[15] Pak Guru Harus Jujur dan Ajari Muridnya Jangan Suka Bohong
[15] Pak Guru Harus Jujur dan Ajari Muridnya Jangan Suka Bohong
💕💕
Senang nggak sih kamu, baca lanjutannya Mas Nata ini?
Ayo mention kawan-kawan kamu untuk ikutan membaca dan main tebak-tebakan bareng.
💗💗💗
Aku bukan orang baik karena kesalahanku terlalu banyak. Kalau aku harus berperan lebih kejam lagi, aku akan melakukannya. Aku tidak tahan jika nanti hidupku disamakan dengan curhatan para istri di sinema televisi.
💗💗💗
Pintu apartemen terbuka. Anand muncul di pintu dengan rambut kusut. Dia hanya memakai sepotong bokser. ”Kenapa menangis, Beby?” Suaranya serak.
Kaki ini membawa aku pulang pada pemiliknya. Aku langsung menubruk Anand dengan pelukan. Anand tidak siap hingga tubuhnya terhuyung.
”Beb, kamu kenapa datang sambil nangis-nangis?” Anand mengusap punggungku.
”Janji kamu masih berlaku?”
”Janji? Yang mana? Aku sering janji sama kamu kan.”
”Kamu bilang, aku boleh mencari kamu kalau sesuatu yang buruk terjadi sama aku. Kamu akan bertanggung jawab atas semua kesalahan yang pernah kamu lakukan.”
”Berani sekali kamu minta aku tanggung jawab.”
Aku melepaskan tanganku dari Anand. Kakiku kini bergetar. Apakah aku sudah tidak punya arti apa-apa lagi? Tidak pula sebagai teman?
”Saat aku ingin tahu salahku apa, kamu malah ngeblokir nomor aku. Aku bingung pernah salah apa sama kamu. Aku pernah mengajak kamu menikah, kalau bagi kamu kesalahanku adalah apa yang aku lakukan di vila. Tapi kamu sendiri nggak mau. Kamu lagi-lagi menolak waktu aku ajak nikah.”
Aku telah memilih orang yang salah. Aku juga salah menghindari kamu.
”Aku bukan malaikat yang selalu baik sama orang. Apalagi Tuhan yang punya banyak kesabaran. Aku punya masa tenggang dalam nunggu sesuatu.”
”Aku minta maaf, Anand.” Mungkin aku sudah tidak punya harapan.
”Tapi aku manusia biasa yang hatinya enggak tegaan. Aku juga cuma laki-laki payah yang tidak bisa perjuangin kamu sampai kamu disakiti seperti ini.”
Anand merentangkan tangannya. ”Come. Maaf tadi aku cuma ngetes kamu aja.”
Aku merasakan kelegaan menjalari setiap pori kulitku. Senyuman Anand tersaji indah di depan. Aku berlari padanya, mendekap Anand seerat yang aku bisa.
”Aku kangen kamu, Beby. Aku selalu bermimpi bisa memeluk kamu seperti ini.”
Aku mendongak, melihat wajah Anand. Manik hitamnya juga sedang menatapku. Tatapannya berbeda dari Anand selama ini. Bukan dalam artian buruk, lebih seperti Anand juga bahagia bisa bertemu denganku lagi.
”Kamu masih suka merokok?” Aku mengusap bibirnya ketika mencium aroma tembakau.
Anand terpejam. Pipi Anand halus tanpa bekas cukuran. Ia seperti bayi besar yang keras.
Gerakanku terhenti karena Anand menangkap tanganku. Ia mencium ujung jemariku. Sejak tadi jantungku berdetakan, tetapi sekarang semakin kencang. Anand mengusap anak rambutku dengan mata tak lepas menatapku.
Aku memejamkan mata saat Anand menunduk. Ia menyentuh bibir luarku dengan bibirnya. Aroma tembakau yang manis tercium lagi dari embusan napasnya. Anand menjepit bibir bawahku, melepas dan mengecup lagi. Ciumannya semakin intens. Tanganku yang menekan dadanya merasakan detakan Anand juga sama kencangnya denganku.
Hanya Anand yang membuat aku berani melanggar aturan. Bagiku, bersama Anand bukanlah kesalahan. Saat Anand melepaskan seluruh pakaianku, aku sudah siap menerimanya.
Ia berbeda dengan Mas Nata. Anand melakukannya dengan lembut. Ia memuja seluruh tubuhku, bukan memaksa menembus diriku saat aku tidak mau. Anand membuat aku mendamba barulah ia menyatukan miliknya.
Aku merasakan usapan di puncak kepala. Telapak tangan yang hangat terasa menangkup sebelah pipiku. Namun, tidak ada aroma tembakau. Dia bukan Anand. Jika yang tadi adalah mimpi, aku malas untuk bangun. Aku tidak mau membuka mata.
Sudah pasti yang tadi itu hanya mimpi. Dan ini adalah kenyataan. Tidak ada Anand. Yang ada hanya Mas Nata. Dialah yang sedang mengelus rambutku.
”Kamu sudah bangun?” tanyanya, mengusap kelopak mataku.
Mungkin dia menyadari dari tarikan napasku yang tidak seteratur saat tidur.
Perlahan perlakuan Mas Nata mengisi seluruh ingatanku. Ia tidak sebaik yang aku kira. Aku ingin becerita, tapi tidak tahu bicara kepada siapa. Aku sakit sendirian. Coba jangan bangunkan aku dari mimpi. Anand bisa menghapus semua ingatan itu. Ia begitu lembut dan penuh cinta. Tidak seperti Mas Mata hingga aku bisa melupakan apa yang sudah Mas Nata lakukan.
”Kamu tidak punya hak menolak saya.”
Mas Nata memperlakukan aku dengan buruk karena masa laluku. Dia bisa menerima aku, tetapi aku tidak punya hak untuk melawan keinginannya. Aku diharuskan jadi istri yang patuh. Bahkan untuk disetubuhi secara paksa. Mas Nata telah menganggap aku sangat hina yang tidak punya kekuatan untuk menolaknya.
”Saya minta maaf.”
Aku membuka mata dan menjauhkan tangan Mas Nata.
”Saya tidak sadar. Maafkan saya.”
Aku menepis tangannya dengan kasar. Segera aku bangkit ke kamar mandi.
Kenapa kenyataan seperih ini? Aku ingin kembali tidur dan bertemu Anand. Tidak ada yang tahu apa yang kami lakukan. Tidak mungkin ada orang yang mencerca apa yang aku perbuat dengan pria yang bukan suamiku. Aku ingin hidup sebebas itu jika dunia nyata terlalu kejam.
Menikah dengan Mas Nata dan memiliki mertua yang baik. Aku pikir hidupku akan bahagia. Tinggal satu lagi, maka semua akan sempurna. Aku kira begitu sebelum Mas Nata mengucapkannya.
”Kamu harus punya pekerjaan di rumah. Mengurus bayi kita.”
Apakah itu cara Mas Nata agar aku tidak bekerja di luar?
Sepanjang hari aku mengurung diri di kamar. Kalau aku keluar, Mama Marsya pasti ingin tahu kenapa mataku bengkak. Mood-ku tidak bagus untuk bertemu orang lain. Aku ingin sendirian. Namun, di sebelahku ada penjahatnya.
”Saya akui kesalahan saya. Maafin saya ya, Fela.”
Dia mengatakan maaf dari pagi sampai ... pukul dua. Ya, sekarang sudah siang banget. Kegiatanku dari tadi cuman baring, duduk, cek HP, tidur, dan ke kamar kecil.
”Kita bicara di luar, ya? Kamu belum makan apa-apa. Kita cari makanan yang enak. Kamu pilih mau makan siang sama apa. Fela?”
Aku sedang melihat makanan di instagram. Mas Nata ada benarnya. Sebaiknya kami membahas semua yang tidak aku suka. Ponsel aku letakkan. Aku hendak berdiri untuk menukar pakaian saat Mas Nata menarik tanganku.
”Saya yang salah. Kenapa kamu malah menyiksa perut kamu? Kamu belum makan sejak makan malam.”
”Aku mau ganti baju. Aku sudah tahu mau makan apa.”
Mas Nata tersenyum. Sebelum ia melepaskan tanganku, ia meremas jemariku pelan. Lalu mengusap ringan. Tiba-tiba saja aku merasa amat salah. Mas Nata seakan tahu bahwa dalam mimpi, tangan ini telah dikecup laki-laki lain. Kesepuluh jemariku menyentuh tubuh pria lain.
Aku segera menggeleng untuk menghalau pergi semua itu. Kamu cuman mimpi, Fela. Aku tidak mungkin melakukannya di dunia nyata. Aku tidak bersalah. Mas Nata yang salah.
***
Kami memilih kursi paling sudut. Antara meja dengan meja lain terhalang oleh punggung kursi yang tinggi. Suara kami kalau tidak teriak, takkan bisa didengar pelanggan sebelah.
”Baiklah.” Aku memukul sendok ke meja sekali ketukan. Mas Nata di seberang tempat duduk memperhatikan apa yang aku lakukan.
”Aku akan maafin Mas Nata.”
Mas Nata menarik napas seraya tersenyum. Aku menjauhkan tanganku saat ia ingin menyentuhku.
”Tapi kamu harus jelasin kenapa kamu terlambat lalu mabuk-mabukan.”
”Semua itu karena pekerjaan.”
”Kamu stres karena kerjaan, lalu mabuk dan memperkosa istri sendiri? Kamu sadar nggak sih, Mas?”
”Saya minta maaf.”
”Stop. Aku juga bisa stres mendengar kamu bilang saya minta maaf terus. Kamu ikutan yang lagi trend, ya? Habis bikin kesalahan, terus minta maaf, dan semua masalah selesai.”
Mudah sekali kalau gitu. Orang tidak berpikir dua kalian sebelum melakukan sesuatu. Setelah terjadi, baru menyesal.
”Aku enggak suka semua perkataan kamu semalam. Kamu bilang, aku harus menerima kamu dan nggak punya hak menolak. Hey, aku nggak ada utang sama kamu yang hanya bisa aku bayar pakai tubuh aku. Aku punya hak menolak. Aku juga tidak boleh menyuruh kamu pergi? Aku malah nggak pernah meminta kamu pergi, Mas. Aku ingin kamu selalu ada sama aku. Kenapa kedengarannya aku pernah mendorong kamu menjauh? Atau sebelum kamu pulang, kamu habis ditolak orang dan dia nyuruh kamu pergi? Begitu?”
”Tidak, Fela. Semua itu cuma karena pekerjaan. Maafin saya karena menyakiti kamu. Saya berjanji itu terakhir kalinya. Saya tidak akan mengulanginya. Saya minta maaf juga untuk seluruh perkataan saya.”
”Tapi Mas ....”
”Katakan saja, Honey.”
”Kamu punya perempuan simpanan di luar?”
”Astaga! Enggak ada, Honey. Aku nggak punya simpanan.”
Mas Nata mengacak-acak rambutnya, mengusapkan telapak tangan ke wajahnya, dan menarik napas panjang.
”Kalo gitu, aku mau tinggal sama kamu sampai liburan selesai.”
”Ayo! Saya suka ide itu.”
Mas Nata, kamu jujur atau pintar berbohong? Wajah Mas Nata terlihat benar-benar senang dengan permintaanku barusan. Kini ia pindah ke sebelahku. Memeluk pinggangku dari samping. ”Kita akan seperti ini terus kan?”
”Pak Nata itu ada muridnya di sebelah.”
Mas Nata langsung melepaskan aku dan agak terlonjak melihat ke bangku sebelah.
”Mukanya nggak usah panik gitu juga kali. Kan lagi memeluk istri, bukan peluk simpanan.”
”Honey,” geramnya setelah aku kerjain. Mas Nata kembali duduk di sebelahku.
”Iya, itu nama saya, Pak.”
Makanan yang kami pesan pun datang. Mas Nata segera merebut sendok dari tanganku. Ia ingin menyuapi aku makan.
”Mas enggak perlu begini juga. Aku bukan anak-anak lagi.”
”Hm. Biarkan saya melakukan ini agar beban saya agak berkurang.”
”Memangnya bisa berkurang? Fela udah maafin Mas Nata kok. Beneran.”
”Terima kasih. Tapi saya akan melakukan apa saja untuk kamu.” Sendok Mas Nata masuk ke mulutku. ”Kalau saya bisa bantu, saya akan mengunyah untuk kamu. Saya akan mengambil semua pekerjaan kamu.”
”Itu nggak mungkin. Kamu konyol banget, Mas,” jawabku setelah menelan. Suapan Mas Nata lalu datang lagi.
”Saya akan lakukan apa yang saya bisa.”
Mungkin Mas Nata memang tidak sempurna. Dia punya banyak kekurangan. Ketika tahu dia salah, dia melakukan semua hal supaya rasa itu hilang. Selanjutnya, aku menerima sendok kesekian sampai perutku kenyang.
”Kalau minum juga kamu bantu, hidung aku bisa-bisa ikutan minum.”
Mas Nata menunggu aku selesai dengan memegang tisu. Aku kini menyadari inilah sisi kekanakan anak Mama Marsya. Selama ini yang dia perlihatkan hanyalah versi dewasa. Aku tidak menyangka ia akan tampak menggemaskan dengan semua perlakuannya kepadaku.
“Eh, beneran ada murid,” ucapku yang kebetulan melihat dua muda-mudi masuk.
”Mana?” Mas Nata juga memperhatikan sekitar kafe.
”Oke. Kita gabung sama mereka.”
Lihat, Mas. Aku memang sudah memaafkan kamu, tapi aku belum percaya kalau Ambar hanya anak beasiswa Syarma School bagi kamu.
”Kan kita sudah selesai makan, Honey.”
Ambar melihat ke arahku. Dia menarik tangan Wahyu yang sedang memilih meja kosong agar berhenti jalan. Ambar tampaknya melihat ke sebelahku yang dari tempat dia pasti tidak kelihatan apa-apa. Gadis itu kelihatan ragu-ragu hendak menyapa. Mas Nata tadi langsung duduk lagi begitu melihat Ambar dan Wahyu. Namun, sepertinya Ambar tahu dengan siapa aku sekarang.
Aku tidak bisa menghentikan kecurigaan ini. Aku ingin memastikan hubungan mereka berdua. Takdir juga mengatur kami bertemu di sini. Takdir kalau menurut Mas Mata. Sebenarnya aku yang minta Wahyu datang bersama Ambar. Firasatku mengatakan ada yang mereka sembunyikan.
”Wahyu! Ambar! Ke sini gabung dengan kami!” teriakku seraya melambaikan tangan.
”Ibu Pustaka!” Wahyu langsung lupa dengan Ambar. Dia berjalan sangat cepat--hampir mirip lari--ke tempat dudukku. ”Oh, Ibu sama Pak Nata. Mari silakan duduk, Bu.” Wahyu melirik suamiku. Dia seperti murid yang ketahuan oleh gurunya sedang merokok di belakang kelas.
”Yu.” Ambar tiba. Dia duduk di sebelah Wahyu, tepat di depan Mas Nata.
”Maaf, Bu.” Ambar berkata pelan. Pandangannya ke lantai. Jarang sekali ia mau melihat aku saat bicara.
”Kalian mau pesan apa? Pesan saja. Nanti Pak Nata yang bayar. Boleh kan, Mas?”
Mas Nata berdeham.
”Ibu Fela nggak bilang ada Pak Nata,” kata Wahyu.
”Saya lupa.”
”Kamu yang mengajak mereka, Fela?”
”Iya, Mas. Fela mau ngucapin terima kasih karena Wahyu sudah nganterin aku waktu itu. Sekalian aku minta Ambar diajak juga. Mereka kan temenan. Mas Nata juga kenal sama Ambar.”
”Yaah kalo ada Bapak, nggak seru. Saya nggak bisa bebas sama Ibu.”
”Bebas ngapain hah?” Mas Nata yang bertanya, membuat aku terkikik.
”Ada deeh. Masa saya bilang sama Bapak?” Wahyu tertawa sampai bahunya berguncang.
”Eh, kamu cepat pesan.” Mas Nata berdiri menunjuk Wahyu. ”Habis itu ajak teman kamu pulang. Kita juga pulang, Honey. Ngapain sih kamu mengajak anak-anak?”
”Si Bapak cemburu sama saya.” Wahyu merangkul bahu Ambar sambil tertawa.
Ambar tidak terima dan memukul-mukul bahu Wahyu. Pada kesempatan itu, aku melihat kepalan tangan Mas Nata menegang. Aku pun berdiri sambil berdeham. Lengan aku lingkarkan pada pingang Mas Nata.
”Makanya jangan bicara sembarangan di depan suami saya.”
”Ibu. Kok sudah mau pulang? Kita bakalan lama nggak ketemu. Kalau saya kangen, gimana? Saya boleh datang ke tempat Ibu?”
”Belajar yang rajin. Jangan ganggu istri orang!” Mas Nata meletakkan beberapa lembar uang di meja. ”Makan sepuas kamu. Ingat, jangan bawa teman kamu pulang malam.”
Wahyu meraup uang kertas itu. ”Panen nih gua. Jangan cuman sekali ya, Pak, sering-sering aja seperti ini!”
Mas Nata jalan duluan. Aku mengambil tas untuk menyusul Mas Nata.
”Sampai ketemu, Wahyu, Ambar. Ingat apa kata Pak Nata tadi. Antarkan Ambar pulang sebelum malam.”
Ambar tetap setia menunduk.
”Ambar.”
Gadis itu mendongak saat aku panggil.
”Nah, kalau gini kan saya jadi nggak mikir buruk lagi. Kamu keseringan nunduk di depan saya. Saya merasa kamu ada bikin salah sama saya, makanya nggak berani menatap mata saya.”
”Saya nggak pernah bikin kesalahan sama Ibu,” kata Ambar tegas. Ia kini membalas tatapanku.
”Saya suka kalau memang seperti itu. Jangan sampai saya menemukan satu alasan untuk berbuat jahat sama kamu. Karena kamu mungkin tidak sanggup buat salah ke saya, tapi saya bukan orang baik. Saya sanggup mencabik-cabik musuh saya untuk tetap bertahan walau dicap sebagai perbuatan buruk.”
”Saya tidak mengerti maksudnya Ibu.”
”Oh.” Aku duduk lagi di depan Wahyu dan Ambar.
Wahyu sedang menghitung lembaran. Aku tahu dia hanya mencari kegiatan.
”Saya tidak tahu apa yang kamu lakukan sampai suami saya datang ke sekolah untuk kamu.”
”Saya tidak melakukan apa-apa.” Ambar memotong di saat aku belum selesai bicara.
”Iya, saya tahu. Kamu tidak melakuan apa-apa. Suami saya yang datang kepada kamu. Semoga saya segera mendapatkan alasan lain kenapa suami saya sangat khawatir melihat luka di kening kamu.”
”Aduh, cacing saya udah teriak. Saya boleh pesan dulu nggak nih? Tapi kalian jangan berantem waktu saya nggak ada, ya?”
”Saya sudah selesai.” Aku meninggalkan mereka. Masih bisa aku dengar Wahyu bertanya pada Ambar kenapa aku mengancamnya.
Kalau kamu bukan antagonis, biar saya yang menjadi peran jahat dalam hidup kamu. Saya akan berhenti curiga setelah yakin kalau kalian tidak punya hubungan apa-apa.
Hari ini, aku tidak mendapatkan jawaban apa-apa. Mas Nata terlalu ahli memainkan ekspresi. Saat aku lihat dia sedikit kaget, beberapa detik kemudian dia sudah biasa lagi.
”Honey. Kenapa lama sekali?”
Mas Nata terlalu ahli atau memang ia tidak berbohong sama sekali?
***
TBC
8 Juni 2020
Dukung siapa kalian?
Anand?
Nata?
Fela?
Ambar?
Wahyu?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top