Bab 5

Sandra perlahan mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Hal pertama yang ia lihat saat membuka mata adalah tirai yang sudah dibuka, membuat sinar matahari otomatis masuk ke kamar yang ditempatinya ini.

Sandra memang tidur menyamping sehingga wajahnya terkena sinar matahari langsung. Perlahan, Sandra duduk sambil masih mengumpulkan kesadarannya. Saat melihat Fajar sedang duduk di sofa, Sandra baru ingat kalau dirinya sudah resmi menjadi seorang istri.

Melihat pakaian yang dikenakannya masih sama dengan semalam, Sandra yakin tidak ada yang terjadi pada malam pertama mereka. Sejujurnya Sandra sendiri tidak ingat bagaimana ia bisa berada di kasur, karena ingatan terakhirnya adalah saat mencoba berbaring di sofa. Mungkinkah Fajar yang menggendongnya ke tempat tidur? Sandra tidak tahu dan tidak mau membahasnya.

Fajar menoleh pada Sandra dan berkata, "Kamu udah bangun ternyata."

"Jam berapa ini," balas Sandra seraya melirik jam dinding. "Astaga jam sembilan! Mas Fajar kenapa nggak bangunin aku?"

"Memangnya mau ke mana kalau bangun pagi-pagi?"

Sandra terdiam sejenak. "Ya .. nggak ke mana-mana, sih."

"Sekarang mendingan kamu mandi dulu, lalu sarapan."

Masih terduduk di kasur, mata Sandra otomatis menatap meja di hadapan Fajar. Sudah ada makanan di sana. "I-itu sarapan buat aku?"

"Buat saya juga."

"Eh? Mas Fajar kalau udah lapar, makan duluan aja."

Fajar menggeleng. "Sebaiknya kamu mandi sekarang. Saya tunggu," jawabnya. "Atau kamu mau makan dulu?"

"Eng-nggak, kalau gitu aku mandi sekarang deh."

***

Fajar memang sengaja sarapan dengan Sandra di kamar hotel mereka lantaran tidak ingin menjadi pusat perhatian para keluarga yang juga bermalam di sini.

Sandra tentu saja sangat setuju karena ia juga malas meladeni godaan-godaan khas keluarga terhadap pengantin baru yang baru saja melakukan malam pertama.

"Kita tetap pergi bulan madu," ucap Fajar memecah keheningan, setelah sarapan dengan saling diam.

Sandra yang baru saja selesai sarapan dan hendak minum, terhenti seketika. "Bukannya kita sepakat nggak akan honeymoon. Kenapa tiba-tiba mau pergi?"

Ya, Sandra benar. Saat persiapan menjelang pernikahan, keduanya sepakat tidak akan pergi berbulan madu dengan dalih Fajar sangat sibuk. Lalu, sekarang pria itu mendadak berubah pikiran. Sandra tentu tidak habis pikir.

"Keluarga saya memaksa. Saya nggak punya pilihan selain mengiyakan. Maaf baru bilang sekarang."

Sandra tidak langsung menjawab.

"Masih di Indonesia, kok. Kita ke luar kota aja. Selain itu ... alasan saya, kan, sibuk dengan pekerjaan, jelas ke luar negeri bukan pilihan yang tepat."

Sebelum menikah, Sandra pernah menginginkan akan pergi bulan madu ke tempat jauh dan indah. Menikmati hubungan resmi dengan bermesraan di sana tanpa ada seorang pun yang mengganggu.

Namun, semua itu berubah karena dirinya hanya menikah atas dasar sandiwara. Sandra bahkan berharap mereka tidak perlu pergi berbulan madu.

"Anggap aja ini liburan, oke?" lanjut Fajar.

"Berapa hari?" tanya Sandra kemudian. "Mungkin semingguan, dan nanti malam kita berangkat."

"Nanti malam?" Tentu saja Sandra terkejut. Secepat itu?

"Lebih cepat lebih baik, bukan? Lagian ngapain ditunda-tunda. Memangnya kamu masih mau bermalam di hotel ini?"

"Oke, Mas. Kalau gitu nanti aku kemasi barang- barangnya."

Fajar mengangguk. "Dan yang terpenting adalah ... jangan lupa kabarin pacarmu supaya dia juga bisa meluangkan waktu buat ikut."

"Hah?"

"Maksudnya berangkat masing-masing, nanti kamu bisa ketemu pacarmu di sana. Walau bagaimanapun honeymoon kita, kan, cuma formalitas aja. Jadi, sebaiknya ajak pacar masing-masing."

Sandra memang belum memberi tahu Fajar bahwa dirinya sudah tidak punya pacar lagi. la juga tidak menyangka kalau Fajar akan memiliki rencana segila itu.

"Jangan salah sangka dulu, Sandra. Maksud saya ... pacar kita berangkat sendiri-sendiri, nanti kita bisa jalan sama pasangan masing-masing di sana. Cuma jalan-jalan, karena saya sama kamu tetap tidur di kamar hotel yang sama. Sederhananya gini, siang kamu bebas ke mana aja sama pacarmu, tapi kalau mau tidur kamu pulang ke kamar kita."

"Ah, apa pacar kamu kerja? Salah saya juga, sih, bilangnya dadakan banget."

"Kalau itu aku obrolin dulu nanti via telepon. Semoga dia bisa ambil cuti meski dadakan." Entah mengapa, Sandra merasa lebih baik berpura-pura kalau dirinya masih memiliki pacar.

"Oke."

"Kalau pacar Mas Fajar ... bersedia pergi ke sana?" tanya Sandra ragu-ragu.

"Nadia bahkan udah ada di sana sejak tiga hari yang lalu. Tapi demi kenyamanan kita, dia menginap di hotel yang berbeda, kok," jelas Fajar.

Fajar kemudian berdiri. Sambil melihat jam di tangan kirinya, pria itu berkata, "Saya ada janji sama sekretaris saya sebentar. Dia udah nunggu di lobi."

Sandra bahkan tidak tahu harus menjawab apa. Pikirannya terus membayangkan bulan madu formalitas yang akan mereka jalani. Benar-benar gila!

"Saya bilang gini buat membiasakan diri. Walau bagaimanapun kamu adalah istri saya, dan sudah seharusnya saya memberi tahu saya mau pergi mana. Kita nggak pernah tahu apa yang terjadi ke depannya, gimana kalau orangtua saya atau orangtua kamu nanya ke mana Mas Fajar? Sangat nggak lucu kalau kamu ... nggak tahu keberadaan suamimu sendiri," terang Fajar panjang lebar. "Untuk itu, kita harus terbiasa memberi tahu keberadaan masing-masing. Hal itu pun berlaku buat kamu, mulai sekarang kamu harus memberi tahu saya dulu kalau mau pergi ke mana pun," lanjutnya.

"Ba-baik, Mas." Hanya itu yang bisa Sandra katakan.

Fajar tersenyum. "Terima kasih ya, Sandra. Terima kasih sudah bersedia menjadi istri saya meskipun pernikahan ini hanya sementara."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top