[27] Kamu Pria Bodoh yang Melepaskan Aku



Perpisahan bukanlah sebuah kegagalan, tetapi keberanian menatap masa depan yang baru.





Setelah melahirkan, aku harus memikirkan pekerjaan. Dengan apa memenuhi kebutuhan Gafi kalau tidak bekerja? Sepulang dari rumah sakit, aku menggunakan waktu luang untuk cari-cari lowongan di internet. Tentunya perlu mempertimbangkan kondisi sebagai ibu tunggal. Pekerjaan itu harus ramah anak. Aku ingin mengajak Gafi atau bila harus meninggalkannya, jangan sampai sore atau malam. Tapi Gafi tak mungkin ditinggal kalau masih bayi. Otomatis sebelum usianya dua tahun, pekerjaan dari rumahlah yang paling sesuai.

Dulu waktu memutuskan bercerai, aku tidak memikirkan kemungkinan ini. Aku hanya ingin bebas dan rasa sakit itu terangkat. Jika masih bertahan dengan papanya Gafi, aku merasa akan menzalimi diri sendiri. Sudah dibohongi berjamaah, ngapain masih mau bertahan? Dan ya, kami resmi bercerai satu bulan yang lalu di usia Gafi yang keenam bulan. Oke, mari lupakan dulu soal Mas Nata. Pagi ini aku ada interview di sebuah kantor surat kabar untuk posisi riset dan dokumentasi.

Memikirkan kondisi keuangan, aku pun tergiur melemparkan lamaran ke perusahaan itu, meski umur Gafi belum satu tahun. Dan kalau aku mundur sekarang, siapa tahu tidak ada keberuntungan seperti ini. Dahulu juga begini, sewaktu fresh graduate, dari sekian surat yang aku kirim hanya satu atau dua yang direspon balik. Ternyata keberuntungan yang aku alami sekarang, tidak didukung oleh sikon. Gafi ... anakku sudah rapi dan sedang menendang-nendang ke udara lalu memasukkan jari kaki ke mulutnya.

Dengan siapa aku titipkan?

Jika nanti diterima, sepertinya Gafi harus dibawa Bunda. Dari dulu juga Bunda sudah menyarankan. Toh Bunda membawa serta aku ke toko saat masih bayi. Sialnya beberapa menit Bunda pergi, barulah pihak redaksi menghubungi untuk wawancara pukul sepuluh. Dan bayiku ....

”Yang penting kita sampai dulu ke kantornya ya, By.” Aku menggendong Gafi serta menenteng tas berisi susu dan perlengkapan dia.

Masalah dengan siapa Gafi saat aku wawancara pasti akan ada jalannya. Di sana mungkin ada yang bisa dititipi. Pukul sepuluh kurang lima menit kami tiba di gedung bertingkat dua pinggir jalan besar. Aku menatap gedung biru itu dengan sedikit gugup. Apa yang mereka pikirkan melihat calon karyawannya membawa anak?

Tidak. Gafi bukan masalah. Kamu justru keberuntungan Mama. Ia pun tersenyum kecil melihatku. Bayiku yang tampan, menyerupai papanya. Kita akan menghadapi ini berdua, Sayang. Seseorang yang berdiri di belakang meja tamu mengarahkan aku untuk naik ke lantai dua. Ia sedikit mengernyit melihat Gafiku. Aku pun cuma mengangguk sebagai isyarat terima kasih dan pamit.

Ruangan di lantai dua terdiri dari meja-meja bersekat. Hanya puncak kepala saja yang tampak dari tempatku berdiri. Berjalan ke sebelah kiri, ada meja tertutup kaca dan sedikit lubang seperti tempat penjualan karcis. Aku menuju ke sana. Seseorang di balik kaca itu meminta aku duduk dan mengatakan jika sedang berlangsung wawancara lain.

”Boleh saya gendong, Kak?” Seseorang dari lorong sebelah kiriku menyapa. Ia perempuan muda berpakaian putih dan celana hitam khas seorang trainer.

Kesempatan emas.

”Bisa menggendong bayi?”

Dia mengangguk cepat. ”Saya juga punya bayi.”

Baik, aku salah mengira usia gadis ini. Barangkali dia bukan anak kuliahan yang sedang PKL. Mungkin dia memang seimut itu.

”Namanya siapa?” tanyanya. Gafi juga sudah dia gendong.

”Gafi. Saya titip putra saya. Terima kasih sebelumnya.”

Karyawan di balik kaca meminta aku bersiap masuk ke ruangan di lorong belakangku. Aku mengelus pipi Gafi sebelum meninggalkannya.

Semua berjalan mudah. Mereka hanya bertanya jumlah gaji yang aku inginkan, kelebihanku, dan pengalaman bekerja. Gafi memang sumber keberuntunganku. Aku segera undur diri setelah menjabat tangan tiga laki-laki yang mewawancarai. Saat kembali, perempuan itu tidak kelihatan di tempat semula. Darahku seketika berdesir membayangkan hal-hal yang buruk. Bayiku ke mana dia bawa?

”Ibu Wisafela!” Seseorang dari arah belakang memanggil. Dia salah satu yang men-interview tadi. Pria itu yang paling muda di antara mereka bertiga. ”Masih ada yang perlu kami tanyakan.”

Aku menggeleng. ”Maaf, kalau sekarang saya tidak bisa.”

Kurang ajar. Pasti dia akan berpikir begitu.

”Saya harus mencari anak saya.” Perempuan yang tadinya di balik meja karcis sudah berganti. Namun, aku mencoba bertanya kepadanya. Sebelum aku membuka suara, terdengar suara seseorang diselingi gelak tawa anak kecil.

Langkah aku ayun cepat ke sumber bunyi. Awas! Akan aku bunuh orang itu! Aku juga mengabaikan pria yang memanggilku untuk ditanyai ulang. Pintu di lorong sebelah kiri yang aku pikir pantri rupanya sebuah ruangan luas berpendingin serta furnitur serba mewah. Gafi sedang diajak bercanda oleh dia. Hobi Gafi di usianya sekarang ini melompat-lompat jika sudah dipegang. Tawanya terdengar happy hingga membuat laki-laki berkemeja putih itu makin semangat menggoda Gafi.

Pintu yang engselnya baik membuat dia tak menyadari kedatanganku. Dengan leluasa aku memukul punggungnya sampai memekikkan panggilan khusus.

”Beb! Datang-datang main tabok aja sih. Kaget nih. Mana keras banget lagi mukulnya.”

”Siapa suruh nepotisme?!” geramku. Melihat keberadaan dia di kantor ini dan Gafi yang tiba-tiba pindah ke penjagaannya, sudah pasti dia turut campur urusan pekerjaan ini.

”Apanya yang nepotisme?” Dia menarik tanganku duduk di sebelahnya. ”Keluarga bukan. Calon keluarga baru iya.” Ia menyengir.

Seingatku informasi lowongan ini aku lihat di internet. Dari mana dia tahu aku melamar ke tempat ini?

”Nand, aku tu bisa cari kerja sendiri.”

”Iya, tahu.”

”Kalau tahu, kamu nggak boleh seperti ini. Aku pikir semua ini karena kemampuan aku.”

Anand mendudukkan Gafi di pahanya lantas menepuk punggung tanganku. ”Aku nggak bantu apa-apa. Kamu memang dipanggil wawancara karena kualifikasi kamu yang bagus. Teman aku yang ngasi tau kalau kamu ngelamar ke sini. Aku datang untuk main sama Gafi aja kok. Nggak ikut campur sama urusan pekerjaan kamu. Rencananya aku balik sebelum kamu kelar wawancara. Tapi kok cepet banget sih selesainya?”

Temannya pasti pria yang tadi. Jadi, rencana itu tidak berjalan mulus. Pantas laki-laki tadi ngotot memanggilku untuk kembali ke ruangan.

”Apa ini salah satu usaha bapak kamu?”

Kedua sudut bibirnya mengembang lalu menggelegarlah tawa. ”Bukanlah! Kamu lupa, ya, aku dulu PKL di sini? Padahal aku udah cerita. Aku nggak punya pengaruh besar sampai bisa ngatur mereka untuk nerima kamu atau tidak. Kalau diterima, berarti mereka suka dengan kamu. Kalau enggak, kerjanya sama aku aja. Jadi sekretaris hidup dan mati aku.”

Aku tidak menyukai pembahasan ini. Ya, aku mengerti maksud dia. Anand selalu mengatakan hal-hal serius itu dengan candaan. Sementara aku sekarang sedang proses berdiri di atas kaki sendiri. Tidak ada waktu meladeni bercandaannya.

”Gitu aja ngambek.” Dia menyenggol bahuku.

”Nggak punya pengaruh besar? Tapi bisa keluyuran jam kerja loh, Pak.”

”Panda izin bentar doang—eh sehari, mau jalan-jalan sama Mama dan Baby. Kami—Panda sama Gafi—barusan bikin kesepakatan. Yakan, Baby?” tanyanya kepada Gafi.

Sesuai janjinya, Anand tidak datang tanpa aku pinta sebelum statusku janda. Anand hanya bertanya lewat perpesanan apakah aku membutuhkan dia? Tidak ada keadaan mendesak seperti saat melahirkan Gafi yang menyebabkan aku harus menelepon dia. Jadi, baru satu bulan ini Anand bisa berdekatan dengan Gafi—dan aku. Anand memang memegang kata-katanya untuk tidak bertamu selama aku berstatus istri. Dan aku tebak, dia akan tetap seperti itu apabila aku tidak jadi bercerai.

Diam-diam dia juga selalu memantau kehidupan kami, seperti yang pernah dia janjikan kepada Bunda. Aku tahu hal ini dari Bunda. Tak jarang Anand ke tempat Bunda sepulang kerja, membantu Bunda memasukkan barang-barang jualan. Tiap Anand habis mengganggu, Bunda pasti mengomeli aku. Katanya, Anand mendesak jawaban. Takkan berhenti sebelum Bunda merespon. Yang ditanyakan tentu aku dan Gafi. Jadi, jelas Anand tahu aku sedang mencari pekerjaan.

Sebaiknya aku memikirkan ulang untuk bekerja. Batinku menolak jika semua kemudahan dikarenakan bantuan Aditya Nanda Pradipta. Dan iya, memang betul bahwa Anand menawarkan aku bekerja di perusahaannya. Walau dia hanya membicarakan selintas saat bercanda, aku tahu dia akan melakukannya jika aku bilang setuju. Dia mau aku menjadi sekretaris di tempatnya.

”Gafi butuh refreshing. Masa di rumah mulu. Tuh lihat mukanya pucet udah kayak vampir.”

Aku mengambil Gafi dari pangkuannya. Melihat keceriaan Gafi hari ini, ide Anand mungkin perlu dicoba. Ini bukan karena aku tak pernah membawanya jalan-jalan. Biasanya kalau Gafi mulai resah, mukanya merah, dan tanda-tanda akan menangis, aku membawanya jalan-jalan di kompleks. Lalu dia akan melihat sekitar tak peduli aku panggil atau ajak bicara.

Gafi menikmati pemandangan di luar mobil. Jalan berkelok tajam seperti ular serta mendaki. Di kiri tebing, sedangkan di kanan jurang dan hutan. Matahari bersinar malu-malu. Banyaknya pepohonan membuat keadaan seakan mendung. Anand menyetir sambil menggoda Gafi, mengajak anakku berceloteh. Namun, tetap konsentrasi tinggi. Skill mengemudi Anand memang bagus dalam menakhlukkan jalan pegunungan ini.

Akhirnya, Gafi tertidur dalam pangkuanku. Anand pun tak lagi banyak bicara. Kalau ada yang ingin dia katakan, dia akan bicara pelan. Iseng aku tanya apakah dia masih merokok? Jawabannya sungguh di luar dugaan. Dia bilang sudah berhenti. Lalu menunjukkan banyak camilan di bangku belakang. Melirik ke perutnya, dia tidak tampak gendut. Asumsiku kalau Anand hobi ngemil, pasti berat badannya naik. Nyatanya enggak.

”Ayuni gimana kabarnya?” Aku mau tanya apa Ayuni nggak marah, Anand mengajak kami jalan-jalan? Tapi kesannya kayak pertanyaan orang yang lagi cemburu.

”Aku nggak ada hubungan apa-apa dengan dia. Ayuni di kantor Pak Bos, jadi personal asisten. Hubungan kami murni pekerjaan.”

Aku membuang pandang ke luar, melewati kaca dan menembus panorama indah perkebunan teh. ”Kenapa nggak dipacari? Ada yang bilang enak macarin cewek cantik.”

”Itu Anand tahun kapan? Anand yang sekarang milih fokus dengan satu orang aja. Oh, dua.” Telapak tangannya mengusap-usap puncak kepala Gafi.

Tak ada bahasan lagi setelah itu. Mataku terlalu segar untuk tertidur. Akibatnya, aku hanya melihat lurus ke depan tanpa membuka orbrolan baru. Aku tidak tahu akan menanggapi Anand seperti apa. Jujur saja aku sangat membutuhkan dia, ingin dia selalu ada jika aku lelah, tapi aku takut berumah tangga lagi.

”Kita sampai,” serunya mematikan mesin mobil.

Sedikit shock melihat tempat yang kami tuju, tanganku merengkuh Gafi erat.

”Kenapa belum turun?” Anand membuka pintu dari luar. ”Sini Gafi aku gendong.”

Anand langsung mengambil putraku. Dia sekaligus membawa tas keperluan Gafi ke rumah berlantai dua di depan sana. Aku berjalan malas mengikuti jejaknya. Matahari bersinar terik, tetapi udara terasa dingin. Arloji menunjuk ke angka satu. Betul-betul khas gunung. Kuhirup napas panjang sebelum melangkah masuk.

Anand meletakkan Gafi di tempat tidur berpagar. ”Dulu ada pengunjung yang minta disediakan tempat tidur khusus untuk bayi mereka.”

”Sekarang kamu bisa baca pikiran?” Herannya dia bisa tahu apa yang ingin aku tanyakan.

”Pikiran kamu mudah ditebak. Selama ini aku belajar dan akan terus menggali isi kepala kamu. Biar nanti aku tinggal memecahkan isi hati kamu aja. Yang itu agak susah deh kayaknya.”

Anand merangkul tangannya ke bahuku, membawa kami ke luar.

”Udah lewat banget nih waktu makan siang. Kita makan duluan sebelum Gafi bangun, yuk.” Bahuku dia dorong ke arah ruangan yang ternyata dapur.

Telah lewat beberapa tahun, rumah ini masih sama. Meja makan bulat di tengah, terbuat dari kayu yang kokoh. Kursinya bersandaran tinggi mengelilingi meja. Ada kulkas dua pintu juga lemari besar berisi peralatan makan. Semuanya membangkitkan kenangan masa lalu. Pelukan dan ciuman itu dimulai dari sini.

Aku menjauhkan tangan Anand. Dapur ini seakan mengolok dan mencemooh kehadiranku.

”Lihat apa yang kita punya ... dan kita tidak punya apa-apa.” Anand tidak menemukan bahan apa pun di lemari pendingin.

”Vila ini punya keluarga kamu?” Aku memang abai, tidak tahu apa-apa tentang Anand. Dahulu aku pikir ini hanya tempat yang disewa untuk acara temannya.

Anand mengangguk. Kepalanya dia garuk-garuk. Belum aku tanyakan kenapa, dia langsung mengatakan kalau dia sangat lapar. Anand bilang dia akan keluar mengambil hasil kebun.

”Kalau Gafi sudah bangun, kita keluar bareng. Sekarang aku sendirian dan kamu jagain Gafi.” Dia melesat ke luar.

Ah, Anand sangat memedulikan anakku. Perhatian-perhatian kecil yang dia berikan terkadang bikin aku berpikir, apakah papanya Gafi juga akan seperti Anand atau mungkin lebih sayang lagi? Aku masih ingat dulu betapa aku ingin Anand bersikap serius menatap masa depan. Menyambut perasaanku dan kami bisa menjalankan kehidupan bahagia. Namun, takdirku membuang nama Anand dan memasukkan nama Natirta Adiwijaya. Lagi-lagi takdir membuang nama Mas Nata.

Rumah tangga yang aku miliki seolah sebuah pernikahan singgah. Di sana aku menginjakkan kaki sebentar, lalu pergi lagi. Cuma untuk mengubah status sah sebagai istri. Usiaku waktu itu dua puluh lima tahun. Menurut Bunda umur segitu sangat bagus mengawinkan dua manusia karena sedang berada pada masa golden age. Hanya sedikit lebih dari satu tahun rumah tangga itu pun runtuh. Usiaku masih dua enam saat palu diketuk oleh ketua hakim. Statusku berubah menjadi janda.

Tentu saja aku sedih dengan panggilan baru ini. Aku tak pernah ingin punya pernikahan yang rusak. Sejak awal aku menjalani segala proses mencintai dengan penuh harap bahwa kami akan menua bersama. Namun, hanya sebatas itu. Daripada menyebutnya sebagai kegagalan, aku menganggap ini langkah berani.

Perceraian bukanlah sebuah kegagalan. Keputusan untuk pisah adalah suatu keberanian dalam menata masa depan. Tidak semua orang mau mengambil pilihan seperti aku. Demi anak, ada yang rela batinnya menderita. Apakah dengan begitu, aku tidak menyayangi anakku? Justru dia adalah hidupku. Gafi napasku. Namun, tak lantas aku mau bertahan dengan orang yang pernah memainkan perasaanku. Menggunakan aku hanya saat dibutuhkan.

Mas Nata berkata akan menceraikan Ambar waktu itu jika aku mau menemui Mama. Lalu, saat Mama pergi, dia tidak lagi mengungkit itu. Dia cuma ingin aku tetap di sisinya di saat dia juga menjaga istri yang lain. Aku takkan mau mengorbankan hati lagi. Aku dan Gafi bisa menghadapi dunia hanya berdua.

Enam bulan Mas Nata menggantung status pernikahan kami. Aku tidak diceraikan dan gugatanku malah dia tangguhkan. Aku tahu Mas Nata ragu. Dia sangat mencintai istri pertamanya, sedangkan denganku, entahlah. Aku tidak mempercayai kata cinta Mas Nata. Mungkin dia hanya tidak ingin kehilangan sesuatu yang pernah yang dia punya. Lalu saat proses persidangan, semua berjalan lancar karena Mas Nata sempat berhalangan hadir.  Aku tak mengapa kalau Mas Nata tidak mencintaiku, tapi jangan sampai dia juga tidak mencintai anaknya. Sejak Gafi lahir, Mas Nata baru bertemu putranya sebanyak tiga kali. Sekali waktu Gafi usianya tiga hari dan dua kali usai menghadiri persidangan. Mas Nata memang datang di waktu kelahiran Gafi yang pernah aku beritahu. Dia memohon maaf sebab tidak bisa menemani.

”Anak kita tampan. Dia pasti sangat senang kalau dalam tumbuh kembangnya, ada kita berdua.” Mas Nata melihat anaknya dengan pandangan berbinar. Dia berusaha agar Gafi tak lepas dari tangannya.

Namun sayang, Mas Nata tidak bisa lama karena sangat sibuk di sekolah yang dalam masa akreditasi. Aku pikir, Mas Nata akan mencari tahu keadaan Gafi di hari berikutnya. Tidak. Setiap kali berkomunikasi tentang proses perceraian, Mas Nata tidak menanyai Gafi. Aku pun tidak mau tahu bagaimana kehidupan Mas Nata di sana sehingga ia bagaikan orang yang sama sekali berbeda. Aku tak menyangka dia sangat tak peduli kepada anaknya sendiri.

Lalu, beberapa hari yang lalu, Papa Deni menelepon. Dia ingin melihat Gafi. Tentu saja aku langsung menyetujui panggilan video. Dan ... Papa mengabarkan kalau sebetulnya Mas Nata dengan Ambar telah berpisah. Aku tak mengerti perpisahan yang seperti apa. Namun, Papa bilang Ambar meninggalkan rumah saat Mas Nata ke sini pertama kali. Tepatnya tiga bulan sebelum kelahiran Gafi.

Telingaku terasa geli sehingga lamunan itu terhenti. Rupanya Anand sedang menggesekkan daun sawi hijau sambil menggeleng-geleng.

”Enggak baik bengong di rumah yang udah lama kosong.” Dia meletakkan sayuran, cabai, dan bawang, ke atas meja di depanku.

Apa sebaiknya Anand diberitahu soal Mas Nata?

”Galau mulu kamu, Yang.” Anand langsung membawa semua hasil kebun ke bawah kran untuk dicuci. ”Kamu punya rencana untuk menikah lagi dengan mantan suami kamu?” Dia membelakangi aku. ”Aku dengar sekarang dia single. Aku tahu dari Wahyu, siapa lagi? Kalian sudah berpisah, baru satu bulan. Itu pasti bikin kamu gamang kenapa tahunya setelah resmi bercerai? Dan aku nggak mau ditinggal untuk kesekian kali. Tujuan aku bawa kamu ke mari, ingin kita memulai dari awal. Sebuah hubungan butuh kepastian kan? Dahulu aku melakukan kesalahan, melepaskan kamu di sini. Membuat posisi yang aku tawarkan sama kamu diisi orang lain karena aku tidak bisa memberi kepastian soal perasaan aku. Butuh waktu yang lama sehingga aku yakin aku mencintai kamu, sejak pertama kali bertemu di pengenalan kampus malam itu.”

Kali ini dia begitu jauh dari kata ‘selengean’. Anand menatapku mantap tak teralihkan oleh dengingan nyamuk yang ikut masuk dari kebun bersamanya.

”Tujuan hidup aku berubah. Aku akan mengambil kesempatan yang Tuhan berikan, saat hubungan kamu sudah tidak dipersatukan, aku akan isi tempat di sebelah kamu. Aku akan bikin kamu yakin sama aku. Nggak tahu kapan kamu bisa buka hati kamu lagi buat yang baru. Anand takkan pernah mundur.”

Buka hati buat yang baru? Kalau begitu, bukan kamu yang akan masuk karena kamu bukanlah perasaan baru. Anand bodoh, tapi dia memang benar. Dia bisa dengan mudah menebak isi kepalaku, tidak dengan isi hatiku. Hatiku pelan-pelan kembali kepada pemiliknya yang lama.

Dia.

Dia salah besar jika menganggap bahwa dirinya adalah orang baru yang akan mengisi ruang di hati ini. Karena dia adalah pemilik yang paling dulu.

***

Bersambung ...

OKI, 27 JULI 2020

(Repost 18 Januari 2022)

Dua tahunnn. Siap-siap pisah sama mereka, yaa....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top