9 Tetangga Baru
Selamat membaca.
"Siapa kamu?" tanya wanita itu setelah duduk di sebelah Arkan. Entah mengapa dia begitu kesal, melihat senyum tulus perempuan yang duduk di samping Ica.
"Ini Tante Tari," jawab Ica.
"Tante Tari? Siapa?" Wanita berambut coklat itu bertanya lagi, karena jawaban Ica belum menghilangkan rasa penasarannya.
"Ya, Tante Tari," jawab Ica sambil lalu.
Wanita itu berdecak kesal. "Maksudku, Tante Tari itu siapa? Kok bisa ada disini?" Wajah cantik itu memerah menahan kesal.
"Saya Tari, istri Mas Abi," tegas Tari. Karena tidak ada tanda-tanda sang suami akan menjawab pertanyaan itu.
Suara batuk Abi yang tersedak makanan, membuat Tari mengalihkan pandangan pada sang suami. Dengan cekatan dia mengambil air minum, lalu diberikan pada sang suami. Tanpa mengindahkan si wanita asing yang kaget dengan ucapannya, dan juga Arkan yang tanpa sadar tersenyum menyaksikan adegan di depannya.
"Kamu nggak papa, Mas?" tanya Tari sambil menepuk punggung suaminya. "Hati-hati kalau minum, pelan-pelan saja."
Gara-gara siapa aku tersedak seperti ini, gerutu Abi dalam hati. Dia tidak habis pikir, bagaimana wanita ini tidak terintimidasi sekali pun pada Alita-wanita di sebelah Arkan-bahkan dengan santai Tari menjawab pertanyaan Alia.
"Sudah, aku nggak papa," jawab Abi seraya mencoba menghindar.
Dalam hati dia menggerutu, karena jantungnya bekerja dengan ekstra hanya dengan sentuhan ringan Tari. Dia bertambah kesal melihat sikap tenang Tari yang seakan tidak menyadari apa efek yang dihasilkan dari perbuatannya.
"Mas Abi, wanita ini bohong, 'kan?" tanya Alita yang sepertinya sudah mendapatkan kembali kesadarannya.
"Dia benar," ucap Abi santai.
"Tapi, bagaimana bisa?!"
"Arkan sudah selesai, mau ke kamar dulu." pamit remaja itu. Karena pemuda itu bisa menduga akan ada drama lagi yang terjadi di sini, dan dia malas jika harus menontonnya.
"Ica juga sudah. Ayo, tante kita ke kamarku. Katanya tante mau bantuin Ica merapikan kamar sama menyiapkan buku untuk besok," ajak Ica.
"Baik, Sayang. Tapi Ica ke kamar dulu, ya, Tante mau bikinin minuman buat tamu kita."
Gadis itu menganggukkan kepala. Kemudian setelah berpamitan, dia langsung berlari menuju kamarnya.
"Mas, aku butuh penjelasan!" perintah Alita.
"Aku rasa aku punya hak untuk tidak menceritakan hidupku padamu," jawab Abi dengan sedikit ketus.
"Oya? Aku berhak tau, Mas. Jadi jelaskan sekarang juga!"
Abi melirik pada wanita yang sibuk membereskan peralatan makan, istrinya terlihat tidak terganggu dengan perdebatan antara dirinya dan Alita. Membuat rasa kesal kembali muncul di hatinya.
"Kita bicarakan di ruang kerjaku," ucap Abi.
Alita memandang Tari dengan sinis. Sebelum kemudian berlalu, mengikuti langkah Abi yang pergi lebih dulu.
Tari mengamati dua punggung yang sudah terlihat menjauh, mendadak perasaannya menjadi tidak nyaman.
***
Sembari menunggu air mendidih, Tari mengirim pesan pada Lastri, yang sedang keluar bersama teman-temannya. Sesama pekerja di komplek ini.
[Lastri, barusan ada wanita ke sini. Dia cantik, modis, rambutnya warna coklat. Kamu tau siapa dia?]
Tidak sampai satu menit balasan dari Lastri sudah muncul di layar ponselnya.
[Kalau dari cari-cari yang Mbak sebutkan, kayaknya itu Mbak Alita.]
"Alita," gumam Tari.
[Siapa dia?]
[Adik mamanya Ica.]
Tari mengerutkan kening membaca balasan Lastri. Berpikir sesuatu yang aneh. Kenapa interaksi dua orang itu terasa janggal di mata Tari?
Bunyi air mendidih membuyarkan pikiran Tari yang mulai berkelana. Mengembalikan fokusnya, wanita berhijab biru itu segera menyiapkan air minum untuk sang tamu.
Tari melangkah menuju ruang kerja suaminya yang berada di bawah tangga. Samar-samar Tari mendengar perdebatan antara suaminya dan Alita, ketika langkahnya sudah mendekati ruang kerja sang suami.
"Kenapa kamu menikahi perempuan itu, Mas?" teriak Alita.
"Itu bukan urusanmu."
"Bukan urusanku?" Tawa mengejek Alita terdengar begitu jelas. "Berapa kali aku minta kamu menikahiku, ha? Tapi kamu selalu menolaknya, dengan alasan kamu belum siap. Sekarang tiba-tiba kamu bilang sudah menikah. Lucu sekali, Mas."
Melihat Abi yang hanya diam saja, Alita tertawa sinis. "Kamu mencintainya, Mas?"
Tari yang sudah berdiri tepat di depan pintu. Menunggu jawaban sang suami dengan jantung yang berdetak cepat. Namun, beberapa saat menunggu, tidak ada jawaban dari Abi. Mungkin pria itu menggeleng atau mengangguk, batin Tari. Hingga wanita itu memutuskan untuk masuk saja ke dalam, menyerahkan air minum yang dibawanya.
"Aku menikah agar ada seseorang yang menjaga anak-anak."
Gerakan tangan Tari yang akan mengetuk pintu seketika terhenti, mendengar jawaban dari Abi. Meskipun dia sadar belum ada cinta dalam diri mereka. Namun, perkataan Abi yang seolah menegaskan pria itu tidak mencintainya, membuat sudut hatinya terasa nyeri.
Tari memejamkan mata serta menarik napas dalam, untuk menetralkan rasa sakit yang dialaminya. Sebelum melakukan tujuan awalnya.
Mengetuk pintu satu kali, Tari langsung membuka pintu di hadapannya. Karena memang pintu itu tidak tertutup sempurna.
Abi menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka, matanya membesar, jantungnya berdebar dengan keras. Dia bertanya-tanya, apakah sang istri mendengar semua percakapannya?
Lalu debar itu perlahan menghilang, melihat Tari yang dengan santainya meletakkan cangkir di atas meja. Sepertinya Tari tidak mendengar percakapan tadi, batin Abi.
"Silakan, Mbak," ucap Tari. Kemudian iris jernih itu memandang lembut sang suami. "Oya, Mas. Tolong kalau bicara di luar saja, kamu 'kan sudah menikah, sepertinya tak pantas jika berdua saja dengan wanita lain di ruangan kecil seperti ini."
Alita terperangah. Dia tidak percaya perempuan yang tadi mengaku sebagai istri dari laki-laki yang disukainya berani berbicara seperti itu.
Sedangkan Abi mengusap tengkuknya. Salah tingkah.
"Siapa kamu berani nyuruh-nyuruh kami?" teriak Alita.
"Saya istri Mas Abi," tegas Tari.
Alita tertawa melihat Tari yang begitu percaya diri. "Asal kamu tahu, ya. Mas Abi menikah denganmu karena-"
"Lebih baik kamu pulang, Al. Karena pembicaraan kita sudah selesai," potong Abi.
Mata Alita memelotot kepada Abi. "Kamu ngusir aku, Mas?" Alita mengumpat begitu melihat laki-laki jangkung itu mengangguk, kemudian perempuan itu langsung pergi dengan membanting pintu.
Abi menatap sang istri yang juga tengah menatapnya. Suara pintu terbuka mengurungkan niat Abi untuk menjelaskan sesuatu pada istrinya.
"Ada apa?" bentak Abi pada Lastri, orang yang membuka pintu.
"Ya Allah, galak amat Mas Abi."
Lelaki itu berdecak kesal mendengar celetukan pengasuh anaknya. "Cepat katakan ada apa!"
"Sabar, Mas. Sabar. Itu di depan ada tetangga baru yang mau kenalan."
Abi dan Tari saling memandang dengan heran, tapi mereka tetap melangkah mengikuti Lastri yang lebih dulu meninggalkan ruang kerja.
Wajah Tari berubah pucat melihat siapa yang datang. Oksigen di sekitarnya terasa menipis hingga menimbulkan sesak yang menyakitkan. Lalu tanpa sadar tangannya mencekram lengan Abi dengan kuat.
Kepala Abi berputar ke samping. Seketika keningnya mengernyit saat menatap sang istri yang terlihat ketakutan.
Sedangkan sepasang tamu di sana juga menampilkan raut tidak jauh berbeda dengan Tari. Mereka pucat dan tubuh mereka seolah membatu.
"Silakan duduk," ucap Abi memecah keheningan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top