[21] Seseorang yang Didatangkan Sebagai Pelipur Lara

[21] Seseorang yang Didatangkan Sebagai Pelipur Lara

Terkadang waktu bisa bikin seseorang lebih bijak dan tidak egois.
~Author~

Morning sickness kembali menyiksa aku di pagi hari. Mualnya membuat tubuhku spontan bangun untuk muntah. Karena mengikuti perintah Anand mematikan lampu, ditambah faktor lupa di mana berada, aku sampai menabrak tembok. Ingatanku hanya sampai kamar di rumah Mama Marsya yang luas. Beberapa langkah aku berjalan, belum ada dinding yang menyambut jidat. Beda dengan ukuran ruangan ini yang hampir menyebabkan aku gegar otak karena terantuk dinding. Berhasil keluar kamar aku langsung lari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perut di sana.

Aku sudah membekap mulut supaya tidak kedengaran orang serumah. Namun, suara ketukan dengan tempo cepat meyakinkan aku kalau Anand pasti tahu. Mungkin juga bunda Anand dan Wahyu pun ikutan antre di pintu.

Begitu memastikan wajahku bersih, aku memutar anak kunci dan kenop. Daun pintu aku buka. Anand berdiri sangat dekat sehingga aku perlu mundur sedikit agar tidak terlalu tengadah melihat dia.

”Masih mual?” tanyanya.

”Hhm, juga lemas. Aku ingin istirahat lagi, tapi aku enggak apa-apa.”

”Nanti kita ke dokter, ya? Kayaknya mual kamu nggak sembuh-sembuh.”

”Nggak usah.”

”Maaf.” Bunda Anand menyela dari belakang Anand diikuti Wahyu yang masih muka bantal.

”Ada apa ini?” Wahyu menguap setelah bertanya.

”Fela bukan mual biasa. Mungkin karena morning sickness? Betul?” tebak bundanya Anand. ”Kemarin Anand minta tukar motor dengan mobil katanya Fela juga mual waktu naik sepeda motor.”

”Ibu Pustaka hamil?”

Aku tersenyum kecil membalas pertanyaan Wahyu. Dia mengucapkan selamat berulang-ulang. Kelihatan Wahyu ikut bahagia dengan kabar ini. Bunda Wahyu mengucapkan selamat. Namun, Anand berbeda sendiri. Dia cuma diam dengan tangan sibuk menggaruk leher belakang. Satu tangannya lagi menutup mulutnya yang sedang menguap.

”Tadi katanya mau tidur lagi? Kalau masih lemes, nggak usah bangun dulu. Yuk kembali ke kamar.”

Jam dinding menunjuk angka enam saat aku berjalan ke kamar digandeng Anand. Waktu aku membuka pintu setelah menghabiskan satu jam tidur, sudah pukul tujuh lebih sepuluh menit. Sebetulnya masih terasa sedikit lemas, tetapi aku usahakan untuk bangun.

”Anand mana?” Aku menemui Wahyu di ruang tengah tempat mereka tidur.

”Nggak tahu dari tadi keluar belum balik-balik.”

”Bunda?” tanyaku menghampirinya.

”Ke pasar.”

”Kamu kenapa?” Biasanya pantang diam jika di dekatku.

”Itu, Bu  .... ” Bicaranya pelan sekali Wahyu.

Apa dia takut padaku?

”Saya nggak maksud mau bohong.”

Aku memang ingin bicara tentang hal ini dengan dia.  ”Iya. Kamu tahu semuanya, ’kan? Kenapa kamu nggak pernah memberitahu saya?”

Wahyu duduk memeluk lututnya. ”Yang saya bilang Ambar tinggal sendirian itu benar. Tapi itu sebelum saya tahu yang sebenarnya, saya mikirnya begitu.”

Dia beberapa kali menarik napas.

”Saya datang ke rumah Ambar waktu pernikahan Ibu dengan Pak Nata. Di sana saya tahu siapa Ambar. Saya mengintip dia buru-buru menyimpan semua foto pernikahan. Saya kaget sekali. Anak sekolahan seperti Ambar sudah jadi seorang istri. Dan saya tahu itu rahasia. Ambar tidak tahu kalau saya tahu. Dia bilang matanya merah kena balsem. Berdasarkan hasil intipan saya, sebenarnya dia nonton siaran langsung pernikahan Ibu dengan Pak Nata. Saya peduli sama dia sejak awal. Saya suka ngikutin dia ke mana-mana. Mungkin saya akan suka sama Ambar kalau belum tahu dia sudah menikah. Dia anak yang baik.”

”Kamu pasti tertawa ternyata saya menikah dengan suami orang?”

Air mataku kembali mengalir. Entah karena hormon atau terlalu sedih. Aku biasanya tidak cengeng. Apalagi aku menangis di depan anak remaja ini.

”Sumpah! Enggak. Sejak Ibu datang ke UKS, saya langsung punya keinginan untuk selalu bikin Ibu senang. Saya nggak mau melihat wajah Ibu yang seperti ini.”

Anak itu pun menangis.

”Ibu mengingatkan saya pada Bunda. Saya ikut membantu mereka menyembunyikan ini dari Ibu agar Ibu tidak sedih. Mungkin hidup dalam kebohongan, selama kita tidak tahu kebenarannya, lebih baik daripada mengetahui yang sebenarnya. Lihatlah, sekarang Ibu menangis.”

”Iya. Seperti boneka yang tidak punya perasaan. Saya bahagia di atas penderitaan orang lain. Saya menjadi mainan untuk membahagiakan orang tuanya. Mereka pasti seide dengan kamu. Mau sampai kapan bangkai bisa ditutupi? Baunya akan menunjukkan keberadaannya.”

”Ibu jangan sampai membenci Ambar.”

”Saat seperti ini  ....” Aku akan membenci semua orang bahkan termasuk kamu. Kenapa aku harus mengalami kehidupan seperti ini? Bunda mencarikan aku seorang suami bukan untuk dibohongi. Bunda ingin aku dibahagiakan.

”Ini tidak benar. Saya tidak boleh bercerita dengan kamu.”

”Maafkan saya. Ibu sama Ambar. Keduanya orang yang saya pedulikan. Pak Nata juga merasa seperti ini. Mungkin lebih dari yang saya rasakan. Ambar penting. Ibu juga penting.”

Childish sekali aku merasa dikhianati Wahyu. Sudah jelas dia sahabat Ambar. Pasti dia akan selalu mendukung Ambar. Dan Fela bodoh, mengapa berharap Wahyu peduli? Dia siapa? Hati ... kenapa ingin sekali dimengerti?

”Sialan! Lo apain Fela gue? Lo apain dia sampai nangis, kampret?”

Kepala Wahyu mendapatkan pukulan dari Anand. Saat dia melakukannya tepat di depanku, hidungku langsung mencium bau tembakau bakar.

”Kamu ngerokok lagi?” Aku menarik belakang kemeja Anand supaya berhenti memiting kepala Wahyu.

Dia duduk di sebelahku dengan napas belum beraturan.

”Kenapa sih?” Wahyu pergi ke belakang meninggalkan aku dan Anand.

”Kamu lagi marah?” tanyaku melihat wajah Anand yang merah.

”Kamu merokok karena marah? Marah sama aku? Karena aku hamil?” Dia menghilang setelah terdiam mendengar kabar itu.

”Iya.”

Aku kaget dengan pengakuannya. ”Iya? Kenapa?”

”Karena kamu hamil. Kenapa masih nanya lagi?”

Emosiku jadinya berganti  kesal. Aku ingin meremukkan benda. Aku ingin memukul kepalanya. Sungguh, sekarang aku yang marah. Anak ini memang ngeselin.

”Kamu aneh. Gila. Kamu marah sama aku dan merokok gitu karena tahu aku nggak suka dengan rokok. Biar bayi aku cacat?”

”Ya Tuhan, kamu mikirnya jelek amat sih. Otak perempuan memang harusnya didesain sederhana aja biar nggak nyambung ke mana-mana.”

”Trus?”

”Aku nggak ngerorok lagi. Janji.”

”Bagus. Itu untuk kesehatan kamu sendiri. Janji dengan diri kamu, jangan sama aku. Aku bisa pergi kalau kamu merokok, tapi kamu nggak bisa ke mana-mana kalau sudah sakit.”

”Iya, Yang, aku dengerin apa kata kamu. Oh iya, aku bawain sarapan buat kamu nih. Kamu tinggal pilih mana yang bisa kamu makan, yang tidak bikin mual.”

Beberapa kotak stirofoam Anand letakkan di atas meja. Isinya ada soto yang dibungkus lagi dengan plastik, nasi goreng, lontong sayur beberapa macam juga sayurannya, bubur ayam, mi ayam, soto kuahnya kuning, soto dengan santan, gado-gado, pecel, roti bakar, martabak dan masih ada tiga kotak lagi yang tidak sanggup aku periksa. Melihat ini semua aku mulai mual. Bukan karena aromanya, tetapi banyaknya. Tidak terbayang aku memakan semuanya.

”Aku juga beli macam-macam susu untuk kehamilan. Tunggu aku jemput ke mobil.”

Anand memang gila!

”Katanya marah, kenapa membelikan semua ini?”

Anand menjinjing dua kantong plastik putih besar di kedua tangannya. Suara pertemuan kaleng dengan kaca terdengar waktu dia meletakkan di meja.

”Aku kaget sih bukan marah beneran. Kecewa dikit. Sedih juga sedikit. Tapi itu semua kalah dari sayang aku untuk kamu. Aku mau kamu dan bayi sehat. Kalau kamu dari kemarin bilang, aku pasti akan lebih hati-hati jagain kamu.”

”Nand, aku nggak suka kamu ngomong begitu. Aku makasih banyak sudah dibantu. Tapi jangan bilang sayang-sayang gitu.”

”Aku bodoh, Fel. Aku tahunya kamu sangat berarti setelah kamu pergi. Hidup aku jadi hambar nggak ada kamu. Mana lagi aku sadar cinta sama kamu waktu kamu sudah jadi milik orang. Dan aku patah hati berkali-kali setiap kamu mengabaikan panggilan dan pesan aku.”

”Kamu memang  bodoh.” Selama ini kamu ke mana? Aku menunggu kamu dari sejak lama. Kamu memang bolot, nggak bisa dengar isi hati aku.

”Aku nunggu anak kamu deh. Nggak dapat emaknya, aku mau anaknya aja.”

Aku memukul mulutnya. ”Gila kamu. Kamu udah kakek-kakek buat anak aku!”

”Aku tidak suka melihat kamu menangis. Sejak pertama kali bertemu, aku bertekad akan mematahkan kaki orang yang bikin kamu bersedih. Aku ingin kamu selalu bahagia. Walaupun bukan dengan aku, yang terlahir sebagai pusat kebahagiaan wanita, aku ikhlas. Aku hanya akan memastikan kamu bersama orang yang akan selalu membuat kamu tertawa. Kamu bisa lapor siapa aja yang sudah jahatin kamu. Seperti Wahyu tadi.”

Aku memilih tinggal sementara di rumah bunda Anand. Walau besoknya Anand kembali ke Padang, aku masih berada di rumah Wahyu. Anak itu juga selalu di sini menemani aku. Bunda mereka dari pagi sampai sore berada di pasar. Bunda Wahyu dan Anand adalah wanita hebat kedua setelah Bunda. Aku ingin seperti mereka. Aku pasti mampu bekerja keras demi anakku.

Sebetulnya seringkali aku berpikiran untuk mencari rumah lain. Aku di sini hanya merepotkan keluarga mereka. Namun, Anand selalu meminta aku tinggal. Dia membuat dua pilihan, pulang ke rumah mertua atau tinggal dengan ibu mereka. Dan aku tidak bisa meninggalkan Anand. Tidak untuk kesekian kali setelah dulu aku sering melakukannya. Anggap saja aku jahat memanfaatkan Anand.

Aku tidak ingin sendirian. Aku membutuhkan Anand. Entah karena sebab apa? Aku hanya mau memastikan Anand tidak meninggalkan aku. Jadi, aku akan menuruti kata-katanya.

Anand datang setiap Jumat malam dan pergi lagi Minggu.

Tidak terasa sudah lama aku di rumah ini. Usia kehamilan sudah akan memasuki trimester tiga. Selalu ada Bunda Namila di masa-masa sulitku. Dia menggantikan peran orangtua. Menemani dan menyemangati aku untuk tetap menjaga makan.

Aku selalu muntah pada trimester pertama dan tidak bisa makan apa-apa. Setiap aku memasukkan sesuatu ke mulut akan aku muntahkan lagi. Aku tidak bisa ke mana-mana dan mengerjakan apa pun di rumah. Aku dilayani seperti putri raja. Batinku lelah, tetapi Bunda Namila selalu bilang aku tidak merepotkan. Bunda menyiapkan makanan yang tidak menyebabkan mual. Mencaritahu ke teman-temannya di pasar bagaimana menangani kehamilanku yang manja.

Aku berusaha menahan air mata di depan Bunda, Wahyu, dan Anand. Walau sekali-kali aku tidak mampu mengontrolnya. Aku merasa hancur lebur dengan keadaan fisik yang lemah dan batin yang keruh. Rumah tangga yang entah akan dibawa ke mana. Aku belum membuat keputusan apa pun. Selama enam bulan kehamilan yang melelahkan, aku hanya ingin bayiku sehat. Aku belum menemui Mas Nata, Mama Marsya, dan Papa Deni. Aku belum memberitahu Bunda. Masalah rumah tangga kami masih jauh dari kata selesai.

Aku sedang ragu-ragu menghubungi Bunda. Aku rasa aku butuh doa dari Bunda. Masuk trimester ketiga ini, aku selalu mimpi bertemu Bunda. Aku sangat merindukan ibuku. Berharap aku bisa menceritakan segalanya kepada Bunda. Mengatakan keluh kesahku kepada Bunda.

”Sayang! Anak Bunda sayang!” Tangisan Bunda pecah dari pertama kali menjawab  teleponku.

”Video. Bunda ingin melihat kamu.” Bunda mematikan telepon dariku, kemudian menelepon aku dengan panggilan video.

”Bunda. Aku rindu Bunda.” Aku mengusap mata yang basah supaya dapat melihat wajah Bunda dengan jelas.

”Sayang. Anak Bunda. Bunda minta maaf. Bunda sudah menyebabkan hidup kamu menderita, Sayang.”

Aku menggeleng dan menangis terisak mendengar kata-kata Bunda. Bunda tahu apa yang terjadi. Bunda mungkin menunggu aku yang menghubungi terlebih dulu.

”Bunda. Aku minta maaf. Fela salah tidak mengatakan semua ini pada Bunda.”

”Bunda yang salah, Sayang. Bunda sudah percaya kepada orang yang salah. Bunda gagal menjadi ibu. Bunda menjerumuskan putri Bunda sendiri.”

”Enggak.” Aku mengusap layar gawai dan kecewa tidak bisa menghapus air mata Bunda. ”Bunda jangan menyalahkan diri sendiri. Bunda tidak salah. Ini memang jalan hidup Fela. Aku pasti akan kuat seperti Bunda. Bunda jangan khawatirin aku. Fela di sini sehat. Mungkin sebentar lagi Fela akan pulang. Fela ingin melahirkan ditemani Bunda.”

”Pulang, Sayang. Bunda tidak rela anak Bunda hidup bersama mereka. Bunda sangat kecewa. Bunda tidak akan pernah memaafkan mereka. Pulang, Fela. Jangan temui mereka lagi.”

Kamu jahat sekali, Mas. Kamu menghancurkan impian Bunda. Kamu buat Bunda ikut menangis. Salah kami apa?

Begitu selesai menelepon Bunda, aku membuka aplikasi perpesanan. Sudah sangat lama aku mengabaikan pesan yang masuk. Pengirimnya selalu mereka, Mas Nata, Mama Marsya, dan juga Papa Deni. Isinya meminta maaf dan meminta aku pulang. Menanyakan aku di mana dan memohon agar aku mengatakan alamatku sekarang.

Mama ingin menjelaskan semuanya. Mas Nata mengharapkan aku mengabulkan permintaan Mama. Papa juga sesekali menanyai kabarku dan bayiku.

Ponselku selalu aktif, tapi bukan untuk mereka.

”Gimana? Sudah cerita sama Bunda?”

Melainkan untuk mengobrol dengan Anand. Anand juga selalu melakukan video call. Dia berhenti mengirim pesan pendek. Di tahu aku tidak suka  membuka aplikasi perpesanan.

”Ya. Kamu betul. Aku merasa lega setelah bicara dengan Bunda. Beban aku terangkat sebagian. Bunda rupanya sudah dengar dari mertua aku.”

”Mereka pasti bertanya di mana kamu kepada Bunda. Artinya Bunda sudah tahu sejak lama.”

”Aku menyesal tidak membicarakannya dengan Bunda. Selama ini Bunda selalu menunggu aku.”

Anand tersenyum. Dia mengusap layar ponsel sehingga hanya telapak tangan yang bisa aku lihat. ”Selesaikan dulu masalah kamu sebelum pulang.”

Aku tidak mengatakan ingin pulang. Dari mana Anand tahu pembicaraanku dengan Bunda?

”Isi hati kamu kebaca, Beb. Setelah ngadu sama Bunda, pasti kamu jadi ingin ketemu Bunda. Mau tinggal sama Bunda saja dibanding di rumah Bunda aku.”

”Aku nunggu sehat juga, Anand. Nggak mungkin bepergian kalau mual aku masih parah.”

”Sekarang masih sering muntah-muntah? Kamu aneh sekali. Orang hamil itu banyak yang diidamkan. Mau beli inilah, makan itulah. Tapi kamu cuma tidur terus. Nggak mau makan yang aneh-aneh seperti orang yang lain. Sekali aja gitu ngidam apa kek, aku pasti cariin.”

”Waktu itu mabuk parah. Sekarang aku ingin makan yang pedes-pedes. Sepertinya enak dan nggak bikin muntah.”

”Feeeel. Aku lagi jauh begini baru kamu mau ngidam.”

”Itu bukan kemauan aku. Udah dulu ya, aku mau ngajak Wahyu.”

”Fela! Aaah Wahyu! Nanti kalau aku datang, kamu harus ngidam sesuatu lagi.”

Aku tertawa melihat ekspresi Anand. Dia tampaknya masih ingin bicara. Aku segera mengirim pesan kalau aku akan mencari rujak buah bersama Wahyu. Tentang Wahyu, sebenarnya dia kelihatan punya masalah. Anak yang biasanya aktif, sekarang jadi pasif. Mungkin dia sudah mulai jatuh cinta, tetapi mengalami sedikit kendala menyatakannya.

”Wahyu lagi tidur ya, Bunda.”

Bunda Namila sedang memasukkan belanjaan ke lemari es. Biasanya Bunda membawa sayur mayur serta ikan atau daging setiap pulang dari pasar. Bunda punya toko bumbu dan di depan toko ada pedagang ikan dan sayur. Bunda mendapat harga miring belanja dari mereka.

”Iya tuh di depan. Kenapa, Fel? Kalau butuh Wahyu, bangunkan saja.”

”Tidak, Bunda. Nanti saja kalau sudah bangun.”

Bunda menutup kulkas. ”Bangunin aja.” Bunda berjalan ke tempat Wahyu. ”Wahyu. Bangun dulu.”

Wahyu membuka mata. ”Kenapa, Bunda?”

”Fela mau bicara.”

Wahyu menatapku. ”Ibu Pustaka mau bicara apa sama Wahyu?”

”Kamu tahu tempat yang jual rujak?”

”Rujak?” Wahyu memejam. Sekitar sepuluh detik, dia membuka mata lagi. ”Saya tahu. Ayo, kita serbu penjualnya.”

Naik sepeda motor sudah tidak mengerikan lagi. Usia kehamilan yang semakin tua, membuat aku merasa normal. Mabuk sudah jauh berkurang bahkan hilang. Aku merasakan perubahan ini tadi pagi. Tidak perlu lagi aku berlari ke kamar mandi untuk muntah saat terbangun dari tidur.

Sudah gelap saat kami tiba di rumah.

”Ibu Pustaka. Ambar nanyain Ibu sama saya.”

Aku turun dari sepeda motor, melepaskan helm ke setang Wahyu. Angin malam terasa sejuk mengenai wajah.

”Bu Marsya sakit. Dia mau ketemu Ibu Pustaka.”

”Katakan pada Ambar, jaga mertuanya baik-baik.” Aku ke dalam.

”Masalah tidak akan selesai kalau Ibu tidak mau menyelesaikannya. Ibu perlu membicarakannya dengan keluarga Pak Nata.”

”Saya akan mencari rumah.”

Aku tersinggung oleh kata-katanya. Ya, aku memang menjadi beban bagi mereka, sedangkan aku punya keluarga di sini.

”Ibu Fela.” Wahyu mengejarku. ”Bukan itu maksud saya. Saya minta maaf. Saya tidak mengusir Ibu.”

”Saya tidak bisa. Saya belum siap ketemu mereka. Saya tidak mau karena saya, sakit Mama tambah parah. Saya nggak mungkin mengiyakan permintaan Mama yang sudah pasti ingin saya kembali lagi.”

”Kalau Ibu belum siap, tidak apa-apa. Yang penting Ibu Pustaka sehat. Jangan berpikir kalau saya mengusir Ibu.”

Dua hari kemudian Anand pulang. Aku langsung memeluknya. Namun, gagal karena terhalang perut yang besar. Sebelum aku terlanjur malu, Anand memutar tubuhku. Dia memeluk aku dari belakang. Tidak ada Wahyu dan tidak ada Bunda Namila. Tentu saja aku akan berpikir dua kali untuk memeluk Anand di depan mereka.

”Kangen berat, ya?” canda Anand. Dia mengusap perutku.

”Mama sakit.”

Terdengar suara sepeda motor masuk ke teras. Aku melonggarkan tangan Anand dan berjalan ke kursi panjang. Wahyu dan Bunda Namila baru kembali dari membeli roti panggang. Wahyu langsung ke belakang dan Bunda Namila meletakkan makanan yang dibawanya di atas meja, menyuguhi Anand yang baru pulang.

”Bunda belum masak nasi! Bunda tinggal ke belakang, ya,” pamitnya.

”Kamu harus pulang.” Anand melipat tangannya dan menyandarkan punggung.

”Mama mertua kamu pasti merasa bersalah banget. Dia ingin ketemu sama kamu. Sudah waktunya kalian bicara.”

”Dia nggak jujur dari awal.”

Anand memberikan pengertian seolah dia lebih tahu Mama Marsya dibanding aku, ”Dia sangat suka sama kamu. Kalo dia jujur, nggak mungkinlah kamu sekarang menikah dengan anaknya.”

”Nand. Kamu tahu nggak sih, mereka membohongi aku? Susah aku maafin mereka.”

”Maafin aja biar cepat lega,” jawabnya santai.

”Iya kalau bisa. Aku nggak mau. Aku belum bisa ketemu Mama apalagi ketemu Mas Nata di sana.”

”Dengarkan dulu mertua kamu. Sekarang kamu masih istri Pak Guru, menantunya Ibu Marsya. Aku mah boleh-boleh aja kamu tinggal di sini. Tapi kamu nggak bahagia juga. Coba dulu bicara dan selesaikan bersama. Mungkin ada jalan keluar selain perpisahan.”

”Maksud kamu aku tetap jadi istri kedua Mas Nata? Nggak mikir kamu, Anand!”

”Ketemu dulu, Beb. Kasian mertua kamu.”

Bahkan Anand sudah tidak menginginkan aku berada di sini. Ya, wanita hamil ini hanya punya diri sendiri. Aku tidak boleh mengharapkan orang lain. Termasuk Anand yang katanya sayang kepadaku. Dia sudah bosan. Aku hanya wanita hamil yang merepotkan dia.

”Yang.” Anand memegang tanganku. Ia beringsut memeluk aku dari samping. ”Kamu sekarang banyak mikir. Action yang perlu, Yang. Selesaikan masalah ini dengan sekali bertemu. Kamu nangis terus, nggak baik buat tumbuh kembang bayi.”

Suara dehaman keras membuat kepalaku mendongak. Bunda Namila menatap lurus pada Anand yang memelukku di sofa ini. Anand duduk agak jauh lalu mengambil roti bakar.

”Wow, ini manis banget, Bunda!” komentarnya.

”Bunda capek mau istirahat. Kalau lapar, nasi sudah Bunda siapkan. Kalian jangan macam-macam!”

***

Bersambung...

OKI, 28 Juni 2020

Eh Mas Nata libur di part ini. Anand jadi lebih eksis. Akankah kehadiran Anand menggeser Mas Nata?




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top