3. Ide Gila Bobby
Sherly dan Bobby berbaring bersisian. Mata keduanya masih terbuka lebar menatap langit-langit kamar.
"Garda kehabisan langkah. Dia nggak mungkin bisa meyakinkan si Raymond dengan kondisi sekarang," ucap Bobby.
"Bulan depan Mali gimana ya? Dikasih uang juga pasti nggak mau dia."
"Tinggal sedikit lagi loh. First Asian who played main character in hollywood movie. Cuma karena dia belum jadi Bapak aja. What is so wrong with that?!"
"Anak-anaknya Mali sabar banget, tapi mau sampai kapan hidup mereka harus gini?"
"Kasihan Garda kalau sampai gagal di kesempatan kali ini. Dia pasti bakal down banget."
"Kasihan anak-anak Maliha, apalagi kalau sampai putus sekolah."
Hening. Otak keduanya seolah memproses ucapan mereka yang sekilas tak berkaitan.
"Sayang, sebentar deh ...." Bobby merasa ada yang dapat menyambung ucapan demi ucapan tadi. Spontan ia menghadap ke arah Sherly. "We could help them both!"
Senyum Sherly mengembang. Perempuan itu mengangguk, "Aku setuju! Besok, ajak Garda ke rumah."
"Aku telepon Garda dulu!" seru Bobby sambil beranjak dari balik selimut.
***
"Mal, ini Garda Milburga."
"Tahu kok gue, Garda Milburga. Hehehe ...."
"Dia talent yang gue manage secara eksklusif."
"Itu juga gue tahu. Hehehe ...."
"Bisa diem dulu nggak? Gue lagi berusaha ngejelasin sesuatu nih!"
Maliha menutup rapat mulutnya dan memberi gerakan seolah meresleting mulut itu dengan tangan sambil menatap Bobby baik-baik.
"Saat ini dia lagi dapet tantangan super berat sepanjang karirnya. Kerja sama untuk bermain sebagai pemeran utama di film Hollywood besutan Raymond Angelo terancam dibatalin karena dia dianggap nggak bisa memerankan karakter pria berkeluarga."
Maliha mengangguk-angguk sok paham, padahal kepalanya kosong. Ia sibuk menikmati waktunya menatap wajah pria paling tampan yang pernah ia temui. Garda Milburga, aktor kesukaan yang sangat menjaga privasi sehingga jarang ditemui di media-media infotainment. Ini pasti hadiah dari Tuhan karena keteguhannya dalam setahun terakhir.
Melihat wajah tenang Garda, Maliha merasa hati dan jiwanya terpenuhi. Ia bahkan yakin bisa menghadapi tempaan hidup setahun lagi karena semangatnya sudah memiliki bahan bakar berupa tampang rupawan sang aktor idola.
Aura selebriti memang beda ya ....
"Gar, ini Maliha. Dia teman gue dari lahir. Seriusan kita tetanggaan dan nyokap kita lahiran di waktu dan rumah sakit yang sama." Bobby dan Maliha tertawa sejenak. Lalu Bobby sedikit menunduk mengingat perjalanan persahabatannya dengan Maliha.
"Gue dan dia udah kayak kembar. Apalagi kita ini sama-sama anak tunggal. Sejak bokap dan nyokap gue meninggal pas usia gue 18 tahun, keluarga dia sering ngurusin gue. Setelah dia nikah pun masih ngurus gue. Dari zaman gue masih jadi sampah masyarakat, sampai akhirnya ketemu Sherly dan settle. Sepanjang gue kenal dia, Maliha itu paling total kalau udah menyangkut orang-orang yang dia anggap keluarga."
"Ngapain tiba-tiba ngomong baik tentang gue? Mencurigakan." Maliha melipat tangan sambil menyipitkan mata, menatap Bobby dengan tatapan menyelidik.
"Mal." Sherly menggenggam tangan Maliha sambil memberi isyarat dengan kedipan mata agar sahabatnya itu diam dulu.
"Tahun lalu, suami Maliha meninggal. Kecelakaan. Hidup sahabat gue dan keempat anaknya jungkir balik. Dia nggak bekerja, tapi bukan berarti nggak bisa kerja. Sayangnya, nggak ada yang mau kasih Maliha kesempatan setiap dikasih tahu bahwa anaknya ada empat. Perusahaan-perusahaan itu takut Maliha kebanyakan izin ngurusin anak."
"Bob." Wajah santai Maliha berubah. Ia menatap tegas sahabatnya sambil menggeleng, meminta Bobby agar tak menceritakan keadaannya lebih lanjut.
Bobby menarik napas. Ia lalu kembali melanjutkan penjelasannya, "Gar, lo butuh sebuah keluarga utuh. Mal, lo butuh kestabilan finansial untuk memenuhi kebutuhan anak-anak lo. Menurut gue dan Sherly, ehm---" Bobby menatap sejenak istrinya. Anggukan Sherly membuat ia yakin berkata, "Kalian bisa saling bantu."
"Saling bantu dengan apa nih maksud lo?" tanya Maliha sambil tertawa mengejek.
"Gimana ... kalau kalian ... nikah?" tanya Bobby perlahan. Maliha melongo sementara Garda menatapnya dengan dahi berkerut.
"Tenang! Tenang! Ini bukan settingan!" Bobby mengedepankan kedua telapak tangannya, "Mal, lo dan anak-anak bakal dapat tempat tinggal di rumah Garda. Gar, meskipun judulnya nikah, tapi anggap aja ini lebih kayak assistant hirement. Nah, alih-alih berstatus asisten, nanti Maliha bakal berstatus sebagai istri lo."
Perlahan tapi pasti, tawa Maliha meledak. Ia berusaha berhenti karena malu bersikap aneh di hadapan seorang Garda Milburga. Namun, saat mata keduanya bertatapan, tawa Maliha makin renyah berlanjut.
"Aduh ... Aduh ... Aduh ... hmmm ... hm ... hahahahaaa!" Begitulah usaha Maliha dalam menghentikan tawanya. Rahang Garda mengeras. Ia segera beranjak dari ruangan itu. Buru-buru Bobby mengejarnya sambil memberi isyarat pada Sherly agar dapat mengajak Maliha bicara.
"Mal, udah dong, jangan kayak orang gila ketawanya," keluh Sherly.
"Lagian, ituh ... si Bobby tuh ... Hng ... Hnggg ... HAHAHAHAHAAA!"
Sherly menopang dagu sambil memandang Maliha prihatin. Ia memutuskan membiarkan perempuan itu tertawa sampai tenang sendiri.
Di sisi lain, Garda yang sudah turun tangga langsung tertubruk seorang anak laki-laki. "Aduh, maaf, Om! Aku nggak sengaja," ucap anak itu.
"Raja! Sini!" seru seorang anak laki-laki lain. Garda menengok, alisnya berkerut sejenak, tapi senyumnya mengembang saat menyadari bahwa anak laki-laki berwajah mirip ini adalah kembar identik.
"Nggak mau! Elang kejar aja, wooo!" seru anak yang bernama Raja. Mereka lalu saling berkejaran dan mengabaikan Garda seketika.
"Gar." Tepukan di bahu Garda membuat pria itu berbalik. Tahu-tahu, Bobby sudah mengejarnya, "Pikirin baik-baik, Gar. Udah dua tahun lo berusaha. Setahun belakangan juga udah nyoba ngedeketin Raymond. Mau lo suka atau nggak, adanya keluarga akan membuat lo menarik di mata dia, setidaknya untuk memberikan lo kesempatan audisi lagi."
Garda menggeleng. "Pernikahan itu bukan permainan, Bob. Bukan alat, bukan hal yang remeh."
"Loh, siapa yang ngajak lo ngeremehin pernikahan sih?" tanya Bobby, masih sedikit terengah meskipun jarak yang harus ia kejar tadi tak panjang.
"Ini ide gila, Bob!"
"Tapi, brilian."
"Gila."
"Oke, mungkin lo ragu karena si Malih bentukannya kayak begitu. Tapi, tenang. Gue jamin ke lo bahwa dia adalah orang terbaik yang pernah gue temui. Kalau lo percaya sama gue, lo harus percaya bahwa gue nggak bakal asal ngenalin cewek ke lo."
"Saya nggak bisa memutuskan menikah gitu aja sama cewek yang nggak dikenal."
"Then give her a try. Coba deh, kenalan sama dia. She's great and very adaptive. Dia pasti paham apa yang harus dilakukan dalam rumah tangga kalian nanti. Dia juga bakal menyesuaikan dirinya sama kebutuhan lo. Percaya deh sama gue."
Garda mengerutkan dahi. Dilihatnya kedua anak kembar yang bermain di halaman belakang rumah manajernya. Kalau ia bisa menghabiskan waktu sedikit saja dengan anak-anak, mungkin hal itu bisa membantunya memahami karakter William.
"Saya setuju karena masih respect sama kamu. Kalau saya tetap nggak suka sama ide ini, saya nggak akan lanjut," ucap Garda. Bobby mengangguk dan langsung mendorong punggung Garda kembali ke ruang kerjanya. Sesampainya di sana, Maliha memutar tubuh dan memperlihatkan senyum lebarnya.
"Jadi, kita lakuin nih, pernikahan bukan settingan ini?" tanya Maliha tiba-tiba. Bahkan, Sherly sampai terkejut saat itu karena sebenarnya Maliha baru saja selesai tertawa.
"Kamu setuju sama semua ini?" tanya Garda sambil kembali duduk di tempatnya. Sebelah Maliha.
Perempuan itu mengangguk tanpa ragu, "Saya benar-benar butuh pekerjaan. Setelah dipikir-pikir, ini sempurna banget buat saya. Kapan lagi kan, bisa menjadikan status ibu rumah tangga sebagai profesi?"
Garda menghadapkan tubuhnya ke arah perempuan di sebelahnya itu. Penampilan sosok bernama Maliha itu jauh berbeda dari yang tadi tak berhenti tertawa. Saat ini, Maliha terlihat sangat matang dan profesional.
"Kamu sadar bahwa pernikahan ini akan dilakukan dalam keadaan sama-sama terpaksa?"
"Tapi, ini nggak kayak pura-pura nikah atau nikah kontrak juga kan? Kita nikah beneran, setelah tanda tangan perjanjian pranikah. Anggap aja hubungan kita kayak bos dan asistennya, tapi status kita suami-istri."
"Exactly! Lo tuh ama gue emang nyambung otaknya!" Ujar Bobby bersemangat, "Yaaa ... anggap aja setengah settingan. Ada kontrak, tapi bentuknya perjanjian pranikah. Fungsinya biar kalian bisa gaining trust to each other aja. Intinya kan saling bantu satu sama lain."
Garda menatap Bobby, masih dengan dahi yang berkerut dalam. Ia lalu mengalihkan pandangannya kepada Maliha, "Tapi, kita nggak saling cinta."
"We're in our 40s, Garda. Saya nggak punya waktu untuk cinta-cintaan. Kamu sendiri, apakah punya perempuan yang dicintai atau ingin dinikahi?" ujar Maliha. Garda menarik napas panjang. Matanya berkedip perlahan beberapa kali sambil berpikir, membuat jantung Maliha berdegup kencang.
Kalau yang kayak begini bisa jadi laki gue, di dunia ini emang nggak ada yang nggak mungkin. Ngedip aja ganteng, apalagi nge ... ah, udahlah.
"Nggak sih." Sejenak Maliha terpaku akan jawaban Garda itu. Ia sedikit lupa tentang apa mereka bicara. Namun, setelah berusaha fokus, ia melancarkan lagi serangannya.
Maliha, lupakan tentang ketampanan Garda, ini tentang masa depan anak-anak Anda! Gas, Mali, gas!
"Then marry me. Apa pun yang kamu butuhkan, bisa saya sediakan. Termasuk pengalaman bersama anak-anak. Anak saya lengkap, dari yang baru setahun jadi sarjana balita sampai remaja, ada semua."
Meskipun ucapannya sedikit mirip sosok sales, tapi perempuan itu terlihat makin meyakinkan. Pancaran kedewasaan di matanya membuat Garda bingung sekaligus penasaran. "Kamu sendiri nggak apa-apa menikah dengan saya?" tanya Garda yang masih tak percaya dengan manusia seajaib Maliha.
Maliha tertawa, "I'd be honored, Mr. Garda Milburga."
Gara menyipitkan mata. Ia sama sekali tak paham maksud ucapan Maliha tadi, tapi tampaknya perempuan itu bersungguh-sunguh. Kepalanya panas menerima ide ini. Ia tatap kembali manajernya. Pria itu menunggu jawabannya dengan serius. Kini Garda berusaha mencerna, sejauh apa langkah yang akan ia ambil demi karirnya? Demi hal yang begitu ia cintai; dunia seni peran.
"Jadi, saya bakal nikah sama kamu?" tanya Garda lagi pada Maliha.
"Th- that's the plan," balas Maliha tergagap.
"Tapi, hubungan kita nanti akan seperti atasan dan karyawan?"
"Di dalam rumah tangga. Ya, Anggap aja begitu."
"There's no holiday then." Garda memajukan tubuhnya ke arah Maliha. Membuat perempuan itu mundur saking terkejutnya. "Kamu akan mendampingi saya di semua kegiatan sosial atau pekerjaan saat saya butuh. If I need you to go with me, then you go with me, nggak peduli ke ujung dunia sekalipun."
"Garda sering di undang ke pesta dan gala premiere di luar negeri, Mal. Mainly ke US," Bobby menjelaskan dengan cepat.
"Exactly. Lalu, untuk kehidupan di rumah, I need you to keep it private. Saya nggak suka keadaan di rumah saya masuk sosial media. Kamu yakin bisa mengatur anak-anak kamu supaya nggak asal posting?"
"Yakin. Mereka belum terlalu engaged dengan media sosial dan saya selalu monitoring kegiatan digital mereka," jawab Maliha.
"Then, sebagai gantinya, saya memenuhi kebutuhan kamu dan anak-anak kamu. Penghasilan bulanan kamu akan mencukupi biaya sekolah mereka dan uang saku untuk kamu."
"Deal!" Maliha merentangkan tangannya, mengajak Garda berjabat tangan.
"Gue akan bikin prenup yang win-win. Nggak ada perjanjian nggak penting kayak gimmick lah, tenggat pernikahan lah, skenario, pokoknya murni hak dan kewajiban kedua belah pihak dan konsekuensi saat pernikahan itu diakhiri. Gimana?" Bobby melancarkan serangan terakhir untuk meyakinkan Garda.
Di satu sisi ruangan, ada sosok perempuan yang sejak tadi tak berhenti mendoakan kelancaran rencana ini. Meskipun gila, ini adalah satu-satunya cara menyelamatkan Maliha. Sherly, dalam diamnya berdoa agar Garda mau menjabat tangan Maliha.
Garda tampak berpikir. Sedetik ... dua detik ... tiga detik ....
Senyum Sherly mengembang. Dadanya dipenuhi kelegaan saat melihat doanya terkabul. Garda menjabat tangan Maliha, tanda keduanya menyepakati rencana ini.
(((Bersambung)))
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top