[13] Tidak Ada Batasan Berapa Kali Menangis dalam Sehari
[13] Tidak Ada Batasan Berapa Kali Menangis dalam Sehari
Nggak minta komentar banyak ... Kasev cuman mau ngucapin, terima kasih sudah menunggu cerita ini.
***
Kebohongan sekali bisa membuatmu jadi ahli. Karena jika kamu berbohong, selanjutnya kamu akan mengulang lagi untuk menutupinya.
***
"Bu. Rotinya sudah jadi. Nah, ini nama saya sudah saya pasang lagi."
Semoga aku salah lihat. Kamu enggak mungkin datang ke sekolah untuk seorang murid 'kan, Mas?
Tidak. Aku harus memastikan. Menelepon Mama Marsya adalah hal yang harus kulakukan.
"Kamu pulang sama Nata, ya? Kok enggak bilang ke Papa? Papa nanyain kamu ke Mama karena handphone kamu nggak dijawab. Kalian hati-hati, ya. Papa udah Mama minta pulang aja waktu lihat Nata jemput kamu."
Kamu bohongin Mama, Mas? Sama Mama aja kamu berani bohong, mungkin sama aku sudah sering?
"Bu Fela, kok melamun sih?"
"Eh?" Aku baru ingat dengan gurunya Ambar yang mengajak beli roti.
"Ah, nggak apa-apa, Bu. Jadi, berapa semuanya?"
"Tiga puluh dua." Dia menampungkan tangan. "Saya yang bayarin ke kasir," katanya.
Dia segera menuju ke dalam setelah kuberi uang. Kami beriringan ke sekolahan. Sepanjang jalan, Ibu Winda—aku akhirnya tahu dari name tag yang sudah dia pasang—banyak bercerita tentang pengalaman dia selama mengajar di SMA Syarma. Sayangnya, dia terdengar seperti gesekan daun dengan ranting saat digoyangkan angin. Tidak satu pun ceritanya masuk ke telinga, cuma mampir di cuping lalu pergi begitu saja.
Hanya satu nama dalam kepala ini. Mas Nata. Aku hafal mobil Mas Nata. Aku kenal postur Mas Nata. Aku tahu cara dia menggerakkan tangan. "Apa hubungan Mas Nata dengan Ambar?"
Kenal dari seragamnya.
Lalu semakin dekat bahkan sampai pergi ke sekolah untuk mengecek luka di dahinya. Padahal ... Ya Tuhan. Mas Nata. Kamu sebenarnya sedang memainkan apa? Tadi pagi kamu masih enggak ingin melepaskan aku pergi. Siangnya ini yang kamu lakukan.
"Ibu Pustaka! Hello! Di sini bukan cuma saya 'kan yang manusia?"
Oh!
Aku mengamati sekitar. Rupanya aku telah berada di depan perpustakaan. Kapan kaki ini melangkah naik ke lantai tiga? Bu Winda mana?
"Tuh kan, nggak ada manusia lain di sini kecuali Ibu sama saya. Tapi dari tadi saya panggilin Ibu diam aja. Saya muridnya Pak Deni, Bu, bukan penghuni kamar mandi di sudut sana."
Lalu aku melihatnya. Anak SMA dengan seragam melayu biru. Ia pakai ransel hitam yang digendong di depan seperti orang hamil. Dia menunjuk-nunjuk ke arah sudut gedung sebelah kiri.
"Barang-barang Ibu sudah saya amankan. Nih." Ia mengulurkan tas tanganku. "Ibu Wisafela Permata Honey. Nama Ibu bagus banget secantik yang punya nama."
Cekrek.
Wahyu memperlihatkan fotoku yang baru dia ambil. "Tuh kan, bengong aja masih cantik. Kaya apa sih mukanya Ibu kalau lagi nangis? Apa bisa berubah mirip Kekeyi lagi ketawa?"
"Kamu ngapain masih belum pulang?"
"Nungguin Ibu."
"Kenapa nungguin saya?"
"Saya mau bawa Ibu pulang. Tadi saya lihat mobilnya Pak Deni sudah keluar gerbang."
"Saya bisa naik taksi."
"No no. Selama ada saya, Ibu nggak boleh naik taksi apalagi oplet, ojol, jalan kaki juga jangan!"
Papa sudah pulang duluan. Aku juga belum pernah naik kendaraan umum di daerah sini. Tawaran Wahyu sepertinya boleh juga.
"Kamu sudah makan?" Aku akhirnya mengunci perpustakaan. Semua barang memang sudah dikumpulkan Wahyu.
"Belum. Belum masuk jam makan siang kali, Bu. Ibu mah basa-basinya ketahuan banget. Langsung bilang aja, 'Yu kita nanti mampir di anu ya. Saya bayarin kamu makan.' pake nanya dulu."
"Otak saya bisa keriting lama-lama deket kamu. Ngomong terus."
"Biar Ibu inget sama saya. Cowok tampan yang tukang ngomong itu cuman Wahyu. Jangan sampai lupa, Ibu Pustaka yang cantik."
"Tuh 'kan. Kamu pulang ke arah mana?"
"Deket sini."
Lama-lama bocah ini mulutnya aku lakban. Ditanya serius, jawabannya nggak jelas.
"Kalau kamu nganterin saya, tapi kita nggak searah, nanti kamu sampai rumahnya jam berapa? Terus saya nanyain kamu udah makan apa belum, ini saya beli rotinya kebanyakan. Buat kamu aja satunya."
"Jiaaah. Dibeliin roti sama Ibu Pustaka. Kita makan di sini aja deh, Bu, kebetulan saya laper."
Remaja laki-laki berkulit putih itu langsung menggelongsor ke lantai. Posisi kami ada di depan perpustakaan. Dia langsung meletakkan ransel dan duduk manis bersandar ke pagar. Mau tidak mau, aku juga duduk.
"Bentar-bentar, saya mau foto dan pasang sw dulu."
Wahyu mengarahkan kamera kepadaku dan kepada makanan yang teronggok di lantai.
"Kamu ambil foto saya lagi?" lirikku ke layar HP-nya.
"Ding dong, cantik 'kan? Bikin caption apa, ya?"
"Jangan dipake macam-macam fotonya!"
Aku membuka kotak roti setelah mengeluarkan dari kantong.
"Mengagumi bukan termasuk yang macam-macam 'kan?" Wahyu menjawab sambil memainkan gawai. Barangkali sudah menemukan kata-kata yang sesuai.
"Makan! Makan aja rotinya. Habisin," ucapku kesal melihat senyuman lebar tanpa kelihatan gigi.
Suara ponselnya membuat Wahyu berhenti makan. Aku juga sedang menguyah roti rasa pisang cokelat. Tadinya ingin kubawa pulang untuk Mama dan Mas Nata. Sekarang aku tidak minat duduk bersama dan bercanda sambil bercerita seperti biasa.
"Sekolahan aku lah, Bang. Di mana lagi?" Wahyu sedang berbicara dengan abangnya.
"Yang bener aja pacaran? Orangnya kalo aku ajak pacaran, mungkin malah ngedorong aku dari lantai tiga."
Kenapa Wahyu melirik aku? Maksudnya aku pacaran sama Wahyu?
"Ngapain sih tuh orang nelepon marah-marah. Pake nuduh gua hobi pacaran. Punya pacar aja kagak. Yaelah nasib gua gini amat, yak."
Si Wahyu menggeruru sendiri sambil mengantongi HP-nya.
"Disuruh pulang, ya?" tanyaku saat ia duduk lagi.
"Enggak tahu tuh si resek. Mungkin karena foto story aku barusan dikiranya Ibu pacar saya. Ibu mau nggak pacaran sama saya?"
"Kamu mau dapat ini?" Aku menunjuk sepatu bikin Wahyu bingung. Iya, heels-nya sudah aku taruh di dekat tas. Lalu aku angkat dan tunjukkan ke Wahyu.
"Uh, ampoon, Mak," katanya sambil menyengir dan melanjutkan lagi makannya.
Satu kotak roti rupanya belum cukup bagi Wahyu. Dia minta izin untuk membuka satu lagi. Aku mengangguk saja membolehkannya. Anak ini makannya banyak banget. Pantas badannya sebesar itu. Dia hampir setinggi Mas Nata yang sudah habis masa pertumbuhannya.
Mas Nata.
Kamu sekarang di mana, Mas?
Aku melirik handphone. Tidak ada pesan ataupun panggilan masuk sama sekali. Kalau Mas Nata sudah di rumah, Mama pasti akan menelepon lagi bertanya kenapa aku nggak bareng Mas Nata. Ini berarti Mas Nata masih di luar. Sedangkan Mas Nata, tentu saja mengira aku sudah pulang dengan Papa.
Mataku terasa ditusuk-tusuk. Aku mulai berprangksa buruk kepada Mas Nata. Jangan-jangan Mas Nata dengan Ambar sudah kenal sebelum kami bertemu di perpustakaan.
Kamu orang baik, Mas. Aku tidak sanggup membayangkan kamu tega bohong sama aku. Kamu harus menjelaskan semua yang aku lihat tadi. Muka panik kamu saat ketemu Ambar. Itu bukan tatapan orang yang enggak kenal. Kamu juga membukakan pintu mobil untuk Ambar.
Siapa Ambar?
"Wah, tetap cantik."
Tiba-tiba seseorang memukul-mukul pelan bahuku. Wahyu. Dia tersenyum lembut, beda dengan bocah tengil yang biasa aku jumpai. Seperti bukan Wahyu yang tadi bertanya apa aku mau jadi pacar dia.
"Rotinya nggak jadi saya habisin deh. Ibu sampe nangis gitu karena saya. Kan saya udah minta izin dulu tadi. Yah kalo nggak ikhlas mah, tadi nggak udah ngangguk, Bu." Wahyu menutup kotak roti dan memasukkan ke dalam kantongnya semula.
"Ayo, saya anterin Ibu pulang." Wahyu berdiri, mengulurkan tangannya padaku. "Buruan ah, Bu, nanti saya dicariin Bunda saya."
Tanpa aku beritahu, Wahyu menjalankan sepeda motor matic-nya ke arah rumah Mama.
"Ibu kalo mau nangis, nangis aja. Saya nggak lihat!" teriak Wahyu. Motor ini jalannya ngebut banget. Jadi suara Wahyu kalau bicara pelan takkan kedengaran.
"Kamu teman dekatnya Ambar?" kataku di dekat telinganya di balik helm.
Wahyu memelankan kendaraan. Dia mengangguk.
"Emang kenapa, Bu?" tanyanya.
Enggak bisa. Aku harus tahu dari Mas Nata langsung.
"Ambar walau ngeselin, tapi orangnya baik kok, Bu," katanya lalu mengegas kencang sepeda motor ini lagi.
Wahyu langsung putar balik. Sepertinya arah rumah dia memang berbeda.
"CARI FELA SEKARANG JUGA! CEPAT CARI!"
Mama Marsya marah-marah sama siapa—oh Mas Nata sudah ada di rumah. Aku bergegas masuk supaya Mama berhenti memarahi anaknya. Baru kali ini aku melihat Mama Marsya murka. Dia sangat berbeda dengan mertuaku yang kalau bicara selalu lembut dan ceria.
"Mah, Fela sudah pulang."
Mama sangat kaget dan langsung menghampiriku. Matanya memerah oleh air mata dan juga mungkin karena amarah.
"Maafin Mama, Fela. Mama tadi yang nyuruh Papa langsung pulang. Terus kamu pulangnya pakai apa? Kenapa telat? Ada yang gangguin kamu tadi di jalan?"
Aku hanya menggeleng dan meminta izin untuk langsung ke kamar.
"Pulang naik apa, Fela?" Mas Nata bertanya setelah kami sama-sama tiba di kamar.
Bajunya sama dengan pria yang memasukkan Ambar ke dalam mobil.
"Kok kamu yang nganterin Ambar pulang?"
Alis Mas Nata kontan terangkat dan gesturnya agak tersentak. Dia terbatuk-batuk kecil sambil memandang ke arah samping. Alih-alih kepadaku yang berdiri menantangnya.
"Jawab aku."
"Tadi kamu di mana?" Mas Nata mendekat, sudah berani menatap mataku.
"Enggak penting aku berdiri di mana. Jawab saja, kenapa kamu yang bawa Ambar pulang?"
Mas Nata menyentuh punggung tanganku. Dia menarikku untuk duduk. Dia juga yang meletakkan tas punyaku.
"Begini, Fela, dengar ya," katanya dengan nada lembut seoalah aku akan melunak oleh bujukannya.
"Saya tadi ke sekolah mau jemput kamu. Tapi mobil Papa sudah nggak ada. Jadi saya asumsikan, kamu udah pulang bareng Papa. Saya sengaja enggak kasih tahu kamu waktu mau jemput, eh, saya datangnya telat."
Oh, kenapa aku tidak kepikiran seperti ini, ya? Berarti Mas Nata memang menjemputku dan melihat Papa Deni sudah pulang, pasti dia kira ikut dengan Papa. Papa Deni juga begitu. Karena Mama sudah lihat Mas Nata berangkat, lalu dapat telepon Papa kalau aku nggak ada di sekolah. Mama Marsya pasti bilang ke Papa Deni kalau aku bersama Mas Nata.
"Trus kenapa kamu kayaknya perhatian banget sama Ambar? Aku melihat dengan jelas kamu khawatirin dia, Mas."
Mas Nata tersenyum sembari menarik napas pelan. Kelihatan seperti orang yang sedang berusaha sabar. Apa iya aku yang terlalu cepat curiga?
"Ambar itu ternyata siswa beasiswa yayasan kita. Dia sudah nggak punya siapa-siapa. Saya juga tahunya dari Papa. Saya seorang guru, Fela. Bagi saya, murid seperti Ambar itu butuh ditolong. Saya tadi udah arah pulang dan lihat dia jalannya menunduk seperti orang yang punya banyak masalah. Rupanya dia luka di dekat kening. Iya, Mas memang mengantar Ambar pulang."
Benarkah yang kamu ucapkan, Mas?
"Masih nggak percaya sama saya?" Mas Nata memegang daguku agar mau menatapnya. "Kamu nggak percaya sama saya?"
Mas Nata bukan orang jahat. Mas Nata tidak mungkin membohongiku. Sekarang aku lega. Aku percaya sama kamu, Mas.
Mas Nata juga ikut tersenyum.
"Aku paling tidak bisa memaafkan orang yang berbohong, Mas. Kalau Mas sampai bohongin aku, aku nggak akan pernah percaya sama kamu lagi. Dan Fela nggak akan pernah dengerin apa pun penjelasan setelahnya."
Mas Nata tetap mempertahankan senyum di bibirnya. "Tentu saja. Nggak ada orang yang suka dibohongi di dunia ini. Kebanyakan orang hanya memiliki rahasia yang nggak bisa membuat mereka untuk jujur. Itu berbeda dengan bohong."
"Mas punya rahasia dari aku?"
"Mas bilang kebanyakan orang, Honey." Dia menggeleng geli seakan sedang mentertawai aku.
"Mas juga orang kebanyakan."
"Honey. Kita baru melakukannya tadi malam, tapi kamu sudah seperti kena serangan hormon kehamilan aja."
"Mas Nata. Aku serius. Kamu nggak punya rahasia 'kan?" Karena aku sudah membuka seluruh diriku di depanmu. Aku sudah tidak punya rahasia, kecuali ....
"Seperti ini?" Mas Nata mengambil sebuah buku.
"MAS!" Panas menjalar di seluruh wajahku hingga leher. Dalam dada muncul desiran halus. Aku langsung terbayang adegan demi adegan yang kami lakukan semalam.
"Saya berencana tidak memberitahu kamu. Sebetulnya ini cukup memalukan karena saya harus mempelajarinya dari buku."
Wajah Mas Nata saat sedang malu benar-benar menggemaskan. Dari mana Mas Nata mendapatkan buku dengan cover mencolok itu? Kata sex ditulis dengan font kapital merah dan sebuah bibir dengan lidah berapi. Aku bahkan sampai merinding jika sampai Mas Nata berhasil menyerap ilmu dari sana.
"Lebih baik dirahasiakan saja."
Mas Nata memang pembelajar yang luar biasa. Siang tadi kami tidak keluar dari kamar dan baru muncul di meja makan sekarang saat Mama sedang menyiapkan makan malam. Urusan memasak, Mama Marsya melakukan sendiri. Untuk membersihkan rumah, ada mbak yang datang setiap pukul delapan dan pulang pukul lima.
Melihat kedatangan kami, Mama Marsya langsung menyambut antusias. Sisa-sisa kesal di wajahnya sudah tidak tampak lagi. Salah aku juga tidak penutupi gigitan Mas Nata yang semalam ditambah yang tadi juga. Karena itu, Mama tidak henti membahas soal cucu. Ah iya, bagaimana seandainya kalau nanti aku hamil?
Baru selesai makan malam, aku langsung minta izin ke kamar. Sepertinya aku kuarng nyaman jika Mama Marsya membahas tentang aku dan Mas Nata. Mama bahkan bertanya bagaimana cara Mas Nata kepadaku. Tergesa-gesa atau lembut. Apa aku harus menjawab yang seperti itu?
Saat tiba di kamar, aku mendapati ponselku sedang menyala.
Nomor Anand. Aku tidak menyimpan, tetapi aku ingat ini nomor dia. Baru pertama kali ini dia menelepon. Biasanya hanya sebatas kirim chat beruntun.
"Beb," katanya pelan.
Mataku mengerjab-ngerjab mendengar suaranya. Rindu? Apa aku masih boleh merindukan Anand?
"Beb. Kamu baik-baik aja di sana?" Dia berbeda. Mana Anand yang mirip dengan Wahyu?
"Kamu bisa dengar suara aku, Fel?"
Kenapa aku menangis? Ini air mata pertanda apa?
"Ngomong, Fel. Aku mau dengar suara kamu."
Suara pintu terbuka. Mas Nata terlihat baru saja masuk.
"Jangan telepon aku lagi." Aku bicara sepelan mungkin dan ingin menutup telepon.
Anand lebih dulu menahan minta supaya aku jangan memutus sambungan dulu.
"Aku minta maaf kalau selama kita kenal, aku banyak bikin kamu marah."
Aku mendengar suaraku sendiri yang sudah tidak mampu membendung tangisan. Anand di sana memannggil-manggil namaku.
"Maafin aku suka bikin nangis. I miss you, Beb, sangat. Aku rindu banget sama kamu, tapi aku tahu aku nggak punya hak ketemu kamu lagi."
Ponsel itu kucampakkan ke tempat tidur. Aku tidak sanggup mendengar kelanjutan kalimat Anand. Jika pesan bisa aku abaikan, suaranya tidak. Aku bisa melihat sosok Anad dalam kepalaku. Ia tersenyum penuh luka karena aku pergi tanpa berpamitan langsung dengannya. Aku mendengar suara Anand meminta aku memikirkan ulang pernikahan dengan Mas Nata. Aku juga bisa mendengarkan lagi saat Anand menawarkan sebuah pernikahan untuk kami berdua.
Aku jauh lebih merindukan dia. Dunia kami terasa sangat jauh. Kami tidak bisa bertemu kecuali aku yang mencari Anand. Karena sampai kapan pun aku takkan pernah memberitahu alamatku dan meminta waktunya untuk bertemu.
Hati ini rasanya sakit sekali. Nyeri sekali. Dia belum benar-benar hilang dari dada ini. beberapa saat lamanya aku menangis baru menyadari Mas Nata telah memperhatikanku tanpa bertanya. Mas Nata sudah mengetahui semua tentang aku, kecuali Anand yang memiliki tempat khusus di sudut terdalam hatiku.
***
Bersambung ...
2 Juni 2020
Pernikahan Singgah.
Ada nggak sih kalian temukan judul yang sama?
Kasev ngerasa ini judul cuman aku sendiri yang punya.
Haha terlalu pede ya.
Semoga kisahnya beda dengan Mas Nata Fela.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top