[20] Bukan Cinta, Melainkan Siksa
Semakin banyak kamu bicara, semakin banyak aku menemukan kekurangan kamu.
⚜⚜⚜
”Beb, mau tisu?”
Lagi-lagi aku merasa magis. Tadi aku muntah-muntah melihat jalan dan kendaraan, sekarang tidak sedikit pun mual itu ada. Walaupun semuanya tampak blur dan goyang, rasa pusing tidak datang.
Setiap detik sejak melihat kebenaran itu, air mata tidak bisa dikontrol. Ia mengalir terus walau berkali-kali sudah aku seka. Aku tidak lagi berusaha membendung alirannya. Kubiarkan hati mencari pelampiasan. Karena di dalam dada ini, terasa random. Aku bersedih, iya. Aku marah, iya. Aku kecewa, iya. Namun, ada juga bagian yang merasa lega.
”Fel ingusnya ... apa nggak malu tuh?”
Wajahku mungkin sedang hancur sekali layaknya harapan ini. Impian memiliki keluarga kecil bahagia untuk anak telah sirna. Sungguh aku tidak pernah menyangka kecurigaanku memeroleh jawaban seperti itu.
Akhirnya aku memahami apa yang dimaksud oleh Ambar mengenai tokoh antagonis. Bagi Ambar aku adalah duri dalam rumah tangga mereka. Aku hadir di antara Mas Mata dengan dia. Seandainya aku tahu sejak awal, aku takkan berada di posisi ini. Aku merasa dijebak. Mereka membohongi aku. Pernikahan terlalu jauh untuk otakku yang dangkal dalam menebak hubungan Mas Nata dengan Ambar. Mengapa aku harus ada di tengah mereka? Kenapa aku bodoh sekali?
”Please ambil tisu ini. Jorok tau, nanti kececer di mobil.”
Sejak kapan Anand jadi sebersih ini? Aku mengeluarkan cairan dari hidung dengan tisu pemberian Anand. Sampai sekarang aku belum mengerti, mengapa setiap menangis hidung juga ikutan berair?
”Ikan mati kenapa masih boleh dimakan sih, Yang?”
Pertanyaan Anand lebih ngawur dari pertanyaanku sebelumnya. Anand hanya memberikan cengiran andalan ketika kepalaku tertoleh ke arahnya.
”Oo oo! Karena kalau masih hidup, bibir kita yang dimakan ikan ... nggak lucu, ya? Gimana kalau kita mampir ke rumah makan? Kita tanyain ke sana. Ikan mereka dibunuh dulu sebelum dipotong atau digoreng hidup-hidup.”
”Nggak penting, Anand.”
”Pentung, Sayang. Jiyaaah ... Lihat kamu nangis-nangis bikin aku mau sayang-sayangin kamu mulu. Nah, itu rumah makannya di atas kolam loh, Yang. Pemandangannya bagus. Aku yakin kamu pasti belum pernah diajak Pak Guru makan di sini.”
Waktu Anand mematikan mesin mobil, kaca di sebelahku ada yang mengetuk.
”Rupanya kita diikutin sampe sini,” lapor Anand.
Mas Nata?
”Kamu mau ikut dia balik?”
Mas Nata mengetuk tak sabaran.
”Fel! Dipanggil!”
Mengapa Mas Nata mengejar aku?
”Jangan terbebani karena aku! Aku bakalan pergi kalau kamu ikut dia,” pesan Anand ketika aku membuka pintu.
”Tunggu aku.” Aku tidak melihat anggukan Anand, tapi aku yakin dia akan melakukannya.
Mas Nata lantas memelukku begitu aku menginjak paving block. Lagi-lagi air mataku mengalir dengan lancar ke pipi. Aku mendorong Mas Nata dan berjalan ke arah belakang rumah makan.
Seperti kata Anand, resto ini berdiri di atas air. Ada jembatan kecil yang disediakan untuk menikmati pemandangan kolam. Di sana tempatnya sedang tidak ramai. Orang lebih suka duduk di dalam resto sambil makan.
”Saya minta maaf--”
”Semudah itukah minta maaf?”
”Saya akan menjelaskan semuanya.”
”Enggak perlu. Sekali aku bilang tidak, sampai kapan pun aku nggak akan mendengarkan apa pun lagi dari kamu.”
”Fela. Saya mohon, dengerin penjelasan saya dulu.”
Dia seperti orang kalut setiap aku menjauh saat dia ingin menyentuhku. Aku tak mampu melihat wajah yang selama ini aku anggap orang terbaik, justru tega menancapkan luka yang sangat dalam. Daripada melihat raut sedih yang entah tulus atau palsu, aku membelakangi Mas Nata.
”Tahu tidak Mas, apa tujuan aku ke sana?”
”Maaf, Fela. Maafin saya--”
Aku kembali menghadap Mas Nata dan menghentikan apa pun yang ingin dia ucapkan. ”Aku ingin memberi kamu kejutan. Aku hamil, Mas. Aku mengandung anak kamu. Aku ingin melihat betapa senangnya kamu waktu aku bilang begitu.”
Mas Nata terpana kepadaku, kelihatan terkejut.
”Tapi aku yang malah dapat kejutan. Aku naif sekali ’kan? Aku berharap anakku bisa bikin kamu melupakan Ambar. Iya, aku memang bodoh sampai bisa berpikir seperti itu. Aku menyerah.”
”Apa maksud kamu?”
”Aku mengundurkan diri dari permainan ini.”
”Fela yang jelas!” Suaranya meninggi. Itu membuat air mataku semakin lancar mengalir.
”Aku cuma pion ’kan? Kamu menggunakan aku! Kamu nggak punya perasaan, Mas! Kamu lupa aku ini manusia bukan bidak catur. Aku nggak mau terus-terusan jadi alat yang kamu gunakan untuk membahagiakan Mama. Orang tua kamu, mereka juga ikut dalam arena permainan ini. Iyakan? Kamu tahu, Mas, Bunda sangat percaya kepada mereka. Hanya kepada Mama kamu dan kalau sampai Bunda aku tahu, betapa kecewanya dia. Kamu menghancurkan kami, Mas. Kamu udah bikin hidup anak aku mengikuti jejak aku.”
”Fela?” Mas Nata memaksa memegang tanganku. ”Tidak akan, Fela. Aku tidak akan meninggalkan anakku.”
”Tapi aku yang akan pergi. Aku tidak akan hidup dengan para pembohong. Aku akan mengurus perceraian kita secepatnya.”
”Kamu tidak bisa memutuskan ini sendirian.”
”Bisa! Aku bisa. Memangnya aku punya utang apa sama kamu sampai aku harus menggadaikan hidup aku sama kamu? Aku mencintai kamu, Mas, tapi aku lebih sayang hidup aku. Dan dia anak aku. Kamu nggak punya hak menjadikan dia alasan supaya aku tetap di samping kamu. Terima kasih untuk air mata ini. Terima kasih sudah memberikan hadiah terindah untuk aku.”
Aku menuju mobil Anand. Saat aku ingin membuka pintu, Mas Nata menyeret tanganku ke mobilnya. Dia tidak memedulikan orang-orang yang melihat drama ini karena suara teriakanku mengundang perhatian mereka. Sementara itu, Anand hanya berdiri di dekat mobilnya.
”Aku nggak mau! Jangan bikin aku semakin kecewa sama kamu. Aku mohon.”
Mas Nata membuka pintu mobil dan memaksa aku masuk.
”Anand!”
Dia hanya diam melihat aku memohon. Sakit sekali melihat ketidakpedulian Anand. Tubuhku melemah dan membuat Mas Nata dengan mudah mendudukkan aku di mobilnya. Anand masuk ke mobilnya.
”Ini kamu yang asli, Mas?”
Mas Nata sedang memasang seatbelt. Kedua rahangnya terkatup. Wajahnya yang putih memerah. Ia bersandar ke jok mobil.
”Apa salah aku? Kenapa kamu hukum aku seperti ini? Kamu orang baik, Mas, tapi kenapa kamu tega memperlakukan aku begini? Kamu hancurkan aku. Apa aku memang sangat hina di mata kamu sampai aku nggak boleh memilih untuk mencari kebahagiaan aku sendiri? Kamu merasa sudah membeli kehidupan aku?”
”Saya mencintai kamu. Saya tidak ingin kehilangan kamu.”
”Cinta? Ini cinta? Bukan. Ini namanya siksa. Semakin banyak kamu bicara, semakin memperburuk nilai kamu di mata aku. Lama-lama hanya itu yang akan aku ingat dari kamu. Dan aku tidak mau mengingat ayah anakku dalam kenangan seperti itu.”
Mas Nata tampak lebih tenang dari sebelumnya. Urat-urat di pelipisnya memudar.
”Terakhir kali aku mohon, biarkan aku pergi.”
”Kamu ingin pulang ke rumah Bunda? Saya temani, ya? Kita ke sana sama-sama.”
”Mas. Kalau kamu masih menghargai aku sebagai manusia, punya hati nurani, tolong buka pintu ini.”
”Saya antar, ya? Kamu nggak tahu daerah sini--”
”Apa kamu sudah menyiapkan ini sebagai senjata?” Tampak Mas Nata ingin menyanggah, ”Kalau bukan, buka kuncinya.”
”Kamu harus pulang, Fela. Kita akan bicara lagi.”
Akhirnya, Mas Nata mengalah. Aku berdiri di pinggir jalan untuk melepas ia pulang kepada istrinya yang lain. Miris sekali aku menjadi orang ketiga dan melampiaskan kemarahan kepada Ambar. Sementara dia yang tahu siapa aku, berusaha tegar walau tidak sanggup melihat mataku. Aku tidak memikirkan bagaimana perasaan Ambar. Aku sama buruknya dengan Mas Nata. Dia masih mengamati aku sampai mobilnya hilang di balik kendaraan yang lain.
Kenyataan yang harus aku hadapi selanjutnya adalah mencari tempat untuk istirahat beberapa hari. Sekarang aku sendirian. Anand tidak ada di sekitar sini. Ia sudah pergi. Seperti katanya, ia akan pulang kalau aku ikut Mas Nata.
”Kita bisa, Nak.”
Setidaknya aku harus menemukan tempat untuk istirahat dan berpikir dalam keadaan tenang. Tanpa memikirkan rasa malu, aku masuk ke rumah makan. Menjadi kuat perlu usaha memasukkan makanan ke lambung. Semoga tidak ada mual lagi hari ini.
Aku keluar dari restoran setelah menghabiskan waktu sekitar dua jam duduk di sudut sambil berusaha membendung air mata. Sinar matahari mulai melemah. Kendaraan di jalan raya semakin padat. Waktu bagi mereka pulang kepada keluarga yang menunggu. Dan aku harus mencari tempat persinggahan. Aku ingat beberapa hotel, di antaranya adalah tempat resepsi, tempat makan malam waktu hujan, dan hotel lain yang dilewati.
”Cewek. Ikut mobil Om, yuk!”
Kendaran roda empat hitam berhenti di depanku. Pemiliknya menjulurkan kepala melalui kaca jendela. ”Wah, matanya kenapa basah? Habis diputusin pacar? Yuk Om kasih hiburan. Waduh, kenapa malah nangis?”
Dia keluar dengan panik. ”Yang aku nggak mau khilaf memeluk istri orang. Jadi, jangan nangis di depan aku dong!”
Kamu kembali, Anand.
”Fel Fel, berhenti dong. Masa masih belum puas juga sih? Dua jam lebih loh aku nunggu kamu berhenti menangis. Sekarang udahan dong, Fel--”
”Makasih, Anand.”
”Aku nggak salah. Kamu yang peluk aku duluan ini.”
Aku tidak peduli. Aku sangat lega Anand ada di sini. Dia tidak meninggalkan aku. Dia menungguku.
”Nand, bantu aku cari tempat untuk tidur malam ini.”
”Itu gampang, tapi nggak gratis.”
”Pasti aku bayar.”
Dia menarik daun telingaku kuat-kuat. ”Iya menantunya orang kaya mah banyak duiiit. Segalanya diimbalin dengan uang. Tapi aku nggak butuh duit.”
”Aku bayar sama apa? Apa penginapannya nggak dibayar pakai uang?”
”Penginapannya sih gratis. Kamu bayarnya sama aku.”
”Jangan aneh!”
Dia mendorong keningku dengan ujung jari. ”Negatif kali ini pikirannya.”
”Terus?”
Anand membuka pintu mobilnya. ”Kamu harus langsung istirahat setiba di tempat tujuan kita. Itu kening bisa nggak dilicinkan? Kalau nggak percaya ama aku, ya sudah nggak papa. Mau minta anter ke rumah Pak Guru lagi oke. Aku mah terserah Ibu Pustaka aja.”
⚜⚜⚜
”Fela, kita sudah sampe rumah nih ... Beby.”
Panggilan lembut Anand menarikku dari mimpi menyakitkan. Anand merapikan rambutku. Dan pandangan itu ... tatapan mengasihani.
Apa yang aku lihat di mimpi sebetulnya adalah kenyataan. Hebatnya aku juga merasakan sakit itu saat tertidur. Bahkan alam bawah sadar pun tidak ingin membantuku untuk lupa apa yang aku lihat di rumah Mas Nata.
”Kita ada di mana?”
”Rumah bunda,” jawab Anand. Ia telah bersiap untuk keluar. ”Kenapa, Beb?” tanya Anand sewaktu aku menarik tangannya.
”Bunda siapa?”
”Bunda aku. Masa Bunda kamu? Ayo!”
Anand baru saja menutup pagar ketika ada motor yang ingin masuk. Sosok pakai helm itu membunyikan klakson tiada henti. Anand mengumpat kecil sebelum berjalan ke pagar untuk memberikan akses kepada tamu itu masuk.
”Sarap lo, kentang! Gue bukan sekuriti, anjir!” omel Anand seraya menoyor kepala yang ditutupi helm.
Laki-laki yang naik motor itu selesai meletakkan kendaraan di sebelah mobil Anand. Dia berjalan cepat sekali ke arahku dan bergesa membuka helm.
”Ibu Pustaka katanya sakit. Ayo, mari masuk istirahat di dalam, Bu.”
”Wahyu!”
”Iya. Ini Wahyunya Ibu Pustaka. Jangan berdiri aja, Bu, ayo ke dalam.”
”Ini rumah kamu?”
”Bukan. Rumahnya Bunda.”
Anand mengangguk saat aku melihat dia.
”Bundanya Anand atau bundanya kamu, Yu?”
Wahyu menarik tanganku sambil menjawab, ”Rumah bundanya kita. Terusin nanyanya di dalam. Kalau di luar, nggak enak sama tetangga udah malam gini nggak baik bikin keributan.”
”Lo pikir Fela ngajak lo ribut ke sini, Pantat Kuali!”
”Kau panci penyok.”
”Ooh, udah berani abang satu-satunya. Beneran udah nggak mau lagi dia dapat bonus bulanan.”
”Ngancem mulu kau kayak mak tiri.”
Rumah berlantai satu di kompleks padat ini adalah tempat tinggal Wahyu dan ibunya. Lalu Anand menyebut dirinya sebagai kakak satu-satunya Wahyu. Apa benar mereka saudara tiri? Bodohnya aku selama ini tidak tahu-menahu siapa keluarga Anand dan di mana rumah orang tuanya.
”Abang tiri itu dia?”
”Dia ini yang sering ngerepotin saya. Minta ini itu terus sama saya.”
Anand memukul kepala Wahyu sambil bicara, ”Semua itu kagak gratis, bego! Elu kan orang upahan gue,” kemudian kembali duduk di bangkunya sendiri.
”Semua itu tidak benar! Dia yang suka nyogok saya, Bu.”
Dengan kaki panjangnya Anand menendang paha Wahyu, ”Bersihin kamar lo, cepetan. Panggil Bunda dan bilang ada tamu spesial. Buruan!”
Tinggallah aku dan Anand di ruang tamu.
”Terima kasih.”
”Buat apa terima kasihnya?”
”Bantuan kamu hari ini. Untuk tidak bertanya kenapa aku minta dijemput dari rumah Mas Nata.”
”Anggap aja jin botol. Panggil aku kalau kamu butuh sesuatu.”
”Kamu tadi ke mana sebelum aku masuk ke rumah makan?”
Anand bersandar. ”Ngepul.”
”Rokok? Kamu belum berhenti merokok.”
”Susah, Beb. Perusahaan rokok bangkrut kalau aku nggak beli dagangan mereka lagi.”
”Ini, ya, tamu spesial itu. Ibu pustakanya Wahyu,” sapa wanita awal tiga puluhan yang terlihat ramah.
”Ibu Pustaka Anand, Bunda.” Anand menyela.
”Saya Fela,” ucapku memperkenalkan diri.
”Memang cantik, ya. Pantesan Wahyu tiap hari ceritanya ibu pustaka terus.”
”Besok lagi dilanjut ceritanya. Fela harus tidur.” Anand menarik pergelangan tanganku. ”Woy, sudah beres belum?”
Kami tiba di kamar Wahyu. Mungkin rumah ini hanya memiliki dua kamar tidur. Satunya sudah pasti ditempati ibu Wahyu.
”Beres. Kalau tidur di kamar saya, Ibu Pustaka pasti mimpiin saya.”
”Iya di mimpinya Fela ada kertas gorengan. Nah itu elo. Minggir minggir!”
Kamar Wahyu berukuran empat kali empat. Ranjang single menempel di dinding. Ada meja belajar di dekat jendela. Banyak stiker kartun yang aku tidak kenal nama-namanya terpasang di dinding.
”Matikan lampunya, Beb, biar nggak terganggu sama keadaan kamar si Wahyu.”
Setelah menyampaikan pesan itu, Anand keluar dan menutup pintunya. Aku duduk di tempat tidur memperhatikan kamar Wahyu yang khas remaja. Suara ponsel menghentikan kegiatanku.
Mas Nata
Aku menolak dan menonaktifkan ponsel, lalu meletakkan ia di atas meja belajar Wahyu.
”Sayang, kamu baik-baik saja di dalam sini?”
Pertama kalinya aku mengusap perutku dan mengajak ia bicara. Aku merasa memiliki sahabat paling setia. Hati ini tiba-tiba terasa lebih tenang.
”Apa yang sebaiknya Mama lakukan, Sayang?”
Aku tidak bisa memberitahu Bunda. Cukup aku yang merasakan sakit ini. Jika Bunda bisa, aku pun sanggup melakukannya. Aku pasti mampu membesarkan anakku seperti Bunda membesarkan aku sendirian.
Aku akan tinggal di kota ini atau pergi mencari tempat baru seperti Bunda? Jika di sini ada konsekuensi bertemu mereka lagi, lebih baik aku menjauh sejauhnya.
Bunyi ketukan pelan. Aku berjalan untuk membukakan pintu yang sebetulnya tidak dikunci. Mungkin itu ibunya Wahyu atau Wahyu.
”Anand!”
”Aduh, jangan teriak, Beb. Aku cuma mau nganterin baju ganti punya Bunda kayaknya muat sama kamu. Nih, sekalian peralatan mandi baru sama handuk baru juga. Kamar mandinya di dekat dapur. Cari sendiri atau mau dianter?”
”Nanti aku cari sendiri.”
”Sekarang. Mandi, cuci kaki, dan tidur. Itu bayaran yang aku minta. Mau makan sebelum tidur?”
Aku menggeleng.
”Sekarang pergi ke kamar mandi! Aku itung sampai lima. Telat, aku angkat ke sana,” ancamnya.
Aku berjalan ke arah yang ditunjuk Anand. Ada bunda Wahyu di dapur sedang berdiri di depan kompor.
”Minum teh hangat dulu sebelum tidur, ya. Bunda mau ngajak makan malam. Kata Anand, Fela tidak makan sebelum tidur.”
”Iya, Bu, terima kasih.”
Aku merasa nyaman di rumah ini. Walaupun baru mengenal ibu Wahyu dan hanya menumpang, aku tidak canggung. Keluar dari kamar mandi, aku mencari ibu Wahyu ke ruang depan. Aku pikir ia ada di sana.
”Ngapain kamu masih di luar?”
”Bunda kamu mana?” tanyaku pada Anand.
Ia dan Wahyu berbaring di depan televisi.
”Bunda di kamar. Mau saya panggilin, Bu?”
”Kagak perlu. Fel, balik kamar. Besok masih bisa ketemu Bunda.”
”Tadi Bunda bilang tehnya ditaruh di kamar Ibu.”
”Fela, kedengeran nggak apa yang aku bilang tadi?”
Aku tidak ingin membuat Anand jadi makin nyinyir. Di kamar sudah ada segelas teh yang ditaruh di atas baki serta satu piring kecil roti tawar.
Terima kasih, Anand. Banyak sekali yang ingin tamu tanyakan kepada kamu.
***
Bersambung ....
23 Juni 2020
Keren banget 💘💘💘
IIkut mobil, Om yuk. Om lagi kesepian. 💔
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top