SELAMAT TINGGAL MASA LALU

Al sedikit bernapas lega karena Ily tidak lama dirawat di rumah sakit. Penyakit asam lambung yang diderita Ily membuat Al semakin ekstra menjaganya. Dari pola makan yang terutama. Ketika Al mendengar penjelasan dokter kemarin, hati Al dilanda rasa bersalah. Karena dia, Ily menengenggak minuman beralkohol terlalu banyak dengan kondisi perut yang kosong. Al tidak mau lagi Ily meminum semacam itu.

"Pokoknya mulai sekarang enggak ada lagi kamu minum-minuman beralkohol. Mulai detik ini, kalau kamu masih bandel, aku enggak mau ngurusin kamu lagi. Kamu mau aku cuekin?" Al tegas sambil menatap Ily tajam.

"Enggak mau," jawab Ily pasrah dan takut.

"Ya sudah, kamu sekarang tidur, ya? Maaf aku marah-marah terus. Aku enggak mau lihat kamu sakit. Apalagi sebentar lagi kita ujian. Aku mau kita lulus bersama dan mendapatkan nilai yang memuaskan," ujar Al mengelus kepala Ily lembut.

"Iya, Honey. Aku ngerti kamu pasti khawatir banget sama aku. Maaf sudah membuat kamu khawatir dan cemas?" sesal Ily membuat Al tersenyum lalu mencium bibir Ily singkat.

"Jangan bandel ya, kalau dibilangin nurut."

"Iyaaa."

"Sekarang kamu tidur, aku akan menjagamu."

"Peluk," rengek Ily dengan wajahnya yang lucu membuat Al gemas.

Al tersenyum dan menggeleng lalu mengunci pintu kamar Ily. Al menyusul Ily tidur di sampingnya. Al memeluk Ily memberikan kenyamanan dan ketenangan. Saat napas Ily sudah teratur suara dering ponsel Al mengusik tidurnya. Al menggapai ponsel yang dia letakan di nakas. Al melihat, ternyata dari ayah Nissa.

"Halo, iya, Om, bagaimana?" Al menjawab telepon itu. Ily semakin terusik tidurnya karena suara Al.

"...."

Al terlonjak dan langsung duduk dari posisi tidurnya. Mata Al terbuka sempurna.

"Baik Om, saya akan segera ke sana, sekarang," jawab Al cepat lalu bangkit dari tempat tidur. Saat dia ingin melangkah pergi, Ily menahannya.

"Nissa lagi?" tanya Ily datar dan jutek.

"Iya, Sayang, dia sedang kritis," jawab Al khawatir dan tidak tenang.

"Kalau begitu aku ikut ke rumah sakit," sahut Ily cepat lalu bangkit dari tidurannya.

"Tapi Yang, kamu sedang sakit," ujar Al dengan wajah tidak tenang.

"Aku udah baikan." Ily lalu mengganti celana pendeknya dengan celana panjang.

Dia menyambar tas dan jaketnya lalu mengikuti Al yang berlari kecil, terlihat sangat terburu-buru. Dengan kecepatan tinggi Al mengemudi mobilnya, tidak seperti biasa, kini Al seperti orang kesetanan. Membuat Ily ketakutan dan berpikir jika Al kini hanya memikirkan wanita itu, tidak memikirkan keselamatan mereka.

"Al stop! Turunkan aku di sini," seru Ily yang sudah menangis dengan mata terpejam dan tangan berpegangan jok mobil sangat erat.

Ciiiiiiittttttttt!

Al ngerem mendadak dan membanting setir hingga mobil berhenti di pinggir jalan. Ily membuka matanya lalu menatap tajam Al.

"Kamu masih mencintainya, hah!" teriak Ily, air matanya sudah membanjiri pipi. Al terdiam tak bisa menjawab.

"Jawab, Al! Apa kamu masih mencintainya?" tanya Ily sekali lagi dengan tangisan yang semakin terisak. Al menatap wajah Ily dan hanya diam. Bibirnya kelu melihat wanitanya menangis lagi karenanya.

"Oke, lo diam, gue anggap itu jawaban iya! Jika lo masih mencintainya, silakan pergi dan gue minta mulai detik ini antara kita enggak ada hubungan lagi. Lupakan semua yang pernah lo janjiin ke gue!" Ily sudah tidak bisa menahan sesak di dadanya.

Al memeluk Ily erat, Ily memberontak sambil menangis menyayat hati siapa pun yang mendengarnya. Al tak bisa menahan lagi air matanya hingga ikut menangis.

"Tidak, tidak, tidak, Sayang, jangan lakukan itu sama aku. Aku terlalu mencintaimu," ucap Al menangis dalam pelukan Ily.

"Lepas!" Ily meronta dalam pelukan Al.

"Jangan pergi dariku, aku membutuhkanmu, Sayang." Al semakin terisak di sela leher Ily.

"Membutuhkanku untuk memuaskan hasrat dan nafsumu. Iya!" bentak Ily dengan luka di hatinya.

Al melepas pelukannya menatap Ily lekat, kedua tangan memegang bahunya. Air mata dari mereka tak bisa terbendung.

"Jangan katakan itu, aku tidak suka. Di mataku, kamu tetap wanita terhormat yang harus aku jaga dan lindungi. Kamu milikku dan akan tetap menjadi milikku. Selamanya tetap kamu milikku!" pekik Al tulus dari hatinya.

"Tapi kenapa kamu seperti tidak memikirkan keselamatan kita? Aku takut," ucap Ily masih menangis, tetapi kali ini lebih tenang daripada tadi.

"Maafkan aku. Aku takut tidak ada waktu lagi. Aku sudah berjanji akan menemani di sisa waktunya. Aku mohon kali ini mengertilah dengan keadaan ini. Maaf aku egois, tetapi hanya ini yang dapat aku lakukan untuknya," jelas Al menghapus air mata Ily dan membawanya ke dalam pelukan.

"Maafkan aku, Sayang, selalu membuatmu menangis karena masa laluku," ucap Al tulus dan mencium pucuk kepala Ily. Al menyeka air matanya dan menegakan tubuh Ily.

"Sekarang kita ke rumah sakit, ya?" ajak Al lembut merapikan penampilan Ily yang sedikit berantakan.

"Pelan-pelan nyetirnya, aku takut," rengek Ily masih sesenggukan.

"Iya, Sayang. Maaf ...," ucap Al mencium pelipis Ily lalu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan rata-rata.

Sampai di rumah sakit, Al menggandeng erat tangan Ily menyusuri koridor rumah sakit. Setelah di depan ICU, Al menghampiri orang tua Nissa yang terlihat sudah pasrah.

"Om, Tante." Al masih menggenggam erat tangan Ily.

"Nak Al ... Nissa ...," tunjuk ibunda Nissa ke ruang ICU.

Al mengajak Ily masuk ke ruang ICU, dengan tangan masih bergandengan erat. Nissa dengan wajah pucat dan berbagai alat medis menempel di tubuhnya berusaha tersenyum menyambut Al. Ily berhenti di ambang pintu melihat tubuh Nissa yang tak berdaya. Al menoleh masih tetap menggenggam erat tangan Ily. Al mengangguk kepada Ily, lalu mereka masuk bersama menghampiri Nissa.

"Hai, Beb," sapa Nissa lemah dengan senyum manisnya.

Hati Ily merasa panas saat mendengar panggilan sayang Nissa untuk Al. Namun, dia harus bisa mengerti dengan keadaan ini. Ily menarik napasnya dalam lalu mengeluarkan perlahan, mengurangi sesak di dada.

"Apa dia Ily?" tanya Nissa menatap Ily. Al menoleh melihat Ily dan tersenyum pada Nissa.

"Iya, dia Ily," jawab Al lembut.

"Kemarilah, Ily," pinta Nissa, Ily meminta persetujuan Al, dengan tatapan mata mereka, Al mengangguk.

Ily berjalan menghampiri Nissa diikuti Al. Al selalu memegang pinggang Ily. Nissa berusaha menggapai tangan Ily. Namun, tenaganya tidak mampu untuk mengangkat tangan. Ily yang menyadari itu menggapai tangan Nissa dan tersenyum manis.

"Hai, aku Nissa, masa lalu Al," ucap Nissa memperkenalkan diri.

"A-a-aku ...," jawab Ily terbata.

"Senang bisa memiliki kesempatan untuk mengenal masa depan Al," sahut Nissa membuat hati Ily diselimuti perasaan bersalah karena sudah cemburu dengannya.

Ily baru sadar mengapa Al selalu mengutamakan Nissa daripada dirinya. Air mata bersalah keluar mengalir di pipi Ily. Al mengelus punggung Ily, memberi ketenangan.

"Apa aku boleh memeluk teman baruku?" ujar Nissa lemah lalu Ily mengangguk mengulum bibirnya untuk menahan tangis.

Ily memeluk Nissa sangat erat, dia menyalurkan semangat kepada teman barunya itu.

"Maafkan aku sudah menyita waktu Al. Hingga detik ini aku masih mencintainya. Aku titipkan cintaku padamu. Jaga cintaku baik-baik," ujar Nissa semakin melemah tepat di telinga Ily.

"Maafkan aku sudah mencurigaimu dan cemburu padamu," ucap Ily terisak dalam pelukan Nissa.

"Apa boleh aku tidur di perlukan Al untuk yang terakhir kalinya?" Nissa meminta izin sangat tulus.

Ily melepas pelukannya dan menatap Al, dia harus bisa mengerti situasi ini. Dia tidak boleh egois. Nissa lebih membutuhkan Al saat ini. Ily melihat Nissa lalu mengangguk dan mundur satu langkah. Al mengusap punggung Ily agar dia lebih tenang.

"Baby, antar aku tidur lelap di dekapanmu," pinta Nissa membuat tangisan Ily semakin tak terkendalikan. Ily membekap mulutnya agar tidak bersuara.

Al memandang Ily seolah meminta izin, Ily mengangguk ikhlas mengizinkan Al. Al menghampiri Nissa lalu memeluk Nissa.

"Terima kasih sudah menjadi pelindungku dan mencintaiku selama ini. I love you, Baby?" ucap Nissa membuat air mata Al meleleh.

"Maafkan aku jika selama ini membuatmu tersakiti. I love you too," jawab Al lirih.

Perlahan Al merasakan tangan Nissa semakin lemas dan Ily melihat Nissa tersenyum tulus padanya hingga pada akhirnya, Nissa benar-benar menutup mata, membuat Ily menjatuhkan diri ke lantai karena merasa tubuhnya lunglai seperti tak punya tulang. Tangis Ily lepas hingga dia tersungkur di lantai. Al masih memeluk Nissa yang sudah ditinggalkan sukmanya. Dia menangis sesenggukan sambil mempererat pelukan Nissa.

"Selamat jalan cinta pertamaku. Kamu memiliki ruang tersendiri di hatiku," ucap Al mencium kening Nissa.

Al perlahan menidurkan Nissa lalu membantu Ily berdiri untuk menghampiri Nissa. Ily memeluk tubuh yang sudah dingin dan pucat itu, dia menangis sejadinya di dada Nissa.

"Selamat tinggal sahabat baruku, walau kita baru saja berteman, tapi kamu sudah dapat menempati ruang tersendiri di hatiku," ujar Ily tulus lalu mencium kening dan kedua mata Nissa yang sudah tertutup rapat.

Al menggapai tubuh Ily dan memeluknya erat. Ily menangis sesenggukan di pelukan Al. Air mata Al tak dapat terbendung, dia biarkan air mata itu keluar.

*****

Sebulan setelah kepergian Nissa, kini hubungan Al dan Ily semakin membaik. Banyak pelajaran yang mereka ambil dari Nissa. Perjuangannya selama ini melawan penyakitnya dan ketegarannya melepas cinta yang mulai mekar hanya untuk membasmi sakit yang dia derita. Saling percaya dan saling terbuka dengan pasangan penting agar tidak ada perselisihan paham. Semua di dunia ini hanya milik-Nya dan akan kembali pada-Nya.

Al dan Ily duduk di salah satu bangku kantin sekolah bersama Corin. Sebulan lagi mereka akan menghadapi ujian. Ily yang baru saja memekan bakso dan es lemon tea, sudah melahap habis tak tersisa. Al heran, belakangan ini nafsu makan Ily meningkat dan semua seakan ingin dia makan apalagi tubuh Ily sekarang semakin berisi.

"Sayang, udah ya, nanti lagi makannya," ujar Al menahan tangan Ily, saat ingin mengambil ice cream yang sudah dia pesan tadi.

"Aaaahhhh, aku masih mau makan, Honey," rengek Ily manja membuat Al mengalah.

"Ihhhh, lo ya Ly, enggak takut gendut apa?" sahut Corin yang juga merasa heran, tak biasanya Ily makan sebanyak itu.

"Enak aja ngatain gue gendut! Lo kali yang gendut," tukas Ily mencebik ke arah Corin.

"Lihat tuh pinggang lo udah melebar, tumbuh itu ke atas bukan ke samping," ledek Corin yang justru menyinggung perasaan Ily. Al dan Corin terkekeh bersama.

Al melihat perubahan wajah Ily yang memerah dengan dada naik turun, Al langsung terdiam lalu memandangnya lekat. Mata Ily berkaca-kaca siap meluncurkan air mata. Al berdiri lalu menarik kepala Ily ke depan perutnya. Ily memeluk pinggang Al lalu menangis sesenggukan hingga seragam putih Al basar. Corin berhenti tertawa melihat Ily menangis di pelukan Al.

"Lahhh, kenapa lo nangis, Ly? Gue kelewatan ya, bercandanya? Kan, biasanya kita juga bercanda begitu?" Corin merasa bersalah dan mengusap punggung Ily.

"Honey, Corin ngatain aku gendut."

"Kamu enggak gendut kok, Yang, cuma sekarang sedikit berisi," jawab Al justru membuat Ily semakin menangis.

"Aaaaaaaaa, kamu juga jahat ngatain aku gendut," ucap Ily sambil memukul-mukul perut Al.

"Eh, eh, eh, enggak Yang, kamu enggak gendut. Beneran deh! aku cuma bercanada. Iya kan, Rin?" ujar Al mengedipkan mata kepada Corin agar mengiyakan jawabannya.

"Iya Ly, kamu enggak gendut kok. Kita kan, cuma bercanda," timpal Corin yang merasa aneh kepada sahabatnya itu. Perubahan Ily yang semakin manja dan sensitif mudah tersinggung.

"Ya sudah, kamu cepetan habisin es krimnya terus kita masuk kelas." Al merenggangkan pelukannya dan menghapus air mata Ily.

Sepulang sekolah, Al mengantar Ily mampir ke supermarket untuk belanja bulanan. Al dengan sabar menemani Ily berkeliling memilih barang kebutuhannya. Mata Al menangkap tumpukan pembalut dan berpikir sesuatu.

"Yang," panggil Al lirih.

"Hmmmm," gumam Ily sambil memilih sabun mandi.

"Ini tanggal berapa sih?"

"Tanggal 15. Kenapa, Honey?" tanya Ily menoleh Al.

"Enggak apa-apa," jawab Al tersenyum manis mengelus pipi Ily.

Mereka melanjutkan belanja, Al yang mendorong keranjang belanjaan Ily terlihat sedang berpikir keras.

Apa iya dia ...? Ah, enggak mungkin! Tapi kenapa dia tidak pernah menolak setiap aku ajak bercint? Seharusnya sudah awal bulan kemarin dia dapat. Ini sudah pertengahan bulan, kenapa dia selalu bisa bercinta denganku? pikir Al sepanjang jalan mengantar Ily pulang.

###########

Makasih buat vote dan komentarnya.

Biarpun cerita lama, tapi setiap aku baca, rasanya masih sama. Bikin baper.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top