PRIA SEJATI
Semua murid di ruang itu tampak tegang dan serius. Dua orang penjaga selalu berkeliling mengawasi ujian pagi itu. Al dan Ily terlihat konsentrasi dan hati-hati mengerjakan soal ujian hari terakhir. Dengan kondisi yang masih lemas dan terkadang mual datang dan pergi sesuka hatinya, tidak membuat ujian Ily terganggu. Selesai mengerjakan soal ujian, Al dan Ily segera menuju ke parkiran. Al mengemudi mobil Ily. Di mobil, mereka hening dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
"Yang, kamu siap?" tanya Al saat sudah di depan pintu yang tinggi dan lebar.
Al menggenggam erat tangan Ily, dia harus memperlihatkan ketegarannya dan lebih kuat di depan Ily.
Saat Al ingin memencet bel rumah, tangan Ily menahannya, membuat Al mengurungkan. Al menoleh kepada Ily yang terlihat gugup dan ketakutan.
"Kamu takut?" tanya Al lembut dan mengelus pipi Ily.
"Sedikit," jawab Ily lirih.
Al tersenyum manis membuat hati Ily merasa lebih tenang.
"Ini mungkin berat, meski begitu, teruslah maju demi buah cinta kita, Sayang," ujar Al lembut meyakinkan hati Ily.
"Aku ini berlebihan untuk kamu. Kamu tahu kenapa?" tanya Ily menatap wajah Al lekat, Al menggeleng, tidak mengerti.
"Karena aku memberanikan diri demi dirimu," jawab Ily tersenyum sangat manis membuat perasaan Al menghangat dan lebih tenang.
"Kalau begitu mari kita hadapi bersama. Apa pun yang terjadi, tetaplah di sampingku dan ingat, aku tidak akan pernah melepaskan genggamanku. Tetaplah seperti ini, ya?" ujar Al menunjukan tangannya yang menggenggam erat tangan Ily.
"Saat kita saling menggenggam tangan di tengah kerumunan orang, kita menggunakan tulang, otot, dan darah dalam urat agar tidak terpisah. Seperti sekarang ini, aku akan melakukannya untuk kita menghadapi situasi ini, Honey," timpal Ily dengan perasaan yang lebih yakin dan memiliki sedikit keberanian untuk menghadapi masalah ini.
"Terima kasih," ucap Al mencium pelipis Ily singkat lalu tersenyum.
"Sekarang?" tanya Al mengarahkan jari telunjuknya ke bel rumah. Ily mengeratkan genggamannya dan mengangguk yakin.
Ting tong, ting tong, ting tong.
Al memencet bel, tak berapa lama wanita paruh baya membukakan pintu.
"Sudah pulang, Non, Den," sapa wanita itu ramah.
"Iya Bik. Daddy sama Mommy sudah sampai di rumah?" tanya Ily masuk rumah tanpa melepas gandengan tangannya dengan Al.
"Sudah. Nyonya sama Tuan ada di ruang tengah."
"Baiklah Bik, terima kasih," ucap Ily tersenyum manis.
Jantung Al berdetak kencang, semua kata yang sudah dia siapkan sejak jauh hari buyar. Dia gugup dan keringat dingin keluar dari sekujur tubuhnya. Namun, Al kembali meyakinkan dirinya sendiri, dia lelaki dan harus berani bertanggung jawab. Al mengeratkan genggamannya lalu memberanikan diri menemui orang tua Ily. Al dan Ily berjalan masuk ke ruang tengah menghampiri orang tua Ily yang sedang bersantai.
"Mom, Dad." Ily lalu mengajak duduk Al di sofa depan orang tuanya.
Kedua orang tua Ily mengernyitkan dahi, melihat putrinya menggenggam tangan lelaki yang masih sama dengannya, mengenakan seragam putih abu-abu. Al merasa canggung diperhatikan seperti itu, untuk mengurangi rasa canggung, Al berdiri lalu menjabat tangan kedua orang tua Ily dan menciumnya. Widya tersenyum melihat keramahan dan sopan santun Al. Namun, berbeda dengan sikap Fauzan, dia tetap dingin dan tak acuh.
"Ini siapa, Ly?" tanya Widya tersenyum kepada Al dan membelai wajah Al.
"Ini Al, Mom, pacar Ily," jawwab Ily malu-malu capur takut.
"Wah ganteng! Satu sekolahan sama kamu?" tanya Widya lagi dan kali ini Ily hanya mengangguk.
Suasana menjadi hening tidak ada percakapan lagi. Al berdeham sebelum mulai pernyataannya.
"Sebelumnya saya minta maaf Om, Tante. Kedatangan saya kemari, ada tujuan dan niat baik kepada Om dan Tante untuk Ily," ujar Al mengawali obrolannya.
"Langsung saja, saya tidak suka berbelit-belit," sahut Fauzan dengan suara tegas.
"Saya berniat untuk melamar Ily," tukas Al membuat Widya dan Fauzan shock.
"Apa maksud, Nak Al?" tanya Widya lembut.
"Kita saling mencintai dan ...." Al menggantung kata-katanya membuat jantung Widya dan Fauzan seketika berdetak cepat.
"Aku dan Al ingin secepatnya menikah, Dad, Mom," timpal Ily semakin mengeratkan tautan tangannya dengan Al.
Wajah Widya sangat terkejut, apalagi wajah Fauzan, seketika mengeras.
"Apa tidak seharusnya kalian menyelesaikan kuliah dulu atau setidaknya, biar Nak Al bekerja dulu, Ly," nasihat Widya lembut kepada Ily. Al dan Ily saling memandang.
"Maaf Tante, walaupun saya belum bekerja, tapi saya akan berusaha untuk membahagiakan dan mencukupi kebutuhan Ily," jawab Al kepada Widya.
"Mau kamu kasih makan apa anak saya? Batu? Kerikil? Pentok juga singkong!" sahut Fauzan cepat membuat hati Al tersinggung.
"Daddy." Widya mengelus lengan Fauzan lembut.
"Bukan masalah itu, Nak Al. Kalian masih muda, apa tidak sebaiknya menunggu tiga atau lima tahun lagi, begitu. Setidaknya usia kalian juga lebih matang dan Tante yakin kamu juga lebih siap menghadapi rumah tangga. Berumah tangga itu tidak semudah yang kita bayangkan. Banyak kebutuhan yang perlu dipikirkan," jelas Widya pelan-pelan memberi sedikit pandangan.
"Tidak bisa, Mom, ini harus aku dan Al lakukan sekarang," sahut Ily membuat perasaan Fauzan dan Widya seketika tidak enak.
"Kenapa tidak, Sayang?" tanya Widya menatap wajah Ily.
Ily menunduk takut untuk memandang wajah kedua orang tuanya. Al yang sedari tadi diam kini angkat bicara.
"Maaf Om, Tante, dengan niat tulus, saya meminta baik-baik untuk membawa Ily bersama saya. Karena ...." Lagi-lagi kata-kata Al menggantung membuat perasaan orang tua Ily semakin tidak enak. Mereka menunggu kelanjutan perkataan Al yang tampak serius.
"Karena Ily mengandung buah cinta kami."
Deg!
Finaly! Orang tua Ily shock berat hingga Fauzan memegangi dadanya yang seketika terasa sesak dan perih. Mata Widya berkaca-kaca, apa benar yang dikatakan remaja pria di hadapannya ini?
"Kamu ...." Fauzan menunjuk tepat di wajah Al.
Plak!
Tangan kukuh Fauzan mendarat keras di pipi Al hingga ujung bibir Al sedikit mengeluarkan darah.
"Honey." Ily menangis langsung memegang pipi Al yang sudah terlihat cap merah telapak tangan Fauzan.
Al bersujud di kaki Fauzan dan memohon dengan tulus diikuti Ily yang menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Dengan air matanya yang sudah berlinangan, Ily melakukan hal itu demi cintanya.
"Maafkan kekhilafan saya dan Ily, Om. Kami saling mencintai dan kami siap menanggung ini semua," ujar Al yang sudah memeluk kaki Fauzan. Widya duduk terpatung menatap nanar ke arah putrinya.
Fauzan mendorong tubuh Al hingga terjengkang. Ily membantu Al berdiri sambil menangis terisak.
"Dasar anak bau kencur! Tidak punya pendidikan dan malu! Bagaimana orang tuamu mendidik sampai kamu melakukan hal hina itu!" Fauzan berteriak dengan amarah yang meluap-luap.
"Di mana Daddy sama Mommy selama ini?" pekik Ily berani menantang orang tuanya. Namun, dicegah Al.
"Kamu berani membangkang dan membela bajingan ini, Ly?" Fauzan siap melayangkan tamparannya untuk Ily. Namun, dicegah tangan Al.
"Ini salah saya Om dan saya mohon jangan sakiti Ily. Jika Om ingin marah, marah dan luapkan semua rasa kesal Om kepada saya. Pukul saya sepuasnya, asal Om mau merestui dan menikahkan kami," ujar Al mengiba.
"Jangan mimpi kau anak muda!" jawab Fauzan cepat menepis tangan Al kasar yang menahan tangannya. "Bawa Ily masuk ke kamarnya!" perintah Fauzan kepada Widya.
Widya dengan tangisannya menghampiri Ily.
"Tidak, jangan Mom, Ily mau bersama Al. Ily mencintai Al, Dad. Ily mohon." Ily meronta saat Widya membantunya berdiri dan memaksanya menaiki tangga. Widya sedikit menyeret Ily.
"Tante, tolong jangan sakiti Ily," pinta Al yang berniat ingin menggapai Ily. Namun, dengan cepat Fauzan mendorong tubuh Al hingga terjatuh.
"Aaaaaal!" pekik Ily dengan tangisan menyayat hati.
Widya memaksa Ily naik walau Ily meronta-ronta dan menangis, dia tidak memeduliakannya.
"Om, tolong jangan sakiti dia dan anak saya," ujar Al tulus menatap Fauzan.
"Jangan harap kamu akan menemui Ily lagi, apalagi anak kharam itu. Tidak akan pernah anak itu lahir di dunia ini," ujar Fauzan dengan mata menyalang amarah menatap Al.
"Tolong Om, jangan lakukan itu. Saya siap bertanggung jawab."
Tanpa menjawab, Fauzan menyeret Al keluar dari rumah itu.
"Pergi dan jangan pernah kamu menginjakkan kaki di rumah ini, apalagi sampai menemui Ily." Fauzan menghempaskan tubuh Al ke tanah pelataran rumah.
"Saya akan tetap menunggu di sini," ujar Al berlutut, Fauzan tidak memedulikannya. Dia masuk ke rumah.
Langit tampak gelap, awan menjadi hitam, kilatan petir menyambar. Ily masih menangis di pelukan Widya. Hati orang tua siapa yang tidak sakit mendengar anak gadisnya hamil di luar nikah dan lebih miris lagi, di usia yang masih sangat belia yang seharusnya masih banyak angan orang tua untuk melihat mereka sukses.
"Mom, maafakan Ily. Aku sama Al saling mencintai. Kami melakukannya dengan cinta dan sama-sama suka tanpa paksaan," ujar Ily terisak dalam pelukan Widya.
"Maafkan Mommy, Sayang, keputusan di tangan Daddy. Mommy hanya mengikuti perintah Daddy sebagai kepala rumah tangga," jawab Widya dengan perasaan sakit dan merasa kasihan kepada putrinya itu.
Fauzan dengan keras membuka pintu kamar Ily dan menghampiri Widya yang masih menangis memeluk Ily.
"Gugurkan anak kharam itu!" ucap Fauzan datar dengan cepat Ily memegang perutnya dan menggeleng.
"Tidak akan, Dad. Jangan lakukan itu! Ily tidak akan melakukannya," sahut Ily membuat emosi Fauzan semakin naik.
"Daddy tidak mau menanggung malu, jika rekan bisnis Daddy tahu kalau putri remanja Daddy hamil di luar nikah, akan ditaruh mana muka Daddy ini, Ily?" tanya Fauzan dengan nada tinggi.
"Ily tidak peduli itu, itu urusan Daddy. Al sudah mau bertanggung jawab, tapi kenapa Daddy tidak menghargainya. Daddy jahat!" sentak Ily berani menentang Fauzan, tanpa menjawab perkataan Ily, Fauzan keluar dan membanting pintu keras
Blam!
Widya menyusul Fauzan keluar dari kamar Ily, meninggalkan si pemilik kamar menangis sepuasnya. Hujan di luar sangat lebat, seakan ikut merasakan kesedihan yang Ily rasakan. Ily berjalan ke arah jendela dan menyibak gorden, melihat Al berlutut di depan rumahnya sudah bahas kuyup.
"Al," ucap lirih Ily lalu berniat ingin menghampiri Al, keluar kamar. Namun sia-sia, ternyata pintunya dikunci dari luar.
"Mom! Dad! Bukakan pintunya. Ily mau membantu Al, dia pasti kedinginan, Ily tidak mau dia sakit. Dad, tolong bukakan pintunya!" Ily menggedor-gedor pintu kamarnya keras. Widya dan Fauzan yang mendengarnya tak menggubris.
Widya menghampiri Fauzan yang berdiri di depan tirai transparan, melihat kegigihan Al yang tidak gentar dengan teriakannya. Widya ikut menatap keluar melihat Al yang masih setia berlutut dengan guyuran hujan lebat.
Sejak pulang sekolah, Corin dan Putri mengikuti Al dan Ily. Mereka sudah mendengar penjelasan dari Al dan Ily. Sebagai sahabat, mereka merasa iba.
"Put, kita samperin Al, yuk! Kasihan tuh anak orang, nanti sakit," ujar Corin yang duduk di belakang kemudi mengawasi Al dari balik kaca mobil.
"Wah tekadnya gede juga tuh anak. Jadi salut sama dia, Rin. Ck! Dasar Om Fauzan, enggak tahu apa, calon keponakan kita juga butuh bapaknya," kata Putri menahan emosinya.
"Iya, ya, Put, tuh Om kaku banget, enggak pernah makan bubur yang lembek kali, ya? Makannya besi, jadi kaku deh tuh Om kepala botak," jawab Corin lalu mereka terkekeh.
"Lah, kenapa kita malah ngedumel di sini? Katanya mau bantu Al?" ujar Putri lalu mereka mengambil payung di jok belakang dan turun dari mobil menghampiri Al yang sudah pucat.
"Al, ayo, gue antar lo pulang. Gila lo, bisa mati lama-lama di sini. Lo udah mau jadi bapak, masih seneng hujan-hujanan. Entar aja hujan-hujannya kalau anak lo udah lahir. Jadi kalian bisa sepuasnya tuh main air hujan bareng." Corin berniat menghibur sekaligus membujuk Al.
Al tampak pucat dan tubunya semakin lemas. Putri dan Corin menyadari hal itu lalu mereka membantu Al berdiri memapahnya masuk ke mobil Corin. Setelah menidurkan Al di jok belakang, Corin dan Putri segera masuk, duduk di jok depan. Corin melajukan mobilnya ke apartemen Al.
Sesampainya di apartemen Al, Corin meminta bantuan penjaga untuk membantunya memapah Al yang semakin melemah. Sesampainya di depan pintu, Putri menepuk pelan pipi Al, berharap Al masih memiliki kesadaran.
"Al, password-nya apa?" tanya Putri.
"Tanggal ulang tahun Ily dan gue," jawab Al sangat lirih, tetapi Putri dapat mendengar samar-samar.
Putri yang mengetahui itu lalu memasukan password, akhirnya pintu terbuka. Penjaga dan Corin membantu menidurkan Al di kamarnya. Corin meminta bantuan penjaga mengganti baju Al yang basah. Setelah siap Corin dan Putri masuk ke kamar Al. Mereka saling membantu agar Al cepat sadar.
"Aduh, Al, lo nyusahin banget sih? Coba lo bukan bapak calon keponakan gue, ogah gue rawat lo beginian. Harusnya calon bini lo yang di sini, bukan kita ya, Rin?" dumel Putri yang telaten mengompres dahi Al dengan air hangat.
"Udah deh Put, teman lagi kena musibah juga. Ikhlas, entar kita juga dapat balasannya," sahut Corin cepat.
"Balasan apa?" tanya Putri dengan wajah polos dan penuh tanya.
"Balasannya, siapa tahu dapat bonus ciuman dari Al. Lumayan, kan?" jawab Corin menaik-turunkan alisnya membuat keduanya tertawa lepas.
Apa yang kita lakukan pasti akan ada akibatnya. Tinggal kita bagaimana menyikapinya. Siap berbuat, kita harus siap bertanggung jawab. Sesakit apa pun itu akan tetap dilakukan jika pada akhirnya akan bahagia.
###########
Terima kasih vote dan komentarnya.
Ambil positifnya, buang negatifnya. Selamat beraktivitas, teman-teman.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top