[19] Kebenaran Ada di Depan Mata
Aku hanya mendustai diri sendiri demi rumah tangga yang sempurna. -Wisafela-
”Papa langsung putar balik, ya.”
Papa Deni meninggalkan aku di depan rumah Mas Nata. Hari ini pembagian rapor. Sebagai ketua yayasan Papa perlu memberikan kata sambutan di hadapan seluruh murid dan wali mereka. Jadi, Papa Deni tidak bisa menemani aku di sini.
Aku minta tolong pada Mama Marsya dan Papa Deni agar tidak memberitahu kedatanganku kepada Mas Nata. Aku bilang ingin kasih surprise dan mereka bersedia. Mungkin tubuhku tahu ada misi penting yang harus aku lakukan. Ia memberikan aku kebebasan. Morning sickness hanya terjadi pagi tadi dan dapat aku atasi dengan meminum obat mabuk dari dokter. Semua berjalan lancar sampai detik ini, walaupun di mobil tadi aku memejamkan mata supaya tidak melihat jalan raya.
Wisafela
Mas hari ini pulang atau tidak?
Aku menunggu balasannya cukup lama. Waktu itu aku gunakan untuk memperhatikan area teras ini. Mungkin nggak, ya, Mas Nata meninggalkan anak kunci di rumah? Panas pagi cukup menyegat. Mungkin nanti Mas Nata perlu menanam pohon pelindung di depan teras.
Titik-titik peluh mulai bermunculan di kepalaku. Sepertinya aku bakalan mandi keringat kalau harus menunggu dua jam lagi. Semoga vitamin D ini bikin aku kuat sehingga besok tidak muntah-muntah lagi.
Mas Nata
Iya. Sore ini saya pulang. Tunggu, ya.
Ponselku kembali bergetar. Segera aku mengecek barangkali Mas Nata kirim pesan lagi.
+62822847032xx
Nunggunya bareng saya aja daripada bengong sendirian.
Siapa ini yang kirim spam? Sudah nggak zaman lagi papa minta pulsa.
+62822847032xx
Kesambet loh ntar. Nggak cakep lagi.
Oh, Wahyu! Tapi dia tahu aku lagi bengong dari mana?
Wisafela
Kamu lihat saya, Yu?
+62822847032xx
Yu? Yu siapa? Ayu? Nama aku bukan Ayu, masih yang lama. Payah loh yang nyari nama, jangan diganti sembarangan.
Siapa sih? Nada pesannya akrab banget. Mau dia pakai nama baru atau nama yang lama, mana aku tahu. Atau sebetulnya ada pembunuh berantai di sekitar sini? Aku langsung waspada mengawasi keadaan. Kompleks ini sepi sekali. Tampaknya sebagai daerah rawan kejahatan. Tidak ada orang dalam radius sepuluh meter ... kecuali pria berhelm di atas sepeda motor di ujung jalan.
Dia lagi ngapain di sana? Ia kelihatannya sedang main HP. Jangan-jangan sedang menyusun strategi dengan komplotannya.
+62822847032xx
Ini aku teman lama kamu. Yang kamu lupain sejak menikah.
Satu kaki menendang jantungku. Uh, terlalu berlebihan. Dan ya, jantungku benar-benar berdebar karena pesan itu. Tidak mungkin Anand ada di sini. Mustahil dia bisa tahu keberadaanku. Tapi kalau Anand ada di sini, tolong bantu aku. Aku takut. Sepeda motor itu bergerak mendekat. Tubuhku bertambah merinding.
Wisafela
Kamu di mana?
Tanganku gemetaran mengetik pesan singkat itu. Tolong. Ini sangat mengerikan. Penduduk di sekitar sini semuanya mungkin sedang bekerja. Para ibu rumah tangga berkutat di dalam rumahnya.
Sepeda motor itu berhenti di depan rumah. Keadaan terasa makin mencekam. Apa yang dia mau dari aku? Barang berharga? Aku tidak membawa harta. Kalau tujuannya mau maling, kenapa harus rumah yang ada orangnya?
Pengemudi motor turun dan membuka helm. Rasa takut yang aku alami dalam sekian detik langsung pergi. Aku menyentuh dada karena lega. Daripada itu aku lebih merasa terkesima.
Anand!
Dia meletakkan helm di kaca spion, kemudian menyisir rambutnya dengan jari. Dadaku kembali berdebar halus melihat dia lalu semakin kencang waktu Anand melihatku sambil tersenyum. Tubuhku bak tertancap di tanah tidak bisa bergerak.
”Beb!”
”Anand.” Suaraku pelan dan bergetar. ”Kok bisa?”
Anand berdiri tepat di depanku. ”Aku pernah bilang kan waktu itu, aku pasti selalu menemukan tempat kamu?” Dia mundur beberapa langkah hingga menciptakan jarak yang cukup lebar. ”Jalan yuk. Aku kangen nih.”
Refleks kepalaku menggeleng.
”Kamu lagi nunggu Pak Guru ’kan? Ngapain duduk di sini sendirian? Panas lagi. Sekolah dia dan sekolah-sekolah lainnya baliknya itu siang. Ayolah kamu jangan jahat gini. Kapan lagi aku bisa ketemu kamu? Aku udah datang jauh-jauh juga.” Anand akan pergi lagi?
Maafkan aku, Mas Nata.
”Emang mau jalan ke mana?”
”Yah ke mana aja yang kamu mau. Asal jangan jalan-jalan ke surga aja. Sumpah, aku belum siap mati sekarang. Belum tentu juga matinya nanti aku masuk surga.”
”Anand.”
”Yaah, malah ketawa. Ayo buruan!” Anand berjalan duluan ke sepeda motornya.
”Naik motor?”
”Eh, si Eneng malah kaget. Kamu tadi lihatnya aku datang pake apa? Kereta kuda? Masih pake tanya. Yang bener aja deh, Yang.”
”Manggilnya yang bener, Anand!” Nggak lucu kan aku baper cuma karena dipanggil yang?
”Kenapa? Ini mulut mulut aku yang ngomong. Kagak usah protes deh. Cepetan naik atuh, Neng. Nanti aku naikin kan berabe.”
”Anand! Aku nggak jadi ikut--eeh eeh Anand!” Dia menarik ujung bajuku waktu aku hendak jalan ke rumah.
”Nggak ada cancel-cancel-an! Aku maksa.”
”Tapi naik motor, bahaya.”
”Bahaya gimana sih? Jangan sok iye deh mentang-mentang punya mertua kaya. Naiknya mobil terus. Diajak pake motor nolak.”
”Bukan begitu.”
”Jelasin atuh, Yang. Kamu maunya gimana? Jalan kaki? Aku gendong? Atau naik kereta kuda?”
Aku gampar juga kamu, Nand. Ngeselin, tapi aku nggak bisa marah. Justru aku rindu mendengar Anand yang seperti ini.
”Tambah bengong. Woy!” teriak Anand di telingaku.
Otomatis tanganku langsung melayang ke punggungnya. Anand menaiki sepeda motor setelah mengusap bekas pukulanku.
”Pake helm juga kamunya.” Anand mengulurkan pelindung kepala itu.
”Aku nggak pake. Nanti sakit kepala.”
Anand menggeleng sambil meletakkan helm itu di setang.
”Jangan kebut, ya,” pintaku sambil memegang lengan Anand agar bisa naik. Begitu sudah duduk, aku meletakkan tangan di pundaknya. ”Cari tempat yang asri kayak taman aja, ya.”
”Kamu tahu ke mana kita cari tempat kayak gitu?” Anand membuka kaca helmnya.
”Nggak tahu.”
”Yaelah. Ke mana aja sih kamu selama tinggal di sini?”
”Cari aja!”
Anand langsung menghidupkan mesin begitu aku memukul pundaknya. Sepeda motor dibawa Anand ke arah Pekanbaru. Sebenarnya ini sangat tidak nyaman. Tempat dudukku lebih tinggi dari Anand. Cuma karena aku lebih pendek, jadi kepala kami sejajaran. Supaya tidak gamang, aku berpegangan pada pundak Anand.
Semakin lama kecepatan Anand bertambah. ”Nggak usah ngebut untuk modus! Aku nggak mau meluk kamu!”
Anand tidak menghiraukan. Aku lupa memberitahu Anand agar kami bermotor ke tempat yang dekat dari kompleks ini saja. Aku takut sesuatu terjadi sama kandunganku. Semakin lama di jalan, kepalaku terasa berputar. Apalagi setiap benda yang dilewati kelihatan bergerak. Aku sampai meremas pundak Anand supaya dia memelan. Memasuki kota kendaraan di kanan, kiri, depan, dan belakang. Aku tidak sanggup lagi membuka mata.
”Jalannya udah kayak bekicot ini, Beb! Nggak usah peluk! Kamu bini orang woy!”
Kepala aku rebahkan di pundak Anand sebelah kanan. Aku betul-betul pusing sekarang. Mataku tidak bisa dibuka dan kalau aku melakukannya, aku bisa jatuh dari motor ini.
”Fel? Kenapa sih? Kalo rindu, bilang dong dari tadi. Jangan peluk erat-erat terus nyender-nyender gini. Godaannya berat banget ini, Yang.”
Mual tambah parah dan ingin segera dimuntahkan. Aku nggak mau muntah di punggung Anand.
”Nand. Cari tempat berhenti yang sepi.”
”Apa?” teriak Anand.
Sial. Suaraku pelan sekali.
”BERHENTI!”
Anand menepi ke kiri jalan. Dia menahan sepeda motor dengan kedua kakinya. Aku cepat-cepat turun dan duduk di semen trotoar.
Terjadilah. Aku muntah-muntah di depan Anand. Semua isi perutku ditarik keluar. Saat aku kira sudah selesai, tarikan itu datang lagi. Begitu berulang-ulang sampai air mataku terbit.
”Anand. Sini,” panggilku. Aku tidak melihat di mana Anand berdiri. Namun, setelah aku panggil, dia langsung duduk di sebelahku. ”Maaf, ya, aku pinjam sebentar.”
Mas Nata maaf.
Aku merebahkan kepala di bahu Anand. Kami duduk menghadap tanah kosong yang kelihatan seperti rawa. Banyak pohon di sekitar sini. Semua tumbuhan itu diam. Tidak ada angin bertiup yang menggerakkan mereka. Cahaya matahari terhalang oleh dedaunan yang rimbun sehingga tidak sampai ke tempat duduk kami. Lalu lalang kendaraan juga kami belakangi. Aku memejamkan mata berharap semoga sakit kepala ini segera hilang.
”Kamu sudah bangun?”
Suara bisikan itu pelan-pelan memasuki pendengaranku. Aku membuka mata dan melihat pemandangan pepohonan. Di sebelahku ada seseorang. Dan aku sedang bersandar di pundaknya. Ah, aku ingat dengan siapa aku sekarang.
”Gimana? Sudah lebih baik?” tanya Anand.
Aku tertidur selama ... satu jam. Aku pun duduk agak jauh dari Anand.
”Kenapa kamu nggak bilang lagi sakit?”
”Tadi aku nggak sakit.”
”Tapi kamu aneh. Naik motor bisa mabuk.”
”Kan sudah aku larang jangan ngebut.”
”Kaga ada hubungan sama ngebut atau nggak ngebut. Tadi aku udah jalan pelan banget.”
”Awalnya kamu ngebut.”
”Terserah terserah. Perempuan selalu benar. Masih sanggup lanjut atau aku antar lagi ke rumah Pak Guru?”
Dan kamu akan pergi? Kita nggak akan ketemu lagi?
Dulu siapa yang ninggalin Anand?
Siapa yang memblokir nomor Anand?
Siapa yang berjanji akan melupakan Anand?
”Kamu ini ke Pekanbaru karena urusan apa?”
”Aku nggak ada urusan apa-apa. Emang kenapa? Kelihatan kayak orang nganggur gitu? Aku udah kerja kali, Yang.”
”Nggak boleh nanya gitu? Dan jangan panggil aku seperti itu lagi.”
”Seperti apa?”
”Yang dari tadi kamu sebut waktu manggil aku. Jangan bikin kesel aku deh!”
”Jelasin! Aku ngeselinnya kenapa? Aku tadi manggil apa memangnya?”
”Anand bolot bikin kepala aku makin puyeng.”
”Perempuan aneh. Punya permintaan nggak jelas. Ditanyain, malah nyolot. Kalau kamu ngomong yang jelas, aku pasti bisa langsung ngerti. Tapi kalo kamunya marah-marah, kepala kamu bakalan lebih puyeng dari sekarang.”
”Berhenti panggil aku yang.”
”Oh itu. Kamu bakal kehabisan energi kalau minta yang satu itu. Karena aku nggak akan berhenti manggil kamu sayang.”
”Anand, serius!”
”Aku lebih serius, Beby.”
”Aku nggak suka, Anand. Kamu nggak boleh. Kamu tahu kan aku sudah menikah.”
”Aku inget. Kagak usah dikasih tau, aku udah paham. Percuma kamu ngotot minta aku berhenti.”
”Terserah kamu. Terus kenapa kamu bisa tahu aku di sana? Kamu pake cara apa bisa datang ke rumah suami aku?”
”Aku nggak mau kasih tahuuuu.”
”Anand, nggak imut kayak gitu!”
”Tapi Ibu Pustaka ketawa. So, mau lanjut jalan atau pulang? Kayaknya udah pada balik tuh anak sekolahan.”
Aku berbalik badan ke jalan raya. Beberapa siswa berseragam sekolah memang sudah tampak berlalu lalang dengan sepeda motor. Aku hanya tahan melihat ke sana beberapa detik. Gejala pusing mulai merambat lagi ke kepala.
”Kamu beneran nggak ada urusan? Terus ngapain bisa ada di sini?”
Please, bilang kapan kamu akan balik ke Padang. Peka dikit, Anand!
”Aku nggak mau jawaaab.”
”Terserah kamu. Anter aku pulang saja.”
”Kamu nggak akan muntah lagi kan?”
Iya atau tidak?
”Masih pusing ya, Beb? Terus gimana? Keluarga itu bikin kamu jadi beda. Dulu tiap hari kamu motoran. Ini jalan dikit udah muntah. Setahu aku orang mabuk itu kalau naik kendaraan yang tertutup, seperti mobil, kapal, atau kereta api. Langka banget kejadian kayak kamu ini.”
”Aku pesen taksi online bisa.”
”Beb. Aku jujur deh kalo gitu. Nggak enak nyimpen rahasia dari kamu. Nanti aku dikiranya tukang bohong.”
Anand meletakkan telapak tangan ke semen melewati tubuhnya. Posisi Anand seperti orang berjemur di pantai. Wajahnya tengadah dan terpejam.
”Sengaja aku datang ke sini.”
Jantungku ada yang menendang lagi. Walau Anand belum selesai bicara. Walau aku belum tahu sambungan kalimat dia. Tidak mungkin Anand ke sini untuk menemui aku.
”Mau ketemu kamu.”
Reaksi di dadaku lebih atraktif lagi. Sampai-sampai bibirku tidak mampu menjawab kata-kata Anand.
”Waktu aku video call kamu. Aku senang banget bisa melihat kamu lagi. Aku emang salah sih, merindukan istri orang. Yang ... organ yang nggak bisa diatur itu perasaan. Coba hati ada remote-nya, udah dari lama kali aku tekan off. Aku penasaran banget. Apa sih salah aku? Kenapa sih kamu marah banget sama aku? Kenapa kamu memutus kontak kita? Aku nggak akan macam-macam. Aku sadar, aku paham, kamu sudah menikah. Aku tahu sampai batas mana berteman dengan miliknya orang. Apalagi sama kamu. Aku nggak akan bikin kamu kecewa. Aku nggak akan bersikap kelewatan dan nggak ngehargain kamu sebagai seorang istri. Aku tahu kita sudah punya pembatas yang sangat tinggi. Nggak ada pikiran aku mau kurang ajar sama kamu. Aku tadinya mau nanyain semua itu sama kamu. Tapi nggak usah aja. Ketemu kamu udah menghapus semua rasa penasaran itu.”
Tidak tahu kenapa aku menangis mendengar semua penuturan Anand. Air mata nggak bisa ditahan. Oleh sebab itu, akhirnya Anand berhenti bicara dan kaget melihat aku.
”Kamu kenapa?” Anand bergeser.
Mas Nata ... maafin aku. Aku janji hanya akan mencintai kamu. Aku cuma ingin dipeluk kamu. Aku tidak boleh menginginkan pelukan Anand. Tidak boleh. Betapa pun seluruh tubuhku menginginkannya. Anand hanya godaan untuk menggoyahkan rasa cinta kepada Mas Nata. Anand tukang bikin baper. Langkahku sebelumnya untuk menjauh dari Anand sudah betul. Aku hanya harus melanjutkan itu.
”Aku pulang naik taksi.”
”Iya, tapi jangan nangis.”
Aku mengambil handphone.
”Sebenarnya aku salah apa sih? Oh rumput, tunjukkan kesalahan apa yang telah aku lakukan kepada Beby Honey Bunny Sweety?”
Taksi online yang aku pesan sebentar lagi akan datang ke sini. Aku harus berdiri untuk memberikan tanda.
”Beb, kalau kamu pulang ke Padang nengokin Bunda, jangan lupa kasih tahu. Kamu nggak perlu takut aku ajak ke mana-mana. Cukup berdiri aja deket pintu dan aku lihat dari jauh. Udah gitu aja.”
Aku nggak mau. Sebentar lagi, aku mau punya anak. Anakku tidak boleh tahu kalau ibunya memiliki perasaan lebih kepada laki-laki selain ayahnya.
”Itu kayaknya mobil yang aku pesan?”
Mobilnya menepi ke dekat kami.
”Hati-hati.” Anand membukakan aku pintu. ”Merem, ya, nanti biar nggak mabuk.”
”Makasih, Anand.” Pintu mobil tertutup. Roda empat ini meninggalkan Anand dan sepeda motor hijau muda.
Taksi berhenti di pinggir jalan dekat pagar. Sekarang hampir pukul dua belas. Matahari semakin terik. Aku berjalan cepat ke rumah Mas Nata. Kepalaku terasa sedikit pusing, tetapi hanya denyutan kecil dan sisa-sisa mual beberapa jam lalu.
Aku rasa ini akan jadi kejutan sekali bagi Mas Nata. Sekarang tidak tersisa kecurigaan untuk dia dan Ambar. Dengan kabar kehamilan ini, Mas Nata bisa mulai menghapus perasaannya untuk Ambar. Bukankah anak selalu punya tempat di hati ayahnya? Kecuali diriku, semua anak menjadi sosok paling penting bagi kedua orang tuanya. Seperti yang aku rasakan sekarang. Walau anakku belum punya nyawa, entah berupa apa dia sekarang, aku sungguh ingin memberikan ia kasih yang cukup dan penuh.
Pintu tidak dikunci. Aku langsung masuk dan melepaskan alas kaki di tempat Mas Nata meletakkan sepatunya. Namun, sepatu yang ada di sebelah punya Mas Nata membikin tanganku jadi bergetar. Sepatuku terjatuh sebelum aku menaruhnya di lantai. Telinga ini panas dan jantung berdebar keras melihat ada sepasang sepatu sekolah.
Pelan-pelan langkah aku kayuh ke sofa. Tubuh ini semakin lemas melihat dua benda di atas meja. Satu adalah rapor milik Ambar Pradira Hesi. Benda lainnya adalah sebuah frame foto ukuran 5R. Kedua pasangan pengantin tersenyum ke arah kamera.
Aku terduduk merasa tubuh sudah tidak lagi bernyawa. Seluruh badanku bagai menggigil. Begitulah awal-awal kematian kata orang. Bahkan napasku sangat sesak karena di dada ini seperti ada yang menikam. Jangan tanya air mata. Aku mungkin punya pabriknya sehingga takkan bisa kering walau aku menangis sejadi-jadinya.
Hancur seluruh harapan yang baru aku susun setelah mendengar kabar kehamilan. Bayang-bayang kehidupan bahagia bersama Mas Nata kini bermetamorfosis neraka. Semua kecurigaan yang aku hilangkan kemarin menampakkan diri satu per satu.
Pertemuan dengan Ambar di perpustakaan. Kedatangan Mas Nata ke sekolah di hari pertama aku bekerja. Kenapa dia sangat ingin aku pindah kerja di kampus saja. Dobrakan pintu UKS bukan karena mencariku, tetapi karena dia dapat kabar Ambar sakit. Kepergian Mas Nata pada awal-awal pernikahan kami. Aku yakin dia tidak pergi untuk seminar. Mas Nata menggantikan waktunya selama di Padang saat menikahi aku. Dan kekhawatiran Mas Nata pada luka di alis Ambar. Mereka bahkan menghilangkan bukti bahwa Ambar sebenarnya tinggal di sini.
Sekarang di mana mereka?
Feeling menyeret langkahku ke kamar besar. Aku yakin di sanalah semua jawaban yang selama ini aku cari. Lemari yang terkunci sudah membuktikan ada yang Mas Nata sembunyikan. Aku hanya mendustai diri sendiri demi rumah tangga yang sempurna.
Tubuhku sempat oleng sebelum tiba di pintu. Kamarnya tidak dikunci. Dengan tangan bergetar aku mendorong kayunya pelan-pelan. Air mata ini semakin menderas melihat mereka berpelukan. Kehadiranku dengan cepat disadari oleh Ambar yang menghadap pintu. Dia mendorong Mas Nata.
”Ibu Fela.”
Mas Nata menatapku dengan mata membelalak. Dia cuma berdiri bagai patung melihat kehadiranku di kamar yang dia sebut gudang.
Aku menggunakan seluruh kekuatanku yang tersisa untuk mencapai posisi mereka. Ini rasanya seperti aku yang seharusnya mati memaksa bangun lagi saat melihat pembunuhku berpura-pura menangisi kematianku. Aku ingin membalas dia.
Suara pertemuan dua kulit menggema di kamar ini. Aku tidak segan-segan menambah satu tamparan lagi di pipi Ambar yang lain. Tentu saja itu sangat sakit. Kedua bahu Ambar bergetar, sementara air mataku sendiri juga tidak terkendali.
”Saya sudah menemukan alasan kenapa saya perlu berbuat jahat sama kamu. Sebenarnya, saya belum lega. Ini tidak cukup menjadi pembalasan untuk anak kecil yang tidak punya harga diri.”
”Honey.” Mas Nata menarik tanganku.
”Dan untuk kamu, Mas. Aku tidak akan pernah mendengar apa pun lagi dari kamu. Aku sudah sering mengatakan itu sama kamu. Selamat tinggal.”
Tubuhku bagai digerakkan oleh kekuatan magis. Kini aku sudah berdiri di dekat pagar.
”Hello, Beby.” Tidak begitu lama aku menunggu Anand mengangkat panggilan. Suaranya langsung terdengar.
”Jemput aku di rumah Mas Nata.”
Ponsel di tanganku direbut seseorang.
”Fela. Aku minta maaf.” Mas Nata pun matanya merah. Aku tidak mengerti dia sekarang ber-acting apa lagi.
Aku merampas ponselku.
”Maaf? Aku juga minta maaf. Seharusnya aku nggak pernah datang ke sini.”
Suara klakson terdengar dari mobil yang berhenti di dekatku. Pintu depan sebelah kemudi itu terbuka. Mas Nata menarik tanganku. Dia memelukku.
Ya, biarkan seperti ini dulu.
Aku yang salah. Fela bodoh. Aku datang ke sini untuk masuk dalam drama karangan Natirta. Hanya lima detik, aku melonggarkan pelukan kami.
”Aku kecewa sama kamu, Mas. Terima kasih untuk air mataku selama ini.”
Aku masuk ke mobil. Anand langsung melaju setelah pintunya tertutup.
***
Tbc
17 Juni 2020
Kira-kira foto itu beneran atau gk sih?
Hayo, Fela mau ke mana?
Siapa yang senang ternyata spoiler kemarin bukan mimpi?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top