[02] Punya Kekasih Coba-Coba

Inilah wajah-wajah dalam kisah Anand-Fela-Nata. Kelean bisa membayangkan wajah yang sesuai dengan khayalan kelean kok.

Ini bayangan aku.

Wisafela Permata Honey 👇

Natirta Adiwijaya 👇

Aditya Nanda Pradipta👇

Happy Reading

🔆🔆🔆

Biasa sama-sama menyebabkan ada yang kurang saat kamu nggak ada. Setelah ini kalau kita benaran tidak bersama, apa yang akan terjadi saat sepi mulai mencumbui raga? ~Istri Wanna Be ~

🔆🔆🔆

"Aku nggak mau menikah dengan Nata."

Keputusan itu kupikirkan selama sehari semalam. Walaupun sudah dua kali malam sejak ketemu Nata, rasa kesalku belum bisa hilang. Kurang waras sekali saat dia memintaku berhenti kerja, bahkan sebelum kami menikah. Jangankan menikah, suka padanya pun masih jauh dari kata mungkin. Lemas sekali bibirnya bicara begitu.

"Apa kurangnya Nata?" tanya Bunda. Nadanya masih kalem-kalem bak putri keraton. Jangan salah, sebentar lagi pasti bertegangan tinggi.

"Bukan ada yang salah atau apa, tapi aku nggak mau aja."

"Apa lagi alasanmu tidak suka dengan pria pilihan Bunda? Coba jelaskan biar Bunda bisa mencari yang sesuai dengan kriteria kamu."

Bunda lebih kejam dari dosen di kantor jurusan sana. Bekerja di lingkungan kampus, aku banyak mendengar sifat dosen dari curhatan mahasiswa. Di luar memang mereka baik dan ramah. Jika di ruang sidang, jangan harap. Ruangan berubah menjadi lapangan kurban. Tempat para kerbau, sapi, dan kambing dibantai untuk dibagikan.

Mata Bunda begitu tajam menyorotku. Jadi ingat kejadian waktu kecil saat aku menangis. Bukan mengelus dan merayu biar diam, Bunda justru memarahiku habis-habisan. Kejadian itu mengajarkan bahwa tidak punya ayah bukanlah hal memalukan. Wajah Bunda hari itu lebih seram dari sekarang. Kata Bunda setelah tangisku reda, yang patut kutangisi bukanlah diejek sebagai anak haram. Aku masih punya Bunda yang memberikanku dunia. Aku dilahirkan dari perut wanita yang memakan uang halal. Bunda tak pernah mencuri makanan meskipun harus sering kelaparan sewaktu mengandungku.

Setelah memberiku nasihat, Bunda mengambil kertas double folio. Dia memerintahkan aku untuk menulis pengertian kata haram sebanyak dua puluh lembar tanpa diberi spasi tiap barisnya. Bunda orang paling galak yang kupunya. Kadarku hanya sebiji timun dibanding Bunda.

Hasil yang kudapatkan setiap bertengkar dengan Bunda tentunya kekalahan. Contohnya sewaktu aku nyaris mendorong Bunda seminggu yang lalu. Aku kehilangan akal sebab kesal yang tidak terlampiaskan. Untung saja tanganku masih bisa dikontrol. Jika aku sampai anarkis terhadap Bunda, jangan harap mencium wangi surga. Bau asap tembakau Anand saja aku tak tahan, apalagi harus menghirup aroma daging manusia terbakar. Dengan berat langkah aku pun mau bertemu Nata.

"Aku belum mau menikah."

"Kamu pikir usiamu masih muda bisa-bisanya bicara begitu!" bentaknya.

"Aku menikmati pekerjaanku saat ini. Aku mencintai pekerjaanku. Aku suka perpustakaan dan buku di dalamnya. Aku nggak bisa meninggalkan itu semua. Aku nggak akan pernah siap."

"Hanya itu? Atau kamu juga mencintai orang yang selalu ada di perpustakaan itu?"

"Bunda nggak bisa mengatakan hobiku dengan kata cuma. Aku menghabiskan tiga tahun belajar untuk bisa kerja di sana. Dan aku baru menikmati hasilnya selama empat tahun."

"Mau sampai kapan? Usia kamu makin tua. Sadar tidak sih kamu? Di usia kamu saat ini, Bunda sudah mengajarkan kamu sikat gigi sebelum tidur. Usia kamu empat tahun waktu itu, Fela."

Diungkit masalah ini, lidahku jadi gatal untuk membalas. Untuk apa nikah cepat kalau rumah tangganya berantakan? Dan apa Bunda tak sadar kalau sebenarnya aku tahu bahwa Bunda tidak pernah menikah? Haruskah aku membeberkan itu semua agar Bunda diam dan tak mendesakku lagi? Untung aku dapat berpikir jernih di bawah tekanan. Aku masih punya otak untuk tidak melakukannya kepada satu-satunya wanita yang aku sayangi.

"Aku suka pustaka. Aku senang melihat mahasiswa membaca dan mengerjakan tugas mereka di depan mataku. Aku senang melihat mereka berusaha keras mencapai gelar pendidikan dengan mendatangi perpustakaan tempatku bekerja. Aku merasa berarti. Di sana selalu ramai, meskipun aku tidak suka saat mereka berisik. Aku nggak rela meninggalkan semuanya hanya untuk menikah dengan pria yang aku nggak cinta."

"Semua bisa didiskusikan. Kamu bisa minta pada Nata untuk mengizinkan kamu tetap kerja."

"Bunda pikir itu mungkin? Dia beda kota dengan kita. Memangnya untuk apa menikah kalau tidak bisa serumah dengan pasangan? Lebih baik enggak menikah 'kan?" Aku tahu aku benar karena Bunda diam.

Keputusan Bunda masih bulat. Sepuluh menit terdiam, Bunda kembali berbicara, "Dalam bulan ini Nata dan mama papanya akan berkunjung ke sini. Bunda harap kamu mempersiapkan diri. Calon menantu Bunda hanya Nata. Bunda hanya akan besanan dengan Marsya, sahabat Bunda. Tidak ada tawar-menawar lagi. Hanya kamu yang Bunda miliki. Bunda ingin membahagiakan kamu dan Bunda berharap kamu mau membahagiakan Bunda."

Telak. Aku tak bisa melawan keinginan Bunda. Setiap kalimat Bunda mengandung makna bahwa hanya aku yang harus membahagiakan Bunda yang telah membesarkanku sendirian.

.•♫•Mas Nata•♫•.
Maaf baru menghubungi kamu lagi. Pekerjaan saya sangat padat setelah pulang dari Padang. Kamu apa kabar?

Mas Nata tidak tinggal di kota yang sama. Dia punya kehidupan yang jauh di Negeri Asap, Kota Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau. Dia sedang ada kunjungan ke kampusku saat itu. Katanya seminar tentang kurikulum abad ke-21 di LPMP Sumbar.

Pulang dari 'kencan pertama', kami bertemu Bunda. Mas Nata mendapat jamuan yang 'wah' dari Bundaku. Sikap Mas Nata kepada Bunda membuat Bunda semakin yakin untuk mengawinkan aku dengan anak sahabatnya itu.

Oke nggak apa-apa.

Balasanku sesingkat ini. Aku segera mematikan daya ponsel dan membungkus tubuh dengan selimut.

Seandainya Bunda tahu, bukan cuma Bunda yang takut menikah. Aku pun sama. Namun, alasanku hanya akan menyakiti hati Bunda sebab membuat Bunda merasa gagal mendidikku.

🔆🔆🔆

"Celana dalamnya menjijikkan. Lihat untuk apa kepala dijilbabin kalau belahan pantatnya bisa dilihat orang sepuas hati?"

Aku menoleh ke sebelah. Kursi kosong yang rencana ingin kubuang itu betul-betul melompong. Suara yang seharusnya datang dari sana ternyata hanya kenangan yang melekat dalam ingatan. Begitulah kegiatan sehari-hari Anand di perpustakan ini. Setiap pengunjung pustaka yang aneh akan jadi sasaran gibahnya.

"Coba liat yang di rak Bahasa, cewek itu celana dalamnya g-string. Sekalian aja nggak pake CD. Turunin suhu AC-nya, Beb, biar masuk angin sekalian."

Baru dua hari punya pacar, Anand menghilang bagaikan angin. Kepalaku jadi menciptakan ilusi tentangnya. Saat dia tak pernah alfa dari perpustakaan ini. Tanpa kabar atau berita dia meninggalkan sejuta tanya. Dia tak membalas pertanyaanku 'Dia pacaran dengan siapa?'. Sehabis mengabari jika sudah tidak jomblo lagi, whatsapp-nya centang satu. Nomornya juga susah dihubungi. Siapa sih yang waktu itu bilang enggak mau pacaran karena takut aku tidak punya teman lain?

Aku tahu dia pembual, tapi aku masih percaya dengan ucapannya.

Mas Nata
Sudah pulang, Fel?

Aku risi dikirim pesan. Cerewetnya pria ini memang hanya di ponsel. Saat bertemu langsung, dia tipe pria yang tidak banyak bicara. Jenis kaum adam yang bisa dikategorikan cool as kulkas dua pintu. Namun, melihat betapa rajinnya dia mengirim pesan, semua penilain baikku rontok. Dia seenggak penting itu rupanya. Apa dia ketularan remaja ABABIL di sekolahnya?

Saat aku perlihatkan isi pesan kepada Bunda, dia malah bersorak gembira. Memuji anak sahabatnya sebagai 'buah jatuh tak jauh dari pohon'. Kata Bunda, Mas Nata menuruni sikap mamanya pada masa remaja.

Bertahun-tahun lamanya Tante Marsya mendekati suaminya itu dan baru diterima. Kata Bunda, sikap gigihlah yang membuat setiap orang berhasil mencapai keinginannya. Bahkan Bunda bilang, cara Mas Nata yang menurutku sudah intens nyaris memuakkan ini masih kurang.

Apanya yang kurang sih? Lelaki seperti apa yang mengirimi perempuan pesan teks tiap sejam sekali? Apa dia sepengangguran itu? Bukankah setiap sekolah sudah punya sistem full day di mana siswa dan guru berjibaku di sekolah sampai sore?

Sedang membereskan buku ke rak.

Balasan untuknya simple as me. Meskipun malas menanggapi, aku tetap menekan enter untuk pesan tersebut.

Mas Nata ini jodoh yang belum ke rumah. Aku tidak boleh mengabaikannya. Mau tak mau rela tak rela, dialah nanti yang akan menjadi suamiku. Sesimpel itu sebab pasangan hidup saja tak perlu repot-repot kupikirkan. Calon sudah disediakan Bunda, tinggal aku yang dinikahkan.

Mengunci pintu BD5, ruang pustaka berada, aku melangkah menuju lift. Sesore ini biasanya hanya ada beberapa mahasiswa di lantai tiga. Sekarang hanya ada aku saja. Lift yang kugunakan naik dulu ke lantai lima. Jarang terjadi seperti ini. Biasanya lantai itu dipakai untuk latihan sekali-sekali.

Aku pun menunggu pintu besi terbuka saat panel di dinding menunjukkan nomor lima. Aku sendirian di dalam sini. Hanya gawai menjadi kawan setiaku.

Bunyi ting menggerakkan kepalaku untuk melihat ke arah luar. Kira-kira berapa orang yang akan masuk? Jika ramai, aku akan bergeser ke sisi paling sudut. Tepat saat itulah, dua irisku melebar melihat pemandangan di depan pintu baja ini.

"Sebelum turun benerin dulu pakaianmu, Beb." Seorang pria menaikkan bagian leher pakaian wanita di depannya yang agak melorot ke pundak. Begitu fokus sehingga dia tidak sadar sudah ada aku yang menyaksikan mereka.

Aku tidak salah dengar. Panggilan itu biasanya dia berikan untukku. Terdengar aneh pada awalnya, membuatku protes tak ingin disamakan dengan Caca Mararica. Lama-lama aku terbiasa. Namun, saat ini dia bukan memanggilku. Tiga huruf itu dia ucapkan untuk orang lain.

Terdengar geraman dalam dada ini karena tak terima. Kenapa harus panggilan yang sama? Batinku marah hanya untuk sebuah panggilan yang tidak pernah dikukuhkan. Terlalu berlebihan nyaris menyamai aktris yang marah-marah di sosial media karena nama anaknya dipakai orang lain. Padahal ini hanya perihal sebutan. Otakku menggelegak dan memprotes kenapa bukan baby, honey, atau sayang? Jika mereka pacaran, sayang mungkin lebih cocok disematkan kepada wanita itu.

Lihatlah, hawa di depannya sungguh cantik. Leher bajunya tadi tersingkap memperlihatkan tali bra. Pemandangan yang pada kondisi biasa akan dikomentari lelaki itu dengan sarkasme tinggi. Kali ini, dia turut membantu merapikan. Sepertinya dia jugalah yang menyebabkan berantakan.

Dia baru sadar bahwa pintu lift telah terbuka. Kepalanya menoleh ke arahku.

"Oh, Ibu Pustaka kita."

Senyuman merekah di bibirnya. Menyembullah dua lesung pipi yang membuatnya semanis cadbury. Dia menarik tangan wanita itu untuk menghampiriku dan masuk ke tangga ajaib ini.

"Beb--"

Aku menoleh. Dia pun tertawa lebar. Aku berdeham hilangkan rasa malu.

"Maksudnya kamu," tunjuknya pada perempuan itu, "Kenalan dulu dengan temanku. Dia Fela. Pustakawan Basindo."

"Hai, Ka-ka-Bu," ucap wanita yang sepertinya mahasiswa tahun satu dengan bingung saat menyapaku. "Nadia," lanjutnya.

"Panggil kakak saja. Kak Fela," koreksiku.

Anand merangsek di antara aku dan Nadia. "Gimana, Fel, cantik ya? Masih polos banget," bisiknya.

Napasku lolos dari indra penciuman. "Katanya mau pacarin Ayuni kok jadi dia?" Suaraku agak keras.

"Aku nggak lupa kamu makhluk yang judes, Wisafela. Tapi catat ini baik-baik! Jangan lupa mengajarkan bibir gincu merah yang seksi ini bicara yang benar!" Pukulannya hinggap di punggung tanganku. "Ngomong kira-kira dong! Baru juga dua hari jadian harus berantem karena kamu!"

Dia takut sekali pacarnya akan marah. Apa Anand serius dengan perempuan itu? Ah, kenapa dari tadi aku memikirkan alas setrikaan ini?

"Dasar mahasiswa legend yang pelit. Ajak pacaran ke hotel kek, ini di lantai lima. Mencoreng nama kampus kalau ketahuan." Aku berusaha mengalihkan pikiran.

Wanita di sebelah Anand melirik. Suaraku memang sengaja tanpa filter supaya dia ikut mendengar.

"Kamu mau ke hotel, Beb?" tanya Anand.

Perempuan muda itu menggeleng. Wajahnya terlihat pucat. Benar kata Anand, Nadia masih polos. Masih tabu dengan topik perhotelan.

Memangnya aku sudah paham? Sudah pernah pacaran di hotel?

"Kenapa nggak jadi nembak si Ayuni?" Aku cukup penasaran dengan alasan Anand yang ini. Bukankah dia sendiri yang memuji-muji perempuan itu?

Setelah dapat informasi dari Anand, aku mulai mencari tahu tentang mahasiswa Prodi Bahasa Inggris tersebut. Dari pengunjung pustaka yang kebetulan satu kos dengan Ayuni, aku dapat melihat foto gadis itu. Betul kata Anand, dia cantik. Terlihat smart dengan kemeja rapi dan rambut ikal terurai hitam. Senyumannya separuh seolah mahal untuk diperlihatkan ke setiap orang.

"Ini juga masih coba-coba," bisik Anand.

Jawaban Anand menimbulkan kontra dalam kepalaku. Sampai kapan dia bisa berhenti main-main?

"Karma itu eksis, Aditya Nanda Pradipta."

Tak memedulikan ada sepasang telinga lain yang mendengar, Anand berkata pelan dan tetap jelas, "Dengar dulu penjelasanku! Dua hari pacaran dan enggak mengaktifkan nomor pribadi. Aku pakai nomor baru khusus untuk dia. Dan yang kurasakan adalah hampa. Aku belum sanggup tidak merecoki pekerjaan kamu lebih dari dua hari. Aku nggak suka sepi yang tercipta karena bolos apel ke perpus dan kosong saat lihat nggak ada WA dari kamu."

"Apa maksud kamu?!"

"Aku belum siap pacaran. Aku masih nyaman jadi Anand temannya Fela."

Aku hanya berdecak dengan tuturan laki-laki santuy itu. Kata-katanya selalu berkebalikan. Bukankah tadi dia terdengar sangat menjaga perasaan pacarnya? Sampai marah-marah ketika aku membahas soal Ayuni.

Kasihan wanita muda ini. "Dek, barusan kamu ngapain aja sama dia di atas?"

Nadia agak terkesiap. Gesture-nya mulai tak nyaman. Dia mengusap-usap tangan dan tengkuknya. Menarik-narik bagian leher kaus lengan panjangnya.

"Habis diapa-apain, ya? Bajunya sempat dibuka? Celana gimana?"

Bertepatan dengan itu pintu besi terbuka. Nadia segera berlari dan masih sempat pamit. Anand memegang pergelanganku kuat. Menarik tanganku ke luar dari lift dan menyeberangi lobby yang telah sepi.

Jam perkuliahan di kampus ini hanya pagi sampai sore. Ada pun kegiatan malam cuma sesekali saat beberapa unit kegiatan kampus memakai teater tertutup atau teater terbuka sebagai tempat acara. Ada satu dua mahasiswa yang duduk di bangku panjang di dekat binding sambil mengobrol dan menoleh saat kami lewat.

"Masuk!"

Mahasiswa semester delapan itu mendorongku ke Fortunernya.

"Motor! Aku bawa motor!"

Anand menarik tali di sebelah lenganku lalu memasangnya ke tubuhku.

"Pak Anto, saya titip motornya Fela sampai besok. Tolong diamankan." Anand menyerahkan sesuatu ke tangan keamanan kampus itu.

"Kunci motornya sudah sama Pak Anto. Motornya dia bawa pulang dan besok diantar ke parkiran lagi."

"Mau ke mana?"

"Hotel."

"What?"

"Kenapa takut, Beb?"

🔆🔆🔆

۰۪۫B۪۫۰۰۪۫e۪۫۰۰۪۫r۪۫۰۰۪۫s۪۫۰۰۪۫a۪۫۰۰۪۫m۪۫۰۰۪۫b۪۫۰۰۪۫u۪۫۰۰۪۫n۪۫۰۰۪۫g۪۫۰

22 ۰۪۫S۪۫۰۰۪۫e۪۫۰۰۪۫p۪۫۰۰۪۫t۪۫۰۰۪۫e۪۫۰۰۪۫m۪۫۰۰۪۫b۪۫۰۰۪۫e۪۫۰۰۪۫r۪۫۰ 2019

Vote, coment, and share. Thank you. 🤣🤣


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top