[29] Dinner Romantis dan Sebuah Lamaran

"Meraih hati kamu itu sulit karena pemiliknya masih berkeliaran. Terkadang aku ingin berkata 'Ya udah sama dia aja', tapi aku belum ikhlas dan ingin tetap berjuang. Entah sampai kapan? Barangkali sampai kamu sendiri yang meminta aku mundur. Selama kamu masih ragu-ragu, aku akan berjuang merebut kamu dari dia."

***

"Kamu di sini?" Mengabaikan Nata di belakangku, aku menyapa Anand yang juga berjalan beberapa langkah ke arahku.

"Katanya mau jemput ke kantor aku?"

"Kamu nolak 'kan kemarin? Aku asumsikan kamu pasti bawa sepeda motor. Makanya aku tunggu di rumah saja."

Aku mengangguk.

"Pak Guru masih di sini? Jemput Fela?" sapa Anand waktu Nata berada tak jauh dari kami.

Nata kulihat hanya mengangguk. "Jadi, akan ada acara?" Tak malu Nata bertanya. Baginya, mungkin hanya basa-basi. Di telingaku seperti rasa ingin tahu yang tinggi--kepo.

"Terserah sama orang yang mau ngajak," jawabku.

Kelihatannya Anand sudah tak mood untuk melanjutkan rencananya itu.

"Terserah yang mau diajak. Kalau rencana pertama dianggap lebih penting, acaranya lanjut."

Menyebalkan. Dia membalasku.

"Aku baru pulang dan perlu mengurus bayiku. Mungkin ada yang lupa aku ini ibu tunggal."

Anand bergerak selangkah. Bukan mendekat kepadaku, tapi ke lelaki yang pernah berstatus sebagai suamiku.

"Sekarang ini saya sedang berjuang untuk wanita yang pernah seseorang siakan. Saya bakalan pulang, bukan berarti saya memberi Anda peluang. Mana ada kesempatan kedua?"

"Oh, ya?" Suara Nata terdengar meremehkan.

Aku pun menjadi tertarik dengan balasan yang akan dia katakan.

"Jadi berhentilah," kata Nata menatap Anand dengan sorot mata datar. Dalam posisi begini, ternyata Anand lebih tinggi dari Nata, walau hanya beberapa senti.

"Berhenti? Siapa kamu berani bilang begitu? Mantan itu setara sama sampah, yang dibakar terus abunya diminum, biar keluarnya sama ups--Maaf, saya jadi lancang. Mancing-mancing nih, Pak Mantan."

Nata terlihat cukup shock dengan penyetaraan yang dibuat Anand. Dia menepuk pundak Anand, mendekatkan kepala ke telinga Anand, dan mengatakan dengan tegas, "Kamu pernah membuang kesempatan pertama kamu. Jangan berharap ada kesempatan kedua." Sekali lagi Nata menepuk pundak Anand sebanyak dua kali, lalu ke arah rumah.

"Anda gak pulang? Kok malah masuk?" tanya Anand dengan nada protes ketika belum selesai rasa terkejutnya oleh kata-kata terakhir Nata.

Tanpa berbalik, Nata menjawab, "Saya ingin bertemu anak saya. Mamanya juga. Untuk itu saya menjemput mamanya Gafi." Santai dan pasti Nata mulai menginjak undakan tangga teras.

Anand menganga. "Wah! Baru ketemu sama orang yang kalau diam kelihatan kalem, kalau buka mulut sangat menyebalkan. Jadi pengin lempar dia pakai sepatu!" Anand mengangkat sebelah kakinya.

"Beb. Kenapa dia tahu masa lalu aku yang sangat-sangat buruk? Kamu cerita tentang aku sama dia? Wah, gak fair kamu, Yang. Gagal gagah aku depan dia."

Apa aku pernah membahas Anand? Sepertinya kerja alat pembersihan di otakku berjalan dengan sangat baik. Aku bahkan melupakan detail-detail percakapan bersama Nata.

Kira-kira tahu dari mana Nata tentang masa lalu Anand dan aku? Lalu, samar-samar aku mengingatnya. Saat itu, Nata membuatku amat marah. Dia lebih dahulu mengungkit masa laluku dengan Anand, sehingga aku meneriakkan di depan mukanya bahwa aku sangat mencintai Anand. Aku melupakan Anand demi dia, sementara dia justru membuat aku seperti orang bodoh dalam pernikahan kami. Diingat sekarang pun, aku ingin menonjok muka Natirta Adiwijaya.

"Kamu pernah bicara dengan dia, Nand? Dia bilang apa kepada kamu waktu itu?"

Rekaman memoriku kembali. Sewaktu kunjungan Nata sebelum kami berpisah, Nata mengangkat telepon Anand. Paginya, Anand telepon lagi dan bilang akan berhenti menemui aku selama aku masih menjadi istrinya Nata. Anand betul-betul menepati kata-katanya saat itu.

"Belum pernah. Baru sempat ngomong sekarang. Dulu cuman tatap-tatapan doang waktu jemput kamu."

"Fela! Ngapain kamu masih meladeni bocah itu? Gafi nanyain kamu ini," teriak Bunda.

"Sebentar, Bun. Pernah. Di telepon, benar 'kan?" Aku menyambung kembali dengan Anand.

"Apa, ya? Gak inget, Beb. Udah lama banget. Mungkin itu gak diproses sama otakku."

"Udah lama banget? Katanya gak pernah. Katanya gak ingat. Tapi tahu itu kejadiannya sudah lama. Bohong juga butuh skill, Anand."

"Lha, aku bukan mantan kamu yang boongnya andal. Aku cuma Anand."

Aku memukul lengannya. Benar semua yang dia katakan.

"Senyum kamu manis banget sih, Yang. Jadi mau dipeluk."

Aku meniru kata jadinya, "Jadi ... kamu diapain?" lanjutku tak ingin melepaskannya.

"Siapa yang ngapa-ngapain aku? Ada juga kamu yang bikin aku menggelepar sampai hampir pingsan karena salting lihat kamu makin hari makin manis."

"Anand!" Pipiku terasa panas.

Anand garing sekali, tapi otakku tidak mempan untuk mengabaikan gombalan-gombalannya. Aku janda anak satu, kenapa bertingkah seperti abege?

"Kamu bisa serius gak sih, Nand?" Aku tahu dia sangat susah dibawa serius--

"Sekarang banget nih minta diseriusannya?"

Aku membalikkan badan. Dia sepertinya memang tidak berniat untuk menceritakan masa lalu itu. Dia tidak tahu bagaimana saat itu aku merasa sangat ketakutan kalau dia akan menjauh selamanya. Seakan, Nata mengucapkan kata-kata yang menyebabkan Anand mundur bahkan sebagai temanku.

"Makan malam romantisnya kita jadwal ulang ya, Beb. Kalau begitu, aku pulang sekarang."

Suara mobillah yang membuat aku berbalik untuk melihat dia benar-benar telah pergi.

Tadinya aku berpikir kalau Anand akan mengalah kepada Nata seperti dahulu. Lalu, dia sendiri yang mengatakan bahwa dia tidak akan memberikan Nata kesempatan. Terdengar takkan menyerah. Namun, saat ini dia seakan melakukannya lagi.

"Dari setengah lima sudah duduk di ruang tamu. Gak tahu malu, diusir tidak mau pergi," omel Bunda sewaktu aku masuk rumah.

"Bunda." Aku menarik-narik lengan baju Bunda.

"Apa? Mau belain dia lagi?"

"Ngomelnya disetop dulu, please."

Bunda melirik ke arah ruang tengah. "Biarin Nata dengar."

"Ih, Bunda. Jangan gitu. Salah Anand apa? Harusnya kalau Bunda mau ngomel, sama Mas Nata saja."

Aku melihat ke Nata sekali dia. Dia tengah sibuk bersama Gafi. Semoga dia tidak mendengar ketidaksukaan Bunda kepada Anand.

"Kenapa memangnya, Fel?"

Aku memukul sebelah kepala agar berhenti berpikir tak tentu arah.

Selesainya mandi dan berganti pakaian rumahan, aku menyiapkan makanan untuk Gafi. Lalu bergabung bersama Gafi dan papanya.

"--menjaga mama, Nak. Pantau mama biar gak nakal sama om itu."

Alisku naik sebelah. Bicara apa dia kepada anaknya?

"Nah itu, mama sudah datang. Bawa makan untuk Gafi. Say hay ke mama Gafi, Nak. Berikan mama senyuman tampan supaya muka betenya hilang."

"Siapa yang bete?" Dan ternyata, orang pendiam kalau sama anaknya jadi secerewet Natirta Adiwijaya.

Mangkuk bubur yang kupegang kuulurkan kepada Nata. "Belajar kasih anaknya makan. Nih," kataku tidak terima penolakan.

Aku pun bersandar di sofa, "Halo, Baby, anak Mama paling ganteng. Sekarang makan sama papa dulu ya, Nak. Bentar lagi papa balik, Gafi gak bisa ketemu lagi dalam waktu dekat."

"Tidak perlu sejelas itu, Fela."Nata mengambil mangkuk itu dan mulai menyuapi putranya.

"Sedari dini aku mengajarkan putraku untuk jujur. Soalnya dia ada bibit tukang bohong."

Bunda berdeham sangat keras dari tempat yang tidak aku ketahui. Telinga Bunda supersekali. Tahu saja di mana saatnya untuk menegurku. Padahal, aku bicaranya pelan dan Bunda tidak terlalu dekat dari ruangan ini. Hebat sekali neneknya anakku itu.

"Dikit-dikit aja. Jangan sesendok penuh gitu. Keselek nanti itu anakku."

"Seujungnya saja, Fel?" tanya Nata menunjukkan sendok. ”Sendok ini sudah kecil,” gumamnya. ”Sedikit sekali kalau segini?”

"Coba tambah sedikit lagi. Separuh sendok, kurangi sedikit."

"Jadi, ukuran berapa?" tanya Nata lagi mengeruk bubur nasi merah tersebut dan memperhatikan dengan saksama.

"Capek lihat kamu. Sini biar aku aja."

Nata menjauh tak ingin mengembalikan tugas tersebut kepadaku. "Saya mau belajar."

"Ya kalau udah bisa pun, kamu tidak akan bisa menyuapi Gafi. Jadi, sini biar aku saja."

"Makanya kamu pertimbangkan usulan saya."

"Kamu ini ngeyelan juga, ya? Sekali tidak, aku enggak akan mau sampai kapan pun, Nata!" Aku menyebut namanya dengan nada yang panjang.

"Segini 'kan?" tanya Nata tidak lagi membahas soal kepindahan.

"Kapan kenyangnya itu bocah?" gumamku.

Sekitar pukul delapan aku meng-ASI-hi Gafi supaya tidur, tapi tidak tidur-tidur. Nata diladeni oleh Bunda di depan. Suara mereka terdengar sampai ke kamarku. Pintunya sengaja tidak tertutup rapat karena niatku untuk menguping.

Mungkin karena Nata adalah anak dari sahabatnya, Bunda masih bisa baik-baik kepada Nata. Barangkali kalau mamanya Nata masih hidup, Bunda akan sulit berbaikan dengan keluarga mereka. Jadi tidak heran kalau Bunda dapat berbicara dengan lembut dan sopan kepada Nata. Bunda sedang mengangkat topik yang cukup penting, yang juga ingin aku ketahui. Ke mana Nata selama enam bulan?

"Mungkin akan terdengar seperti alasan yang dibuat-buat. Sejujurnya, waktu itu saya ada masalah dengan Hesi. Disusul dengan pendidikan profesi. Lalu akreditasi. Tapi, sebenarnya saya pun mengulur waktu. Saat itu, saya berharap bahwa Fela akan membatalkan gugatannya. Kalau saja tertunda sedikit lebih lama, Fela akan berubah pikiran, sehingga saya masih ada kesempatan untuk menjadi pendamping Fela dan anak kami."

"Dan kamu berpikir Fela akan iya-iya saja menjadi istri kedua kamu? Kamu tidak mengenal Fela. Dia tidak mudah."

"Dia tak akan mau memperpanjang pernikahan kami, termasuk saat saya dengan tanpa sadar mengatakan akan melepaskan Hesi demi Fela."

"Kamu akan bercerai dengan istri muda kamu kalau Fela bersedia tidak bercerai?"

"Saya menyayangi mereka semua." Mana mungkin Nata menjawab iya. Aku yakin dia menggeleng sebelumnya.

Kalau misalnya Gafi tidak sedang berusaha terlelap, aku sudah kejar laki-laki itu dan memukul kepalanya supaya kembali normal. Aku tahu dia memang sulit membuat keputusan karena dua hal. Satu, dia sangat mencintai Ambar. Dua, dia tidak mau lepas tanggung jawab dari putranya. Alasan kedua aku yakini setelah mendengar ceritanya tentang hilangnya dia selama enam bulan. Waktu setengah tahun, tanpa menemui anaknya sama sekali, Nata pakai untuk mengulur waktu dan berpikir.

"Apa betul kamu sudah menceraikan istri kamu yang muda?"

Kalau aku adalah Nata, akan aku jawab 'iya' karena istri muda Nata dulu adalah aku.

"Hah? Jadi kenapa papa kamu bilang kalian bercerai?"

"Lebih tepatnya berpisah sementara. Dia saya amankan dulu."

Aku menutup bagian dadaku dan memastikan Gafi juga telah menutup matanya lekat-lekat. Cepat-cepat aku keluar kamar.

"Papa nggak mungkin berbohong." Gen bohong itu dimulai dari kamu, lalu anakku dapat cipratannya, kesalku.

"Berbohong dan tidak mengatakan yang sebenarnya itu berbeda, Fela."

"Teori ngawur dari mana tuh? Sekali bohong, kamu bohong saja terus, termasuk kepada ayah kamu sendiri."

"Papa tidak saya beritahu bagian itu, tapi papa tahu keberadaan Hesi."

"Di mana?" tanya Bunda.

Nata bungkam.

"Bunda gak perlu tanya. Kasihan Nata harus pura-pura budek daripada berbohong."

"Saya boleh melihat Gafi lagi?"

Nata mengatakan kalau penerbangannya terjadwal besok pagi. Dia tidak sempat ke sini.

"Lihat saja, kenapa minta izin?"

Bunda menggeleng begitu Nata beranjak ke kamarku. Bunda memukul-mukul lenganku.

"Kenapa lagi, Bun? Bunda bisa baik sekali sama Mas Nata. Fela dianiaya. Bunda sudah lupa?" Semua yang terjadi karena Nata?

"Gafi di kamar kamu. Tentu saja dia perlu minta izin! Bodoh sekali kamu sejak berteman dengan tukang melarikan anak gadis orang."

"Anand lagi yang Bunda salahin."

"Bunda nggak membahas dia."

"Lalu 'tukang melarikan anak gadis orang' yang Bunda maksud siapa? Fela juga 'berteman' hanya dengan Anand. Malahan jauh sebelum dia melarikan calon pengantin orang. Berarti Fela bodoh karena dia karena bisa menjadi korban kebohongan suami Fela?"

Bunda menguap hebat. "Bunda masuk kamar duluan. Mengantuk sekali. Salamkan saja kepada Nata kalau dia mau pergi."

Aku memukul keningku kesal. Bunda!!!

***

"Cewek. Ikut mobil Om, yuk." Anand menurunkan kaca mobilnya.

Aku tidak membawa kendaraan karena dia bilang akan menjemput dari kantor. Kami tidak pulang dulu ke rumahku.

"Tadi kamu bekerja?"

Anand menoleh. "Kenapa, Beb? Bau-baunya, kamu mau bilang aku berpenampilan seperti gembel? Ini style, Sayang."

Sudahlah, aku tak pernah lagi mengoreksi panggilan Anand yang satu itu. Dia selalu ngotot kalau itu mulutnya, itu bibirnya, itu lidahnya, dan itu perasaannya, serta itu kejujurannya, dan macam-macam itu lainnya.

Sebetulnya, aku berpikir kalau Anand ingin mengenalkan aku kepada orang tuanya. Itu sebabnya aku menolak dia kemarin. Walau tidak menolak secara tegas sebab aku ... sebab aku hanya ingin Anand tidak kecewa atas penolakanku. Aku berencana untuk menganggap pertemuan makan malam nanti hanyalah silaturahmi sebagai sahabat Anand saja.

"Kamu tinggal di hotel, tidak dengan orang tua kamu?"

Jangan-jangan dia memiliki unit paling atas di gedung ini. Sebuah penthouse yang sangat mewah jika mengingat betapa kaya keluarganya. Hotel ini adalah milik keluarga Anand.

"Lantas?" tanyaku karena Anand menggeleng.

"Aku udah hidup mandiri sejak kuliah. Kamu pikir setelah bekerja, aku balik lagi tinggal dengan mereka? Ih, males."

Pikiranku berceceran. Semua yang aku bayangkan runtuh seolah dihantam badai. Maksud dia mengajak aku makan malam romantis di rumahnya adalah makan berdua di apartemennya?

"Anand, putar balik aja."

Anand telah memarkirkan mobilnya di basemen gedung ini.

"Kenapa dengan Gafi?" Dia telah siap untuk memutar setir lagi.

Bukan karena Gafi!

"Gafi tidak apa-apa." Jangan berbohong, Fela.

"Lha terus apa yang membuat kamu mau putar arah? Kita baru aja sampai, Beb."

"Aku pikir ...." Apa kata Anand kalau aku bilang, aku berpikir dia akan mengenalkan aku kepada orang tua? Dia akan mentertawai aku 'kan? Dia belum seserius itu bukan?

"Mikir aja terus!" Anand membuka pintu. "Turun gak?"

Aku menggeleng.

"Mau digendong ya, Yang? Gendongan ala pengantin baru gitu. Mau?" Dia menaik-turunkan alisnya.

Aku terpaksa keluar sendiri. Setiba di luar, Anand telah mengulurkan tangan ala-ala pangeran kepada tuan putri. Aku memukul tangannya.

"Wow! Galak. Seru nih kita nanti."

Aku berjalan meninggalkannya.

"Beb, bukan ke arah sana. Ke sini," panggil Anand.

Dalam sepuluh menit, aku telah berada di sebuah unit apartemen yang menakjubkan. Aku tahu bahwa Anand dan aku bak langit dengan bumi. Kasta kami berbeda. Dia anak sultan, aku orang biasa. Dia bujangan, aku janda. Apartemen yang dia bilang 'rumah' ini semakin menampakkan kesenjangan antara aku dengan Aditya Nanda Pradipta.

Puas mengamati interior mewah, aku melihat ke meja persegi yang terbuat dari kaca tebal. Di sana kosong. Barangkali ada 'makan malam' di meja lainnya. Aku berjalan ke arah balkon pun tidak menemukan tanda-tanda makanan.

"Kamu mau ganti baju dulu?" tanyaku, menyimpulkan kalau Anand sebetulnya ke apartemen hanya mampir. Pasti makan malamnya di resto.

"Iya bentar lagi setelah mandi. Kamu juga sebaiknya mandi, Beb. Pakai kamar mandi di kamar aku. Aku mandinya di kamar mandi luar. Semuanya sudah aku siapkan di dalam. Pakai aja, feel free."

"Gak usah. Terima kasih. Seperti ini saja," tolakku.

"Panas dong, Beb, balik kerja gak mandi. Mana sudah mau malam. Mandi aja, Yang. Kalau takut aku intip, kunci kamarnya. Aku gak tahu kunci serapnya ditaruh mana, kok."

Aku bergegas ke kamar yang dimaksudnya dan memastikan pintu telah terkunci. Dada ini bereaksi kencang ketika menyadari di mana aku berada. Seperti keadaan di luar kamar, aku juga terpesona oleh keindahan kamar Anand. Bukan, ini tidak terlihat seperti ruangan pribadi seorang laki-laki. Warna-warna emas dan kaca rias yang besar serta kokoh membuat kamar ini layaknya sebuah kamar perempuan. Di atas meja kaca rias juga tersusun beberapa kosmetik yang jelas itu bukan milik pria.

Kakiku bergetar dan mata terasa memanas. Aku berjalan ke arah lemari jati besar di seberang tempat tidur. Isinya membuatku menahan napas. Ada satu deret pakaian wanita tergantung di sana. Aku segera menutupnya, tak ingin melihat lebih banyak.

Aku melangkah menuju kamar mandi dalam kamar ini. Aroma wangi khas Anand menyerang indra. Di atas closet aku duduk dan merenung.

"Untuk apa dia memperlihatkan aku semua ini? Ingin pamer berapa banyak wanita yang sudah dia ajak makan malam romantis di rumahnya ini?"

Samar-samar tercium aroma lembut dan menenangkan. Aku berdiri dan menyingkap tirai. Bathtub penuh mawar menyambut mataku. Kapan dia menyiapkan ini? Aku merasai airnya, sedikit hangat.

"Dia ingin aku mandi atau tidur di sini?" Dengan pikiran sangat ruwet dan tubuh letih, bisa jadi aku akan ketiduran saat berendam. Aku berjalan hendak keluar. Lambaian tanganku menyebabkan sebuah sabun terjatuh ke lantai. Lalu terinjak oleh kakiku dan tubuhku sukses tercebur ke bak mandi berbunga.

Aku tidak percaya bahwa diriku bisa terpeleset di sebuah kamar mandi yang nyata-nyata tidak licin ini. Bodoh, Fela. Aku harus pakai apa nanti kalau pakaianku saja sebasah ini?

***

"Astaga!" teriak Anand ketika aku keluar kamar dan menemui dia sedang menata meja makan.

"Fel! Kenapa kamu tidak pakai baju?"

"Nand! Gak perlu berteriak, aku malu. Gimana kalau tetangga dengar?"

Anand menutup mulut dengan mata masih membesar. "Gak mungkin ada yang mendengar, Beb. Memangnya ini kontrakan tujuh pintu?"

"Oh. Kamu, sih, teriak lebay. Aku pakai baju dibilang enggak. Kalau ada yang dengar, mereka pasti berpikir aku tidak waras."

"Bukan kamu yang tidak waras. Aku yang lihat kamu cuma pakai handuk itu menjadi sinting. Kan ada banyak baju di lemari. Pakai saja yang kamu suka."

"Aku gak mau pakai baju pacar-pacar kamu. Lebih baik handukan saja."

Anand menggeleng, "Pacar-pacar aku siapa, Beb? Pacar saja aku nggak punya. Kamu kapan mau jadi pacar aku biar aku punya pacar?"

Aku menganggap tak pernah mendengar pertanyaannya. Berjalan ke meja kaca yang tadinya kosong sekarang penuh dengan aneka makanan.

"Kapan datangnya? Kamu pesan semua makanan ini?"

Ada dua loyang pizza dan sebotol anggur. Dalam piring agak besar terdapat ayam crispy. Di sebelahnya adalah mangkuk nasi cukup besar juga untuk makan berdua saja. Kemudian, tumis jamur tiram dalam mangkuk yang agak kecil. Terakhir, beberapa tusuk sate kuah kacang di atas piring datar,

"Iya, memang dapatnya dari beli. Aku gak bisa masak, tapi kalau kamu ingin dimasakin sama aku, aku mau belajar kepada chef di hotel si Pak Bos. Aku cuma bisa menyediakan kamu air putih yang direbus pakai kompor. Tuh, kamu gak suka air galon kan, Beb."

"Tapi gak perlu merebus air. Dari kemasan botolan saja."

"Aku ingin kamu melihat usaha aku walau dikit, Yang."

"Anand!" Aku menggeleng-geleng.

"Beb, pakai baju, dong. Ayolah jangan kayak begini."

"Ini kan baju, Anand. Bahannya tebal, lengannya panjang, dan sampai betis. Tuh lihat. Jangan paksa aku pake baju perempuan lain."

"Itu cuma handuk, Fela!!!"

"Handuk ini lebih enak dipakai daripada baju aku yang basah."

"Aku punya banyak baju untuk kamu, Fel, kenapa juga pakai baju basah. Lagian baju itu masih ada label, belum ada yang pake. Aku aja yang ambilkan."

Aku mengikuti Anand ke kamarnya. Ketika dia membuka pintu lemari yang telah aku intip sebelumnya, aku menyadari kalau Anand benar. Semua baju dalam lemari itu masih baru.

"Kamu mengoleksi baju wanita juga? Aku pikir hanya mengoleksi wanita saja."

"Nih, kamu tarik saja yang kamu sukai. Cepetan pakai pakaian yang sopan. Dalam rumah berani-beraninya dia handukan doang." Anand keluar sambil mendumel.

Pilihanku jatuh pada kaus dan celana lengan panjang dengan karet di pergelangan tangan dan kakinya. Lehernya betul-betul menempel rapat ke lulitku. Warnanya merah muda pudar. Aku menyanggul rambutku tinggi-tinggi dengan ikat rambut.

"Nah begini cakep," kata Anand dengan wajah cerah.

Aku menarik bangku. "Makan apa dulu, ya?"

Aku mengambil paha ayam. Kelihatanya gurih dan renyah. Sambil makan aku bertanya pada Anand yang sedang mencomoti sosis pada pizza, "Kamar kamu emang didesain seperti itu? Betah banget pasti pacar kamu tidur di sana."

"Kamu nyium bau hangus gak, Beb?"

"Mana? Ada yang kebakaran?"

Anand menunjukku. "Dalam dada kamu ada kebakaran. Terbakar api cemburu."

Aku melempar Anand dengan tulang ayam. "Kepedean."

"Kalau bukan cemburu, apa dong? Bawa-bawa pacar terus dari tadi. Kadang aku tuh pengin menempeleng kamu supaya bener lagi saraf-sarafnya."

"Aku tidak gila!" Makan malam yang sangat romantis. Dia terus-menerus membuatku kesal malam ini.

"Kalau gak gila, dengerin aku bicara sampai selesai."

Aku mengangguk. Mencolek ayam dengan tumis jamur dan ternyata enak juga.

"Menikah dengan aku yu, Fel?"

"Enggak."

***  

MUBA, 30 MARET 2022

ANAND GAK BISA ROMANTIS, LOE???

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top