[23] Aku Bukan Tokoh Antagonis, Dia Juga Bukan

[23] Aku Bukan Tokoh Antagonis, Dia Juga Bukan

MAAF BANGET SOAL USIA MAS NATA. DIA DAN FELA SEUMURAN YA. TUA NATA DIKIIIT. KHILAF KHILAF.

"Semua penyakit ada obatnya, tapi sakit yang aku punya tidak. Aku cuma bisa cari pereda." ~Fela Permata Honey~

***

Wahyu melihat arloji di tangannya. "Kayaknya iya. Saya tadi kasih tau alamat ini sama Ambar pulang sekolah. Butuh waktu sekitar lima puluh menit untuk ke sini dari SMA-nya Pak Nata setelah diteks Ambar." Wahyu cepat bergerak ke depan untuk memeriksa tamunya.

Tungkaiku tegak. Aku pejamkan mata dan hirup udara panjang. Ada sedikit gemuruh bersahutan di dalam rongga dada. Telapak tangan aku letakkan untuk merasakan detakannya yang cepat.

Mas Nata, apa yang akan kamu lakukan sekian lama kita tidak bertemu?

"Fela! Bagaimana kabar kamu?"

Mas Nata tiba di hadapanku. Melihatnya lagi seperti ada jejak rindu yang terlepas dari kalbu. Suami yang sudah beberapa bulan tidak aku jumpai ini terlihat gagah dengan seragam kebangsaannya. Kemeja putih yang dimasukkan ke pinggang celana dasar hitam. Perut datar dan lengan kokoh. Kacamata minus bertengger manis di hidung yang mancung. Rahangnya tegas berjejak cukur. Mas Nata menyentuh pundakku, melihatku lebih dekat.

Tubuhnya terdorong. Tanganku lantas berpindah ke permukaan perut dengan refleks. Mas Nata kaget karena aku menolaknya. Matanya kini melihat kepada objek yang aku sentuh. Calon bayi yang mungkin akan merupai wajahnya yang tampan.

"Mau apa kamu ke mari?"

Mas Nata terpaku. Sekian lama tidak betemu, ia pikir aku akan lupa yang sudah dia lakukan?

"Mas!"

"Sudah waktunya kamu pulang."

"Hahaha."

Pria berkemeja putih lengan pendek itu tiba-tiba melucu.

"Apa yang bikin kamu tertawa?"

"Kamu!" Aku menunjuk dadanya.

"Saya serius. Apa terdengar lucu?"

"Pulang ke mana? Aku tidak merasa punya rumah. Apa suami aku sudah membangunkan aku rumah? Kalau yang kamu maksud pulang adalah ke rumah orang tua kamu, untuk aku itu bukan pulang. Aku di sini tidak punya tempat untuk kata itu."

Emosiku meninggi sewaktu Mas Nata tiba-tiba menarik sikuku. Aku belum sempat memberontak karena Mas Nata langsung berkata lirih bahwa ia ingin bicara di tempat lain. Aku menyadari pembicaraan kami bakalan panjang. Dan aku tidak mau ada orang lain-bocah Wahyu-yang ikut jadi pendengar. Aku ingin masalah ini selesai setelah aku membahasnya dengan sekali bertemu seperti kata Anand. Jalan keluarnya hanya Mas Nata.

"Baik."

Dalam perjalanan Mas Nata kembali bikin aku marah-marah karena arah yang dipilihnya merupakan jalan ke rumah orang tuanya. Aku mengomel panjang minta diberhentikan sambil menangis tersedu. Ya ini terdengar aneh. Apalagi melihat keadaan wajahku yang benar-benar basah seperti korban kekerasan rumah tangga. Akhirnya mobil berbelok ke sebuah halaman mall. Tiga menit dari sini sudah sampai di rumah Mama Marsya dan Papa Deni.

Mas Nata mengangsurkan tisu. "Saya nggak akan bawa kamu pulang kalau kamu belum mau."

"Bilang dong dari tadi." Akibat menangis, hidungku jadi berair. Aku membawa kotak tisu Mas Nata ke luar. "Kenapa? Kamu malu?" bentakku ketika Mas Nata melihat kelakuanku ini. Dia hanya menggeleng, kelihatannya juga menahan untuk tersenyum.

Coffee shop yang terdekat dari parkiran menjadi pilihan Mas Nata. Dia menarik tanganku ke tempat duduk dekat jendela kaca. Aku sempat memperhatikan lengan kerasnya itu sewaktu memegangku. Fela, dia bukan lagi Mas Natamu. Mas Nata pergi ke bar pemesanan tanpa menanyakan aku ingin minum apa.

"Kamu pesenin aku apa?" tanyaku saat ia kembali.

"Jus mangga."

"Jadi-" Aku memulai, "-kamu ingin aku tetap menjaga Mama? Kamu nggak berpikir aku bodoh 'kan, Mas? Sudah tahu suaminya punya istri yang lain, tapi masih bertahan dengan kamu. Cinta nggak bikin aku mau aja hidup sebagai pajangan, jadi hiasan di rumah mama kamu."

"Kok kamu mikirnya begitu? Mama sangat menyayangi kamu. Kamu jelas bukan pajangan. Mama drop tiga kali dan harus masuk rumah sakit sejak kamu pergi. Mama sudah tidak sesehat dulu."

"Sekarang aku jadi suster nih?"

"Kenapa kamu setega ini sih, Fela? Kamu nggak sayang dengan Mama?" Tarikan suara agak keras di ujung tanya menunjukkan emosi Mas Nata sekarang.

"Kalian lebih tega. Kalau kamu bilang dari awal sudah punya wanita lain, aku nggak akan datang ke tempat ini!"

Mas Nata membetulkan letak kacamata dan menyatukan kedua tangan di meja. "Saya akan berpisah dengan Hesi asalkan kamu mau pulang kepada kami." Suaranya mantap.

"Separah itu sakit Mama?" Mas Nata tidak mungkin memutuskan ini jika Mama keadaannya baik.

Mas Nata berdiri untuk mengambil minuman. Aku tidak mendengarkan teriakan barista memanggil namanya. Mungkin karena terlalu hanyut dalam pembicaraan kami.

Dia kembali membawa dua minuman ukuran grande. "Kita akan membesarkan anak kita sama-sama," sambungnya sembari meletakkan cangkir.

"Manusia paling egois itu kamu. Membesarkan anak bersama, aku nggak bisa. Aku ingin yang sebaliknya. Ceraikan aku sekarang juga!"

Niat aku dari awal adalah berpisah. Mau dia kasih alasan seberapa banyak, bujukan manis sampai memohon pun, aku tetap mau cerai.

"Fela!" sentak Mas Nata. "Kita bisa memperbaiki semuanya. Kita ulang dari awal lagi ... Bagaimana Mama kalau kamu pergi?" tanyanya halus.

Jus mangga yang segar mengalir ke lambung. Aku meresapi manisnya pelan-pelan sambil berucap mantap, "Semua penyakit ada obatnya, tapi sakit yang aku punya tidak. Aku cuma bisa cari pereda."

Ketenanganku menyebabkan Mas Nata memaksa, "Mama sangat ingin bertemu kamu. Mungkin Mama punya semangat untuk sembuh kalau kamu datang. Tolong bantu saya, Fela. Apa pun syarat dari kamu akan saya lakukan, termasuk jika kamu mau saya menceraikan Hesi."

Aku menggeleng teguh. "Enggak. Sekali berbohong, aku tidak memberikan kesempatan lagi, baik kamu atau Mama."

"Fela. Bukannya kamu juga punya ibu? Kamu tahu betapa penting Mama bagi saya. Dan kamu sangat penting untuk Mama. Tidak bisakah kamu beri satu kesempatan Mama bertemu kamu? Demi Mama, saya mohon datanglah sekali saja."

Mata Mas Nata menatapku dengan memohon. Mungkin seperti inilah wajahnya yang tersiksa melihat kesehatan Mama selama ini. Iya, aku tahu Mas Nata memprioritaskan Mama Marsya dalam hidupnya. Sayang sekali, pilihan mereka berbeda sehingga polemik ini terjadi. Puncaknya Mama sakit.

"Baik. Aku kasih satu kesempatan. Aku akan ketemu Mama-" untuk terakhir kali "-dengan satu syarat."

Mas Nata kelihatan lega. Benar-benar lega sehingga aku melihat ia hampir tersenyum. Mungkin dalam hati Mas Nata berharap kedatangan ini akan menjadi kepulangan. Artinya aku kembali tinggal di rumah mereka.

"Ceraikan aku sekarang di sini!"

Ekspresinya berganti lagi. Sekarang kelihatan kesal yang ditahan. Dia tidak bisa menunjukkan perasaan itu selama masih berusaha membujukku. Lama dia menunduk, lalu, "Ketemu Mama dulu."

"Nggak mau."

Mas Nata betul-betul bingung. Ia beberapa kali mengembuskan napas. Minumannya segelas caramel chip blended dia teguk cepat.

"Dengarkan cerita saya dulu."

***

Mas Nata mengenal Ambar waktu praktik lapangan di SMP. Ambar seperti yang aku tahu adalah siswi yang cerdas dan rajin. Tentu saja banyak guru yang mengenal dia. Mas Nata termasuk salah satunya. Beberapa hari Ambar alfa tidak ada yang mengetahui alasannya. Mas Nata mengusulkan ke para guru mencaritahu ke rumah Ambar. Saat itu mahasiswa PL selalu di depan. Begitulah istilahnya. Masalah siswa, mereka yang handle. Sampai di sana Mas Nata merasa prihatin dengan kehidupan Ambar. Ibu Ambar baru saja meninggal karena tabrak lari. Kata tetangga, ayah Ambar sudah lama meninggal. Gadis tiga belas tahun itu sebatang kara meratapi kesedihannya.

Mas Nata membawa Ambar ke rumah orang tuanya setelah bicara dengan Mama dan Papa Deni. Ambar dipindahkan ke SMP Syarma Global School. Waktu itu, keduanya sangat menyayangi Ambar. Mama Marsya memperlakukan Ambar seperti putrinya sendiri. Namun, perasaan lain mulai dirasakan Mas Nata untuk Ambar. Dua tahun lamanya tinggal di rumah yang sama membuat jentik-jentik cinta tumbuh dalam hati Mas Nata.

Setamatnya Ambar dari SMP, mereka menikah secara agama. Mama Marsya mengizinkan dengan terpaksa karena Mas Nata bersikeras untuk menikah. Mas Nata sudah bekerja di sekolahnya sekarang sebagai pegawai negeri. Dia tetap akan menikah tanpa restu dan membawa Ambar tinggal berdua. Karena itulah, Mama Marsya akhirnya mengalah daripada Mas Nata betulan membawa Ambar keluar dari rumah.

"Memangnya cuma kamu? Gimana dengan perasaan Ambar?" Masa dia bilang 'aku', bukan 'kami' saat bercerita?

Kata Mas Nata, "Mungkin Hesi hanya patuh. Dia selalu memikirkan balas budi."

Mama Marsya berubah 180 derajat. Waktu aku sanggah kenapa bukan 360 derajat supaya kelihatan jelas bedanya? Dia bilang itu sama saja artinya Mama tidak berubah karena garisnya kembali ke titik awal. Mama tidak pernah berkata manis lagi kepada Ambar. Mama jadi sering mencela dan menghina, sampai mengusir Ambar. Dikit-dikit marah. Ambar disuruh mengerjakan semua pekerjaan rumah kalau Mas Nata tidak ada. Saat Mas Nata di rumah, Mama kalah. Bukan dari segi adu mulut, tapi Ambarnya dibawa Mas Nata ke kamar, dikunci tidak boleh keluar sampai waktu makan atau diajak keluar jalan-jalan.

"Mama selalu menyakiti Hesi dengan kata-kata. Mama seperti bukan mama yang saya kenal."

Aku kasihan dengan anak kecil itu. Sudah tidak punya orang tua, dijahati pula oleh mertua. Aku tidak bisa membayangkan seseram apa Mama Marsya kepada Ambar. Yang jelas aku takkan bertahan lama hidup dengan mertuayang jahat. Aku tidak akan diam saja kalau dizalimi tanpa tahu salahku apa.

Mama Marsya tidak hanya kasar bicaranya. Perlakuannya juga. Mas Nata akhirnya membawa Ambar pindah rumah setelah kejadian paling parah. Mama marah besar dan menyalahkan Ambar lagi. Akhirnya, mereka membuat kesepakatan. Mas Nata boleh tinggal dengan Ambar kalau bersedia menikah lagi. Mama juga tidak akan pernah mengganggu Ambar jika Mas Nata menikahi aku.

Ada satu pertanyaan lagi yang ingin aku utarakan. "Ambar baru tamat SMP masih kecil sekali. Kenapa tidak pacaran dulu? Kenapa menikah?"

Dan Mas Nata menahan nafsunya pada anak kecil itu selama dua tahun. Aku percaya kekuatan cinta memang ajaib.

"Saya tidak mau dia jatuh cinta pada orang lain."

Aku mengangguk. Setelah menikah, Ambar tidak akan berpikir untuk menyukai orang lain. Gadis polos yang merasa berutang jasa jelas tak akan berkhianat. Mas Nata ternyata bukan orang biasa, dia luar biasa cerdik. Budak cinta gadis cilik.

"Demi Mama kamu melakukan segala hal. Hebat kamu, Mas, mengobral kata cinta untuk aku. Kamu paling buruk. Harusnya bukan Ambar yang aku tampar."

"Manusia jatuh cinta bukan hanya sekali, Fela. Perasaan saya sama kamu tidak mungkin salah. Ungkapan cinta kamu menulari saya setelah kita bersama dan kamu mengandung buah hati kita."

Setelah bersama berarti ... "Siapa pengirim chat sebelum kita menikah? Mama atau kamu?"

Mas Nata kebingungan. Jelas bukan dia. "Dan manusia tidak selalu berhasil meraih apa yang mereka inginkan. Karena aku sudah mendengar cerita kamu, sekarang dengarkan perintah aku."

Mas Nata menandaskan lelehan es dari cangkir setelah dengan raut terpaksa menceraikan aku dalam satu kalimat. Pernikahan perlu banyak syarat dan saksi, tapi perceraian tidak. Mas Nata cukup berkata beberapa kata, maka ikatan pernikahan kami lepas secara agama. Surat-menyurat bisa menyusul sesudah ini.

Sesuai janji, aku mau dibawa menemui Mama Marsya. Tentu saja aku hanya akan mengucapkan pamit dan minta maaf karena tidak bisa menjadi menantu lagi.

***

Aku dan Mas Nata tiba di depan rumah orang tuanya. Pria yang lima bulan lebih tua dariku itu langsung masuk, tidak menunggu atau mengiringi aku. Denyut-denyut perih terasa dalam dada saat diri ini diabaikan. Aku ikut mengayunkan kaki ke dalam menuju kamar Mama.

Sebelum aku sampai, terdengar suara orang-orang berbicara. Salah satunya adalah Mas Nata yang nadanya membujuk pelan dan hati-hati. Aku sengaja memperlambat langkah.

"Uang yang kita kasih cuma dipakai main bukan kursus. Jadinya begini. Makanan nggak ada rasanya. Sok-sokan masakin Mama cuman buat cari muka." Suara Mama pelan dan lambat, tapi terasa sarat hinaan.

"Sengaja dikurangin garemnya, Ma. Dokter bilang 'kan nggak boleh asin-asin toh," bela Papa Deni.

"Memang masaknya yang nggak niat. Sengaja dia mau bikin Mama marah biar kepala Mama ini makin sakit."

"Ya Mama nggak perlu marah." Itu suara Mas Nata. "Kalau Mama nggak mau masakannya Hesi, ya udah, Ma. Jangan emosi. Ya, Ma?" bujuk Mas Nata pelan sekali.

"Makanya dulu kalau Mama suruh masak itu, masak. Selalu alasannya belajar. Untuk apa belajar, kecil-kecil sudah bisa menggoda anak laki-laki orang! Kelakuan dia itu udah nggak ada bedanya dengan PSK."

Aku belum berani masuk dengan emosi Mama seperti ini. Suara Mama Marsya kedengaran pelan, namun lidahnya sangat tajam.

"Ma, sudah dong! Nata yang masak, ya? Bu Ratmi pula kenapa nggak datang sih?"

"Kalian tahu kan stres Mama ini karena apa? Karena kalian yang selalu membela dia. Kalian semua ingin Mama cepat mati 'kan? Sudah nggak ada lagi yang sayang sama Mama. Fela juga sudah pergi dengan cucu Mama."

Aku memutuskan masuk. "Mah," panggilku.

Semua orang kaget melihat aku, termasuk Mas Nata. Miris. Dia sampai lupa ada aku di rumah ini. Papa berdiri di dekat kepala Mama yang bersandar. Ambar ada di samping Mas Nata di ujung tempat tidur. Mas Nata sedang merangkul dan mengusap lengan atas Ambar-ah, Hesi istri kecilnya. Aku berusaha mengabaikan perlakuan Mas Nata pada Ambar supaya luka di hati ini tidak tambah perih. Langkahku hanya terarah ke tempat Mama Marsya. Pada saat aku memeluk tubuh Mama yang kini kelihatan kurus, posisiku membelakangi mantan suamiku dan istri ciliknya.

"Fela datang," ucapku.

Mama Marsya terlihat tidak percaya. Wajahku dipegang, dirasa, dan ditatap lama. Tangan Mama menuruni lengan atasku dan berhenti di pinggang. Mama melihat perutku dengan pandangan berkaca. Pelan dan lambat Mama mengusap perutku yang besar.

"Cucu Mama sudah besar, ya?" tanyaku sekaligus menegur Mama yang tidak bersuara sejak aku menyapa.

"Sehat? Dia masih sering bikin mamanya muntah-muntah?"

"Sekali-sekali masih. Masuk bulan ketujuh sudah jarang, tapi mualnya ada."

"Mama pengin deh bisa berdiri yang kuat kayak dulu biar bisa gendong cucu Mama."

"Bisa pasti bisa. Syaratnya Mama rajin minum obat. Makannya nggak boleh malas. Gimana kalau Fela yang suapin?"

Mama menjauhkan mukanya waktu aku menyendok makanan. "Masakan Hesi nggak ada rasanya. Nggak enak di lidah Mama."

Aku melihat dari sudut mata Mas Nata menarik tangan Ambar ke luar. Papa menggeleng dan ikut keluar.

"Pria-pria Mama direbut sama Hesi. Mereka nggak ada yang mengerti perasaan Mama lagi. Papa sudah nggak cinta dengan Mama. Nata juga sayangnya cuma sama Hesi."

Iya, Ma, jangan Mama jelaskan. Hati aku belum kuat walau sudah tahu kenyataan itu.

"Kalo masakan Fela, Mama suka?"

Mama setuju aku membuatkannya makan malam. Di dapur sudah ada Papa yang pandangannya rendah ke kompor.

"Pah, sedang apa?"

Papa berbalik sambil mengusap wajahnya. Mau ditutupi seperti apa, aku bisa melihat kesedihan di sana. Sebagai bucin sejati, Papa Deni berusaha terlihat kuat di depanku. Ini mungkin Papa habis menangis. Kan jadi serba salah dengan Mama.

"Mama ada riwayat tekanan darah tinggi. Kita kecolongan. Mama kelihatan energik, jadi enggak ada yang mengira penyakit itu akan menyerangnya. Yang kelihatan sehat, belum tentu sehat. Memang benar para dokter menganjurkan untuk check up rutin. Yang memperparah penyakit Mama kamu ini adalah stres. Lama-kelamaan stres jadi pemicu tekanan darahnya semakin parah."

Papa mengambil gelas dari lemari di depannya. "Papa bikin kopi, kamu mau?"

"Fela nggak minum kopi, Pah. Fela mau masak untuk Mama."

Suara air dituang ke gelas diikuti aroma kopi tercium wangi.

"Papa juga minta maaf atas semua kejadian yang kamu alami. Di satu sisi Papa sayang Mama kamu, di sisi lain ada Hesi sama kamu yang sekarang sudah jadi menantu kami. Harusnya dapat perlakuan yang sama. Kamu pasti marah, sakit hati sama kami yang nggak jujur siapa Hesi. Untuk itu, mohon maafkan kami semua. Terutama Mama yang mungkin akan meminta kamu untuk kembali ke sisi Nata."

Sambil mengiris bawang merah, aku menanggapi permintaan Papa, "Sulit sekali. Fela kayak dimainin sama semua orang. Maaf kalau nggak sopan. Fela cuma mau jujur karena bohong itu menyakitkan sekali, Pah."

Tidak terdengar apa-apa. Namun, aku tahu Papa masih di dapur ini. Aku sengaja membelakangi posisi Papa Deni. Tahu sikap aku ini keterlaluan. Dengan melakukannya terasa membalas sedikit sakit yang berlipat menghantam perasaanku.

"Fela punya mimpi. Sederhana aja, yaitu mau punya keluarga kecil yang lengkap untuk anak Fela. Biar supaya dia nggak ngerasain hidup dengan orang tua tunggal. Fela baru sadar. Mimpi kayak gitu susah. Bukan cuma aku yang harus berusaha. Ada keluarga suami juga yang bantu mewujudkannya. Lebih susah dari mencapai cita-cita sama karir, yang bisa kita usahakan seorang diri."

Bawang ini membuat mataku perih. Aku mengusap kelopak yang mulai meneteskan cairan hangat.

"Pa, Fela cuma datang sebentar. Aku bukan menantu kalian lagi. Fela mau pamit sama Papa dan Mama."

"Kamu sama Nata sudah pisah? Beneran cerai?"

"Sudah. Fela mau kembali ke Bunda. Maaf, Pa, Fela nggak bisa menjaga Mama sampai sehat. Rencana aku mau melahirkan di Padang dengan Bunda. Kalau nanti Mama bisa datang sama Mas Nata, boleh banget. Kalau nggak, Fela tidak mengharapkannya juga."

Aku tahu jarak sudah semakin dalam di antara aku dengan keluarga ini. Sulit untuk kembali merasa simpatik dan sayang kepada orang-orang yang pernah menggoreskan luka. Papa juga tidak bicara lagi dan asyik menyesap kopi. Dari sana aku tahu, Papa jauh lebih sayang kepada Hesi.

Mama bersemangat makan dengan nasi lembut dan sup buatanku. Entah di mana Ambar dengan Mas Nata, aku yakin masih di rumah ini. Mama seperti sedang menyindir Ambar dalam setiap bicaranya. Lama kami mengorol aku menyadari sudah saatnya untuk berpamitan. Aku juga menyampaikan kabar perceraianku dengan Mas Nata yang membuat Mama Marsya meraung keras. Kedua lengannya memeluk erat dan menangis pilu di pundakku.

"Fela mengerti perasaan Mama. Selama menjadi menantu Mama, Fela bahagia, tapi Fela tidak bisa menjadi menantu Mama selamanya. Mama tidak usah sedih. Mama tetap omanya anak Fela. Mama bisa ketemu cucu Mama kapan saja Mama mau."

Lalu aku teringat dengan Ambar. Jika memang aku tidak bahagia dengan Mas Nata, Ambar harus bisa. Mas Nata sungguh menyayangi anak itu. Papa pula. "Mah, Fela juga perempuan, tahu gimana rasanya di posisi Ambar. Aku tidak ingin menjadi penghalang hubungan Mas Nata dengan Ambar. Fela mohon, Mah, sayangi Ambar demi Fela."

"Mama maunya Fela. Mama tidak rela Nata memperistri Hesi. Sejak kamu kecil, Mama sudah niat menjodohkan kalian. Cuma Mama terlambat mendapatkan alamat Susa."

"Jodoh Fela dengan Mas Nata terhenti sampai di sini. Udah nggak bisa diteruskan lagi. Kalau kami tetap sama-sama, semua nggak akan bisa bahagia. Tapikan Mama sama cucu Mama tidak akan terpisah walau tidak tinggal bersama. Mama bisa datang kapan aja untuk ketemu cucu Mama. Yang berpisah itu hanya Fela sama Mas Nata."

Mama menangis tiada henti dengan semua yang aku ucapkan. Ia bercerita kisah persahabatan dengan Bunda. Mungkin hanya untuk menahan aku agar tetap duduk di sebelahnya. Aku sangat tertarik karena Bunda tidak pernah membicarakan masa mudanya.

"Mama sama Susa sahabatan dari kita SMP. Rumah kita tetanggaan. Kami masuk SMA yang sama, sebangku pula. Bunda kamu itu anak yang tahunya cuma belajar aja. Selama tiga tahun enggak berpacaran. Mama juga sih karena Papa itu susah sekali ditakhlukkan. Sampai Mama pilih lanjut belajar di kampus yang sama trus sibuk kuliah juga sibuk ngejar Papa. Mama tidak tahu kabar Susa. Bunda kamu setamat sekolah dulu langsung bekerja. Kami jarang ketemu dan cerita. Tahun ketiga kuliah, Mama menikah dengan Papa. Susa bantu Mama, ada ikut di semua acara keluarga, tapi dia nggak cerita apa pun sama Mama. Setelah menikah dan hamil, Mama makin sibuk sambil mengurus skripsi juga. Mama semakin jarang ketemu Susa. Kurang perhatian sama dia. Mama ketemunya lagi waktu mau pulang dari rumah sakit setelah melahirkan. Ternyata Susa sedang hamil. Masih kecil dari perut kamu sekarang, dan jelas kalau dia itu habis dari poli obgyn. Akhirnya, Susa cerita semuanya ke Mama. Mama itu sahabat yang paling jahat. Hidup bahagia dengan keluarga besar, membiarkan Susa sendirian dan hamil tanpa ada suami. Setelah kamu lahir, Susa pergi, hilang jejak. Kami sama Papa dan Nata pindah ke kota ini. Susa semakin sulit Mama cari." Mama sering berhenti waktu cerita karena menangis.

Jarum jam terus bergerak naik. Mataku mulai mengantuk karena aku belum memiliki tidur siang hari ini. Tubuhku juga sangat lelah butuh istirahat. Dengan mengabaikan tangisan Mama Marsya, aku minta izin pulang.

"Jangan tinggalin Mama, Fela. Mama nggak tahu lagi gimana caranya biar kamu mau tinggal dengan Mama. Tolong jangan pergi. Mama nggak mau pisah lagi dengan Fela."

"Mah, Fela nggak mungkin tinggal di sini lagi. Mama harus sehat agar bisa melihat Fela melahirkan. Mama maukan nanti gendong bayinya Fela?"

"Di sini aja dengan Mama, ya?" Mama menggenggam tanganku, menatap aku dengan memohon di balik genangan air mata.

Kesimpulannya, Mama sayang kepadaku karena rasa bersalah. Dorongan itulah yang membuat Mama sangat ingin menebus penyesalan di masa lalu. Mencurahkan seluruh rasa cinta untuk anak sahabatnya. Namun, aku bukan menikahi mertua, Ma. Suamiku tidak mencintai aku, masa aku mau hidup sama mertua saja? Aku ingin dicintai sebagai istri dan ibu dari anaknya.

"Mama harus tegar, jangan banyak pikiran. Cepat sehat. Fela janji akan menjawab telepon Mama. Doakan juga cucu Mama ini sehat sampai dilahirkan. Untuk sekarang Fela rindu banget dengan Bunda, mau ketemu Bunda. Fela pamit, ya. Nanti aku akan cerita tentang Mama sama Bunda."

Mama memelukku. Di bahu ini Mama mengangguk. Aku keluar kamar diiringi Mama dengan tersenyum. Senyuman yang dipaksakan ikhlas.

"Bapak di sini dulu. Kasih waktu sebentar, Hesi mau ngomong dengan Ibu Fela."

Aku mendengar bisik-bisik itu selagi menutup pintu. Waktu berbalik badan, sudah ada Ambar dengan wajahnya yang juga bekas menangis.

"Ibu Fela, bisa minta waktu Ibu?"

Aku melihat ke belakang punggung Ambar. Mas Nata berjalan menjauh.

"Cuma sebentar, ini sudah malam." Aku menyetujui. Juga ada hal yang ingin aku sampaikan kepada dia.

Aku berjalan ke belakang dekat kolam ikan Papa Deni. "Saya tidak ingin dan tidak bisa minta maaf sama kamu. Saya rasa kamu juga." Di sini diterangi lampu kuning dekat kolam dan satu lampu putih di halaman kecil yang terlindung oleh pagar.

"Saya mau kok. Saya ingin minta maaf dan minta sesuatu kalau Ibu mau."

"Saya maafinnya nanti-nanti. Terus kamu minta apa?"

Ambar kelihatan takut, tapi tetap melihat wajahku saat bicara. "Ibu tetap sama Pak Nata sebagai istrinya."

Tanganku mengusap-usap perut, sedikit menjadi terapi untuk meredakan emosi. "Permintaan kamu saya tolak. Kamu bener-bener lagi cari muka, ya," tuduhku.

"Saya nggak cari muka. Serius ... saya bersedia enggak muncul di depan Ibu Fela sama Pak Nata. Anak Ibu lebih butuh Pak Nata dibandingkan saya."

"Kata siapa? Sampai sekarang saya masih hidup tanpa ayah saya. Tidak masalah."

Bibir Ambar terkatup. Aku tergelak. "Terima kasih untuk niat tulus kamu." Aku memberikan ia senyuman. Si cilik penakut, tapi sok berani ini sepertinya sedang belajar bijak.

"Ambar, saya bukan wanita lemah lembut dan suka ngalah. Saya itu lebih egois dibanding siapa pun. Saya pergi bukan karena kamu atau Mas Nata atau keluarga ini, tapi untuk diri saya sendiri. Prinsip saya tidak bisa digoyahkan. Sekali dibuat kecewa, tidak ada kesempatan kedua. Anak ini, saya bisa membesarkannya sendiri. Saya tidak akan mengemis cinta sama orang yang perasaannya untuk perempuan lain."

Dia menunduk, menautkan kesepuluh jari. "Pak Nata yang nggak bisa," ucapnya pelan sekali, "Ibu tinggalin." Wajah Ambar terangkat untuk melihatku. Dia sedikit lebih rendah dari aku, menyebabkan dia harus menengadah sedikit. "Pak Nata mulai berubah. Saya yakin karena Bapak udah mulai mencintai Ibu Fela. Coba sekali ini Ibu Fela ngalah sebentar, kasih kesempatan buat Pak Nata balik sama Ibu Fela. Kalian bisa bahagia. Tante senang dan bisa cepat sehat."

"Ini bukan novel, Ambar. Kalau udah pisah, udah nggak bisa balik lagi. Pantangan saya itu dibohongi sama dikecewakan. Seperti misalnya kamu lagi nulis, lalu bukunya basah kena jus. Walau udah kering, masih ada jejaknya 'kan?"

Ambar mengangguk.

"Oke, sekarang saya bicara sebagai kakak. Berjuanglah biar bisa disayang Mama Marsya. Perempuan kalo dikasih perhatian terus, pasti akan luluh juga. Yang penting kamu jangan masukin ke hati omongannya Mama Marsya. Balas aja dengan gurauan waktu Mama mulai ngomelin kamu. Masakan kamu enak kok. Saya udah coba. Usaha terus dan jangan menyerah. Terus satu lagi, jangan sampai cinta Mas Nata sama kamu itu goyah. Amati terus. Cepet gih tamat sekolah biar bisa jadi ibu dari anaknya Mas Nata."

Ambar wajahnya memerah. Dia berdeham. "Ibu bukan antagonis kok. Ibu Fela baik."

"Kamu juga bukan." Aku mengusap kepala Ambar, membayangkan perasaannya selama ini. Pasti sakit sekali. "Kalau kamu mau, saya mengundang kamu datang sama Mas Nata waktu saya melahirkan. Ya, kalau ayahnya mau sih." Kalau ayah saya, nggak peduli saya ada atau tidak.

"Bapak pasti mau. Pak Nata senang loh mau punya dede, dia suka melamun merhatiin anak kecil."

Suara deheman membuat Ambar cepat-cepat menjauhkan tanganku dari kepalanya. Kemungkinan besar, Mas Nata sudah mendengar kami dari tadi.

"Merhatiin kamu dong. Kamu 'kan anak kecil," bisikku.

"Kamu nggak perlu minta orang lain buat jemput kamu." Mas Nata berdiri di antara aku dan Ambar.

Aku kebingungan kenapa Mas Nata seperti orang lagi kesal?

"Bapak ... santai," ucap Ambar lalu menggigit bibirnya takut.

"Aku nggak-" Aku disela suara seseorang yang datang dari arah depan.

"Ibu Pustaka!" Wahyu melambaikan tangan. "Hesi!" Ia juga tersenyum manis kepada Ambar. "Ibu nggak nginep di sini 'kan?"

***

Bersambung ...

OKI, 4 Juli 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top