[22] Isi Hati Wanita Sulit Dimengerti

Halo reader yang menunggu Kasev update setiap hari sampe katanya rindu 😀

🍷🍷🍷

Ketemu di mimpi saja aku benci. Mimpi barangkali prolog dari kenyataan. Mimpi menyingkap kebenaran sebelum bertemu yang sebenarnya saat membuka mata. ~Istri Natirta Adiwijaya~

🍷🍷🍷

”Selesaikan masalah ini dengan sekali bertemu.” Anand mendukung untuk pulang dan mendengarkan Mama Marsya. Namun, kecewa dan kesal, serta perasaan dikhianati dan dibohongi masih meraung keras dalam dada ini.

Aku teringat percakapan beberapa waktu lalu dengan Bunda. Ibuku sudah mendengar semua ceritanya dari mertuaku. Cerita yang tidak ingin aku dengar dari mereka. Penjelasan yang pasti akan membuat hatiku semakin sakit. Namun, tidak mungkin aku menghentikan Bunda berbicara.

”Bunda mencabut kata-kata Bunda. Di dunia ini tidak ada yang bisa kita percayai termasuk sahabat sendiri. Bunda keliru sudah percaya dengan Marsya mentah-mentah. Nata menikahi gadis lain sebelum menikah dengan kamu. Dan kamu tahu apa alasan Marsya? Marysa memiliki perjanjian dengan Nata. Dia tidak akan mengganggu istri Nata dan menyuruh Nata bercerai jika menikah dengan kamu. Marsya hanya menginginkan kamu, meskipun anaknya sudah menikah. Marsya berharap kamu akan menggantikan menantunya yang lama. Sementara dia sendiri tidak bisa memisahkan anaknya sebelum menikahkan kamu dengan Nata.”

Tidak ada yang bisa aku katakan selain memukul dada perih. Air mataku tidak bosan mengalir sewaktu Bunda bercerita lewat telepon.

”Keluarga mereka itu gila. Entah siapa yang paling tidak waras di sana. Nata yang menikahi remaja lima belas tahun atau orangtuanya yang memberikan izin. Atau pernikahan kalian. Marsya ingin kamu mengalihkan perhatian Nata dan menceraikan istrinya dengan kemauan sendiri sebelum usia istrinya genap sembilan belas tahun, sebelum mereka bisa mendaftarkan pernikahan mereka.”

Sejak mengetahui alasan di balik pernikahanku dengan Mas Nata, mataku seringkali basah tanpa disadari. Sudah beberapa bulan aku bisa menahan tangisan jika di luar kamar. Ya, aku tidak mau orang rumah ini semakin kasihan kepadaku. Tetapi perasaan tidak terkendali ketika kata-kata Bunda melintas lagi dalam ingatan. Otomatis pipi ini akan dialiri air mata. Terlebih sekarang aku hanya sendirian di rumah. Bunda Namila dengan Wahyu sedang keluar untuk membeli sesuatu. Anand yang seharusnya tiba di rumah tadi malam, ada urusan yang membuat dia terlambat datang.

Punggungku telah rebah ke bantal yang aku taruh di lengan sofa panjang. Pelan-pelan mata aku pejamkan sambil mengusap perutku yang telah bulat besar. Rasanya aku baru menutup mata saat sosok Mas Nata muncul di hadapanku. Tempat aku berpijak adalah padang rumput yang terlihat seperti tanah kosong di kompleks perumahan Rimbo Panjang.

Alih-alih sedih, aku merasa sangat marah melihat siapa yang berdiri di sebelah Mas Nata. Gadis kecil itu menatap aku dengan angkuhnya. Lengannya melingkar erat di tangan Mas Nata. Sebelah lagi menyentuh perutnya sendiri seakan memberitahu aku apa yang dia miliki di balik telapak tangan bercincin perak itu.

”Ternyata ini dia alasan kamu nggak perlu repot-repot nyari aku padahal tahu aku hamil. Dia juga hamil. Kamu nggak perlu aku lagi untuk puasin kamu! Karena dia sudah mau kamu tiduri!”

Hati ini sedang diruangi amarah tinggi, mana bisa aku menjaga lisan. Pantas banyak orang yang berkata kasar. Ternyata hanya itu bentuk pelampiasan.

Plak

”Jaga mulut kamu!” Mas Nata juga tidak bisa menjaga tangannya.

Aku mengusap bekas tamparan Mas Nata. Pipi yang kena gampar, kenapa hati aku yang nyeri rasanya?

”Kamu nggak mau tahu seperti apa perjuangan aku mengandung anak kamu? Aku sakit. Nggak bisa makan. Selalu muntah setiap menyuapkan makanan. Tubuh lemas. Kalau mual, harus mengerahkan seluruh tenaga supaya bisa jalan ke toilet.”

Percuma, Fela. Untuk apa kamu ceritakan pada orang yang tidak ingin peduli?

”Kehamilan memang tidak mudah. Proses seperti itu mau tidak mau harus dilalui ibu hamil.”

”Tapi kamu di mana?”

”Kemarin kamu yang ingin pergi. Saya bilang pulang  kenapa kamu tidak datang?”

”Harusnya kamu lebih mengerti, Mas! Kamu udah bikin kesalahan besar, wajarlah aku marah. Tapi apa coba? Kamu justru senang aku pergi. Nggak nyari aku. Kamu tidak ada perhatian sama sekali dengan anak kamu!”

”Jadi serba salah sama kamu. Dulu saya minta kamu jangan pergi, kamu yang nggak mau. Sekarang menyalahkan saya tidak mencari kamu. Mau kamu sekarang itu apa?”

”Jangan seperti ini, Mas. Dia anak kamu. Jangan sampai orang lain yang lebih perhatian sama dia.”

Pandangan Mas Nata berubah marah melihat kehadiran Anand di sebelahku. Dia menggertakkan gigi waktu Anand melingkupi tubuhku dengan jaket dan meletakkan tangannya sebentar di perutku.

”Dia?” Tampaknya Mas Nata mengingat wajah Anand dan melupakan namanya.

”Anand,” jawabku membantunya ingat.

Usapan lembut di perutku membuat mata ini perlahan terbuka. Mimpi itu pun hilang dan menyisakan kekecewaan. Ada ketakutan dalam dada ini untuk bertemu dengan Mas Nata. Jika kejadian di mimpi itu benar, aku takkan bisa menanggung lebih banyak rasa kecewa.

”Sleeping beauty udah bangun?”

”Kapan sampai?” Aku duduk dengan baik di sofa yang sebelumnya aku tiduri.

Anand naik ke tempat di sebelahku. Sebelumnya dia duduk di lantai. Bantal yang aku bawa dari kamar aku serahkan pada Anand untuk dia peluk. Kalau tidak begitu, bisa jadi aku yang dia peluk seperti minggu lalu.

”Satu jam yang lalu. Nungguin aku, ya?” Dia tersenyum lebar sambil mencolek lenganku.

”Bahagialah dengan pikiranmu sendiri.”

”Ngaku! Ngaku!” Lagi Anand menjawil pipiku. Aku pukul baru dia berhenti melakukannya.

”Nggak ada yang nunggu kamu. Aku nunggu Wahyu terus ketiduran.”

”Terus dalam mimpi ketemu Anand. Kasihan kamu, nungguin siapa di mimpi ketemu siapa.”

”Nand. Jangan maksa!”

Anand menimpa kepalaku dengan bantal, ”Perempuan dan harga dirinya!”

Rambut aku jadi berantakan karena Anand. Bantal itu aku lempar lagi ke wajahnya.

”Eh dengar suara itu?” tanya Anand meletakkan telunjuk ke depan bibirnya.

”Itu HP aku. Di dalam kamar, ya, Anand.”

Aku mendorong bahunya. Perintah agar dia tegak. Dia melirikku sebal lalu berjalan ke arah kamar.

”Bunda!” teriak Anand.

Anand menjawab telepon Bunda? Aku berdiri menyusul Anand ke kamar. Saat aku dapati, dia sedang menunggu telepon dijawab.

”Kamu ngapain telepon Bunda?” Aku merebut ponsel dari tangannya.

”Aku terlambat menjawab.”

”Terus kamu panggil ulang buat apa?” Ponsel itu aku pukulkan ke kepalanya.

”Ya karena—”

Aku menyuruh Anand diam waktu Bunda sudah menjawab sambungan video call.

”Baru bangun tidur, ya?” tanya Bunda.

Aku merapikan rambutku, menyisir dengan jari. Padahal ini kusut karena Anand.

”Iya. Tadi aku sendirian di rumah, bosan, dan capek juga. Padahal nggak ngapa-ngapain.”

”Kebetulan Bunda mau tanya soal ini. Kamu ngekos atau gimana?” Sepertinya ada yang datang mengantarkan nasi ke toko Bunda. Bunda membuka dompet dan menyerahkan selembar uang.

”Bunda sedang istirahat?”

Bunda menukar kamera belakang. Aku melihat sepiring nasi dengan ikan bakar serta tumis kangkung dan sambal hijau. ”Ini makan siang Bunda.”

Kamera kembali menyorot wajah Bunda. ”Kamunya udah makan?”

Anand mencolek pinggangku. ”Apa?” tanyaku dengan isyarat mata. Anand menggerakkan tangannya ke mulut. ”Belum makan?” Begitu maksudnya. Aku menggeleng.

”Kamu enggak sendirian, Fel?” Mata Bunda menyelidik ke sebelahku.

”Belum sempat makan. Aku ketidurannya dari jam sebelas. Bangun-bangun udah jam satu trus Bunda telepon.”

”Pertanyaan Bunda belum kamu jawab. Di sana tinggal di kosan yang sewa satu kamar sendirian atau bareng-bareng?”

”Sendirian, Bunda, tapi Fela nggak ngekos. Ehm ini itu rumah ibunya .... ” Aku melihat kepada Anand.

Anand tertawa tanpa suara.

”Aku dibantu Anand.” Lebih baik Bunda tahu langsung dari aku, daripada mengetahui dari bibir orang lain.

”Anand yang bawa lari kamu itu?”

Suara tawa Anand terlepas. Iya, Bunda tambah memusuhi Anand sejak dia bawa kabur aku sebelum pernikahan. Anand berdiri menghadap jendela menganggap kalau ini lucu.

”Kamu masih berhubungan dengan dia?” Bunda menaikkan volume suaranya. ”Di kamar kamu ada dia?” bentak Bunda. ”Pulang! Kemasi barang-barang kamu!”

”Bunda. Iya aku pulang. Tapi  ....”

”Tapi apa? Kamu mau semua orang ngomongin kamu yang tidak-tidak? Jangan cari masalah, Fela! Kamu ini kapan bisa dewasanya? Apa kata orang melihat kalian tinggal di rumah yang sama? Pikirkan itu!”

Aku tidak bisa membantah.

”Pergi ke dokter. Minta surat keterangan kehamilan. Pesan tiket pulang. Segera. Perceraian kamu diselesaikan nanti setelah melahirkan. Berikan HP-nya!”

”Maksud Bunda?”

”Eh, kamu!” Bunda berteriak. ”Kamu pasti bisa dengar suara saya.” Jantungku berdetak sedikit cepat waktu menyadari Bunda sedang bicara dengan Anand.

”Jangan tambahi masalah anak saya. Kalau niat kamu memang baik, jauhi Fela. Tanpa kamu saja, dia sudah banyak menderita. Saya mohon jangan buat hidupnya semakin buruk. Tolong jaga nama baik putri saya.”

Layar ponsel kembali ke halaman utama. Kepalaku tertunduk. Jantungku terasa ada yang memilin. Aku merasa sangat bersalah. Akulah yang tidak bisa menjaga nama baikku sendiri.

”Beb,” panggil Anand. Dia telah duduk bersila di lantai. ”Aku minta maaf kalo sudah melewati batasannya.”

Aku mengucek mataku yang basah, mendengarkan kata-kata Anand dengan cermat.

”Sebaiknya, kamu nggak usah kabur lagi. Sudah waktunya kamu pulang, Beb. Mertua kamu juga butuh kamu.”

”Menurut kamu, aku harus kembali ke rumah itu lagi? Tapi aku tidak mau. Aku belum bisa memaafkan mereka semua.”

Anand mengepalkan kedua tinju ke udara. ”Pasti bisa!”

”Aku ingin sendirian.” Aku mengusirnya.

”Tidur lagi? Wait, makan dulu!” perintah Anand yang sudah berdiri di depanku.

”Bisa nggak sih kamu jangan suka maksa!” Kacau dalam kepala ini. Anehnya, akan ada air mata setiap perasaanku tidak senang, baik saat marah maupun sedih.

”Itu tadi Bunda nanya makan. Kamu mau bikin Bunda makin khawatir? Tunda dulu tidurnya, dahulukan kasih asupan untuk bayi. Hobi banget nih ibu hamil molor.”

Anand keluar. ”Aku ambilin nasinya!” teriaknya.

Anand sering berubah jadi makhluk menyebalkan. Orang paling tahu sedunia, padahal dia tidak mengerti apa pun. Kata cinta Anand terasa hanya bualan saja. Orang yang mencintai mana mungkin menyuruh aku untuk kembali pada Mas Nata. Dia tahu Mas Nata sudah berbohong.

Akhirnya aku mengunci pintu kamar. Aku pura-pura tuli sewaktu Anand menggedor beberapa menit kemudian. Baik, sekarang aku harus menyelesaikan masalahku sendiri dan keluar dari rumah ini. Aku merasa siap. Kehamilanku sudah tidak separah dua trimester kemarin.

Getaran-getaran kecil dari gawai mengalihkan aku. Biasanya pesan dan panggilan orang rumah selalu aku abaikan. Lihat apa yang mereka inginkan sekarang.

Mas Nata
Mama ingin ketemu kamu.

Mas Nata langsung menelepon begitu aku membaca pesannya.

”Fela!” seru suara wanita yang terdengar lemah.

Saat mendengar suara lirih Mama Marsya, rasa kesal itu perlahan menghilang.

”Apa kabar, Fela?” Tangisan Mama seperti ditahan-tahan agar bisa bicara dengan lancar. Atau memang Mama sakit sehingga suaranya pelan?

”Fela. Datang ke sini. Mama rindu Fela. Mama ingin minta maaf secara langsung dengan Fela. Pulang, ya, Mama memohon sekali.”

”Mama katanya sakit. Fela akan doakan kesehatan Mama dari sini.”

Raungan tangis terdengar jauh. Aku pikir Mama Marsya menutup lubang mikrofon teleponnya. Dadaku juga terasa nyeri mendengarkan Mama Marsya. Sungguh aku tidak tega dengan Mama Marsya. Selama ini aku merasakan kasih sayang yang tulus darinya.

Aku terus bicara supaya dia tahu aku sudah merelakan segalanya, ”Fela memaafkan Mama. Fela berharap Mama jangan sampai sakit. Fela juga minta maaf sekali nggak bisa menemui Mama sekarang. Mungkin nanti. Fela tidak bisa janji. Maafkan Fela tidak bisa menjaga Mama lagi.”

”Jangan, Fela. Mama mohon, pulang kembali pada Mama. Mama sayang Fela. Mama mau selalu sama-sama dengan kamu. Maafkan Mama, Fela, tolong maafkan Mama, Sayang.”

Aku tidak sanggup lagi berbicara sambil menyembunyikan isak tangis ini. Aku segera mematikan telepon dan menekan power off. Sementara itu, di luar pintu ketukan-ketukan menambah kekalutan dalam kepala. Aku berguling ke tempat tidur dan menutup kepala dengan bantal.

”Di dunia ini tidak ada yang bisa kita percayai, termasuk sahabat sendiri.” Termasuk Anand.

Luka bertambah mengingat nama sahabatku sendiri. Anand terlalu sulit aku mengerti. Di saat aku ingin dia menunjukkan perasaannya, dia malah mendorong aku untuk pulang kepada Mas Nata.

Anand pergi lagi keesokan hari dan aku terus mengabaikannya. Kebiasaan Anand akan merongrong aku dengan pertanyaan tanpa raut bersalah. Dia mengatakan aku kembali menjadi Fela yang sulit dimengerti, yang tidak mau mengatakan apa kesalahannya, hingga aku mendiamkan dia. Sia-sia karena Anand tidak mendapatkan jawaban sebelum meninggalkan Pekanbaru.

🍷🍷🍷

”Ibu Fela kenapa tidak menjawab telepon Abang Anand?” tanya Wahyu waktu aku tengah duduk santai di belakang rumah. 

Aku baru selesai memasak untuk makan malam nanti. Ibunya Wahyu belum pulang dari pasar. Hanya ini saja yang mampu aku lakukan untuk membantu keluarga Wahyu atas jasa mereka membolehkan aku menumpang. Sejak dulu aku ingin melakukan pekerjaan rumah, tetapi kondisi tubuh tidak mendukung.

”Anand mengadu sama kamu?” Aku membuka kelopak mata. Sambil bersandar ternyata aku hampir ketiduran.

”Ibu Fela pacaran, ya, dulu dengan Abang Anand?”

”Saya harus jawab yang mana dulu?”

Wahyu melipat tangan di dada, tegak di depanku. ”Yang mana aja boleh.”

”Saya nggak mau jawab.”

”Kalian kayak orang pacaran lagi berantem. Saya yang lihat jadi pusing.”

Aku menggeleng. Sebenarnya ingin menginjak kaki Wahyu, tapi malas berdiri. ”Kenapa kamu pusing?”

”Ya pusing. Ibu itu kayak lagi ngambek sama Abang Anand. Tapi Ibu ragu karena masih jadi istrinya Pak Nata. Hipotesis saya benar atau salah?”

”Salah.”

”Ah gitu. Kenapa Ibu Pustaka nggak menjawab telepon Abang Anand?”

”Apa yang dikasih Anand untuk kamu kalau saya mau jawab alasannya? Motor sudah. Kamu minta apa lagi? Mobil sport?”

”Jabatan Abang Anand bisa lengser kalo ngucurin duit segitu banyak untuk saya.”

”Itu juga perusahaan ayah kamu.”

Wahyu mengedik. ”Saya nggak minta apa-apa. Saya cuma penasaran, sampai kapan Abang Anand nggak jomlo lagi.”

”Tanya dong. Setau saya pacarnya banyak.”

Wahyu bertepuk tangan sehingga aku menoleh kepada dia. ”Cemburu nih Ibu,” gagasnya.

”Nguras energi.”

”Saya tidak percaya dulu kalian enggak pacaran. Kelihatan banget CLBK-nya. Cinta lama belum keungkap.”

”Teruskan aja hipotesis ngawur kamu.” Aku bersandar lagi.

”Mumpung Abang Anand nggak ada, saya mengundang Pak Nata ke sini.”

Mataku terbuka lagi. Punggungku berhenti bersandar.

”Wahyu.” Aku mengamati wajahnya. Ya, aku melihat Wahyu sangat serius. Dia mungkin sudah lama ingin melakukan hal ini. Pasti berkaitan dengan Ambar sabahatnya.

”Saya ingin Ibu dan Pak Nata berhenti salah paham. Menurut saya, semua masalah ada jalan keluarnya. Kalau didiamkan semakin lama, akan bertambah besar. Kalian sama-sama tenggelam dalam rasa sakit. Kalau bisa berdamai sekarang, jangan menunggu besok.”

Seluruh ototku kaku. Otakku membeku.

”Abang Anand nggak bisa maju kalau Ibu Fela masih sama Pak Nata. Sebagai saudara tentu aja saya nggak mau abang saya terus-terusan jomlo.”

Tidak menunggu lama setelah Wahyu mengatakannya, terdengar suara ketukan di pintu. Sekarang masih pukul tiga tidak mungkin Bunda Namila yang pulang. Anand belum jadwalnya untuk datang.

"Apa itu suami saya?"

🍷🍷🍷

Bersambung

OKI, 3 Juli 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top