TERBUKANYA PINTU MAAF

Al bersandar di kepala ranjang, sedangkan Ily sibuk menidurkan El. Al tampak pusing dan bingung.

"Bun, pilih yang mana?" tanya Al sambil membolak-balikan brosur.

"Secukupnya uang kita saja, Yah," jawab Ily menidurkan El di boks, tempat tidurnya.

Ily naik ke ranjang, menyusul Al dan bersandar di dadanya. Dia melihat-lihat isi brosur itu.

"Kita cuma punya tabungan sekitar 100 juta, cukuplah kalau untuk beli yang second," jelas Al mengelus rambut Ily dan mencium pucuk kepalanya.

"Katana Gx tahun 95, 85 juta, AVP Gx arena 65 juta, toyota vios 1.5 tahun 2005, 85 juta, yang MT tahun 2003 88 juta, toyota soluna GLI tahun 2003 56 juta," eja Ily membaca brosur yang Al pegang.

"Ini second semua, Yah?" tanya Ily mendongak menatap Al.

"Iya, kalau beli baru uang kita belum cukup."

"Yang sekiranya nyaman dan mesin masih bagus, Yah. Kalau soal mobil, Bunda enggak paham, tapi kalau Ayah tanya soal harga beras, gula, kopi, dan teh, Bunda pasti tahu," ujar Ily membuat Al terkekeh dan mengacak rambutnya.

"Dulu kan, kamu sukanya naik mobil sedan, aku mau ambil yang Toyota Vios, tapi yang tahun 2005. Gimana?" tanya Al meminta pendapat Ily.

"Boleh juga, Yah, sisa uangnya bisa kita tabung untuk El sekolah nanti," jawab Ily lalu Al tersenyum dan mencium bibirnya singkat.

Saat mereka sedang berdiskusi soal rumah tangga, HP Al berdering, Al mengangkat dan menjawab telpon itu.

"Halo, Kak," sapa Al pada orang di seberang.

"Al, Adel mau ulang tahun kedua. Kamu tetap enggak mau pulang? Pulanglah, Al, hargai Kakak yang sudah mengundangmu," rengekan Nelly yang kesekian kali membujuk Al pulang ke rumahnya.

"Nanti Al diskusikan dengan Ily dulu, Kak," jawab Al sambil melirik Ily yang sudah menunggunya di tempat tidur.

"Iya sudah salam untuk istrimu," ucap Nelly lalu memutuskan panggilannya.

Al meletakan HP-nya di nakas lalau merebahkan tubuhnya di samping Ily.

"Kenapa lagi, Yah?"

"Kak Nelly masih saja maksa kita datang ke acara ulang tahun Adel," jawab Al sambil melipat kedua tangannya untuk bantalan. Dia menatap langit-langit kamar.

"Oh, enggak terasa ya, usia El bentar lagi dua tahun. Kayaknya baru kemarin dia lahir," ujar Ily melihat El yang tertidur pulas di boks bayi.

Al tersenyum melihat El yang tidur dengan kedua tangan terlentang ke atas dan terlihat nyaman.

"Iya, ya? Hari-hari terasa cepet banget. Gimana Bun, kita terima enggak tawaran Kak Nelly?" tanya Al memeluk Ily.

"Terserah Ayah saja, kalau memang Ayah sudah siap bertemu dengan Mama dan Papa, Bunda akan selalu menemani Ayah," jawab Ily dengan senyum yang menenangkan hati.

"Makasih ya, Sayang, kamu sudah menjadi istri dan ibu yang baik untuk keluarga kecil kita," ucap Al mencium pucuk kepala Ily dan mempererat pelukannya. Ily membalas pelukan Al lalu mereka tidur.

*****

Perasaannya gelisah dan gugup, Al menggandeng Ily yang menggendong El. Mereka menatap pintu gerbang yang menjulang tinggi. Suasana di dalam rumah sudah ramai tamu undangan dan sanak saudara. Al minder melihat saudara sepupunya mengendarai mobil mewah dan pakaian bermerk, dandanan yang keren.

"Aku enggak yakin. Kita balik aja, ya?" ujar Al menoleh Ily.

"Ya sudah," sahut Ily tersenyum.

Saat mereka sudah memutar tubuh dan ingin melangkah, Nelly memanggilnya keras, "Al!"

Al mengurungkan niatnya dan menoleh ke belakang bersama dengan Ily. Nelly berlari kecil menghampiri mereka yang masih mematung di depan gerbang.

"Kenapa enggak masuk? Acara belum dimulai. Kakak sudah menunggu kalian sejak tadi. Kenapa enggak mau dijemput di bandara sih?" ujar Nelly langsung memberondongi Al dan Ily pertanyaan.

"Maaf, Kak, kami cuma enggak pengin merepotkan Kakak saja," jawab Al sungkan kepada Nelly.

"Ayo masuk!" ajak Nelly menarik Ily, teetapi ditahan Al.

"Kapan-kapan saja deh, Kak. Sepertinya terlalu ramai, El enggak terbiasa dengan pesta mewah seperti itu," alasan Al agar bisa menghindari ajakan Nelly.

Nelly yang paham perasaan Al, dia langsung mengangkat El dari gendongan Ily.

"Halo El, keponakan Auntie Nelly yang ganteng, mau ya, ketemu Oma sama Opa?" Nelly berjalan masuk sambil mengajak ngobrol El.

Al dan Ily saling memandang dan terpaksa mengikuti Nelly yang sudah membawa El masuk ke rumah. Saat sampai di depan pintu, Al berhenti dan mengingat kejadian tiga tahun lalu saat diusir dari rumah itu. Ily melingkarkan tangan di pinggang Al.

"Kamu takut, Yah?" tanya Ily mendongak melihat Al yang sedang menatap kosong.

"Sedikit, Bun," jawab Al menoleh Ily.

"Kita hadapi bersama ya, Yah," sahut Ily dengan senyuman manis.

"Iya, Bun." Al tersenyum manis dan memeluk pinggang Ily.

Di ruang utama rumah itu luas, sudah banyak tamu dan berbagai makanan dihidangkan. Balon-balon dan hiasan ala kerajaan menjadi tema ulang tahun Adel yang kedua. Nelly menggendong El masuk.

"Itu Kak Adel sedang bermain dengan teman-temannya. El juga mau main?"

"Au anti ain cama Atak Aden," jawab El dengan bahasa cedalnya. (Mau Aunty, main sama Kak Adel.)

Nelly tersenyum lalu mencium gemas pipi chubby dan putih mirip bakpao itu. Dari sofa yang tidak jauh tempat Nelly berdiri, Ramdani dan Rahma memerhatikan. Rahma berdiri menghampiri Nelly.

"Anak siapa dia, Nel?" tanya Rahma menunjuk El yang sudah bermain dengan Adel.

"Lucu ya, Ma? Gemesin. Dia cerdas, pinter loh, Ma. Orang tuanya pinter banget mendidik dia," ujar Nelly yang tidak menjawab pertanyaan Rahma.

Hati Rahma bergetar saat melihat paras tampan balita laki-laki itu. Rahma mengingat pemilik mata dan bibir El. Senyum tersungging di bibir Rahma saat El membantu Adel merangkai mainan rumah kerajaan. El sangat pinter dan terlihat lebih menonjol gerakannya menyusun benda-benda kecil itu dengan lincah dan rapi. Nelly tertawa saat melihat El lebih dulu menyelesaikan, sedangkan Adel jauh tertinggal. El berjingkrak senang sambil memutarkan tubuhnya.

"Cini El antu Atak Aden," seru El lalu membantu merangkai milik Adel. (Sini El bantu Kak Adel.)

Kerja sama mereka membuat Ramdani yang melihat dari jarak jauh menyunggingkan senyum tipis. Ternyata sejak tadi dia memerhatikan balita tampan itu. El dan Adel sudah menyelesaikannya bersama. Adel sangat girang dan memeluk adik sepupunya itu.

"Akacih, Adik El," ucap Adel lucu memamerkan gigi susunya yang berjejer rapi dan masih terlihat putih. (Makasih, Adik El.)

"Cama-cama, Atak Aden," jawab El membalas pelukan Adel. (Sama-sama, Kak Adel.)

"Anak siapa sih, lucu banget," ujar Rahma mendekati El dan mencium pipinya gemas.

Nelly mencari Al dan Ily. Namun, mereka tidak terlihat. Nelly sudah menduga, pasti mereka masih di luar.

"Mama suka ya, sama El?" tanya Nelly sengaja mempertanyakan itu kepada Rahma.

"Mana ada orang yang enggak suka anak setanpan dan sepinter dia, udah gitu germesin begini," jawab Rahma sambil menguyel pipi El.

"Aw, atit, Oma," pekik El membuat Rahma semakin gemas. (Aw, sakit, Oma.)

"Oma, agan akal cama Adik El," bela Adel yang tidak terima jika El kesakitan. (Oma, jngan nakal sama Adik El.)

Rahma merasa ada sesuatu yang mengganjal. Adel sangat dekat dengan El, itu membuat Rahma curiga tetang El. Namun, Rahma hanya diam. Memang selama ini Nelly sengaja mendekatkan Adel dengan El, walau Nelly harus bolak-balik Jakarta-Banyuwangi. Nelly keluar mencari Al dan Ily, dia melihat kanan dan kiri dari ambang pintu. Al dan Ily duduk di kursi pos satpam, membuat Nelly menghela napas panjang.

"Dasar anak-anak!" gerutu Nelly lalu memiliki ide cemerlang.

"Al! Ily! Itu, El ... itu ... si El ...," pekik Nelly dibuat sok khawatir sambil menunjuk ke dalam.

Al dan Ily yang khawatir segera berlari dan masuk begitu saja ke rumah, tidak lagi memikirkan rasa malu dan minder. Yang ada di pikiran mereka hanya keadaan El.

"El ...!" panggil Al dan Ily bersama dengan wajah panik dan khawatir.

Mereka sudah di rumah. Rahma yang dari tadi jongkok, mengajak ngobrol El, langsung berdiri setelah melihat Al dan Ily bergandengan erat. Mata Ramdani terbelalak melihat Al yang berdiri dengan napas tersengal. Ily memegangi dadanya, jantungnya seperti hampir lepas karena terlalu mencemaskan keadaan El.

"Nah, Ma, Pa, ini orang tua Abrisam Jami' Anas Gavriel. Kenalin, ini ayah El, namanya Alfian Rizqie Mutha dan ini bundanya, namanya Faza Ilya Zara Arissa," ucap Nelly santai sambil merangkul Al dan Ily.

Jantung Al dan Ily berdetak kencang dan mereka saling mengeratkan gandengan. El berlari kecil menghampiri Al dan Ily. Al langsung menggendong El.

"Ayah." El memeluk leher Al karena takut.

Suasana yang tadinya ramai menjadi hening dan tegang. Al melihat Rahma yang berdiri di depannya dengan jarak sekitar dua meter, sudah menggantungkan air di pelupuk. Al mengalihkan pandangannya kepada Ramdani yang berdiri dengan wajah garang dan rahang mengeras.

"Kita pulang saja, ya?" bisik Al pada Ily.

Ily mengangguk takut, Al lalu menggandeng Ily untuk keluar dari rumah itu.

Nelly hanya bisa diam di tempat karena berpikir usahanya sia-sia. Saat Al dan Ily akan melangkah keluar dari pintu, suara keras menyahuti langkahnya.

"Jangan harap Anda semudah itu keluar dari rumah ini, Tuan dan Nona. Setelah Anda masuk dengan mudahnya kalian akan pergi begitu saja dari rumah saya?"

Suara itu membuat perasaan Al dan Ily semakin dijalari ketakutan. Apalagi Al, ingatannya tiga tahun silam berputar-putar di otaknya. Rahma menghampiri Al dan Ily yang berdiri kaku di ambang pintu. Dengan cepat, Rahma merebut El dari gendongan Al.

"Cucu, Oma," tangisan Rahma pecah saat memeluk El erat.

El menangis karena sikap Rahma yang mendadak membuatnya kaget. Al dan Ily cemas melihat El yang menangis sesenggukan, saat Al ingin mengambil El dari gendongan Rahma, Nelly mencegahnya.

"Ayah, Bunda, huaaaaaa ... huaaaaa ...," tangis El membuat Al dan Ily tidak tega.

Namun Rahma tidak memedulikannya. Yang ada dalam pikiran Rahma hanya ingin memeluk cucunya yang sejak dia lahir tidak pernah bertemu.

"Ini, Oma, Sayang. Jangan takut, Oma sangat merindukanmu," ujar Rahma sambil menghampiri Ramdani. "Ini, Opa, El," ucap Rahma dengan senyum dan tangisan tertahan.

"Bunda, Ayah, El au itut Bunda, Ayah ...," ronta El, tangannya menggapai ke arah Al dan Ily.

Al yang tidak tega melihat anaknya menangis sampai terisak seperti itu, dengan langkah lebar mendekati Rahma dan mengambil El.

"Ayah ... pulang," rengekan El yang sudah memeluk leher Al erat.

"Iya, Sayang, kita pulang, ya? Udah diam dulu, El kan, anak pinter, masa jagoan Ayah nangis sih? Enggak malu sama Kak Adel, yang cewek aja enggak cengeng," bujuk Al sambil mengusap air mata El.

"Pulang Ayah ... pulang ...," rajuk El masih sesenggukan.

"Iya, kita pulang," ucap Al lembut tanpa berpamitan, dia menggandeng Ily.

"Sekali Anda melangkah dari rumah ini, jangan harap hidup keluarga Anda akan tenang," ancam Ramdani membuat Al membalikan badan cepat dan menatap tajam papanya.

"Mau Anda apa? Anda sudah membuat anak dan istri saya ketakutan. Saya tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti keluarga saya," sahut Al cepat yang sedari tadi mengumpulkan keberanian untuk menjawab Ramdani.

"Yah, kontrol emosi kamu. Itu orang tua kamu. Kita jadi pusat tontonan banyak orang," bisik Ily pelan di telinga Al.

Al menghela napas dalam agar dapat mengendalikan emosi yang sudah sejak tadi dia tahan. Ramdani menghampiri Al, diikuti Rahma.

"Mau saya Anda tinggalkan El di sini," ucap Ramdani enteng membuat mata Ily terbelalak, tak percaya.

"Maaf, saya tidak bisa," jawab Al menatap kedua mata Ramdani yang sebenarnya menyimpan rindu dan penyesalan mendalam. Namun, tertutupi sikap angkuhnya.

"El adalah darah dagingku. Jadi, dia berhak untuk tinggal di sini."

"Kalau Papa menginginkan El tinggal di sini, itu berarti Al sama Ily juga harus tinggal si sini, karena Al juga darah daging Papa dan Ily adalah istri sekaligus ibu El," sahut Nelly berani, berdiri di depan Al dan Ily menantang Ramdani. Tanpa menjawab, Ramdani pergi, berlalu masuk ke kamar.

"Tinggallah di sini, Al, Ily. Maafkan Mama sama Papa. Sejujurnya kami menyesal karena sudah menelantarkan kalian dan membiarkan kalian berjuang hidup sendiri di luar sana. Maafkan Mama, Al," ucap Rahma tulus dengan isakan, memeluk Al yang masih menggendong El.

"Maafkan, Al juga, Ma, sudah mengecewakan Mama sama Papa. Tapi, kalau Mama sama Papa meminta Al untuk tinggal di sini, maaf, Al enggak bisa," sahut Al membalas pelukan Rahma.

Ily yang melihat situasi itu semakin sedih karena mengingat kedua orang tuanya. Tuhan selalu memiliki jalan untuk segala permasalahan yang menimpa kita. Anak adalah salah satu alat untuk jembatan mencari restu dari kedua orang tua. Dengan kepolosan dan kehangatannya, hati yang beku akan mencair perlahan seiring berjalannya waktu.

########

Makasih buat vote dan komentarnya.

Dukung karyaku terus, ya? Biar aku selalu semangat bikin cerita-cerita.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top