[10] Pengakuan Cinta dan Perjanjian Kepada Mertua

[10] Pengakuan Cinta dan Perjanjian Kepada Mertua

Hati ini hanya ada satu. Yang kutahu selama ini telah dimiliki seseorang. Namun, kenapa ia masih bisa berdesir saat melihat jernihnya bola matamu? Apakah hati yang pernah pergi telah pulang? Berarti sudah saatnya ia dipindahletakkan.

***

"Selamat pagi, Ibu Pustaka!"

Aku tengah menyapu ruangan ketika cengiran Wahyu mengembang di pintu.

"Boleh saya bantu? Ibu jangan sampai capek. Nanti keringatan dan bau."

Sapu kuarahkan kepada anak itu. "Stop sepatu di sana!" hardikku melihat ia masuk tanpa melepas alas kaki.

"Oh iya! Aku lupa. Jarang-jarang nih saya mampir ke sini kalau bukan karena ada Ibu Pustaka yang cantik."

"Kamu beneran mau bantu saya?" Lumayan kalau dia bersedia diberdayakan.

"Saya siap membantu apa pun yang Ibu minta."

"Kalau begitu, pel bagian teras. Ambil pel-pelan di toilet ujung sana."

"Takuuut. Maunya ditemenin sama Ibu," keluhnya dengan wajah kemayu menjijikkan.

"Pasang tampang begitu sekali lagi! KBBI ini siap nimpuk gigimu!" ancamku yang membuat anak itu berlari ke sudut gedung tempat toilet berada.

Alasan saja itu takut. Di gedung bagian kanan adalah rombel kelas sebelas IPS. Dari sini saja suaranya begitu ramai.

"Saya belum pernah ngepel loh, Bu. Demi Ibu Pustaka, saya rela belajar." Wahyu memeras kain pel kemudian mulai menyapu.

Ruangan sudah bersih. Buku telah ditata rapi. Sebaiknya komputer dinyalakan dari sekarang. Aku ke meja untuk menekan power pada laptop dan menyalakan pendingin ruangan.

"ADUUH!"

"Wahyu!" Aku berlari ke teras dan melupakan lantai yang licin.

"AHH!" Kakiku terpeleset tepat di depan pintu. Pinggul lebih dulu menyapa lantai. "Ya Tuhan! Kenapa kamu berteriak, Wahyu?"

Karena mengkhawatirkan bocah tengil itu, aku lari pontang-panting. Dalam kepala hanya ada gambaran Wahyu sedang terbaring di lantai sebab katanya ia tidak pernah mengepel. Sebaliknya, anak itu sedang bertopang siku ke pagar dengan pandangan ke lapangan. Sedangkan aku menjadi korbannya.

"Ibu kenapa duduk di sini sih? Kan basah." Wahyu berjongkok di sebelahku. "Ibu! Ibu, stop! Jangan pukulin saya! Nanti Ibu saya laporin ke Pak Deni karena suka KDRT biar Ibu dipecat jadi mantu!"

"Kamu bukan suami saya!"

"Oh iya. Saya sampai lupa. Habis kita pagi-pagi sudah gotong-royong bebersih serasa pasangan aja--aww! Ibu ini selain galak juga suka sekali main tangan," rengutnya ketika dijewer.

"Sakit, ya, Bu? Sini mari saya bantu." Wahyu menarik tanganku untuk berdiri.

"Hesiii!!" Wahyu berteriak ke arah lapangan sambil lambai-lambai tangan. "Ibu mau ke mana?" tanyanya saat kembali menghadap padaku.

"Saya harus ganti. Karena kamu nih, saya basah."

"Kok jalan Ibu gitu? Bokongnya sakit?"

Sekali lagi aku menarik telinga murid kelas sepuluh itu. "Kamu bener-bener enggak ada sopan sama saya."

"Maafkan saya, Bu," sesalnya. Wajah yang tadi berseri jadi muram.

Kurasa yang barusan sudah keterlaluan. Aku menepuk bahunya pelan. "Ada kosakata yang patut diucapkan. Ada yang perlu kamu ganti dengan padanan kata lebih sopan agar lawan bicara tidak tersinggung. Ada juga yang patut diucapkan serta ada yang tidak patut dilisankan."

Wahyu mengusap telinganya.

"Kamu belajar bahasa Indonesia? Jangan tidur di kelas setiap pelajaran itu."

"Saya tidak pernah tidur. Saya justru melek kalo pelajaran BI, tapi saya hanya fokus sama wajah gurunya aja. Jadi apa yang Bu Win jelaskan berubah jadi buih."

"Kamu ini, ya. Kembali sana ke kelasmu."

"Siap, Ibu Pustaka." Wahyu berlari ke arah kelasnya di lantai dua.

Selagi siswa belajar, aku turun lewat tangga gedung kelas sebelas. Di sana bisa langsung tiba di dekat pintu UKS. Aku harus melumuri bokong yang sedikit nyeri. Rok panjang telah kuganti pastinya supaya tidak malu jalan dengan pantat basah.

Tidak ada siapa-siapa di ruangan kesehatan. Tentu saja aku tidak ingin kedapatan buka rok jika ada orang lain. Setelah menutup tanpa mengunci pintu, aku menurunkan pinggang rok bagian belakang. Balsem telah kuletakkan di tempat yang bisa dijangkau. Dengan dia jari aku mencolek dan mengusapkan balsem ke bagian belakang. Aku melakukannya menghadap depan sehingga kegiatanku agak tersembunyi.

Klik

Saat pintu terbuka, aku segera menaikkan rok dan mengaitkannya. Sebenarnya tangan kiri memegang rok agar tidak jatuh.

"Eh, Ibu. Pagi, Ibu Fela." Ambar berjalan mendekat dengan agak menunduk.

"Pagi, Ambar. Kamu sakit, ya?" Wajah dan matanya merah.

"Cuma pusing saja sedikit. Ibu kenapa bau obat urut? Ibu sakit?" Ambar bicara dengan wajah menghadap lantai.

"Hhm habis diurut pake balsem tadi terpeleset. Kamu sudah makan pagi?"

"Sudah. Saya hanya izin untuk istirahat lima belas menit. Nanti akan masuk kelas lagi."

Sepertinya Ambar takut waktunya berkurang karena ada aku di sini. Lagi pula aku meninggalkan perpustakaan dalam keadaan terbuka. Semua barang seperti dompet dan ponsel ada di meja.

"Kalau gitu, saya tinggal ya. Selamat istirahat, Ambar."

Sebelum aku melangkah, pintu UKS kembali tersingkap. Suaranya lebih keras dibanding ketika Ambar yang membuka.

Seseorang berseragam kuning khaki terengah-engah di pintu. Ia membelakangi cahaya sehingga mukanya tidak jelas dari sini. Aku mendengar Ambar bergeser hingga tempat tidur besi berderit.

"Ibu Fela tadi katanya mau kembali ke perpus 'kan?" tanya Ambar dengan suara kencang.

Aku hanya satu langkah di depannya, kenapa dia harus berteriak?

"Fela?" panggil orang yang baru datang.

Eh, Mas Nata.

"Kamu, Mas. Buka pintunya pakai tenaga dalam banget sih, untung nggak rusak."

Mas Nata tetap berdiri di pintu.

"Mas Nata ingin bertemu Papa?" tanyaku mendekatinya. Urusan Mas Nata pasti dengan Papa karena tak mungkin aku.

"Iya."

"Mas tahu dari mana Fela di sini?"

Saat Mas Nata akan menarik tanganku ke luar, aku teringat Ambar, "Kamu saya tinggal, ya."

Dia mengangguk. Matanya bertambah merah. Ia segera menunduk dan membaringkan tubuhnya di ranjang single. Mas Nata membawaku keluar lalu menutup pintu UKS. Di depan UKS ada taman kecil serta bangku sebagai pojok baca. Mas Nata mengarahkan untuk duduk di sana.

"Mas aku baru ingat mau bertanya ini sama kamu. Tadi itu Ambar yang pernah ketemu di Pustaka Suman HS, Mas. Waktu itu bareng kamu 'kan ke sananya? Dia murid sekolah sini. Fela kira murid Mas Nata. Mas Nata kenal dia?"

"Kenal dari seragamnya."

"Pantes waktu Fela ajak keluar bareng dari pustaka, dia menolak. Mungkin karena tidak kenal kita kali."

Mas Nata mengangguk. Pandangannya lurus ke arah pintu UKS.

"Tapi Mas Nata sering ke sekolah ini. Enggak ada jam mengajar, Mas?"

Mas Nata terasa jauh. Dia bahkan tidak memperhatikanku. Ia bagai tenggelam dalam pikiran sendiri. Aku melambaikan tangan di depan mukanya sambil memanggil namanya.

"Mas! " Aku pukul pipinya agar sadar.

"Ya?" alihnya dari pintu bercat putih di depan sana.

"Mas Nata enggak ada jam mengajar?"

"Oh jam. Ada. Saya minta guru piket memberikan tugas sebelum saya tiba."

Aku mengangguk-angguk. "Sekolahnya Mas Nata deketan dari sini?"

"Tidak begitu dekat. Jauh," ralatnya.

"Fela jadi ingin melihat rumah Mas Nata yang di sana. Boleh sekali-sekali Fela ikut kamu, Mas?"

"Rumahnya kecil."

"Sekecil apa? Seperti rumahku sama Bunda?"

Mas Nata menggeleng.

"Lalu lebih besar?"

"Sangat kecil. Kamarnya hanya ada satu."

"Kita enggak perlu dua kamar," balasku mengingatkan akan aturan bahwa kami tidur bersisian.

"Tempat tidurnya sempit untuk berdua."

Mas Nata melirik heran saat aku tertawa.

"Iya pasti Mas Nata beli tempat tidur single karena waktu Mas ambil rumah masih sendirian."

Senyum Mas Nata terlihat malu-malu. "Ya begitulah."

"Saya harus ke sekolah sekarang." Mas Nata berdiri. Aku juga ikut bangun dari duduk.

"Fela antar ke mobil."

Tangan Mas Nata kulingkari dengan lenganku. Begitulah posisi kami sampai di tempat mobil terparkir.

"Rabu," bisikku ketika kami berhenti di sebelah pintu kemudi. Kami dan Jumat, dua hari lagi aku bisa satu tempat tidur dengan Mas Nata. Waktu yang amat singkat untuk saling menyelami perasaan masing-masing.

Aku mendongak agar bisa memandang mata Mas Nata. "Sepertinya aku mulai jatuh cinta sama Mas Nata."

Pundakku diremas olehnya. Deru napas Mas Nata terasa di puncak kepalaku. Mas Nata menatap mataku lama. Hening di antara kami menciptakan getaran halus yang merambat ke dada.

Aku diam terpejam ketika Mas Nata menyelipkan rambut ke telingaku. Kami terasa berdekatan hati. Entahlah ... apa yang dirasakan Mas Nata sama denganku.

Tangannya berhenti di pipi ini. Aku buka mata saat tidak ada pergerakan dari Mas Nata. Ternyata ia sedang mengamati wajahku. Tatapannya teduh, seakan tidak percaya dengan pernyataanku. Namun, ia tidak ingin bertanya secara langsung sehingga melukai harga diri istrinya.

"Entahlah. Mungkin karena saat Mas enggak di rumah, Fela merindukan Mas Nata. Rasanya ... dua hari saja tidak cukup membayar waktu ketika Mas tidak ada."

"Saya juga rindu, bukan kamu saja," katanya lalu memelukku.

Aku bisa merasakan kejujuran dari eratnya pelukan yang dia berikan. Juga kecupannya yang lembut di pundak yang tertutup helaian rambut.

Cinta yang bersemayam di hati hanya satu dan telah dimiliki seseorang. Namun, ia berdesir saat melihat jernih bola matanya.

Pelan-pelan hati yang telah tercuri mulai terisi oleh nama baru. Mungkin hati yang pernah pergi telah pulang. Sudah saatnya ia dipindahletakkan kepadamu.

Natirta Adiwijaya.

***

"Fela jatuh?" seru Mama Marsya mendekat ke sebelahku setelah menceritakan pengalaman hari ini.

Mama melihat dari ujung rambut hingga jari kaki.

"Pah! Mama sudah pesan 'kan jagain menantu Mama?"

Papa Deni mengangguk. Matanya tetap tak beralih dari tayangan berita di televisi.

"Fela perlu dibawa ke tukang urut ini, Pah."

Papa mertua melihat sang istri. "Fela mau diurut?" tanya Papa padaku setelah mengamati raut Mama Marsya. Mama meringis seakan mencemaskan sesuatu.

"Fela rasa tidak perlu."

"Perlu," bantah Mama mertua. "Mama tidak ingin terjadi apa-apa kepada cucu Mama."

"Cucu, Ma?" beo Papa Deni.

"Fela tidak hamil," koreksiku. Barangkali Mama Marsya berhalusinasi.

"Belum, bukan tidak. Kita belum periksa rahim kamu. Mungkin saja kamu sudah mengandung. Bahaya, Fela, akibat jatuh yang seperti itu."

Aku memberi pengertian bahwa di rahimku tidak ada bayi. Kuucapkan dengan bahasa yang sopan dan nada yang tenang tanpa bermaksud mengoyak angan-angan Mama Marsya.

"Hanya dalam dua bulan pernikahan, Mama hamil Nata. Dan pernikahan kamu sama Nata akan masuk bulan keempat. Bisa jadi Fela tidak merasakan tanda-tandanya sebab masih anak pertama. Untuk itu, percayalah pada Mama. Fela harus diperiksa kalau memang enggak mau diurut."

"Fela sudah tidak merasakan sakit, Ma. Beneran sudah enggak apa-apa kok. Fela yakin tidak hamil. Enggak perlu kita periksa."

"Periksa saja, Fela," bela Papa Deni.

Jika Mama Marsya minta sesuatu, aku harus mengabulkannya. Aku nyaris--telah melupakan poin itu.

"Baiklah," ucapku pelan. Kurangkul lengan Mama Marsya untuk menyandarkan kepala ke bahunya.

"Pah. Minta Nata pulang malam ini. Mama enggak peduli apa alasannya."

***

"Kalian keduanya anak semata wayang. Jangan sampai kalian juga hanya punya satu anak. Coba kalian lihat masa tua Mama dan bundanya Fela. Sepi. Bunda Fela di sana sendirian. Sebetulnya Mama tidak sampai hati memisahkan Fela dengan Susa. Dan kamu tahu dengan sangat jelas alasan Mama melakukan ini, Nata."

Mas Nata datang sekitar dua jam setelah ditelepon. Ia menolak untuk ke rumah sakit malam-malam. Mas Nata bilang, bila saatnya tiba kami akan punya bayi. Namun, bukan sekarang atau dua tahun lagi.

"Kamu betul-betul berubah. Kamu tidak sayang lagi sama Mama."

Mama Marsya, pusat kehidupan, di rumah ini menjauh dari sang putra. Ibu suamiku itu mendatanginya suaminya di bangku lain. Mama bergelung di dada Papa, enggan melihat pada kami.

"Tidak bisakah Nata memimpin rumah tangga Nata dengan istri? Sekali saja, Mama, dengarkan keinginan Nata. Hhm?"

Suamiku berusaha melunak. Aku bantu tenangkan Mas Nata dengan mengusap punggung tangannya. Meskipun jauh dalam lubuk hati, aku merasa ditolak. Dua tahun katanya? Mas Nata belum membicarakan rencananya itu kepadaku. Padahal, tadi pagi aku telah jujur tentang perasaanku padanya.

Selama 24 bulan itu kami ngapain? Tidur berdampingan layaknya adik dan kakaknya? Tidakkah Mas Nata sedikit saja tertarik kepadaku?

"Terserah Nata. Mama bukan lagi orang yang kamu dengarkan. Mama hanya ketemu anak Mama selama dua hari. Anak yang sejak bayi tidak pernah sekali pun Mama kurangi kasih dan cinta untuknya. Setiap anak pasti berubah setelah dewasa. Mama harus mengerti."

Dadaku sesak. Mata terasa berat. Mama sangat kecewa. Mama Marsya bersedih. Ia bukan hanya merajuk seperti biasa. Mama sedang terguncang hatinya akibat sang anak. Isakanku berlomba dengan Mama. Kulepaskan pegangan tangan Mas Mata, lalu berjalan hampiri Mama Masya.

"Maafin Fela, Ma. Maafin Fela. Fela akan bicara sama Mas Nata. Hhm ... Mama tidak perlu mengerti apa-apa. Mamalah yang tahu apa yang terbaik untuk anak Mama. Mama jangan menangis lagi."

Mama melepaskan diri dari Papa kemudian merengkuh tubuhku.

"Mama tidak salah pilih kamu, Sayang. Kamu menantu Mama satu-satunya. Hanya Fela yang bisa mengerti perasaan Mama."

"Fela sayang Mama," gumamku di balik pundak Mama.

Mas Nata dan Papa di luar. Aku bersama Mama Marsya mengunci diri di kamar Mas Nata.

Mama duduk di bangku yang kupilihkan. Tepat di depan cermin rias. Aku menekuk lutut di bawah kaki Mama Marsya. Setelah menangis lama tadi, tiba-tiba aku takut pada janjiku sendiri.

"Fela bukan menantu yang baik," akuku. Ini kuucapkan tanpa melihat bola mata Mama. "Fela bukan perempuan baik-baik."

"Fela," panggil Mama dengan suara halus. "Tatap Mama saat bicara."

Kepalaku tengadah ke wajah menenangkan Mama. Buliran hangat kembali berlomba turuni pipi ini.

"Fela bukan wanita yang baik sebagai istri, sebagai menantu, dan sebagai anak Bunda. Semua itu salah Fela. Bukan Bunda yang tidak baik dalam membesarkan anak, tapi Fela yang cela."

Mama Marsya menungguku menyelesaikan cerita. Tangannya bergerak elus pundak juga puncak kepalaku.

"Fela cacat, Mah. Fela tidak bisa menjaga diri baik-baik. Mas Nata tidak pantas mendapatkan istri sepertiku."

Mama menatapku dengan tanda tanya. Aku bisa lihat betapa bingung ia karena kuajak berputar-putar.

"Sebelum menikah, Fela pernah tidur dengan laki-laki lain."

Gurat wajah Mama tampak tak senang. Sebentar hanya beberapa detik, Mama melembut. Senyum di bibir Mama terkembang. "Nata tidak menerimanya?"

Aku bergeleng. "Mas Nata belum mengetahuinya. Fela takut suami Fela tidak akan--"

"Selama empat bulan kalian tidak pernah tidur berdua?"

"Kami satu ranjang," ralatku merasa malu menceritakan hal ini.

"Fela tidak cacat. Seorang wanita tidak dinilai dari selaput daranya. Bukan berarti wanita yang tidak perawan saat malam pertama adalah wanita yang tidak sempurna. Jangan menilai dirimu serendah itu, Sayang."

"Sebenarnya Felalah yang meminta pada Mas Nata untuk menunggu hingga Fela siap. Fela takut Mas Nata kecewa pada Fela. Fela juga malu. Keluarga ini terlalu baik menilai Fela. Padahal Fela seburuk-buruknya perempuan."

"Tadi Fela bilang akan bicara dengan Nata. Artinya Fela sudah siap?"

"Fela siap. Karena Fela juga sudah mencintai Mas Nata, Fela akan terima keputusan Mas Nata. Jadi, maksudnya Fela ... kalau Mas Nata ... kalau Mas Nata menceraikan Fela, Mama jangan salahkan dia."

"Tidak, Sayang. Selama Mama masih hidup, sebelum Nata menyerahkan seluruh hatinya untukmu, Nata tidak akan berpisah dengan Fela."

***

Bersambung

21 Mei 2020

Iiih pada main tebak-tebakan ama Pak Nata. Ayo ikutin terus kisah mereka dan temukan jawabannya di part-part depan.

Part berikutnya, habis lebaran yaaa karena akan ada adegan mantab-mantab 😋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top