[11] Tenggelam dalam Danau Cinta Penuh Gelora

Mengandung unsur 18+.

Bagi yang belum 18 dan bagi yang takut dosa, lewatin aje bab ini!!  😋😋



Happy reading
.
.
.
.
.
.
.
.



Hasrat ini bagai sebuah mata panah, meluncur tembus dadaku hingga kehilangan napas lalu bangun sebagai ruh yang kekal di sisimu, membayangi tiap hela napas hidupmu.

***

Pengakuan itu membuat sedikit lega. Mama tidak bertanya apa, kenapa, dan bagaimana tentang masa laluku. Pastinya aku tidak akan mengatakan bahwa peristiwa dengan Anand adalah masa lalu kelam.

Aku memilih dia. Aku yang dalam kesadaran tidak penuh menyerahkan diri untuk takhluk di bawah rengkuhannya. Masalahnya adalah penilaian orang. Mama bisa saja terima status menantunya. Suami? Latar belakang keluarga ini sebagai pendidik membuat aku semakin takut menerima reaksi Mas Nata.

Aku terkesan kolot? Ayolah, gantikan aku sekarang! Lingkungan tempat tinggalku selalu menekankan tentang menjaga kesucian. Benar aku membelot dari aturan kaum karena terkadang aku bingung dengan sebutan suci.

Dari segi apa seorang perempuan disebut suci? Kurasa waktulah yang membedakannya. Wanita suci artinya ditiduri setelah ikatan pernikahan. Wanita tidak suci disetubuhi sebelum menikah. Ada definisi yang lain?

Lalu aku harus apa? Operasi dan membohongi suami? Memutar kembali waktu agar aku tidak menerima ciuman pertama Anand?

Bagaimana jika Mas Nata tergolong orang dengan pendefinisian kesucian beralasankan waktu? Haruskah aku mendapat ganjaran darinya?

"Kamu tidak perlu memikirkan Nata. Dia pasti berpikiran terbuka. Dia takkan meninggalkan kamu karena hal sesepele itu."

Mama benar itu hal sepele. Mas Nata juga apa bisa menganggap itu perihal kecil? Kenapa sih sesusah ini menjadi wanita?

"Jangan, Fel. Kamu tahu apa yang akan kamu dapatkan nanti."

Anand sudah memperingatkan hal itu. Laki-laki seperti Anand juga ingin mendapatkan wanita yang suci apalagi Mas Nata. Lalu kenapa wanita diciptakan memiliki lapisan tipis itu?

"Dengan memakai ini kamu cukup berbaring saja. Tak perlu gerakan menggoda dan semacamnya. Suami kamu pasti tidak bisa menahan dirinya. Dia tidak akan peduli pada semua hal yang kamu takutkan sekarang ini."

Cukup lama kupandangi pakaian tipis bewarna hitam serta renda. Mama membawaku ke departemen store guna memilih benda unik ini untuk malam pertama anak dan menantunya.

"Mama jamin, denganmu adalah pengalaman pertamanya. Dia takkan melepaskanmu setelah nanti malam."

"Aku belum pernah mencium gadis."

Seperti halnya Anand, aku pun menjadi yang pertama juga bagi Mas Nata.

"Jangan takut, Fela. Setiap laki-laki punya insting alami. Dia takkan gagal walau belum pernah mencoba. Mereka tidak pernah mengalami trial and error."

Mama yang sudah berpengalaman tentunya lebih tahu. Pun yang sedang dibicarakan adalah putranya sendiri.

Fela sadar! Kamu bisa. Kamu telah melangkah sejauh ini. Menikah artinya memberikan hidup, jiwa, raga, juga hati untuk suamimu. Juga seluruh waktu serta rasa malu. Kamu bukan perempuan kolot, Fela. Kamu bisa membuat Nata mengerti bahwa tidak ada bedanya antara perawan dan tidak.

Klik

Aku segera duduk bersandar di ranjang. Dada yang tadinya tenang sekarang bergejolak perlahan. Seperti apa kira-kira reaksinya ketika melihat istri hanya berpakaian dalam setipis plastik buku?

Mas Nata belum tahu beda Fela malam kemarin dengan malam ini. Aku menutupi pakaian tidur seksi dengan selimut.

"Kenapa lampunya dimatikan?"

Juga memadamkan penerangan. Mas Nata mendekat. Ia hanya tampak sebagai sosok tinggi tanpa wajah. Cahaya tidak menerangi paras tampan pria yang sebentar lagi kubuat kaget.

Sekarang jantungku semakin berdebar sebab Mas Nata terpancang di tempat.

"Parfum beraroma vanili dan lavender ini sangat ampuh untuk menaikkan gairah seksual pria. Percaya deh sama Mama. Begitu Nata menciumnya, dia tidak akan melepaskan kamu sampai pagi."

Mungkin Mas Nata sudah mulai mencium sesuatu yang tidak beres. Siluetnya terlihat ragu-ragu. Sekali ia menghadap dinding di dekat pintu. Sebentar kemudian ia melihat lampu tidur yang menyala dengan muram.

"Gelap, ya." Suaranya sedikit serak. Terbukti ketika ia berdeham.

Mas Nata masih berdiri di tempat. Sepertinya Mama tidak salah. Ini pengalaman pertama Mas Nata sekamar dengan wanita separuh telanjang.

Aku berusaha menormalkan kerja jantung dengan mengambil napas dan menahan sebentar, lalu membuangnya pelan-pelan. Kini akulah yang merasa terangsang. Kelebatan bayangan saat dikungkung oleh lengan berotot miliknya memberanikanku menyibak selimut ke samping.

"Mas," panggilku pelan. Akan kusimpan di mana harga diri jika Mas Nata berkata ingin tidur berpegangan tangan saja? "Aku sudah siap."

Degupan jantung semakin keras menggedor-gedor dinding. Mas Nata akan melakukannya denganku atau membuat alasan ini belum waktunya?

"Lampu besar tidak rusak 'kan? Kenapa dimatikan?" Mas Nata balik arah ke dekat kiri pintu. Ia menekan sakelar hingga kamar ini terang.

Aku segera menarik selimut dan menutupi seluruh badan. Suasana seterang ini memangkas seluruh keberanian. Aku tidak sanggup menghadap Mas Nata. Apa yang ada di kepala Mas Nata setelah melihat keadaanku? Walau remang-remang, dia jelas menyadari bentuk pakaian ini. Mama juga menjelaskan kalau baju tidur seperti bikini ini akan bercahaya di kegelapan.

Mas Nata naik ke tempat tidur yang biasa ia tempati. Ia menarik sisi selimut bagian kiri, menutupi kakinya, kemudian bergeser lebih dekat ke sisiku. Rupanya Mas Nata memilih bersandar sepertiku. Tak lama berselang, Mas Nata menunduk, udara hangat dari hidungnya menerpa kulitku. Ia ciumi lembut pundakku yang lolos dari tutupan kain.

Ya Tuhan, ingatkan aku cara bernapas.

Ciumannya merambat ke atas bagian leher. Mengirim geletar aneh yang membuat organ dalam di dada kiriku berdetak lebih cepat.

Punggung tanganku masih menahan selimut menutupi pundak. Telapak Mas Nata meraih lenganku. Ia menurunkan tanganku beserta kain yang kugenggam. Ketukan jantung bak benderang. Perutku tergelitik lembut. Sesuatu mungkin beterbangan di dalam sana. Mas Nata membubuhkan kecupan di bahuku dengan tatapan hangat yang bersinar terang.

Apakah ini benar? Apakah tidak masalah?

Mas Nata mendekat. Semakin mendekat dan memiringkan wajah di depanku. Tidak, Mas. Tanpa persiapan, kuterima bibirnya yang menempel di permukaan bibirku. Hangat, lembut, licin. Ada sisa-sisa aroma kopi dapat kucecap.

Aku menutup mata dan merapal mantra agar tetap hidup, meskipun lonjakan jantung sedang abnormal. Perlahan kurasakan Mas Nata menyelinap ke balik lidahku, memorakporandakan aku dengan sengatan kecil lembut yang dalam dan menuntut.

Pendingin ruangan terasa tak berfungsi. Seluruh tubuhku panas bagaikan api. Napasku memburu hingga linglung. Rasa cemas yang tadi mendera ke mana ia pergi?

Mas Nata mengerang di mulutku. Tangannya mengelus dadaku dari balik pakaian. Gelora dalam diri ini makin meninggi. Mas Nata membuat gerakan melingkar di sekitar dadaku hingga aku melengkungkan punggung.

Bagaimana aku akan menghentikannya? Perempuan sepertiku tak pantas untuknya. Hatiku terus berteriak, namun tubuhku tak kuasa menolak sentuhannya. Di bawah sana sudah basah dan mendamba.

Seharusnya aku bicara terlebih dahulu. Kerja otak semakin tak berarah untuk menyusun kata-kata. Dalam kecamuk pikiran yang keruh, tenggorokanku menciptakan desah pertama. Mulut Mas Nata mengulum puncak dadaku dari balik penutupnya.

Ah, tidak, jangan runtuhkan pertahanan terakhirku, Mas.

"Fela," panggil Mas Nata. Ia memundurkan tubuh, berdiri dengan kedua lutut.

Aku suka caranya memanggil namaku. Aku suka tatapannya yang selalu menghangatkan dadaku. Aku suka ... tapi apakah penilaian Mas Nata terhadapku tetap sama ketika ia tahu segalanya?

Mas Nata melakukannya dengan cepat. Ia telah melucuti kemejanya ke lantai. Dada yang bidang, perut beruang enam, pinggang kecil, dan ....

Ya Tuhan, aku bisa gila jika menghentikan semua ini setelah melihat keindahan ciptaan-Mu.

Mas Nata atraktif menurunkan baju tidur hitamku tidak tergesa, dan penuh penghayatan. Netra selegam arang itu menatapku lapar. Sementara tangannya bekerja membebaskan tubuhku dari baju tidur kurang bahan.

"Saya membutuhkan cahaya yang terang," bisiknya di depan bibirku, "untuk melihatmu."

Ada sedikit rasa malu berselimut keraguan yang membuat tanganku reflek menutupi beberapa bagian. Mas Nata tersenyum kecil, lalu memberikan sentuhan dan cumbuan ringan yang semakin intens. Sentuhan yang membiasakan diriku untuk mempercayakan seluruh jiwa raga ini kepadanya. Ia mengulurkan tangan untuk kusambut. Aku tersenyum dan mengabulkan pintanya.

Entah bagaimana ia mengatur, Mas Nata tiba-tiba saja sudah berdiri di antara kakiku. Semakin maju, semakin dekat dengan liang antara pinggangku. Ia mencari posisi.

Haruskah aku menghentikannya?

Mas Nata telah melepaskan kacamata. Kedua maniknya menatapku langsung tanpa penghalang. Jakunnya bergerak ke atas dan bawah seirama gerakan pada dadanya yang liat. Perutnya datar dan keras. Pandanganku akan keindahan tubuhnya buyar ketika Mas Nata sekali lagi menunduk menciumi bibirku penuh hasrat.

Sambil menjelajah bibir atas, ia mulai mencari tempat di antara kedua pahaku. Elusan yang menenangkan ia berikan di kepala saat tubuhku akan beringsut. Kubulatkan tekad dan kumantapkan kembali hatiku agar siap. Mata terbelalak. Rahangku hampir jatuh akibat terkejut pada entakan pertama. Dalam kabut berahi yang pekat suara-suara muncul.

"Kamu membohongi saya, Fela."

"Mana penghalang itu?"

"Kamu sudah memberikan tubuhmu kepada pria lain."

"Apa kamu tidak malu telah menggoda saya?"

"Kamu sudah tidak perawan."

Kesadaranku kembali oleh suara daging menampar daging. Kurasakan gerakannya semakin cepat. Ia tak memiliki keraguan? Apakah Mas Nata tidak menyadari? Ataukah dia memang sanggup menerimaku seperti ini?

Harapan kecil menghapus segala kecemasan dalam dada. Suara-suara penghakiman Mas Nata seolah beterbangan bagai dandelion tertiup angin. Kekhawatiran yang menginvasi kepala lenyap tiada sisa.

Mas Nata tidak terganggu. Ia terlihat mendamba serta menikmati penyatuan kami. Wajah tampannya bersimbah keringat. Suara gesekan serta erangan mengudara.

Tidak ada perasaan tersiksa ketika Mas Nata menghujamkan bukti gairahnya. Aku tidak merasakan sakit seperti pertama kali. Namun, dadaku mulai terasa perih membayangkan kalimat-kalimat yang akan Mas Nata sampaikan. Diri ini kacau oleh ketakutan dan kenikmatan. Sampai-samlai aku kehilangan akal dan hanya mampu mendesah saat Mas Nata menarik dan menenggelamkan kembali.

Setetes peluh dari keningnya jatuh ke leherku terasa dingin. Biasanya aku benci berkeringat apalagi bersentuhan dengan orang yang berpeluh. Keringat terasa tak nyaman dan gerah. Namun, kali ini aku begitu terbuai ketika keringat kami bersatu.

Aku tak menemukan rasa tidak puas dari wajahnya. Ia terlihat sedang merasakanku ... membawaku ... melambungkanku ... dan meledakkanku.

Sepenggal episode erotisme berakhir. Ia berbaring di sebelahku. Suara napas kami berlomba-lomba adu kekuatan. Irama jantung yang mengentak mulai memelan. Aroma manis pekat menguar di udara malam di ruangan berpendingin, tetapi penghuninya keringatan. Kebahagiaan meruangi hati hingga kurasakan bibir ini tersenyum saat mata terpejam.

Mas Nata duduk. Kontan aku membuka mata kembali. Ia seperti mencari sesuatu di sekitarku. Darah! Ia mencari bercak merah. Aku menutup tubuh dengan kain lalu meletakkan lengan di atas kelopak mata. Kali ini bahuku kembali naik turun. Bukan karena terengah-engah, melainkan oleh tangisan.

"Maafkan aku."

Aku menarik selimut lalu berjalan pelan ke toilet yang berada di kamar. Masih berselubung kain aku terduduk di penutup closet. Mas Nata akhirnya tahu. Ia tadi terdiam lama setelah melihat tiada tanda bahwa ia telah meniduri perawan. Pradugaku betul. Suami sebaik Mas Nata akan sangat kecewa mendapati dirinya bukan yang pertama bagi sang istri.

Usai membersihkan diri, aku menguak pintu perlahan. Mas Nata telah berpakaian. Kupastikan selimut tetap melindungi bagian tubuh sebelum menuju ke lemari penyimpan pakaian. Baju ganti telah berada di tangan. Saatnya kembali ke kamar mandi untuk memasangnya. Perlahan aku menoleh ke belakang. Mas Nata cuma diam menatap ke arah sini.

Aku bisa mengatakan bahwa seks kedua tadi terasa luar biasa. Sentuhan intim Mas Nata di bagian sensitifku mengalahkan kecemasan. Rayuan, belaian, kecupan, juga desahannya membuatku lupa pada segala hal. Aku hanya menikmati apa yang dia lakukan.

Mas Nata terlalu baik mendapatkan aku sebagai istri. Saat ia persembahkan raga pertama kali kepada wanita, dia malah mendapatkan sisa. Pria lain pernah menyentuh istrinya di tempat yang sama.

"Fela keluarlah! Jangan lama-lama di dalam sana." Mas Nata mengetuk pintu.

Aku buru-buru memasang baju terusan sebatas lutut di luar pakaian dalam. Rambut yang basah dibiarkan tergerai.

Klik

Mas Nata sudah menanti di luar. Ia berdiri dengan dua tangan terlipat di dada. Putra Mama Marsya itu menarik tanganku, memutarku hingga berbalik badan. Ia memeluk dari belakang. Tangannya mengusap-usap perutku.

Ia menyibak rambutku ke pundak kiri. Bibirnya mengecup tulang di leher belakang, bergerak ke kanan menekan ujung hidungnya di pundak.

Gairah yang sudah beristirahat serasa diundang untuk datang. Apalagi ketika Mas Nata mengecup perantaraan leher dan pundakku dengan kuat, memberikan tanda kepemilikan.

Tangan yang dihiasi cincin kawin masih setia mengelus perutku dengan cara melingkar. Tak hanya sekali, Mas Nata juga menambah gigitan cinta di pundak serta leherku yang lain. Sengatan perih, tetapi nikmat membuatku sengaja memberikan ia keleluasaan sewaktu melakukannya. Meski rambut ini basah, tubuhku justru terasa mendidih. Bahkan di bawah sana kembali basah.

"Dia mulai terbentuk malam ini," bisik Mas Nata, berhenti mengusap perut. Siraman napas hangat menyentuh tengkukku.

Tak tahan dibuat mabuk kepayang, aku membuka belitan tangan Mas Nata, lalu berputar ke arahnya. Sedikit mendongak aku menatap mata yang kembali dibingkai lensa.

"Fela minta maaf," sesalku tulus.

Harga diriku yang begitu tinggi kembali merunduk melihat paras manusia sebaik Mas Nata. Tiada lagi hal yang mampu kubanggakan di hadapannya.

"Tidak masalah."

Dua kata yang dia lafalkan membuatku tercengang. Ia bahkan masih bisa tersenyum lembut. Penghakiman yang kubayangkan sebelumnya melayang sebelum sempat terdengar.

"Kamu takut kepada saya?" tanya Mas Nata.

Aku takut dia kecewa. "Hhm ... Mas ingin marah karena Fela sudah bukan gadis lagi?"

Mas Nata menggeleng. "Saya marah karena saya tidak bisa memberikan kamu seks yang hebat."

"Mas melakukannya. Aku hanya takut Mas akan tinggalkan aku sebelum selesai."

"Itu gila." Mas Nata memelukku erat. "Terima kasih sudah siap untuk saya. Dan terima kasih sudah berkorban demi Mama."

***

Bersambung   ....

25 Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top