[17] Bisakah Kamu Menghapus Namanya dari Hatimu?
[17] Bisakah Kamu Menghapus Namanya dari Hatimu?
Aku belajar mencintai. Kamu seharusnya juga mencoba. Aku melupakan dia. Kamu juga harus melupakan dia.
Fela bodoh! Bukan. Mas Nata yang bodoh. Dia pikir aku enggak pernah sekolah apa? Mau alasan apalagi dia nanti? Ini Senin ujian. Pelajaran yang diujikan cuma dua, Bahasa Indonesia dan Pendidikan Agama Islam. Masing-masing diberikan waktu dua jam sesuai waktu normal. Ditambah tiga puluh menit istirahat. Jadi, Penilaian Akhir Semester membutuhkan lima jam plus waktu tunggu sebelum dimulai. Jika bel pertama pukul delapan, Mas Nata bebas jam setengah satu. Jam satu tadi harusnya dia sudah pulang. Sekarang jarum jam pada angka tiga.
Aku tidak mau mengirimi dia chat. Pak Guru akan mengarang banyak alasan.
Mas ... kamu enggak cuma mengajar Sejarah, Mas, tapi juga karakter. Hancur bangsa kamu kalau sama istri aja suka mengibul. Kamu terlambat karena keluar makan sama adik kamu, ya? Istri kamu sudah masak untuk kamu loh ini, Mas.
Adik? Haha ... kamu juga bohong dengan seluruh penduduk sini. Kalau benar dia adik kamu, kenapa tidak kamu kenalin sama aku? Aku istri kamu. Aku sudah kenal dia. Untuk apa menyembunyikan statusnya?
Aku rasa lantai ini sedang kesakitan sebab aku injak bolak-balik sejak tadi. Akhirnya, aku pilih duduk sambil menunggu dia.
Bunda ... kenapa Bunda tidak mencaritahu dulu siapa Mas Nata? Bunda langsung terima aja anaknya Mama Marsya. Apa yang harus aku lakukan kalau benar Mas Nata punya wanita lain? Aku melanggar kesepakatan awal. Padahal kami bikin perjanjian tidak ada seks sebelum jatuh cinta dari dua pihak. Aku belum menerima rasa yang sama dari Mas Nata, tapi menyerahkan diriku kepadanya.
Aku mengulanginya lagi, Bunda. Akulah perempuan bodoh itu. Aku lebih dungu dari keledai hingga bisa jatuh pada lubang yang sama dua kali.
”Mas bawa ini untuk kamu.” Tiba-tiba suara itu membuyarkan lamunanku.
Mas Nata dengan setelan kuning khaki mengulurkan kantong putih. Bibir merah muda itu melengkungkan senyuman tipis. Di balik kacamata ia tampak bahagia. Seperti Bunda yang sangat senang melihat aku melonjak jika dibawakan sala khas Pasar Raya. Senyuman Mas Nata terlihat tulus. Seakan dengan membelikan makanan ini, dia berhasil membuat aku senang.
Namun, ini hanya sebuah sogokan. Fela, murahnya Mas Nata menganggap kamu. Kamu dia beri makanan yang paling tidak berharga lima puluh ribu. Dia ingin kamu sibuk makan dan tidak bertanya dia habis dari mana.
Jahat sekali kamu, Mas. Sampai kapan kamu membohongi aku? Apa kamu akan selalu tersenyum setelah menemui wanita itu?
”Kenapa enggak diambil? Ini makanan kesukaan kamu, ‘kan? Martabak bangka rasa pisang cokelat.”
”Kamu ke mana aja?”
Hey, Fela! Mengapa suara kamu sengau?
Aku berdeham supaya suaraku terdengar normal. Ada sesuatu juga yang terasa mengancam akan terbit di mata. Aku mengedipkan kelopaknya berulang agar air tidak sampai jatuh. Bersamaan dengan itu benda pemberian Mas Nata aku letakkan dia atas meja.
”Enggak ke mana-mana cuma dari sekolah, Honey.” Mas Nata menunjuk seragamnya.
Mas Nata duduk di bangku depanku. Ia membuka bungkusan, mengeluarkan kotak yang menguarkan aroma cokelat.
”Makan.”
Aku menggeleng lemah. Pria berkacamata yang berpenampilan rapi itu sama sekali tidak tampak sebagai pembohong. Sejak pertama kali melihat Mas Nata, kesannya bagiku adalah lelaki baik. Lebih baik dari aku. Ditambah pula dia seorang guru.
”Makan nasi aja. Fela nungguin Mas Nata pulang. Aku sudah masak loh,” laporku memaksa tersenyum.
”Kamu belum makan? Ini sudah jam tiga, Fela.” Wajahnya khawatir.
Mungkinkah dia sedang ber-acting? Aku tidak mampu membaca ekspresi Mas Nata. Dia selalu kelihatan jujur.
”Aku nungguin kamu. Jadi, daripada makan martabak, ayo makan masakan Fela. Aku masak ikan bakar dengan sayur bayam.”
”Ayo, Mas temenin makan.” Mas Nata berdiri mengulurkan tangan.
”Kamu udah makan, ya?” tanyaku pelan sambil menahan gundukan sakit di tenggorokan.
”Iya dapat nasi kotak di sekolah. Setiap ujian begitu.”
Aku mengambil nasi, tapi tidak ada nafsu menelan sesuatu.
”Mas.”
Mas Nata ternyata sedang memainkan handphone. Dia langsung menyimpan benda itu ke saku baju. Dia memperbaiki letak kacamata sebelum bergumam.
”Ada yang kamu sembunyikan dari aku?”
Please, air mata jangan menetes! Walaupun suaraku terdengar bergetar. Tenggorokan juga nyeri. Hati apalagi. Aku tidak pernah merasa sebodoh dan semenyedihkan ini diperlakukan sebagai manusia.
”Langsung saja, Fela. Saya tidak bisa menebak ke mana arah perkataan kamu.” Mas Nata melipat tanganya di dada.
”Apa hubungan kamu dengan Ambar?”
”Lagi? Kalau kamu percaya dengan jawaban saya, masalah ini sudah lama selesainya. Untuk apa selalu kamu bahas lagi?”
”Aku nggak percaya sama kamu.”
”Masalahnya adalah kamu. Kamu yang enggak percaya. Saya kan sudah bilang—”
”Dia anak beasiswa Syarma yang kurang mampu.” Aku memotong jawabannya.
Basi.
”Cuma itu? Terus apa jawaban Mas untuk pertanyaan aku waktu itu?”
Mas Nata menghela napas dan memperbaiki posisi duduknya. ”Pertanyaan yang mana?” Suaranya berusaha ditekan lunak di ujung kata.
”Aku tahu, Mas, kamu hari Jumat itu bukan mau jemput aku. Kamu sengaja mengecek posisi aku di mana supaya aku tidak bisa melihat kamu waktu menjemput dia. Tapi alam bantu aku sehingga aku bisa lihat dengan mata kepala aku sendiri waktu kamu turun dari mobil tepat di sebelah dia di pinggir jalan raya. Dan kamu nggak tahu kalau sebenarnya aku belum pulang karena ditinggalin Papa. Pertanyaan aku, siapa dia bagi kamu?”
Mas Nata menggeleng. ”Kamu cuma nggak bisa percaya. Hanya itu masalahnya, Fela.”
”Mas ... kamu bisa nggak sih kasih tahu aja aku? Aku nggak akan menahan kamu di sisi aku kalau memang kamu terpaksa menikah dengan aku.”
”Apa maksud kamu?”
”Kamu jujur sama aku. Sebenarnya dia siapa?”
”Bukan siapa-siapa.” Dia menekan setiap perkataannya.
”AKU NGGAK BODOH, MAS.” Tungkaiku berdiri, bertumpu telapak tangan di meja. ”AKU SENGAJA UNDANG DIA MAKAN DENGAN KITA UNTUK MELIHAT REAKSI KAMU. DAN DIA AKAN HABIS DI TANGAN AKU KALAU DIA ADA MAIN DENGAN KAMU.”
”Jangan ngomong sembarangan! Untuk apa kamu mengancam orang?”
”AKU TIDAK SUKA DIBODOHI! AKU AKAN BUAT PERHITUNGAN KALAU AKU TAHU HAL SEBENARNYA DARI ORANG LAIN. TAPI AKU AKAN MAAFIN DIA KALAU KAMU JUJUR SEKARANG!”
”Keras kepala! Jangan keluarkan sifat bar-bar kamu!”
”Aku nggak akan dapat jawaban dari mulut kamu?” Aku menarik napas, mengusahakan hati untuk tenang.
”Jawaban apa? Saya sudah jawab dan kamu yang tidak percaya. Jangan diperpanjang lagi.”
”Apa kamu mencintai aku, Mas?”
Dia diam saja. Luruh sudah air mata ini.
”Di hati kamu ada orang lain,” simpulku dan tidak dia bantah.
Di hati aku juga. Tapi sudah sejak lama aku berusaha menghapus perasaan itu. Aku ingin mencintai kamu.
”Oh iya.”
Dia melihat ke mataku dengan tatapan yang susah untuk aku terjemahkan. Terkadang aku sangat tidak percaya dia menyimpan perempuan lain di rumah ini. Dia kelihatan mencemaskan aku dan ragu-ragu ingin memelukku. Atau mungkin aku salah menafsirkannya?
”Aku nyari kunci lemari besar di kamar itu. Semua tempat sudah aku bongkar dan nggak ketemu.”
”Di dalamnya tidak ada apa-apa. Hanya berisi barang-barang lama yang tidak terpakai lagi.”
”Iya. Aku paham.” Aku mengambil piring yang belum tersentuh. Isinya aku tuang ke dalam keranjang sampah. Semua masakan juga aku buang ke dalam kantong hitam dan campakkan ke tempat yang sama.
”Aku sakit, Mas,” bisikku membelakanginya, menggosok piring dan mangkuk dengan spons.
”Kamu tahu nggak aku tidak punya ayah? Aku tidak pernah merasakan dicintai oleh laki-laki. Aku tidak ada keinginan untuk menikah. Pada awalnya. Aku bahkan nggak mau menikah dengan laki-laki yang aku cintai sewaktu dia mengajak aku menikah. Demi Bunda aku menyetujui pernikahan kita. Aku juga mulai percaya bahwa cinta ada. Kamu suatu saat akan mencintai aku seperti aku juga pelan-pelan belajar mencintai kamu. Aku membuang dia dari hati aku. Bisakah kamu juga buang dia dari hati kamu?”
Mas Nata tetap di tempat duduk semula sambil melihat lurus ke tempatku.
”Kalau nggak bisa, aku juga enggak bisa tetap sama kamu. Aku enggak mau perasaan aku semakin dalam untuk kamu tanpa kepastian kamu juga akan mencintai aku.”
Aku mengunci kamar besar lalu menatap lemari besar di dekat dinding. Aku tahu jawaban yang ingin aku lihat ada di sana. Namun, aku nggak perlu memaksa Mas Nata. Aku akan tahu sendiri dan aku akan bikin pelajaran kepada siapa pun yang sudah menyebabkan aku merasa dibodohi.
***
”Fela.”
Suaranya disertai ketukan terdengar lagi.
”Kamu sudah bangun?”
Aku tidak menghiraukan. Mungkin dia mau pamit.
”Keluar dulu, Fela. Jangan lama-lama marahnya,” bujuknya. ”Fela?”
Agak berapa lama aku terganggu dengan panggilan Mas Nata, akhirnya aku mendengar suara mobil menjauh. Aku mengintip lewat jendela, tetapi pemandangan yang tersaji adalah tanah kosong. Kamar besar ini posisinya memang menghadap tanah yang belum dibangun.
Aku sudah mengepak bajuku ke dalam tas. Setelah yakin Mas Nata pergi, aku membawa tas jinjing kecil ke luar. Tapi aku masih penasaran dengan rumah ini. Aku sangat berharap apa yang aku dengar dari tetangga salah. Namun, aku tidak bisa membantah mataku sendiri. Mas Nata memang ada sesuatu dengan gadis kecil itu.
Aku masuk ke kamar Mas Nata. Di sana ada lemari berisi buku-buku. Tidak sebanyak di rumah Mama Marsya. Aku menggeser kaca untuk melihat judul-judul apa saja yang dia punya. Mas Nata mengoleksi buku sejarah negara-negara di dunia. Ia juga punya beberapa koleksi novel yang bikin keningku mengernyit. Aku beralih ke rak nomor dua. Pelan-pelan dan satu-satu punggung buku aku baca.
Sejarah Indonesia kelas X. Sejarah Indonesia kelas XI. Sejarah Indonesia kelas XII. Ia memiliki beberapa buku dengan penulis berbeda. Fisika kelas X. Bahasa Inggris kelas X. Aku menarik buku yang beda aliran dengan diri Mas Nata itu. Buku Fisika aku periksa lebih dulu. Lembar-lembarnya aku buka. Di dalamnya penuh coretan dengan pensil. Bekas seseorang belajar mengerjakan soal-soal latihan.
Darahku tiba-tiba berdesir disertai dengan degupan jantung. Aku memeriksa lemari yang terdiri dari tiga tingkat itu lebih teliti lagi. Lalu kerja pemompa darah dalam tubuhku semakin tidak beraturan. Mataku melihat buku itu agak lama. Seketika aku teringat dengan jawaban Ambar.
”Saya enggak bikin tugas Pak Wayan. Tadinya ingin minjem punya Wahyu, tapi dia juga nggak buat. Saya tadi duduk di pojok baca sana. Enggak sengaja kening saya kecolok jangkar.”
Cepat aku menarik buku cetak matematika kelas sepuluh dan membuka halaman pertama. Buku itu bersih tiada nama pemiliknya. Tapi ada buku tulis di tengah buku cetak. Jantungku makin berdebar siap menjawab rasa penasaran ini.
Ambar Pradira Hesi
Kelas X MIPA 3
Tubuhku terasa lemas sekali. Mataku berkunang-kunang. Sudah berlalu sekian lama, dia sampai lupa di mana letak bukunya sendiri. Dadaku terasa sangat perih. Bagaimana perlakuan Mas Nata kepadaku terbayang dalam kepala. Dia juga melakukannya dengan gadis kecil itu. Ambar tidak mengerjakan tugas karena sedang bermesraan dengan Mas Nata?
Aku merapikan semua buku yang aku ambil dan memasukkan latihan matematika Ambar ke dalam tas. Lemari kaca aku tutup kembali. Jadi, selama aku di sini, di mana dia tinggal?
Aku memesan taksi online untuk pulang ke rumah Mama Marsya. Mobilnya akan tiba sekitar lima menit. Aku ingin menunggu di depan, tetapi saat membuka, pintunya terkunci. Berulang kali aku coba tetap tidak bisa dibuka.
Kepalaku terasa berat. Aku terduduk di sofa panjang dekat pintu. Denyutan di otak terasa sangat mengganggu. Aku memejamkan mata untuk meredakan rasa sakit itu. Detakan dalam dada juga bekerja lebih cepat. Aku ingin melemparkan barang-barang. Aku ingin melempar kaca jendela. Pintu itu dikunci dari luar. Apa tujuan dia mengurung aku di dalam sini?
Aku tidak kehilangan cara. Tas aku tinggalkan di dekat meja lalu masuk ke kamar Mas Nata lagi untuk mencari kunci cadangan. Aku akan keluar lewat pintu belakang. Sekian tempat yang aku rinci, tidak ada satu pun benda berbentuk kunci. Aku juga mencari di lemari, laci, dan meja ruang tengah. Semua tempat hanya kosong tanpa benda-benda yang mungkin menutupi sesuatu yang aku cari.
Napasku makin kencang keluar dan masuk melewati hidung. Mataku terasa panas. Telinga juga berdenging.
”AAAAA!!!"
Aku belum juga lega. Aku menjerit lebih kuat lagi, tidak peduli tetangga akan mendengarnya.
”Bangsat sialan!” Aku bersimpuh di lantai dengan tangisan yang tidak bisa dibendung.
”Aku bukan hewan peliharaan.”
Suara mobil Mas Nata terdengar. Seolah mimpi aku mengusap wajah yang basah. Aku merapikan pakaian dan berdiri. Tas pakaian aku bawa kembali ke kamar. Aku pun berbaring membelakangi pintu. Sayangnya aku lupa menutup pintu. Tidak ada kesempatan lagi karena suara kantong plastik yang kemungkinan dibawa Mas Nata semakin mendekat.
Tempat tidur terasa bergerak turun pertanda sedang diduduki Mas Nata.
”Fela ayo bangun. Mas udah beli sarapan.” Suaranya lembut merayu.
”Sarapan dulu, Honey. Ini sudah jam sembilan lewat.” Ia menyentuh lengan atasku.
Aku langsung berbalik sambil mengucek mata. Rambut sepunggungku menutupi daerah pipi. Aku kira mataku bisa tersembunyi, tetapi tangan Mas Nata dengan cepat menyibak rambutku. Aku langsung mumukul tangannya hingga tidak jadi membereskan rambutku.
”Kamu tidur lagi?” tanya Mas Nata menyadari pakaianku sudah diganti.
Aku mengangguk.
”Mas nggak ngawas ujian?” tanyaku pelan supaya suara serakku tidak terlalu jelas.
”Tidak,” jawab Mas Nata. Ia menaruh tangannya di bahuku. ”Saya nggak mau ninggalin kamu.”
Aku mengikuti Mas Nata ke ruang depan. Dia meletakkan stirofoam di atas meja.
”Apa itu, Mas?” Aku duduk di sebelahnya dan menaruh rambut ke sebelah bahu agar dia tidak bisa melihat pipiku.
”Ini lotek. Pernah makan?”
”Sama aja kan dengan gado-gado? Cuma namanya yang lain.”
Mas Nata menggeser punyaku. ”Nah, dimakan.”
Benar. Aku belum makan dari pagi kemarin sehingga waktu Mas Nata membuka tutup stirofoam, perutku bersuara. Mas Nata terkekeh kecil.
”Laper 'kan? Harus dihabisin, ya,” katanya.
Mas Nata juga membuka makanannya. Lalu menyuap sendok.
”Ayo, makan.” Mas Nata menyenggol bahuku.
Aku tidak bisa pergi hari ini karena Mas Nata mengikuti ke mana saja aku duduk. Sampai malam, Mas Nata tidak ingin jaga jarak denganku. Saat aku ke kamar besar, dia berjalan di sebelahku. Dia seolah mengantisipasi aku mengunci pintu lagi.
Aku langsung menutup mata setelah menutupi tubuhku dengan kain. Mas Nata juga ikut masuk ke selimut. Aku mengganti posisi miring, memberikan ia punggung. Dia melingkarkan tangan ke pinggangku. Aku biarkan dan berusaha segera tertidur. Mas Nata menekan tubuhku ke dadanya. Kepalaku di dagunya. Aku meremas selimut di depan dada ketika membayangkan perlakuan ini dia berikan juga kepada Ambar.
Aku tidak tahu hubungan apa yang mereka miliki. Dan aku akan segera memastikan sendiri.
***
Bersambung ...
11 Juni 2020
Maaf kepotong mulu. 🤧🤧🤧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top