[25] Jangan Salahkan Hormon atau Bawaan Bayi


***

Aku baru tahu beginilah perasaan rindu. Tanpa sadar aku berhasil menyembunyikan rasa itu selama ini. ~Calon Anand~

***


Warning 18+

🥳🥳🥳

Bunda meletakkan tas ke atas meja, menyandarkan punggungnya ke sofa. Pelan-pelan matanya Bunda pejamkan. Terlihat napas Bunda masih belum beraturan. Tampaknya Bunda kacapean sekali sepulang dari Pasar Raya. Sudah seminggu ini Bunda kembali bekerja. Aku merapat kepada Bunda dan memijat bahunya.

”Capek banget?”

Kami tidak sedekat ini. Bunda itu bagai tembok datar dan keras. Mana pernah kami saling mencurahkan isi hati. Apalagi Bunda selalu pulang sore dan aku juga, bahkan aku malah sering sampai rumah malam hari. Kami tidak punya waktu untuk duduk seperti ini. Setibanya di rumah kami biasanya sibuk dengan diri masing-masing. Aku masih mending punya hari libur. Bunda tidak ada. Mana mungkin pasar ditutup karena akhir pekan. Justru mereka lebih sibuk dari weekdays. Jadi, kegiatan seperti duduk berdua ini mustahil buat kami. Sejak aku kecil, Bunda selalu bekerja keras.

”Bunda sepertinya makin tua. Jadi gampang lelah,” curhat Bunda dengan matanya yang masih ditutup.

”Enak?” Aku masih memijatnya, tetapi sudah pindah ke lengan.

Bunda cuma bergumam.

”Naikkan kakinya Bunda.” Aku agak bergeser agar kaki Bunda bisa di atas pahaku.

”Pegal sekali.”

Aku mulai memijat telapak kakinya. ”Bunda. Fela pernah cerita waktu itu tinggal di mana ‘kan?”

Mata Bunda terbuka. ”Rumah si Anand?”

”Rumah bunda tirinya, Bun.” Bunda tidak lagi menyela. ”Anand punya ibu sambung dan adik tiri.”

Aku mengurut betis Bunda dan mengira-ngira di mana biasanya yang terasa pegal. Di sanalah aku fokus memberikan pijatan.

”Bundanya Wahyu itu nggak beda jauh dengan kita. Bundanya Wahyu juga jualan di pasar.” Aku tergelak kecil mengingat alasan kenapa aku bisa nyaman di sana. ”Dia mirip dengan Bunda, ya? Tapi Bunda Namila orangnya lembut, nggak pernah marah sama anaknya.”

Mata Bunda menjelit. Aku tertawa dan tetap memijit kakinya.

”Itu faktanya. Bunda omongannya nggak pernah manis seperti Bunda Namila, tapi kenapa aku nggak bisa cinta sama orang lain. Cintanya cuma sama Bunda saja.”

Bibir Bunda tertarik membentuk senyuman. Kakinya Bunda turunkan lalu tangannya direntangkan. Aku segera bergeser dan memeluk Bunda. Bunda mengusap belakang kepalaku.

”Kalau kecilnya dimanja, kamu tidak akan jadi wanita sekuat sekarang.”

Penuturan Bunda menyebabkan kelopakku dipenuhi air.

”Apa Fela juga bisa mendidik anak Fela kayak Bunda?”

”Pasti bisa. Anak Bunda pasti bisa.”

Bunda melerai pelukan kami. ”Kamu tidak memikirkan mau rujuk?”

Aku menatap Bunda lama. Apa benar yang Bunda katakan ini?

”Bunda tidak akan memaksakan pilihan Bunda lagi. Kalau kamu mau kembali dengan suami kamu, Bunda takkan melarang dan juga tidak menganjurkan. Semua Bunda serahkan sama kamu.”

Setelah mengatakan itu, Bunda pergi ke kamarnya. Aku pun menyiapkan makan malam untuk kami berdua. Tadi aku membeli tahu dari penjual yang biasanya menjaja pagi-pagi. Kebetulan di dalam kulkas selalu ada stok telur. Aku memasak tahu dan telur dengan air yang dikuahi pedas. Bawang, daun bawang, dan seledri ditumiskan terlebih dahulu lalu diiriskan tomat agar rasanya segar. Ikan nila yang sudah dilumuri bumbu juga masih ada tinggal digoreng saja.

Bunda telah mandi waktu keluar kamar. ”Apa ini, Fel?”

Aku hanya meringis dan mengatakan coba saja. Bunda tidak menolak memakannya. Aku pula menikmati rasa tumis pedas ini. Mungkin untuk selanjutnya aku harus menambahkan pala agar wangi. Dan mengurangi cabainya. Ini pedas sekali sampai aku minum berkali-kali. Bunda hanya menggeleng melihat aku. Seperti biasanya, Bunda akan masuk ke kamar lebih dulu setelah membersihkan meja. Saat kembali ke kamar untuk mengambil HP, benda itu tengah menyala. Suaranya teredam oleh bantal. Dengan cepat aku menjawab panggilan video dari Anand.

”Eh kenapa mukanya merah? Hidungnya keringatan pula.”

Aku masih merasa kepedasan dan kepanasan. Sebelah tangan aku gunakan untuk menurunkan suhu pendingin ruangan.

”Tebak karena apa?” Ternyata suaraku jadi serak.

”Karena siapa lagi kalau bukan bapaknya si dede bayi?” tebaknya sok tau.

”Ih bukan.”

”Aaah, kepedesan,” ucapnya lalu tertawa. ”Nggak bagi-bagi sih, kualat lo. Apa nggak sakit tuh perut kamu, Beb?” Ia memandangku dengan wajah khawatir.

Kepalaku menggeleng. ”Kalau diingatkan malah bisa sakit.”

”Kok bisa?”

”Mulut kamu kan berbisa.”

Anand di sana tertawa. ”Bisa aja, Beby, gombalannya.”

”Gombal? Sarap!”

”Uuh Anand jadi gemes deh sama Beby. Sini aku cubit dulu pipi bakpaunya. Mulut aku emang berbisa, Beby, bikin kamu lemas ama kata-kata cinta yang tidak pernah henti. Kleper-kleper dah lu, Fel.”

Aku hanya menggeleng. Dasar, Anand!

”Oh iya, aku besok ke Pekanbaru. Ada kerjaan di hotelnya si papah. Idih tatapannya kalo denger kata hotel. Kamu lupa, Beb, bapak aku punya usaha perhotelan. Beby mah sering amnesia sama calon mertua.”

Aku tahu orang tua Anand pengusaha hotel, tapi nggak tahu kalau mereka punya cabang di kota lain. Aku lihat yang di kota ini saja megah sekali. Ternyata dia betulan anak yang lahirnya dengan sendok emas. Anehnya tampilan Anand malahan seperti orang susah. Waktu kerja saja dia pakai kemeja rapi. Penampilan betul-betul menipu ‘kan?

”Beb, ngelamun mulu diajakin cerita.”

”Ngapain pergi pakai bilang-bilang? Ya udah, pergi mah pergi aja.”

”Wah gitu, ya. Nanti waktu aku hilang, dicariin. Jangan sampai kangen loh. Aku perginya seminggu.”

Sekali lagi aku dibuatnya menggeleng. ”Pergi aja! Pergi. Kamu nggak minta uang saku juga, ngapain harus laporan?”

”Ada, Beb. Minta kiss bye.” Dia menyengir dan menunjuk pipinya.

Aku langsung memutuskan panggilan, kemudian mengirim emoji marah.

Anand
*Emoji kiss*

Aku meletakkan HP dan menyandarkan punggung. Rencananya tadi ingin duduk di ruang tengah, tapi sekarang jadi malas keluar lagi. Kegiatan paling senang aku lakukan akhir-akhir ini adalah mengajak baby bicara. Aku merasakan dia senang ketika aku menyapa dan mengelusnya. Apa saja akan aku ceritakan kepada dia, termasuk tentang ayahnya. Oh tentu saja aku membicarakan semua kebaikan Mas Nata. Aku ingat hari pertama kami sekamar. Mas Nata membersihkan kelopak mawar dan merapikan kamar.

Sepertinya aku ketiduran beberapa saat. Mataku terbuka karena mendengar ketukan dan suara Bunda.

”Kenapa, Bun?”

Bunda juga kelihatan dipaksa terbangun. Mulutnya menguap bekali-kali. Mata Bunda merah. ”Ada Nata.”

Aku menganga tidak percaya dengan pendengaranku sendiri.

”Ada Nata di depan. Temui dulu kasihan udah datang jauh-jauh.”7

Bunda memukul pundakku. ”Ingat, Bunda nggak marah kalau kamu mau rujuk.” Bunda pun kembali ke kamar. ”Bicara di ruang tamu saja. Jangan di kamar.” Suara Bunda terdengar pelan yang pastinya bukan bicara dengan aku.

Tanganku sedikit gemetar. Aku meremas-remas jemari sambil berjalan ke ruang depan. Mas Nata duduk menunduk. Ia segera berdiri mendengar langkahku. Kemeja putih yang dia pakai keluar dari pinggang celananya. Wajahnya terlihat kusam dengan rambut-rambut halus di sekitar pipi sampai dagu. Matanya menatapku sayu.

Apa yang membuat kamu jadi begini, Mas?

Aku menghampirinya, duduk berseberangan kursi. Dadaku disesaki perasaan iba dan tidak tega saat Mas Nata melepas kacamata. Ia kembali menunduk dan dengan jempolnya menekan sudut mata. Aku tak tahu kenapa hatiku sangat sakit menyaksikan dia. Tangisanku meluncur begitu saja. Aku menutup muka dengan kedua tangan. Kenapa aku sesedih ini?

Aku merasakan tubuhku direngkuh dari samping. Kepalaku bersandar di dadanya. Hidungku menghirup aroma yang aku kenali dari tubuhnya yang sudah lama tidak tercium lagi. Aku tidak paham kenapa tanganku bisa melingkar di punggungnya. Dan tubuhku semakin merapat kepadanya. Aku baru tahu beginilah perasaan rindu. Tanpa sadar aku berhasil menyembunyikan rasa itu selama ini.

”Mas, maaf nggak bisa datang. Tidak bisa di sisi Mas Nata di saat kehilangan yang paling berat.”

Mas Nata tidak mengizinkan aku melerai pelukan. Ia justru semakin menekan tubuhku kepadanya dengan posisi menyamping agar tidak terhalangi bayi kami.

”Kehilangan kamu dan kehilangan Mama, saya nyaris jadi gila,” ungkapnya di samping telingaku.

Iya, aku bisa membayangkan kekosongan terbesar dalam hidup Mas Nata ketika sang matahari berpulang.

”Semua pasti ada hikmahnya, Mas. Kamu harus sabar. Mama akan ikut sedih melihat Mas Nata menangis.”

Mas Nata menatapku, mengusap bawah mataku dengan ibu jarinya. ”Saya tidak tahu apa yang menggerakkan saya ke mari. Tiba-tiba saya ke bandara dan memesan tiket. Seolah ada yang mengirimi saya pesan bahwa di sini saya bisa mengembalikan kewarasan saya.”

”Kata-katanya dalam banget.”

Mas Nata tersenyum.

”Sebenarnya kamu sudah melanggar batasan aku. Aku bilang jangan temui aku sebelum hari melahirkan.” Aku menyandar, memperhatikan kaki-kaki yang lebih besar dari biasanya. ”Dan aku nggak tega mengusir orang yang mau nangis. Kasihan nanti nangisnya sendirian di jalan.”

”Saya menyesal sudah membuat kamu sering menangis.”

Aku mengusap mata. ”Oh ini. Nggak tahu ini air matanya keluar sendiri.”

Mas Nata menggeleng. ”Sebelum ini ... karena saya.”

”Sudahlah, Mas. Aku tidak ingin kita mengingat-ingatnya lagi. Semua itu juga sudah lewat. Mari kita tinggalkan sebagai kenangan dan buat jadi pelajaran. Mas nggak boleh menyimpan rahasia sebesar itu lagi dan bersikap seolah tidak menyembunyikan apa-apa. Nggak ada orang yang suka dibohongi. Ayo kita saling memperbaiki diri. Anak kita harus punya orang tua baik dan bisa menjadi tauladannya.”

”Kapan perkiraan hari kelahirannya?”

”Akhir Maret.”

Mas Nata berkata ingin datang dan aku pun tidak memintanya menemani aku. Biarkan dia memilih sendiri. Namun, dari lubuk hati terdalam aku mau Mas Nata menggenggam tanganku saat melahirkan putranya. Memang hatiku ternyata semunafik itu.

Selagi bercerita, sebuah suara terdengar dari perut Mas Nata. Dia menggaruk rambutnya malu-malu.

”Jadi dari pulang sekolah belum makan?”

Aku pun berdiri saat kepala Mas Nata tergeleng. ”Untung kami masih punya sisa nasi.”

”Ngerepotin banget, ya?” tanyanya mengikuti aku.

”Iya. Tuh lihat, ikannya juga belum digoreng. Tunggu sebentar.”

Bukan diam di tempat, Mas Nata menuruti aku mondar-mandir. Dari kulkas ke kompor ke meja membawa piring yang sudah aku isi nasi. Sementara itu, aroma ikan goreng mengudara di dapur kecil ini.

”Coba makan pake ini dulu, Mas. Nggak tega sama cacing yang jerit dari tadi.” Aku mengangsurkan sayur tahu pedas yang untungnya masih tersisa cukup untuknya.

Tanpa dikomando dua kali Mas Nata menyuapkan nasi serta makanan berkuah merah itu. Bibirnya memerah dan itu membuatku tertawa kecil. Segera aku berikan satu gelas air untuk Mas Nata.

”Cabe lagi murah, Mas, jadi makainya nggak kira-kira.” Aku membalikkan gorengan ikan, menunggu sebentar lalu meniriskan dari minyak.

Dagingnya aku ambil dengan sendok dan garpu supaya cepat dingin. Lalu aku pindahkan ke piring Mas Nata. Dia sempat menatapku lama, kemudian kembali makan dengan lahapnya. Dia merebut ikan itu dan meletakkan ke piringnya, tidak mau aku bantu lagi. Sebentar saja, seluruh isi piring itu kosong, meninggalkan tulang dan kepala ikan. Wajah Mas Nata merah padam. Hidungnya berkeringat banyak. Bibirnya merah sekali dan sedikit membesar. Luar biasanya pedasnya. Semoga dia tidak diare.

Aku mencolek garam dan meletakkan jariku di depan bibirnya. Katanya garam bisa menetralisasi rasa pedas berlebihan. Kurang tahu juga apakah bermanfaat untuk Mas Nata. 

Mas Nata menatap heran. Aku mengangguk. ”Buka,” perintahku.

Ada gelenyar aneh yang menjalar dalam tubuh ini sewaktu Mas Nata mengulum jari telunjukku. Aku hendak menarik, namun dia menahan tanganku tetap dalam mulutnya. Darahku menghangat. Dua mata di balik lensa menatapku intens. Jariku dibelai menggunakan lidahnya yang kasar membuat detak-detak di dada tidak beraturan. Lalu tubuhku ditarik ke atas pangkuannya. Mas Nata membungkus telunjukku yang basah dalam genggamannya. Selagi itu ia memperhatikan aku tanpa mau mengalihkan pandang kepada yang lain.

Apa biasanya dia setampan ini?

Tanganku terangkat membelai rambut halus di wajahnya. Mungkin karena janggut ini, Mas Nata terlihat lebih gagah. Tanpa dikontrol oleh otak, mata ini tertutup. Aku merasakan benda lembut menyentuh bibirku. Daguku terasa digelitik. Mas Nata selalu membersihkan rambut pada wajahnya sehingga sekarang sensasinya begitu berbeda. Tanganku bergerak meraba pipinya yang sedikit kasar dengan mata masih memejam.

Begitulah semua dimulai.  Jantungku bukan main getarannya. Beberapa kali aku ingin sadar, tapi buaian Mas Nata tak mampu aku hentikan. Aku bergerak patuh saat dia mengecup bibir ini semakin dalam, menikmati kemanisan intim yang sudah lama hilang. 

Dadaku serasa akan meledak. Aku meraup udara banyak-banyak. Tanganku berpegang erat pada pundak Mas Nata. Lalu perasaan malu menjalar ke seluruh tubuhku. Apa yang baru saja aku lakukan? Aku rasa pipi ini berubah semerah ceri sehingga Mas Nata mengusapnya.

”Kaki kamu nggak keram?” tanyaku berusaha berdiri hati-hati.

Mas Nata berdeham. Tangannya menggaruk rambut belakang seperti tadi saat malu.

”Sudah malam.” Aku memecah suasana canggung yang baru tercipta, tidak mau berada di situasi ini lama-lama.

Mas Nata berdiri, melihat arloji di tangan kanan. Dia menggaruk alis.

”Mas tidur di mana malam ini?”

Maafkan aku, Ambar. Maaf.

”Di sini aja,” kataku dan rasanya ingin menjambak rambut sendiri setelah mengatakannya.

Kakiku terayun perlahan ke kamar. Mas Nata jalan di belakangku tanpa suara. Ternyata dia berhenti di pintu, ragu-ragu ingin masuk. Aku tidak menghiraukan dia. Segera aku bereskan bantal-bantal. Seprai yang terlihat kusut aku tarik di sudut-sudutnya. Aku membuka lemari mengambil selimut yang lain.

”Kamarnya tidak seluas kamar di rumah Papa. Mas bisa tidur di sini malam ini.” Aku cepat mengoreksinya di saat Mas Nata seperti sedang memikirkan arti ucapanku, ”Fela pindah ke kamar Bunda.”

Malam canggung itu itu pun berlalu. Pagi ini ada Mas Nata di depan meja makan yang sama dengan Bunda. Aku melihat ada yang berbeda dari aura Mas Nata. Dia sangat diam dari bangun tadi. Mas Nata tidak terlalu menanggapi obrolan Bunda. Bunda sepertinya tidak terganggu dengan sikap Mas Nata. Bunda lalu berpamitan. Mas Nata tidak berbasa-basi ingin mengantarkan Bunda.

Kenapa dengan Mas Nata?

***

Bersambung ....

OKI, 10 Juli 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top