Hak Sebagai Suami

Selamat membaca.

"Mbak Tari, Mas Abi. Ini tetangga baru kita, rumahnya di depan rumah kita pas," jelas Lastri yang tidak menyadari aura berbeda pada keempat orang yang berada dalam ruangan yang sama dengannya.

Ajeng langsung merapatkan diri pada suaminya, perempuan dengan midi dress selutut warna tosca itu langsung mengalungkan tangannya di lengan sang suami.

"Saya Ajeng, dan ini suami saya Dipta."

"Saya Abi dan ini istri saya Tari."

Abi merasa tidak nyaman melihat pria di depannya memandang lekat sang istri. Perlahan ia lepas pegangan sang istri di tangannya, kemudian merengkuh pinggang istrinya, hingga membuat tubuh mereka menempel satu sama lain. Abi dapat merasakan tubuh Tari membeku, akibat perbuatannya.

Sementara itu, setelah tadi terkejut karena melihat kembali mantan istrinya. Kini, Dipta harus menahan emosi meyaksikan interaksi di hadapannya. Lelaki itu sama sekali tidak menyangka kalau Tari menikah lagi setelah perceraian mereka.

"Tante."

Tari mendapatkan kembali kesadarannya, ketika tubuhnya di tabrak oleh Ica. Gadis itu memasang raut cemberut. "Tante kok lama, sih? Katanya mau bantu Ica."

Wanita berlesung pipi itu mengusap kepala Ica dengan lembut, kemudian memandang tamunya.

"Maaf saya harus menemani anak saya, jika anda masih ada perlu bicarakan saja dengan suami saya. Permisi." Sebelum berlalu Tari menyunggingkan senyum dingin pada sepasang suami istri di depannya.

Abi mengamati punggung Tari dan putrinya yang semakin menjauh. Dia merasa janggal antara istrinya dan kedua tamu yang datang.

"Kami juga permisi," ucap Dipta tanpa basa basi. Wajah pria itu memerah seperti tengah menahan emosi yang berkecamuk di hatinya.

Suami Tari beralih memperhatikan Dipta yang berjalan dengan cepat tanpa peduli sang istri terus memanggil namanya.

"Lastri?"

Wanita yang juga memperhatikan kepergian Dipta dan Ajeng menoleh pada sang majikan.

"Kamu tau siapa mereka?"

Lastri memandang aneh pada majikannya. "Ya taulah, Mas. Mereka 'kan tetangga kita."

Abi berdecak. "Kalau itu saya tau, maksudnya apa hubungan mereka dengan, Tari?"

"Saya ndak ta—" Tiba-tiba pandangan Lastri berubah menjadi horor. "Namanya tadi Dipta dan Ajeng, 'kan?"

Meskipun kesal karena Lastri malah bertanya balik, tapi tidak urung Abi mengangguk juga.

"Astaghfirullah," teriak Lastri. "Saya inget, Mas. Dia itu mantan suaminya Mbak Tari."

Abi terkesiap mendengar penuturan Tari. "Tau darimana kamu?"

"Mbak Tari pernah cerita."

Lastri menundukkan kepala sedih, karena kembali teringat cerita teman masa kecilnya. Jika dia tahu lebih awal, mungkin dia akan melarang tetangga baru itu untuk masuk.

Belum sempat Abi bertanya lebih lanjut, suara notifikasi muncul di ponselnya. Laki-laki itu kembali berdecak setelah memeriksa ponsel di tangannya.

"Bilang sama Tari, saya ada meeting sama Riko di bengkel."

Langkah kaki itu terasa berat, karena rasa penasaran yang belum menemukan titik terang.

***

Abi memerhatikan sang istri yang tengah melakukan perawatan pada wajahnya. Dia jadi paham dari mana kulit halus itu tercipta. Astaga, apa yang aku pikirkan, batin Abi. Pria itu bergidik ketika otaknya membayangkan wajah halus itu berada di tangannya.

Untuk mengalihkan perhatian, Abi menggulir layar ponselnya. Namun, yang ada dia semakin kesal karena tidak menemukan sesuatu yang menarik di ponsel tersebut.

Berjalan menuju arah ranjang, Tari mengamati tingkah suami yang terasa aneh. Dari tadi entah sudah berapa kali dia mendengar lelaki itu berdecak.

"Ada masalah, Mas?"

Tari memberanikan diri memulai percakapan, karena jika mereka terus bersikap canggung. Hubungan ini pasti tidak akan segera mengalami perkembangan.

"Kamu kenal siapa tamu kita tadi pagi?"

Tanpa memedulikan pertanyaan Tari. Laki-laki itu justru ingin menuntaskan rasa penasaran yang sejak tadi ditahannya. Tidak adanya ekspresi kaget di wajah sang istri ketika mendengar pertanyaannya, membuat Abi mengernyitkan kening.

Tari tersenyum lembut hingga lesung pipinya terlihat jelas. "Bukankan, Mas sudah tahu siapa mereka? Lastri sudah cerita, 'kan?"

Sial, awas kamu Lastri, umpat Abi dalam hati. Wajah pria itu memerah, kemudian dia mengusap tengkuknya yang tidak gatal, hal yang selalu dia lakukan ketika gugup.

"Iya, aku hanya ingin tahu cerita versi kamu. Kenapa kamu nggak cerita?" balas Abi.

Tari mengedikkan bahu. "Karena memang tak ada yang perlu diceritakan. Itu hanya masa lalu."

"Yakin? Lalu kenapa kamu terlihat tegang ketika bertemu mereka."

"Aku rasa semua orang juga akan bersikap sama jika bertemu orang yang tak ingin ditemuinya."

Abi mendengkus, jawaban macam apa itu? Dia bahkan bersikap sombong jika bertemu dengan orang yang tidak disukainya, bukan malah diam saja.

"Bukan karena kamu masih mencintainya?"

Laki-laki itu mencibir dirinya sendiri, bisa-bisanya pertanyaan itu keluar dari mulutnya.

Tari diam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Rasa itu sudah lenyap," jawab Tari yakin.

"Buktikan!"

"Ha?" Tari tidak mengerti apa yang dimaksud suaminya.

"Buktikan kalau kamu sudah tak memiliki rasa pada mantan suamimu."

"Caranya?" tanya wanita lembut itu kebingungan.

"Berikan hakku sebagai suami, sekarang!"

Mata bulat Tari mengerjap-ngerjap. Pikirannya sibuk mencerna apa yang dikatakan suaminya. Hingga tidak menyadari kini wajah sang suami sudah begitu dekat dengannya.


Jangan lupa kasih bintang yang banyak, ya. Terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top