Lamaran
Selamat membaca.
"Ya Allah, Ica. Dari tadi mbak nyariin kamu."
Tari melihat perempuan yang mungkin lebih muda dengannya, menatap Ica dengan khawatir. Kemudian wanita berhijab panjang itu menautkan alis, karena merasa pernah bertemu dengan wanita yang disebut Ica dengan Mbak Lastri.
Namun, sebelum Tari mendapatkan ingatannya. Sosok itu menoleh, lalu
memekik kaget.
"Ya Allah, Mbak Tari. Samean Mbak Tari, 'kan?" tanyanya semringah.
Wanita yang ditanya itu hanya diam. Masih berpikir keras, siapa wanita berkulit
sawo matang di hadapannya.
"Ini aku Lastri, tetangga samean dulu. Inget, ndak?"
Mata dengan bulu lentik itu membeliak, ketika kalimat itu berhasil membuat ingatannya kembali. Adik kelas sekaligus tetangganya ini memang sudah berubah. Tampak lebih modis dari kebanyakan gadis desa di sini.
"Ya Allah, Lastri. Maaf ya aku sempet lupa."
Kedua wanita itu lantas berpelukan erat, saling melepas rindu.
"Mbak Lastri kenal tante ini?" tanya Ica, sembari menarik baju pengasuhnya.
"Ini, teman sekaligus tetangga Mbak dulu."
Gadis kecil itu memandang dua orang dewasa di hadapannya, dengan takjub. Kemudian dengan semangat Ica bercerita kalau tadi dia bosan di rumah, sehingga dia memutuskan untuk berjalan-jalan. Ica juga menceritakan telah ditolong oleh Tari ketika terjatuh.
"Kamu ngajar di sini?"
Tari mengangguk, lalu secara singkat ia menceritakan, kenapa ia sekarang berada disini. Lastri menatapnya sendu ketika mendengar cerita sang sahabat. Dia tidak habis pikir, bagaimana mantan suami Tari bisa menyakiti wanita sebaik Tari.
Pertemuan singkat itu harus berakhir karena si nona kecil mengeluh lapar. Namun, Lastri berjanji akan menyempatkan diri ke rumah Tari sebelum ia kembali ke kota.
***
"Begitu ceritanya, Pak."
Pandangan Tari beralih pada kebun kecil yang terletak di belakang rumah. Kebun yang ditumbuhi berbagai macam sayuran organik, ditanam ayahnya. Setelah pensiun sebagai guru, berkebun adalah kegiatan baru yang dilakukuan pria kesayangan Tari. Sedangkan sang ibu, sampai sekarang masih mengajar di sebuah sekolah dasar negeri di kampung ini.
Baru saja dia bercerita hal yang tadi disampaikan Sekar kepada sang ayah. Tentang Ajeng yang membutuhkan tanda tangannya agar bisa menjual rumah.
"Lalu apa yang akan kamu lakukan?"
Iris jernih itu memandang sang ayah. Dia mengedikkan bahu.
"Tari ndak tau, Pak. Sebenarnya Tari ndak mau lagi berurusan dengan mereka, tapi Tari tau kalau Ajeng ndak akan berhenti sebelum keinginannya tercapai."
"Bapak akan coba bertanya pada sepupumu, Raka. Dia 'kan pengacara, siapa tau dia punya solusi."
"Enggeh, Pak."
Sang ayah terseyum lembut pada Tari. Dengan penuh kasih sayang diusap kepala putrinya.
"Jangan terlalu dipikirkan, nikmati saja hidupmu sekarang."
Wanita cantik itu menghela napas lelah. Berurusan dengan dua manusia itu, adalah hal terakhir yang Tari inginkan. Sungguh, dia tidak mau lagi melihat mereka, karena rasa sakit yang mereka torehkan masih membekas di hatinya.
Namun, sekarang mau tidak mau dia harus kembali berurusan dengan sepasang suami itu. Sebenarnya, rumah yang akan dijual oleh Ajeng adalah hadiah Dipta kepada Tari. Sewaktu ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga. Tari tidak menyangka, kalau hadiah itu menimbulkan masalah baru baginya.
***
"Tari," panggil ibu ketika sang putri akan membereskan meja makan. "Duduk dulu, ibu mau ngomong sebentar."
Tumpukan piring yang sudah ada di tangan, diletakkan kembali oleh Tari. Perhatian wanita itu kini sepenuhnya kepada sang ibu. Seseorang dengan wajah menyerupai dirinya.
"Soal lamaran Juragan Heru, ibu sudah menolaknya." Tari tersenyum mendengar hal itu. "Tapi ada lagi lamaran yang datang kepadamu."
Senyum Tari lenyap, matanya menatap sang ibu tidak percaya. Kenapa ibunya belum lelah untuk terus menjodohkannya?
"Bu ... "
"Tari ibu minta kali ini jangan menolaknya, ibu sudah tidak sanggup mendengar segala gunjingan tentang kamu."
Hati Tari terasa tercubit, melihat mata sang ibu yang sudah berkaca-kaca. Ia alihakan pandangan pada sang ayah, berharap pria itu mau membantunya sekali lagi. Namun, yang dia dapatkan adalah anggukan sang ayah. Seolah mengisyaratkan kalau kali ini ayahnya setuju dengan sang ibu.
Tari mengusap wajahnya pelan. Ia bingung harus bersikap bagaimana. Jika dia menolaknya pasti ibunya akan sakit hati, tapi ia merasa belum siap jika harus membuka hati lagi.
"Tari ... "
"Dengarkan ibu dulu," potong sang ibu. "Abisatya, dia yang melamarmu," ucap sang ibu seraya menatapnya dalam.
Tari tersentak ketika sang ibu mengucapkan nama yang tidak asing di telinganya.
"Ma-mas Abi?" tanya Tari tergagap.
"Iya, Abisatya Agam Rahagi."
Tari terdiam. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Bagaimana bisa takdir kembali membawanya kepada seseorang yang dikenalnya di masa lalu.
"Kamu setuju, 'kan?" tanya sang ibu sekali lagi.
Tari mengangguk pelan. Tidak ada celah lagi untuk menolak. Karena sang ayah juga sudah menyetujuinya. Perempuan itu berharap jika ini adalah keputusan terbaik yang dia ambil.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top