[28] Tak Sengaja Membuatmu Luka

[28] Tak Sengaja Membuatmu Luka

Kamu berhak diperjuangkan, tetapi percuma berjuang jika orang yang kita perjuangkan juga sedang berjuang untuk orang lain. ~Aditya Nanda Pradipta~

***

Tidak ada campur tangan Anand di perusahaan penerbitan yang aku lamar artinya aku memang layak dipekerjakan. Tak terasa sudah sebulan aku training di sana. Butuh dua bulan lagi agar aku menjadi pegawai sesungguhnya. Setiap bekerja, Gafi dibawa Bunda ke pasar lengkap dengan kereta. Mereka lebih dulu tiba di rumah dibanding aku. Itu menjadi alasan bagi lelaki ini membawaku pergi sepulang kerja.

Seperti katanya bahwa kini saatnya dia berjuang membuat hatiku terbuka untuk dia. Dan begitulah selama beberapa waktu ini, Anand mendapatkan kesempatan untuk berduaan sebelum membawaku kembali kepada Gafi. Tak ada yang berlebihan, hanya makan dan bercanda seperti yang biasa kami lakukan. Kadang-kadang mampir ke toko mainan juga untuk membelikan oleh-oleh untuk putraku.

Perhatian Anand jelas bukan hanya untuk aku saja. Sesuai ikrarnya, dia tengah memperjuangkan dua orang, aku dan anakku. Tentunya itu di luar restu Bunda. Langkahi dulu kepala Bunda jika ingin bersamaku, itu kata Bunda dalam tiap tatapannya terhadap Aditya Nanda Pradipta.

"Cerah begini kepada tiba-tiba hujan?" Anand mengeluh di tengah padatnya lalu lintas senja. Tangan tegap itu memandu mobil yang kami kendarai. Kemeja putih tulang yang dia kenakan tanpa jas tidak mampu menyembunyikan otot lengan di saat tangannya bekerja. Dasinya telah dibuang ke bangku belakang sejak menjemput aku tadi. Mana tahan sosok sebebas dirinya berpakaian rapi terlalu lama. Kemeja itu juga tidak lagi masuk ke pinggang celana dasar hitamnya.

Aku mengalihkan pandangan kepada rintik air yang semakin besar seiring berjalannya waktu. Hujan membuat jalan raya tampak sesak. Aku menyandarkan punggung menatap lelah keadaan di luar jendela. Lebih baik tidak melihat ke sebelah kanan jika tak ingin mendengar kegaduhan dalam dada. Anand yang urakan itu selalu membuat mata terpesona. Dan tidak mungkin aku membiarkan degup semakin menggila karena terlalu lama memperhatikannya.

Genggaman Anand di tanganku terasa hangat. Aku tidak menyentak sentuhan fisik tersebut. Sebenarnya, perasaan lama yang dia tinggalkan semakin mekar sejak dia datang bak pahlawan di kala aku kesakitan menahan kontraksi kelahiran Gafi. Semenjak dia membawaku ke rumah sakit dan selalu ada mulai detik itu. Tak lagi aku bangun tembok untuk menahan rasa yang pernah ada. Meski aku tidak membalas kata cinta, Anand tahu bagaimana perasaanku terhadapnya.

Aku tersentak saat punggung tanganku dikecup. Dengan mengandalkan pelototan aku memprotes kelakuannya. Anand hanya terkekeh sebab berhasil membuat bencana.

"Besok makan malam di rumahku, ya, Beb?"

"Hei! Enak saja. Makan sendiri-sendiri aja."

"Ck. Lihat besok deh."

Dia mencibir. Tampaknya tidak mau mengalah. Entah apa yang sedang berputar dalam kepala tampan itu. Aku hanya mengangkat bahu. Kemudian perhatianku tercuri oleh dentingan pada aplikasi pesan.

"Nand, buruan. Gafi demam. Badannya panas kata Bunda."

Anand mengangguk. Dia merapatkan tangan di jemariku.

"Ke setir," perintahku takut ia kehilangan konsentrasi. Memandu dengan dua tangan lebih baik daripada satu.

Anand melakukannya. Dia mencari celah tiap ada kesempatan hingga kami melewati macet. Mobil dikendarai dengan kebut saat jalan sudah sepi. Senja semakin kelam akibat malam giliran berjaga. Hujan tinggal rintik. Hatiku semakin gelisah waktu detik menjadi menit yang kami lalui dalam perjalanan. Ini salahku. Seharusnya aku langsung pulang dan menjaga anakku.

Bunda: Sudah di mana?

Seluruh kepala hingga kaki bagai dialiri air didih. Begitu ingin diriku sampai dan melihat keadaan Gafi. Anand yang mengerti makin memacu kendaraan. Lima belas menit terlewati ketika mobil memasuki kompleks perumahan dan tiba di depan rumah Bunda. Pagarnya terbuka lebar. Aku pikir Bunda sengaja membuka untuk Anand agar kami dapat langsung keluar. Namun, perhatianku tercuri oleh seseorang yang menggendong Gafi di bahunya. Pria berkacamata yang memakai kaus hitam berkerah dan jam tangan hitam yang membuat sosoknya tampak gagah. Mata kami bertemu sesaat lalu dia melewati dan mendatangi mobil Anand.

"Kamu tahu alamat rumah sakit?" tanyanya kepada Anand yang juga ikut bengong seperti diriku.

Bunda menyusul dirinya dan kini berdiri di sebelahku.

"Fel, kamu ikut ke rumah sakit? Kasihan Gafi dari tadi memanggil kamu. Kangen Mama katanya."

Aku mengangguk. Kesadaranku kembali untuk mengambil alih anakku darinya.

"By, ini Mama. Gafi gendong sama Mama sini."

Gafi terlihat sedang memejamkan mata dengan kepala rebah ke pundak ayahnya.

"Duduk tenang, Fel. Gafi dengan saya. Nggak apa, Gafi tidak apa-apa."

Aku masuk ke bangku belakang di sebelah Bunda. Natirta Adiwijaya bersama Gafi di samping Anand yang mengemudi. Saat mobil mulai melaju, aku bergerak ke depan tepat di belakang tempat duduk Mas Nata—ralat, cukup Nata. Kening Gafi memang terasa panas. Pipinya memerah.

"Gafi ini Mama, Sayang. Kita berobat ya, By."

Mata Gafi perlahan terbuka. Dia melihatku sebentar lalu tidur lagi. "Mama." Dia mengigau.

Aku mengusap kepalanya. Setelah mencium pipinya yang gembul, aku duduk di tempatku sendiri.

***

Gafi lelap di kamar ditemani Bunda. Anand putar balik setelah mengantarkan kami semua pulang dari rumah sakit. Di ruangan ini aku yang menemani Nata. Aku ingin mendengar penjelasan darinya langsung.

"Ada angin apa tiba-tiba datang?"

"Bukan tiba-tiba. Saya sudah berencana ke sini dari beberapa minggu yang lalu."

"Oh, ya? Jadi beberapa minggu yang lalu. Usia Gafi berapa sekarang? Kamu tahu?"

Dia cukup pintar untuk tidak menanggapi kalimat sarkas itu.

"Hubungan kita boleh saja putus sehingga tidak perlu saling menyapa, tapi kamu sama Gafi gak bisa disamakan. Kamu pasti senang aku membawa Gafi tinggal jauh. Jadi kamu ada alasan untuk melupakan dia. Padahal kamu sendiri yang bilang, kamu tidak akan meninggalkan anakmu."

"Saya minta maaf, Fela."

"Aku memaafkan kamu. Itu mudah. Sebagai ibunya Gafi, aku minta sama kamu, jangan abaikan dia lagi. Kamu gak perlu datang seperti ini, menghabiskan waktumu. Kamu kirim pesan aja, biar aku tahu kalau ayahnya tidak lupa sama anaknya. Lagian Gafi belum mengerti video call."

Nata tersenyum.

"Baik akan saya lakukan. Sejujurnya, Fela, saya tidak bermaksud mengabaikan Gafi. Dia putra saya." Mukanya bersungguh-sungguh. "Sekali lagi saya minta maaf, sama kamu dan Gafi."

"Ya sudah kalau kamu memang merasa salah. Cukup buat aku. Terserah kamu nanti sepulang dari sini mau berubah atau enggak."

"Fela," panggil Nata, disertai menyentuh gagang kacamatanya. Kelihatan sedang ragu-ragu ingin meneruskan atau tidak.

"Saya merasa sangat bersalah terhadap kalian. Saya menyebabkan anak saya sendiri kehilangan sosok ayahnya. Kalau saja waktu bisa diputar, saya akan memperbaiki niat saya ketika menikahi kamu. Tapi saya sadar, apa yang sudah saya lakukan tidak dapat saya perbaiki. Saya sangat menyesal. Saya sungguh-sungguh ingin minta maaf."

"Sudahlah. Aku udah bilang, aku memaafkan kamu. Padahal dahulu waktu tahu kamu bohongi aku, aku gak mau mendengar apa-apa dari kamu." Aku menghela napas mengingat betapa tidak konsistennya diriku. "Cuma sekarang aku ingin penjelasan kamu, selama ini kamu ngapain aja sih di sana? Jawab yang jujur. Aku butuh jawaban kamu supaya ke depannya aku bisa pertimbangkan agar tidak berharap sama kamu—untuk Gafi." Aku meralat kalau-kalau dia nanti salah paham.

"Untuk itu juga saya ke sini, setelah semua yang terjadi."

"Sudah aku bilang, kamu gak perlu datang jauh-jauh. Setelah berpisah, malahan aneh kalau kamu masih ke sini. Kamu tahu maksud aku kan, Nata? Pedulikan anakmu saja supaya tidak kehilangan sosok ayahnya."

Nata menatapku lurus-lurus. Mungkin dia merasa aneh aku memanggilnya tanpa sapaan lagi. Namun, dia tidak berkomentar.

"Saya mempertimbangkan ini. Kamu mau tinggal di Pekanbaru lagi? Ada rumah kosong dalam kompleks yang sama dengan rumah Papa untuk kamu tinggali bersama Gafi. Kamu juga bisa kembali jadi pustakawan SMA Syarma. Bagaimana?"

"Tidak. Hidupku di sini. Aku juga sudah mulai bekerja. Terima kasih untuk tawarannya. Lupakan itu. Kamu belum menjelaskan apa yang aku inginkan."

Nata menutup wajahnya dengan kedua tangan yang ditopangkan ke pahanya. Mukanya terlihat kusut setelah ia menurunkan tangannya kembali. Bola mata Nata memancarkan keraguan dan ketakutan. Dan yang membuat aku terdiam—enggan memaksanya lagi—adalah ia menyimpan kesedihan di balik kacamata itu. Apa yang telah terjadi kepadanya?

"Tidak lama setelah kamu pergi, atasan saya mengetahui pernikahan saya. Apa saya harus menceritakan yang ini juga, Fela?"

Aku berdeham. Wajah Nata memerah. Apa dia malu?

Aku menggeleng. "Apa tanggapannya?" Mungkin dia dimarahi atau, "Kamu tidak dipecat karena menikahi anak kecil dan poligami 'kan?" Aku terkejut karena telah menyuarakan isi pikiranku.

"Tidak. Tidak."

"Syukurlah. Tapi kalau memang benar dipecat, kamu tetap bisa mengajar di Syarma. Mengembangkan sekolah rintisan Pak Deni dan almarhumah mama kamu."

Nata menatapku dengan bibir sedikit terbuka. Dan lagi, dia sepertinya belum biasa dengan perubahan panggilanku buat kedua orang tuanya. Apakah dia berharap aku tetap menyebut ayahnya 'papa?'

"Maukan, Fela?"

"Enggak. Ngapain aku di sana sementara keluargaku ada di sini? Kalau hanya supaya kamu bisa ketemu Gafi, itu tidak perlu, Nat. Setiap pasangan yang berpisah juga seperti kita, tidak harus ketemu terus-terusan." Aku menatapnya dengan mata menyipit, "Kedatangan kamu hanya untuk membicarakan ini?"

Nata terdiam. Kemungkinan aku benar.

"Udah terlalu larut. Kamu mau ketemu Gafi dulu sebelum pulang?"

Bibir Nata hampir terbuka ingin mengatakan sesuatu kemudian dia katupkan lagi. Dia menyentuh gagang kacamatanya, seakan itu pengalihan dari sikap salah tingkah.

"Boleh." Nata memutuskan.

Aku menuju kamarku. Membuka celah sedikit dan mendapati hanya ada Gafi di atas tempat tidur. Bunda sepertinya pindah ke kamarnya sendiri setelah merasa mengantuk menunggui Gafi. Aku membuka lebar pintunya dan menginstruksikan Nata untuk masuk. Sementara aku menunggu dari ambang pintu.

Nata duduk di sebelah Gafi. Menyentuh pipi Gafi sebelum mencium kening anaknya.

Ah, tiba-tiba air mata menggenang dalam bola mataku. Penglihatanku memburam ketika Nata mencium pipi Gafi dan mempertahankan posisi itu. Kulihat pundaknya berguncang. Aku menutup mulut dengan telapak tangan menyaksikan ayah dan anak itu.

Anakku yang malang. Ayahmu ada, tapi hidupmu akan sama seperti Mama. Tumbuh dewasa tanpa sosok papa. Tak tahan melihat momen pamitan tersebut, aku berbalik ke ruang tamu. Dan berupaya menahan laju air mataku ini.

Apa mungkin Nata tidak ingin berpisah dengan putranya? Karena itulah dia meminta kami tinggal dekat dengan orang tuanya? Apa aku berhak? Aku merasa egois memisahkan Nata dan Gafi. Sangat buruk sebagai ibu anakku.

Ponselku menyala di atas meja. Suara dering pelan memberi tanda ada panggilan masuk dari Anand. Aku segera mengangkatnya.

Aku bicara pelan, "Jam berapa ini, Nand?" Aku mengingatkan kalau dia menghubungi terlalu malam.

"Fel. Besok jadi ke rumah 'kan?"

"Udah aku jawab, enggak, Anand."

"Tamu kamu masih di sana?"

"Fela kamu di mana?" tanya Nata tepat ketika aku ingin menjawab Anand.

"Masih ya, Beb? Dijaga baik-baik tamunya. Besok aku jemput dari tempat kerja." Anand mematikan telepon.

"Udah mau pulang? Nginap di mana?" tanyaku berbasa-basi. Semoga dia tidak berpikir kalau ini adalah penawaran untuk tetap tinggal.

"Fela." Nata duduk tanpa dipersilakan seolah ini adalah rumahnya sendiri. Padahal aku sudah berdiri, siap mengantar dia ke pintu depan.

Aku juga duduk kembali. "Kenapa?" Kulit Nata yang putih membuat puncak hidungnya yang memerah tampak jelas. Telinganya pun masih merona.

"Saat itu kamu sangat ingin kita berpisah. Saya tahu, saya yang salah. Kamu sangat kecewa dengan saya dan keluarga saya. Karena rasa bersalah itu, saya menuruti keinginan kamu. Tapi sebenarnya, Fela, saya inginnya kita tidak berpisah. Saya kehilangan kamu dan Gafi karena perpisahan itu. Saya tidak rela melihat anak kita mengalami nasib yang buruk ini."

"Lalu?" Kalau dia mengatakan satu kalimat yang tak ingin kudengar, detik itu juga aku akan menendangnya keluar.

"Tolong pertimbangkan tawaran saya tadi."

Aku menggeleng. "Tanpa mempertimbangkan, aku sudah bulat dengan keputusanku."

Nata menghela napas pasrah.

"Kamu selalu sekuat ini, Fela." Dia tidak terdengar seperti tengah menyindir. Suaranya dan nadanya, juga bola matanya tulus mengatakan hal itu sebagai pujian untukku. Ada secercah kesedihan dalam matanya kalau aku tidak salah tangkap. Aku menyimpulkan, Nata juga mengalami pertikaian batin.

"Apakah kamu akhirnya bersama dia?" tanya Nata. Suaranya selembut embusan angin.

"Sekarang kita membahas aku?"

Nata buru-buru mengoreksi, "Bukan begitu. Maafkan saya lagi sudah lancang."

"Jangan bertanya hal-hal yang tidak perlu. Apalagi yang tidak berhubungan dengan kamu. Akan lebih baik kalau kamu bertanya bagaimana kabar Bunda, gimana Gafi yang setiap hari diajak Bunda bekerja."

"Maksud kamu, Gafi dibawa Bunda ke pasar?"

Aku mengangguk. "Oleh karena itu, Gafi kayaknya lebih dekat dengan neneknya daripada aku." Tapi aku terpaksa melakukannya demi masa depan anakku. Aku perlu bekerja untuk sekolahnya. Aku tidak bisa mengajak Gafi ke kantor.

Aku ingin mengatakannya kepada Nata agar dia tidak mengatai aku ibu yang tidak becus mengurus anak. Namun, apakah Nata tidak akan berpikir kalau aku mengharap belas kasihannya? Aku sudah mengatakan dengan jelas kalau aku sanggup membesarkan anak kami sendirian. Yang aku harapkan dari Nata hanyalah dia menyapa anaknya dan tidak melupakan, bukan minta dinafkahi.

Nata terdiam. Sesekali matanya tertutup. Begitu juga bibirnya. Akhirnya, dia melepaskan kacamatanya lalu meraup wajahnya dengan kasar. Kacamata itu dicangklongkan ke leher kausnya.

"Bicaralah," pintaku.

Nata sepertinya tengah memendam sesuatu. Dia terlihat sangat frustrasi. Aku sangat jarang melihat ayahnya Gafi sekacau ini. Biarpun telah bercerai, aku tetap ingin bersikap baik kepada Nata sebagai seseorang yang pernah menorehkan kebahagiaan dalam pernikahan singgahku.

Nata menggeleng. "Semakin malam. Saya pamit, Fela."

Aku ikut dia berdiri. Nata tak lagi menoleh bahkan sebelum melewati ambang pintu keluar. Dia tetap berdiri dalam posisi membelakangiku di depan teras rumah. Namun, ketika Nata merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya, aku tidak langsung mendorongnya. Ia terasa rapuh. Aku mengizinkan dia mengeratkan rangkulan itu serta membiarkan wajahnya menempel di pundakku.

"Saya sangat bingung, Fela. Semuanya salah saya. Terkadang saya masih saja memikirkan hal-hal egois, mengajak kamu dan anak kita hidup bersama. Saya harus menekan keinginan itu kuat-kuat serta menghilangkannya. Saya tidak sanggup dengan perpisahan kita, tetapi di lain sisi saya ingin bertanggung jawab atas semua dosa saya. Melepaskan kamu adalah cara membuat kamu keluar dari penderitaan hidup bersama saya."

"Kamu harus bahagia." Aku berbisik. "Lupakan semuanya."

Nata merenggangkan tangannya dan beralih memegang lengan atasku. "Kamu sudah tidak marah dengan saya? Kamu sudah tidak membenci saya?" Nata mencari jawaban yang benar melalui pengamatannya di mataku.

"Aku tidak membenci kamu, Nata. Aku juga tidak marah."

Aku mengulurkan tangan. "Ayo bersalaman untuk membuat kamu yakin kalau aku beneran nggak marah. Bukti sah kita sudah berbaikan."

Nata tersenyum sebelum membalas jabatan tanganku.

"Saya pamit betulan sekarang. Semoga kamu, Gafi, dan Bunda Susa selalu sehat." Nata menyentuh bahuku sebelum pergi. "Fela, bisa tolong pesankan taksi online?" Tampaknya Nata tidak memiliki aplikasinya.

***

Aku telah menolak ajakan Anand untuk makan malam di rumahnya. Namun, aku mendapati diriku menunggu di depan kantor sehabis jam kerja. Setengah jam lamanya aku duduk di depan melihat setiap kendaraan yang memasuki area parkir kantor.

Mana mungkin aku berani menghubungi Anand dan menanyakan apakah acaranya jadi atau tidak. Setengah jam lagi kalau dia tidak datang juga, aku akan pulang saja. Dia harus merasa bersalah telah membuat aku menunggunya selama satu jam tanpa kabar. Sebelum waktu tunggu habis, Nata menelepon, menanyakan lokasiku, dan apakah aku punya rencana sepulang kantor. Dalam rasa kecewaku kepada Anand, aku menjawab tidak punya rencana kepada Nata.

"Kamu masih di sekitar sini? Aku pikir udah di Pekanbaru."

Nata hanya menanggapi aku dengan gumaman. "Pulang naik naik apa, Fela?"

"Sepeda motor."

"Share lokasi kamu dan tunggu saya. Please."

"Kamu mau ngapain ke sini?"

"Fela, please?"

Aku segera membagikan alamat tempat kerjaku. Nata langsung mematikan sambungan telepon online. Dalam lima belas menit seseorang yang mirip dengannya turun dari boncengan sepeda motor dengan menenteng helm yang tadinya dia pakai.

"Terima kasih." Itu betul-betul suara papanya Gafi. Pengendara roda dua yang Nata tumpangi melesat dari halaman kantor.

"Hai, Fela." Nata tersenyum dan duduk di sebelahku. "Udah pulang dari tadi?" tanyanya.

"Hm. Habis dari mana? Cepat banget sampai sini."

"Hotelnya tidak jauh dari kantor kamu. Masih ada urusan pekerjaan? Kalau tidak, ayo pulang."

Nata berdiri. "Kuncinya mana? Kendaraan kamu yang mana, Fela?" Dia memakai lagi helm itu ke kepalanya.

Aku menyusulnya dan menunjuk kendaraanku. Kuncinya aku masukkan ke lubang kunci dan mengambil helmku sendiri kemudian memakainya.

"Ada yang bilang, sejak jadi menantu orang kaya, aku dianter pakai mobil terus. Dan sekarang setelah cerai, aku kembali ke kehidupan semula. Motor ini yang membawaku ke mana-mana," kataku saat kendaraan roda dua ini menggelinding di aspal jalan raya menuju rumah Bunda.

Dalam posisi menyamping, aku berpegangan pada gagang tempat duduk. Jarak antara kepalaku dan Nata cukup jauh. Aku pikir Nata tidak mendengar komentarku tadi. Apalagi ada helm dan embusan keras angin yang mungkin saja menerbangkan suaraku.

"Dia pasti banyak membantu kamu dan sangat berjasa dalam hidup kamu daripada saya."

"Betul!" Aku berteriak.

"Bagus kalau kamu jujur. Kamu memang bukan tipe seseorang yang berbohong demi menghibur orang lain karena yang hobi bohong itu saya."

Rasanya aku ingin tertawa kencang dengan kalimat Nata barusan. Namun, aku hanya tersenyum, "Fokus aja bawa motornya, Nat! Ini kali pertama kamu bawa kendaraan roda dua. Aku agak khawatir kita gak sampe rumah."

"Saya juga dahulu ke mana-mana naik motor, Fela. Kamu gak perlu cemas sama saya."

Kendaraan berbelok di gang rumahku. "Kamu bisa menyetir mobil?" Nata yang tadinya konsentrasi menyetir sejak aku diamkan sekarang mulai bicara lagi.

"Bisa. Kenapa? Oh, mau disetirin mobil sama aku seperti kamu udah nyetirin aku naik motor?"

"Kalau misalnya saya belikan Gafi mobil. Kamu mau nggak memakainya untuk bawa Gafi? Kamu bisa membawa mobilnya pergi bekerja."

Kendaraan roda dua memasuki pagar yang terbuka.

"Modus apa lagi kamu?" tanyaku begitu turun dari boncengan dan mengatupkan kaca helm Nata sampai dia bilang aduh karena terlalu kaget.

Melihat ekspresinya di balik helm, aku tak dapat menahan tawa.

"Ayo, sebutkan lagi kamu mau apa?"

Dia menaikkan lagi kaca helm itu dan masih tetap duduk di atas sepeda motor seakan sudah terlalu nyaman. "Apanya yang modus? Itu refleks. Kamu pikirkan keuntungan-keuntungannya kalau naik mobil. Bukan buat kamu, Fela, untu anak kita," katanya menjelaskan seperti nada penjelasan guru ke muridnya.

Aku mengangguk-angguk. "Jangan tunggu jawabannya." Aku meninggalkan Nata yang seharusnya segera menaikkan motor ke teras.

Dan di sanalah dia. Aditya Nanda Pradipta berdiri di depan pintu masuk rumah Bunda. Menatapku dengan senyuman tipis.

***  

MUBA, 26 MARET 2022

Hello, akhirnya update juga.

Punya kesan untuk Nata? tinggalkan di sini.

Punya kata-kata buat Anand atau Fela.

Terima kasih semua udah nungguin dan yang doain Kasev sehat. Semoga temen-temen juga selalu sehat dan banyak rezeki.

Maaf ya Kasev ngaret parah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top