "Kamu perhatian sekali sama aku. Sayangnya, aku tidak butuh perhatian kamu untuk cara aku minum. Perhatianlah kepada perasaanku."
Kata-katanya mengisyaratkan bahwa aku salah omong lagi. Sepertinya, lebih baik aku diam. Mulut ini kugunakan untuk makan saja. Lagian Anand telah menyiapkan aneka makanan yang memantik selera.
"Barangkali kamu masih curiga sama aku. Ah, kamu selalu berpikiran kalau aku cowok berengsek yang hobi ngajak cewek ngamar 'kan? Kamu tadi menyebut aku apa? Pengoleksi wanita?"
Anand memutar-mutar gelas berkaki panjang miliknya. Aku mendengarkan sambil mengunyah pizza dari loyang yang berbeda dengan yang Anand makan tadi.
"Benar dulu aku seperti itu. Namanya juga anak muda labil." Dia masih setia memutar gelas tanpa keinginan mencoba lagi minuman itu. Senyumannya terbit sedikit, senyum kecut yang berbeda dari Anand biasanya.
"Makin banyak pengalaman aku pikir makin expert untuk pasangan aku nanti. Lalu kapan semua petualangan itu menjadi tidak menarik lagi?" Anand menatapku kini.
Iris matanya yang cokelat berpijar. Lengkungan matanya dalam. Sorot matanya tajam. Alis tebalnya sejajar di atas bulu matanya yang lebat. Aku tidak ingin memutuskan tatapan.
"Sejak kamu pergi kepada orang lain. Tidak memberikan aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku. Tidak menunggu aku menyadari kalau orang yang aku inginkan di masa depanku itu adalah kamu. Tidak ada lagi satu pun wanita yang menarik di mataku. Jadi, jangan menuduh aku punya banyak pacar dan suka bawa perempuan ke rumah ini."
Maksud Anand desain kamar, isi lemari, kosmetik, serta handuk yang kupakai ini?
"Aku menyiapkan itu semua untuk kamu. Kalau ... kalau kamu bersedia memberikan aku kesempatan yang kesekian kali. Kalau kamu bersedia menerima perasaanku beserta diriku. Kalau kamu percayai aku untuk membahagiakan kamu bersama Gafi."
Aku akhirnya menyerah bertatap-tatapan dengannya. Beralih ke piring sate, mengambil satu tusuk daging yang dimasak dengan cara dibakar tersebut. Aku tetap bisa makan dengan tenang di depan laki-laki yang baru saja memaparkan perasaannya. Masih menikmati makanan yang dia sediakan setelah ajakannya aku tolak mentah-mentah. Apa lagi yang harus aku lakukan dalam keadaan begini? Anand terlalu serius.
"Minta tanggapannya, dong, Nona."
Aku menggeleng.
"Aku lagi maksa," ujarnya.
"Tetap tidak bisa."
Anand mengacak-acak rambutnya. "Why diajak menikah gak mau? Aku hamilin kamu, ya?"
"Heh!!!"
Anand tertawa. "Kalau gitu, kita pacaran aja. Aku bosan sahabatan sama kamu."
"Enggak, Anand."
Anand menuang isi botol ke gelasnya dan minum dengan kesetanan.
"Kamu bisa tersedak! Tenggorokan kamu bisa terluka." Aku berdiri merebut gelasnya.
Gantinya Anand minum langsung dari botol.
"Bisa hentikan, Anand? Ngambek kamu gak lucu." Sekarang botolnya juga aku jauhkan.
"Tenggorokan nggak boleh luka. Hati aku sengaja kamu bikin luka-luka sampai borokan."
"Kamu berlebihan." Aku duduk ke tempatku semula.
"Aku mau nyanyi."
Aku melongo menyaksikan Aditya Nanda Pradipta melantunkan Hargai Aku milik Armada. Jika lagu itu untukku, berarti dia mengatakan bahwa aku tak menghargainya, hanya melihatnya lewat sebelah mata saja. Kalau setiap lirik itu ditujukan untukku, berarti aku selalu merendahkan dia padahal aku yang punya banyak kekurangan.
"Memang benar." Aku mengakui setelah menarik tangannya agar tak lagi bernyanyi seperti orang gila.
Anand menyanyi dengan ekspresi bak orang ditinggal mati kekasihnya. Aku rasa dia mabuk wine. Atau akibat penolakanku, otaknya bergeser.
Aku berlutut di kakinya. Well maksudnya, dia duduk di bangku sementara aku di lantai dengan bertopang lengan di kakinya—pahanya.
"Kamu sendiri paham-sepahamnya kekuranganku."
Anand menatapku dengan mata sayu. Ditambah posisinya yang lebih tinggi dariku, matanya semakin mengecil ketika menatapku.
"Aku minta maaf untuk semua kata-kataku yang selalu menyakiti kamu. Atas tuduhanku ke kamu. Kamu orang baik. Aku salah paham selama ini. Aku percaya semua yang kamu jelaskan tadi."
"Kenapa kamu tidak ingin membalas perasaanku? Bukannya kita sudah lama dekat?"
Aku mengusap punggung tangannya dengan ibu jariku.
"Sebenarnya perasaanmu milik siapa?" Tatapannya masih lekat.
Aku menggeleng. Jika kujawab miliknya, dia akan terus mendesakku.
"Kalau lagi kosong, kenapa kamu nggak bisa memberikan aku celah?"
"Hanya belum saatnya." Ketukan palu pada sidang cerai masih kuat terdengar di telingaku.
"Kapan saatnya tiba? Berarti aku masih ada harapan?"
"Gimana, ya?" Aku jadi bingung mengelak yang bagaimana lagi.
"Aku cium kamu, ya?" Langsung saja dia menunduk.
Aku dengan cepat menutup mulutnya dengan telapak tanganku. Mata Anand memelototiku dan segera dia menyingkirkan tanganku dengan cara kasar.
"Kamu pulang sendiri saja. Sekarang." Aditya Nanda Pradipta duduk di lantai membelakangiku.
"Jadi, kamu mengusirku?"
Anand mengangguk. "Aku bisa mengusir kamu dari rumahku. Seandainya, semudah itu mengusir kamu dari hatiku."
"Aku diusir tidak, nih?"
Karena tak ada jawaban, aku berniat pulang.
"Jangan pergi!" Anand memegang pergelangan kaki kananku dengan dua tangan. Dia melakukannya sambil tiarap. Dia terlihat seperti anak kecil yang menggemaskan.
"Kamu udah usir aku tadi." Aku berjongkok agar lebih jelas melihat mukanya yang memerah efek minuman beralkohol.
"Aku batalin. Temani aku tidur ya, Fel?"
"Eh!"
Anand berguling di lantai. Masih tiarap, dia menyembunyikan wajahnya di lipatan tangannya di lantai. "Jangan kembali kepada papanya Gafi."
"Iya, Anand. Aku cuma kembali kepada anakku Gafi." Pulang ke rumah Bunda. Entah dia paham maksudku atau tidak.
Anand tak menjawab. Wajahnya juga tersembunyi. Aku beringsut mendekatinya.
"Tidur, Nand?" Tubuhnya kuguncang-guncang. "Jangan di lantai. Bisa masuk angin."
Anand lantas bersila. "Aku tidak ingin minta izin lagi," katanya lalu memelukku sehingga terduduk. "Kamu akan menolak terus," ucapnya.
Aku memejamkan mata menahan beban tubuhnya di pundakku.
"Pelukan pun nggak bisa kamu balas."
"Hm." Tanganku bergerak ke punggungnya.
"Fel. Aku tidak mabuk," gumamnya. "Ini hanya sandiwara. Aku pura-pura kelihatan gila." Anand melepaskan rengkuhannya dan kami duduk berhadap-hadapan di atas lantai.
"Termasuk yang nyanyi-nyanyi tidak jelas itu?"
Anand tersenyum. Senyumannya selembut gula kapas merah muda. "Sekarang jawab pertanyaanku. Aku harus berhenti di sini atau lanjut terus sampai berubah jadi aki-aki?"
Jawaban untuk pertanyaan yang dibalut canda itu sebetulnya sangat simple. Semudah menghela napas.
"Susah banget, woy!" teriak Anand. "Pulang aja deh kamu. Lama-lama aku kesal juga."
"Kalau gitu, aku pulang."
Setiba di rumah aku disambut oleh Bunda yang bersedekap di dada.
"Keluyuran dari mana sampai malam?" Tatapan Bunda memindai tubuhku.
Oh! Bajuku!
"Temani anakmu. Bunda juga sudah mengantuk."
***
Anand Pradipta [Beberapa minggu ke depan, aku di Batam untuk meninjau proyek pembangunan resort.]
Pesan tersebut kubaca berulang-ulang. Chat terakhir Anand setelah kejadian di apartemennya. Tak ada yang baru apalagi panggilan masuk darinya. Detik ini sudah tiga bulan dia menghilang. Tiga bulan lagi kalau dia masih tanpa kabar, Aditya Nanda Pradipta akan setara dengan Natirta Adiwijaya yang pernah raib juga. Bedanya sebelum pergi, Anand mengirim pemberitahuan.
Malam ini di ruang tamu yang dipijari lampu putih 12 Watt. Bunda duduk manis di kursi panjang dan menanyaiku tentang Nata. Apakah aku bersama Nata karena Anand yang tidak lagi beredar di sekitar Bunda? Tak pernah ke pasar untuk membantu berjualan. Tak lagi mengasuh Gafi ketika Bunda melayani pembeli. Bahkan aku baru tahu ternyata Anand melakukannya setiap hari. Kukira ia cuma datang ke pasar jika senggang. Aku tahunya dia sering ke pasar sebelum aku menitipkan Gafi ke Bunda karena bekerja.
"Tidak mungkin Fela balik sama dia. Yang benar aja, Bunda. Kalau Bunda berharap hal itu, Bunda sama saja mendorong kaki anak Bunda ke dalam lumpur."
"Siapa tahu kamu masih cinta sama Nata. Tepat waktu tukang culik itu pergi, perceraian kamu belum genap empat bulan. Bukankah itu kesempatan kalian untuk rujuk?"
Aku menutup mulut karena takjub atas tuduhan Bunda. "Mau itu sehari setelah ketok palu pun, Fela tidak ingin balikan dengan dia," tegasku.
"Karena sisa cinta kamu kembali direnggut oleh bocah itu? Iyakan? Dia saja tidak serius kepadamu. Mana dia sekarang? Pasti sudah dapat target baru dan lupa dengan kamu."
"Anand bekerja. Dia pamitan sebelum pergi, kok."
"Setelah itu, menghilang. Benar 'kan? Setelah dapat tubuh kamu, dia bisa melenggang pergi. Tujuan dia sudah jelas di mata Bunda sejak dulu."
Aku lebih takjub lagi dengan pemikiran Bunda yang ini. "Kenapa Anand seburuk itu di mata Bunda? Anand tidak sebejad itu sebagai laki-laki." Pasti itu buntut kesalahpahaman Bunda melihatku pulang terlambat waktu itu. Artinya, Bunda menuduh kami macam-macam.
"Anand ada salah apa, sih, kepada Bunda? Dia selalu sopan. Walaupun tampilan seperti bos preman, Anand itu hormat kepada orang tua. Dan Fela tidak akan mengulangi kesalahan seperti keledai dungu."
Mata Bunda menyipit. Tampaknya penjelasanku terlalu terus-terang. Bunda mengabaikan itu dengan mengulang pertanyaan, "Lalu di mana dia sekarang?"
"Kerja, kerja, kerja. Fela bilang kerja, Bundaaa."
"Kerja apa? Bukannya dia nganggur sehingga setiap hari datang ke pasar demi merebut hati anak kamu."
"Gimana caranya merebut hati Gafi? Yang ada dia menolong Fela jagain anak Fela, sekaligus bantu Bunda juga. Orang kayak gitu masih saja Bunda cerca."
"Siapa bilang Bunda mencela dia? Kalau iya, ya itu karena dia sendiri. Perjuangannya tidak sungguh-sungguh."
Aku menatap Bunda. Apakah aku terlalu lambat mencerna setiap perkataan Bunda? Sepertinya kekesalan Bunda kali ini berbeda dari sebelumnya.
"Bunda. Bunda tidak membenci Anand?"
Mata Bunda melebar.
"Bunda suka sama Anand?" tanyaku dengan semangat. "Bunda memperlakukan Anand seperti anak Bunda sendiri. Bunda mengomeli Anand sama parahnya saat ngomelin aku. Bunda sudah tahu dari dulu ... kalau aku cintanya kepada dia?"
Aku memeluk tubuh Bunda. "Bunda juga kehilangan Anand, 'kan?"
"Kamu kelihatan biasa saja sejak dia pergi." Aku mengartikan jawaban Bunda adalah iya.
"Fela percaya Anand pasti kembali, Bunda. Anand selalu menepati kata-katanya. Anand selalu datang kepadaku."
Bunda mengusap bahuku dengan tatapan teduh.
"Bunda harap begitu. Jangan sampai kamu dikecewakan untuk kedua kalinya. Kenapa?" tanya Bunda menyadari kegelisahanku.
"Tapi apakah kali ini Anand datang seperti dulu?" Dalam keyakinan itu, masih terdapat keraguan karena kesalahan yang aku lakukan padanya sebelum pergi.
Bunda tidak menjawab. Kami sama-sama tidak tahu jawabannya.
"Seandainya dulu Fela menerima ajakan Anand—"
Bunda menyela, "Haram hukumnya berandai-andai. Walaupun Bunda tahu perasaan kamu dari dulu kepada dia sebesar apa, Bunda tetap akan menikahkan kamu dengan Nata. Karena apa? Orang yang kamu cintai itu tidak memberikan kamu kepastian."
"Aku juga tidak menyesal menikah dengannya. Semua yang terjadi sudah menjadi suratan takdir bahkan sebelum dilahirkan. Fela tidak membenci Mas Nata. Hanya benci dengan caranya."
Seakan tahu ibunya sedang membicarakan ayahnya, Gafi memanggilku lewat tangisan kecil. Aku beranjak ke kamar untuk mengambilnya. Dia kembali diam setelah ada dalam pelukanku.
Diskusi kami masih berlangsung ternyata. Saat aku kembali duduk di depan Bunda, Bunda menatap Gafi lama. "Anand-lah yang selalu berada di sisi kamu saat kamu terpuruk, Fela. Bocah itu memegang tangan kamu ketika melawan maut demi menghadirkan cucu Bunda ke dunia. Dia selalu berlari dan tiba nomor satu saat kamu mengalami masalah. Bukan Nata."
Aku terenyak. Perlahan kilasan pernikahanku dan Nata melintas di memori. Pikiranku membenarkan perkataan Bunda. Nata memang membuatku bahagia dalam sandiwara pernikahan kami. Tapi apa yang dia lakukan selain itu? Bahkan dia tidak pernah mencemaskan aku dalam hal-hal sekecil apa pun. Dia tak ada di saat aku butuh dia. Dan sikap manis serta baik yang dia tunjukkan untukku, sama dengan yang dia lakukan kepada semua orang. Karena itu memang sudah menyatu dalam dirinya. Dia tidak memberikan aku sesuatu yang spesial.
Jika Nata adalah tempatku singgah, Anand adalah rumah. Anand selalu datang kala aku membutuhkan tempat berpegang. Kalau sampai Anand berhenti menjadi pegangan, itu salahku yang membuat dia lapuk dalam menungguku. Aku bahkan belum pernah jujur tentang perasaanku kepadanya. Rasa yang aku punya untuknya dahulu kala, maupun rasa yang pulang untuknya setelah perjalananku yang singkat.
Bunda beranjak ke kamarnya. Tinggallah aku dengan Gafi. Aku mengambil ponsel di atas meja untuk menghubungi Anand. Rasa cemas mendera ketika memulai panggilan. Apakah dia akan mengabaikan teleponku? Kalau dia tak menjawab, barangkali dia sibuk. Tetapi, apakah kesibukannya sampai malam? Dan rasa cemas pun menyerang.
"Fela? Kamu baik-baik aja?"
Wajah Anand muncul di layar ponselku. Dia terlihat khawatir. Padahal penampilannya sendiri tampak lusuh dan letih. Terlihat dari seberapa berantakan rambutnya dan kesemrawutan dia memakai kaus longgar. Dia juga memiliki kantung mata.
"Kamu di sana, apa kamu baik-baik saja?"
Dia menggeleng.
Aku menjauhkan kamera agar dia dapat melihat Gafi juga.
"Karena pekerjaan?"
"Karena kamu."
Aku tersenyum lega. "Kenapa tidak menelepon kami?"
"Aku menunggu kamu melakukannya lebih dulu. Dan kamu mengabulkan apa yang aku harapkan. Gafi merindukan Panda?" Anand menyapa putraku.
"Sangat rindu katanya."
"Bagaimana dengan mamanya?"
"Kalau iya, kamu bisa menemui kami segera?" tantangku. Tidak berharap banyak karena realistis saja. Pekerjaan lebih utama.
Anand menggeleng dengan wajah menyesal. "Aku tidak sanggup berdiri."
"Kamu sakit? Kamu di mana? Rumah sakit? Siapa yang menjaga kamu, Nand?"
"Ciye. Cemas banget dengar aku sakit. Nanyanya borongan."
"Kenapa bisa sampai sakit? Gagal gagah kamu."
Anand tertawa. "Udah dibilang, ini karena kamu. Kata dokternya nama sakit aku, love infectious diseases. Karena sudah melihat obatnya, aku merasa lebih sehat. Tapi kalau nyetir ke sana sepertinya belum mampu."
"Kamu di mana? Sudah berada di rumah?" Rumah yang aku maksud tentunya adalah apartemen yang dia tinggali sendirian. "Aku yang ke sana?"
Anand tersenyum semakin berseri daripada pertama kali melihatnya tadi.
"Ya ampun. Aku semakin sehat kalau kamu kayak giniin. Kamu gak perlu khawatir. Aku ada yang ngurusin di sini, dipaksa diurus lebih tepatnya."
Aku berbisik dengan mendekatkan mulutku ke microfon ponsel, "Kamu di rumah orang tuamu?"
"Seratus buat kamu. Besok aku janji sudah bisa nyamperin kamu lagi. Menggendong anaknya Panda yang gemesin juga."
"Aku bersyukur—"
Gambar Anand berubah menjadi dinding lalu panggilan terputus. Nomornya tidak aktif lagi saat aku hubungi. Aku memeluk Gafi erat. Pikiranku sudah macam-macam. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi pada Anand. Aku tak tahu di mana rumah orang tuanya. Ini sudah pukul sepuluh malam. Terlalu malam untuk berkeliaran di luar seorang diri. Aku memutuskan untuk menidurkan Gafi karena dapat dipastikan aku tak dapat terlelap malam ini. Sengaja aku tidak membawa ponsel ke kamar agar tanganku tidak mencari nomor Anand. Lalu semakin cemas waktu aku menghubungi nomornya yang setia mati.
"Fela!!!" Aku terduduk oleh suara Bunda.
Aku ternyata bisa tertidur, walau hanya dua jam. Mataku terasa panas ketika dibuka dan kepala serasa ditusuk-tusuk. Gafiku masih nyenyak tidur miring membelakangiku.
"Kenapa pagi-pagi sudah teriak, Bunda?" Di luar belum terlalu terang. Ketika memastikan ke jam dinding, jarum pendeknya menunjukkan angka setengah enam. "Fela masih ngantuk sekali." Aku memukul-mukul sisi kepala yang sakit. Aku sangat wajib meneruskan tidur sebelum ke kantor.
Kantuk, sakit kepala, dan panas di mata seketika hilang melihat siapa yang tersenyum di tengah-tengah pintu masuk.
"Ada orang bertamu kepagian," kata Bunda, lalu berjalan ke dapur.
"Pagi, Beb." Seperti janjinya, Anand datang dengan keadaan sehat. Sebaliknya, aku pasti terlihat seperti induk singa dengan rambut berantakan dan kantung mata tebal.
"Yang semalam kepotong. Aku gak bisa menelepon kamu lagi. Ya sudah, sekalian pagi ini aku samperin langsung."
"Demam kamu gimana? Duduk, Nand, nanti pusing lagi." Aku menuntun Anand ke sebuah bangku.
"Rasakan sendiri," katanya, mengambil tanganku kemudian disentuhkan ke lehernya. "Turun dikit lagi, kamu bisa mengecek suhu jantung aku juga. Cek aja, Fel, seberapa dalam perasaan aku lewat kehebohan detakannya."
"Laki-laki tidak perkasa," sela Bunda yang datang dengan segelas teh hangat. "Begitu saja sudah K.O."
Anand menyengir sambil mengusap leher sendiri, "Infeksi penyakit Anand agak beda, Bunda. Obatnya susah digapai."
Bunda mendengkus. "Habisin tuh teh dan rotinya. Jangan sampai pulang dari sini terbaring lagi di klinik."
"Bunda baik sekali. Terima kasih." Anand meminum teh. Tak lupa menggigit besar-besar roti yang disediakan Bunda.
"Udah selesai iddah-nya Fela. Kamu siap menikahi dia?"
Anand tersedak roti.
***
TAMAT
Sumsel, 31 Maret 2022
Selamat tinggal, Pernikahan Singgah.
Terima kasih, Chingu, telah menungguku untuk mengucapkan perpisahan ini--setelah membubuhi akhir tulisan dengan TAMAT.
Pernikahan Singgah ditulis sejak September 2019. Perjalanan Fela-Nata sangat singkat, tapi perjalananku menulis kisah mereka sangat lama.
Semoga berkenan dengan akhir ceritanya. Maaf jika kelamaan bahkan di luar ekspektasi.
Sejak awal, konsepnya adalah pernikahan singgah, singgah artinya hanya berhenti sebentar sebelum melanjutkan perjalanan. Meski ada ragu: membuat yang singgah menjadi menetap, Kasev ingat lagi kesetiaan Anand.
Kalau bersedia, ayo berjalan bersama ke Syarma Global School untuk menemani perjalanan Nata.
;
;
[Tanpa extra part versi Wattpad.]
Tersedia Ekstra Part di Karyakarsa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top