[24] Matahari yang Pergi Setelah Perpisahan Kita
[24] Matahari yangPergi Setelah Perpisahan Kita
Udah 600 komentar. Kasev minta sampai 1000 komentar, ya. Selamat bermalam libur.
🥳🥳🥳
Saya dulu berpikir anak saya adalah pengganti saya. Waktu sudah ada anak, kamu hanya sibuk dengan dia tidak perlu saya lagi. Sekarang saya merasa sebaliknya, benar-benar tidak bisa berpisah dengan kamu. ~Mantan Suami Ibu Pustaka~
Besoknya sekitar pukul sembilan seseorang mengetuk pintu rumah Wahyu. Aku sendirian jadi agak takut. Aku intip dulu untuk memastikan yang datang bukan orang modus ingin mencuri. Tahunya laki-laki itu adalah Mas Nata. Dia memakai kemeja abu-abu, tidak terlihat kalau dia datang dari sekolah. Rambutnya tersisir rapi dan tangannya masih mengetuk daun pintu.
"Mas mau apa lagi datang ke sini?"
Gerakan Mas Nata berikutnya bikin aku palpitasi. Jantung berdegup tak keruan. Leher terasa hangat. Alasannya, dia memegang tanganku serta mencondongkan tubuhnya ke pundakku. Oh bukan, tapi ke telinga sebab aku mendengar dia berbisik, "Saya ingin melihat anak kita."
Selanjutnya, aku pergi ke kamar dengan resah memilih baju, sementara Mas Nata menunggu di ruang tamu. Aku bingung akan memakai baju yang mana dan apakah harus dandan sedikit? Sudah lama pipiku tidak tersentuh alat make up. Bibirku hanya kena olesan tipis pelembab. Aku betul-betul kucel semenjak hamil. Baru sekarang aku menyadari hal ini. Akhirnya, aku memilih terusan hijau tua yang paling baru yang sebetulnya ingin aku kembalikan kepada Anand. Ya, setiap datang dia selalu membawa beberapa baju yang katanya dia beli di toko Bunda dengan menyamar.
"Sudah, Mas."
Kalau kalian bertanya kok mau aja sih diajak sama mantan suami? Aku jawab, iya. Aku ingin merasakan bahagia sebentar saja. Anakku juga butuh momen bersama papanya. Mungkin habis ini aku kembali waras dan ketus lagi dengan Mas Nata. Bisa jadi. Sekarang aku hanya ingin merasakan keutuhan keluarga, walau hakikatnya kami sudah bukan pasangan.
Mas Nata menggenggam tanganku waktu kami masuk ke ruang pemeriksaan. Ia meremas jemariku tatkala dokter mulai melakukan tugas mereka memeriksa kandungan dengan USG. Inilah hal yang selama ini aku hindari bersama Anand. Aku tidak ingin pergi ke dokter dengan dia. Paling tidak untuk memeriksakan kehamilan, aku mengajak Anand ke rumah bidan di kompleks, minta vitamin, sudah. Aku selalu memimpikan saat seperti ini, melakukannya hanya dengan Mas Nata. Kami terharu bersama melihat buah hati kami dari monitor.
"Jenis kelaminnya apa, Dok?" tanya Mas Nata tidak sabaran.
"Laki-laki."
Mas Nata beralih ke mode diam setelah keluar dari ruangan. Sampai ke parkiran mobil, dia membuka pintu bagianku dan langsung berputar ke sebelah kemudi. Aku duduk menunggu dia jalan, tapi lama sekali Mas Nata cuma hening.
Terdengar dia menarik napas. Aku menoleh. Matanya nanar menatapku ragu. Pandangan ia turunkan ke perutku.
Ah, aku tahu apa yang dia inginkan. Aku mengambil tangan Mas Nata. Bergeser ke sisinya agar lebih dekat. "Bilang dong, Mas, kalau mau pegang anaknya."
Barangkali Mas Nata takut dengan penolakan. Dia hanya meletakkan tangan di perutku. Di sebelah tangannya aku mengusap perutku sendiri agar ia mengikuti. "Dia itu juga mau disapa sama papanya. Besok sudah nggak bisa lagi."
Namun, Mas Nata segera memegang roda kemudi. Makan waktu setengah jam sampai ke rumah Wahyu. Mobil Mas Nata diletakkan tepat di depan pintu pagar. Di teras Mas Nata duduk tidak langsung pulang.
"Fela. Saya ini berengsek sekali. Waktu melihat 'dia' hidup dan nyata, saya malu sama diri sendiri. Saya dulu berpikir anak saya adalah pengganti saya. Waktu sudah ada anak, kamu hanya sibuk dengan dia tidak perlu saya lagi. Sekarang saya merasa sebaliknya, benar-benar tidak bisa berpisah dengan kamu."
"Mas setop. Jangan jadikan aku orang jahatnya. Aku nggak bisa, tidak mau, jangan paksa lagi, jangan bujuk aku. Percuma. Aku perginya besok. Nggak usah temui aku sebelum aku pulang. Kamu cuma boleh datang saat persalinan aku nanti. Terserah mau atau tidak. Dan hanya sebatas itu aja. Minta tolong kamu bawa surat pengantar yang diperlukan untuk perceraian kita. Jadi kamu nggak perlu bolak-balik mengurusnya di sana."
"Fela. Saya benar-benar minta maaf memainkan perasaan kamu, membohongi kamu, tapi saya betul-betul menyayangi kamu, Fela. Kita rujuk, ya?"
Aku menggeleng final. "Walau kita sekarang sudah mantan, anak kamu tetap anak kamu. Tolong kasih hak asuh anak sama aku, Mas. Gunakan nurani kamu gimana perasaan aku kalau dia kamu ambil juga. Aku tau Mas Nata orang baik. Aku berharap kamu mau kasih aku kepercayaan untuk membesarkan anak kita."
***
Sebelum pulang, aku berterima kasih banyak kepada Wahyu dan Bunda Namila. Selama aku tinggal di sini, mereka sangat banyak membantu. Kapan aku bisa bertemu lagi dengan Wahyu? Walau menyebalkan seperti Anand, dia menyenangkan dan sering memberikan aku nasihat yang berguna.
Malam terakhir di rumah Bunda Namila, Wahyu menyusul aku duduk di beranda. Anand yang baru tiba diajak Bunda Namila keluar membeli obat sakit kepala. Tadi Bunda Namila mengeluhkan kepalanya. Sempat kupikir bahwa Bunda Namila terlalu banyak menangis hingga berefek ke kesehatannya. Sejak aku mengatakan ingin pulang. Atau hanya perasaanku saja.
Tatapan Wahyu lurus-lurus ke jalanan yang dipendari lampu kuning. Ia tak langsung bicara ketika duduk di sisiku. Beberapa saat siswa Syarma School itu cuma menghela napas hingga akhirnya kudengar dia mulai bicara, "Ibu Pustaka masih ingat waktu kita makan roti bakar berdua di depan perpustakaan? Itu pertama kalinya saya punya foto Ibu Pustaka."
Diingatkan soal dulu, air mataku keluar liar. Saat-saat itu aku menikmati tempat kerja baru, menyukai kehidupan dengan mertua dan Mas Nata. Hidup yang terasa sempurna itu rupanya hanya sementara.
Wahyu belum selesai, "Abang Anand langsung menelepon saya dan marah-marah nggak jelas. Malamnya dia menginterogasi saya segala macam soal Ibu Pustaka. Di mana Ibu tinggal, naik apa Ibu ke sekolah, dengan siapa aja Ibu berteman, pokoknya semua hal. Besok-besok ekspresi wajah Ibu sehari-hari dia juga minta saya laporkan, lagi sedih atau senang? Saya diminta selalu memantau Ibu Pustaka. Titahnya begini, jangan sampai lihat Bu Fela sedih sedikit pun. Saya sih ikhlas menemani Ibu Pustaka. Tapi bayaran saya juga banyak dari Abang Anand." Wahyu terkekeh.
"Abang Anand bucin banget 'kan? Tapi dia nggak bisa ngajakin Ibu pacaran karena Ibu Pustaka sudah punya Pak Nata. Abang Anand bilang gini 'Lo kalau nanti punya cewek, jangan sia-siain dia selagi kalian masih punya kesempatan. Ngejagain jodoh orang itu berat. Sakit banget. Kalo udah parah kayak gue, lo nggak bakalan bisa move on!' Saya sedih waktu Abang Anand mulai curhat panjang soal masa lalu dia sama Ibu. Waktu tahu masalah Ibu dengan Pak Nata itu, Abang Anand nggak bisa berbuat apa-apa. Keputusan ada sama Ibu, mau lanjut atau pisah. Abang Anand nggak mau bikin masalah itu tambah keruh dan enak-enakan mancing ikan di sana."
Aku tak dapat menjawab apa pun. Rembesan air terus mengalir. Wahyu di sebelahku akhirnya berhenti. Kurasa sudah cukup semua uneg-uneg yang ingin dia sampaikan. Wahyu membuka rahasia Anand bahwa selama ini dia mengintaiku. Anand selalu ingin tahu. Pantas bocah Wahyu baik sekali kepadaku. Bukan hanya mengantarkan aku pulang sewaktu ditinggal di sekolah. Dia juga menghibur saat air mata ini mengalir hangat ketika melihat Mas Nata dan istri kecilnya berduaan.
"Beb!"
Seruan itu membuatku lekas menghapus air mata. Kalau tidak ada Bunda Namila di sebelahnya, sangat ingin aku peluk tubuh lelaki itu. Aditya Nanda Pradipta. Semua yang dia lakukan membuat luka-luka ini sedikit lega. Akan tetapi, kekesalanku masih bersisa karena dia meminta aku mempertimbangkan untuk kembali pada Mas Nata. Dia pikir mudah melupakan segala yang dilakukan Mas Nata dan keluarganya? Anand kalau ingin menjadi bijak kenapa justru menyakiti dan merobek harga diriku?
"Lo apain Fela?" Anand memukuli Wahyu.
Tak terima disalahpahami, Wahyu membalas perlakuan kakaknya. Bunda Namila menengahi dengan menarik tangan dan menjewer telinga Wahyu. Bocah itu akhirnya tak lagi beredar di sekitar Anand.
Anand duduk di tempat Wahyu sebelumnya. "Diapain sama Wahyu?"
Aku menggeleng membuat Anand berdecak.
"Gak diapa-apain kenapa menangis? Jangan bilang kesalahan hormon."
Anand tersentak sedikit waktu aku memegang tangannya. "Kenapa, sih? Masih ingin tinggal di sini? Katanya pulang?"
"Kenapa kamu tanya begitu? Aku cuma terharu karena kalian baik sekali. Selama aku di sini, aku dapat keluarga yang sangat tulus. Sampai gak enak, selalu ngerepotin Bunda."
"Lebay. Gitu aja sampai nangis."
Anand mengaduh saat waktu memukul bahunya. "Lebay! Gitu aja teriak."
"Besok aku berangkat sendirian."
"Kenapa? Hey, kenapa?" Suaranya meninggi. "Kan ada aku."
"Pikir saja sendiri." Aku berdiri.
Dia mengejar langkahku.
"Masih ngambek sama aku? Ckck. Susah sekali kalau nyonya udah marah. Kamu gak kangen apa sama aku? Telepon gak diangkat, SMS gak dibalas. Aku datang gak disambut sama senyum, malah sama tangisan."
Aku tak menghiraukan dia dan pergi ke kamar tidur.
"Beb! Sayang!"
Aku pulang ke Padang akhirnya tetap dengan Anand. Dia tidak peduli kalau aku marah atau mendiamkannya.
"Aku juga mau pulang ke kota yang sama. Masa kamu aku biarin sendirian? Gila dong namanya. Aku nggak mau kamu kenapa-napa di jalan."
"Untuk apa kamu peduli sama kondisi aku? Kamu udah nggak mengharapkan aku lagi. Kamu bilang sebaiknya aku kembali sama Mas Nata. Kamu minta aku cari jalan keluar selain berpisah, Nand."
"Aku ngarepin kamulah! Dari mana kamu mikirnya aku mau ditinggal kamu lagi?" Dia sangat tidak terima aku katai sudah nggak mengharapkan aku lagi. "Udah jelas dia nggak baik untuk kamu. Nggak cinta sama kamu, ngapain masih dengan dia? Aku itu nggak mau maksa kamu. Kamu kan nggak suka dipaksa."
"Kenapa kamu nggak bilang dari awal?"
"Aku maunya kamu ambil keputusan untuk berpisah itu objektif bukan karena aku yang mendorong. Nanti kalau kamu tahu aku sebenarnya ingin kamu pisah, aku dibilang lagi meracuni kamu untuk cerai. Faktanya suami kamu emang nggak bener. Wajib dan mutlak ditinggalkan."
"Kesannya aku setelah berpisah pasti mau terima kamu, ya?"
"Memangnya enggak?" sergahnya dengan nada tak terima.
Aku menggeleng, mengelus perutku yang menjadi kebiasaan.
"Mikir dulu dong baru dijawab!" perintah Anand dengan nada galak. Tangannya seperti ingin mencakar geram.
"Aku belum mikirin hubungan lain lagi."
"NATA SIALAN!"
Aku menutup telinga karena teriakan Anand. Dia sungguh kesal dan tidak bisa melampiaskannya. Tanpa dia tahu, aku tersenyum melihat dia seperti itu.
Anand menunduk di depanku dengan cara berlutut. "Baby, Anand dizolimi lagi, nih."
Aku lantas menjambak rambut Anand waktu dia meletakkan kepalanya ke perutku. Orang akan berpikir dia suami aku. Anand benar-benar tahu cara memanfaatkan keadaan.
Dia berteriak tidak terima, "Baby! Baby! Anand dianiaya nih. Tolong selamatkan Anand!"
"Jijik tau! Berhenti sok imut! Kamu ketuaan untuk anak aku. Dasar aki-aki!"
Anand berdiri tegak pinggang. "Let's play drama. Aku akan pikat kalian berdua. Kamu bakalan cemburu sama anak kamu sendiri kalau kamu nggak terima aku sebelum dia besar."
"Gila emang!" Aku mengusap perutku dan menendang kaki Anand.
Dia belum tahu saja anakku laki-laki. Walau perempuan, aku takkan mau anakku diambil Anand. Dasar orang nggak waras! Anand duduk lagi di sebelahku menunggu waktu naik pesawat.
***
Sudah seminggu aku tinggal di rumah Bunda, ibuku sendiri. Anand tahu sekali kapan Bunda tak di rumah. Dia akan datang, seperti pengangguran. Walau pernah dengan raut kesal Anand pergi saat menerima telepon. Namun, dia akan kembali lagi saat malam dan berdebat dengan Bunda sampai diizinkan masuk selama lima menit.
Pagi ini Anand tidak datang dan nimbrung ikut sarapan. Katanya banyak pekerjaan. Seharusnya memang seperti itu. Dia wajib bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan—dan hal lainnya tentu saja. Selama ini Anand sangat santai menjalani hidup. Bunda justru terlihat heran. Ada Anand dia kesal. Anand tak ada dia penasaran.
"Anand sibuk, Bun."
"Siapa juga yang nyariin dia?" ketus Bunda.
Bunda mengupas apel. Sebetulnya, itu dari Anand yang setiap datang selalu bawa buah tangan. Kalau saja Bunda tahu, pasti takkan mau Bunda menyentuhnya.
"Udah gak apa-apa?"
"Apanya yang gak apa-apa?"
Bunda meletakkan pisau. Ia mengangsurkan piring apel ke hadapanku. "Perasaan kamu. Kurangi stres. Kita bisa hidup tanpa cinta. Cinta yang tulus hanya cinta Bunda sama kamu. Soal anaknya si Marsya kamu lupakan saja."
"Fela nggak stres. Sungguh. Bunda gak perlu khawatir."
"Kelihatannya memang begitu," gumam Bunda mengamati rautku lamat-lamat. "Tapi terlalu cepat ... apa selama ini—"
"Apa?"
Bunda menggeleng. Tangannya mengambil apel dengan garpu dan memberikannya kepadaku. "Perasaan kamu."
"Kenapa lagi dengan perasaan Fela?"
"Apa selama menikah kamu masih menyukai si sableng itu?"
"Sableng siapa?"
"Si kurang kerjaan." Mungkin maksud Bunda Anand. "Iya?"
"Gak, Bunda."
"Tidak?"
"Fela sama Anand hanya berteman selama ini."
Bunda masih ingin bicara kalau saja ponselku tidak menginterupsi. Untunglah dia bergetar di saat yang tepat. Tanpa peduli yang menelepon adalah Mas Nata, aku menjawabnya segera. Ada sedikit rasa penasaran kenapa Mas Nata menghubungi di pagi begini. Namun, suaranya tak terdengar. Aku kira sudah dia putuskan. Waktu melihat layar handphone, panggilan masih terhubung.
"Mas?"
Bunda melebarkan bola mata. Ia tahu satu-satunya orang yang aku panggil mas adalah mantan suamiku.
"Fela," jawab Mas Nata sangat lirih. Perasaanku mulai tidak enak.
Ada apa dengannya?
"Mama sudah tidak ada."
***
Sekarang aku dan Bunda juga berada di bandara untuk berangkat ke Pekanbaru. Aku tidak diizinkan Bunda ke sana. Bunda sangat khawatir dengan kehamilanku.
"Bunda, aku jahat sekali sama Mama. Saat terakhirnya, aku nggak bisa menemani Mama."
Bunda memelukku. Walau Bunda pernah bilang sangat kecewa pada Mama, kini wajah Bunda ikutan sembab atas kepergian sahabatnya. Tidak ada yang bisa mengalahkan kesedihan ditinggal oleh seseorang yang pernah dekat dengan kita. Aku rasa ada banyak kata yang belum Bunda sampaikan kepada Mama. Tangis Bunda seperti tangis penyesalan. Dan iya, Bunda mengatakan menyesal karena sudah bersikap kasar kepada Mama dan dia tidak sempat meminta maaf.
Pertemuan terakhirku dengan Mama Marsya kini melintas dalam ingatan. Waktu itu, aku benar-benar tega menolak Mama Marsya. Aku sama sekali tidak berbalik saat Mama meminta untuk tinggal di rumahnya.
"Fela mengerti perasaan Mama. Selama menjadi menantu Mama, Fela bahagia, tapi Fela tidak bisa menjadi menantu Mama selamanya. Mama tidak usah sedih. Mama tetap omanya anak Fela. Mama bisa ketemu cucu Mama kapan saja Mama mau. Mah, Fela juga perempuan, tahu gimana posisi Ambar. Aku tidak mau menjadi penghalang hubungan Mas Nata dengan Ambar. Fela mohon, Mah, sayangi Ambar demi Fela."
Mama mengangguk, memelukku erat-erat, dan memohon agar aku tidak pergi. Namun, aku tidak bisa mengabulkan permintaan terakhir Mama. Mama Marsya melepas kepergian aku dengan tangisan yang dia tutupi dengan senyuman.
Sekarang tubuh kurus Mama tidak akan pernah lagi aku peluk. Masakan Mama tidak bisa aku nikmati. Kegiatan bersama kami selama di rumah hanya akan menjadi kenangan indah.
"Bunda ... sampaikan maaf Fela kepada Mama, ya. Bunda juga harus sehat nggak boleh sakit sampai di sana."
"Iya, Sayang. Sehat-sehat juga selama Bunda tinggalin. Dan ...." Bunda melepaskan aku, melihat ke deretan kursi belakang. "Jangan masuk ke rumah saya saat saya nggak ada!" ketus Bunda kepada Anand yang sejak tadi jadi penonton aku dan Bunda.
"Oke, Bunda, Anand siap melaksanakan perintah Bunda. Kita ketemuan di mana aja selain di rumah. Iyakan, Beb?"
Bunda melotot. Wanita yang tadi meraung sedih sekarang berubah garang. "Saya bukan bunda kamu! Dan kalian nggak boleh dekat-dekat!"
"Oke, Bunda. Fela dalam pantauan saya."
"Permintaan terakhir Marsya ... tadi kamu bilang, kembali tinggal di rumahnya 'kan, Fel?" tanya Bunda.
Pertanyaan itu aku abaikan sampai Bunda akhirnya naik pesawat. Bunda sempat melirik sadis ke arah Anand sebelum meninggalkan kami berdua. Tatapannya Bunda seakan mengatakan kepada Anand "Awas, ya!" yang dibalas Anand dengan sikap tunduk bak seorang kesatria kepada tuan putrinya.
Sekarang aku dan Anand benar-benar berdua.
"Itu tadi maksud Bunda kamu apa, Beb? Kamu dapat wasiat disuruh rujuk? Wah kacau nih urusannya."
Bunda pasti sengaja menanyakan itu biar Anand kapok. Enggak ada yang namanya wasiat rujuk. Walaupun matanya penuh oleh air mata, Mama Marsya melepaskan kepergian aku dengan tersenyum, mau mengalah demi aku. Memang aku yang paling egois dan pendendam di sini. Tidak bisa mengerti posisi mereka. Tidak mau mendengarkan alasan mereka. Tidak ingin memaafkan mereka. Perpisahan mungkin adalah jalan paling baik untuk kami semua.
Maafin Fela yang tidak bisa membuat Mama bahagia hingga napas terakhir.
"Woi! Ngelamun aje!" Anand mencubit pipiku. Dia bertambah kesal karena aku tinggalin merenung.
"Nand. Anak aku cowok loh."
Aditya Nanda Pradipta mengangguk tidak keberatan. "Cemas banget sih sama anak sendiri? Aku bercanda kali. Pan Abang cintenye ama eneng kaga ada yang laen."
"Iya, bercanda aja terus."
***
Okeey bersambung ...
6 Juli 2020
Absen dulu, ya:
Fela Nata
Fela Anand
Nata Ambar
Anand jomlo >,<
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top