PERTANGGUNGJAWABAN
Di kamar yang cukup luas, dengan penerangan yang redup, Al duduk di tepi ranjang hanya mengenakan boxer. Dia melirik tubuh naked Ily yang hanya tertutup bed cover. Al mengelus rambut Ily dan menatap wajah cantiknya. Ada rasa kekhawatiran mendalam di diri Al saat ini. Al mengambil rokok sekaligus korek api di nakas.
Dia berjalan, duduk di sofa, kedua kaki dinaikan ke meja. Al mengambil sebatang rokok lalu membakar ujungnnya. Perlahan dia hisap rokok itu dan mengeluarkan asap-asap nikotin yang sebenarnya sangat merugikan. Jika Al sedang banyak pikiran dan mengalami stres berat, bisa saja dia sehari menghabiskan tiga bungkus rokok.
Al menghela napas berat, kepalanya terasa pusing dan ada sesuatu yang membebaninya sekarang. Al menatap tubuh Ily yang tidur lelap di bawah sinar lampu tidur. Wajah polosnya terlihat semakin cantik saat terkena sinar oranye. Al tersenyum simpul mengingat semua yang pernah mereka lakukan dan lalui bersama. Al segera menghabiskan rokoknya. Setelah dimematikan putung rokoknya, dia segera menghampiri Ily dan tidur di sampingnya. Al menatap wajah Ily cukup lama. Hatinya tiba-tiba dirasuki rasa bersalah dan berdosa.
Al mengelus pipi Ily, mencium keningnya dan berbisik pelan tepat di telinganya, "Maafkan aku, Sayang, sudah membuatmu sedih. Karena omelanku dan kebawelaku." Al lalu memeluk Ily dan mencium pucuk kepalanya.
"Beri aku waktu untuk tidak sering mengucapkan maaf untukmu, karena aku tidak ingin kata maaf itu habis untukku. Aku sudah sering berbuat salah kepadamu. Satu maaf yang aku ucapkan seakan tidak akan pernah terbayar oleh milyaran kata cinta dan sayang yang sering aku ucapkan padamu," timpal Al lirih sambil mengelus pipi Ily lembut dengan punggung jari telunjuknya.
"Aku mencintaimu tulus tanpa meminta balasan darimu, tapi Tuhan ternyata terlalu baik kepadaku hingga rasa cintaku ini terbalaskan oleh rasa cinta yang kamu miliki. Selamat tidur, Sayang, kamu adalah belahan jiwaku. Aku ingin membahagiakanmu dan membuatmu selalu tersenyum untuk membalas setiap kata maaf yang sudah kamu beri untukku."
Al menatap wajah Ily lagi, saat tertidur seperti itu Al melihat wajah lelah Ily. Al semakin merasa bersalah sudah menambah lelah dan sedih kepada Ily.
"Aku akan lakukan apa pun demi kamu dan agar kita bisa selalu bersama," ucap Al memeluk Ily dan menyusulnya ke dunia mimpi.
Pagi buta, mata Ily terbuka lebar dan perutnya seperti diaduk-aduk, ingin mengeluarkan isi di perutnya. Kepala Ily terasa pusing. Dengan tubuh naked, Ily berlari ke kamar mandi dan mencoba mengeluarkan isi perutnya. Namun sia-sia, yang keluar hanya cairan lendir.
"Huuuueeeeekkkk. Huuuuueeeeekkk."
Suara itu mengusik tidur Al yang lelap. Perlahan Al membuka mata melihat di sebelahnya tidak ada Ily. Al terbangun dan menghampiri Ily yang sudah lemas duduk tersungkur di lantai kamar mandi.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Al menghampiri Ily, lalu menggapai handuk kimono yang berada di belakang pintu dan memakaikannya untuk Ily.
"Enggak tahu, Honey, rasanya perutku mual," jawab Ily lemas. Al mengangkat Ily dan menidurkan di ranjang.
Al mengambil minyak angin lalu mengusapkan ke seluruh badan Ily terutama perut agar badannya terasa hangat. Al mematikan AC. Ily menyadari sesuatu, lalu menoleh pada kalender.
"Aku telat, Honey," seru Ily dengan mata melebar dan shock menatap Al. Al menghela napas dalam lalu mengangguk paham.
"Aku enggak mau, Honey ...," ujar Ily mulai menangis, Al memeluk Ily yang sudah sesenggukan dan memukul-mukul punggung Al.
"Ssssssttttttt ... kita tes dulu, ya?" ucap Al lembut mengelus punggung Ily.
Sudah diduga oleh Al, belakangan ini dia menahannya dan selalu mencoba menampik pikiran itu. Namun, kenyataannya itu benar terjadi. Al sudah memikirkan semuanya, siap tidak siap mereka harus menanggungnya. Ini memang terlalu cepat untuk mereka, tetapi bagaimana lagi, mereka harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah dilakukan selama ini.
"Aku enggak mau, Honey, aku belum siap!" pekik Ily di sela isakannya. Al meregangkan pelukannya dan menghapus air mata Ily.
"Siap tidak siap, kita harus tanggung. Kita akan bersama-sama melewati ini. Kita bikinnya saja sama-sama sampai tidak terpikir sejauh ini. Aku akan bilang pada orang tuaku untuk meminta menikahkan kita, segera," ucap Al lembut menenangkan hati Ily.
"Tapi aku takut, bagaimana jika Mommy sama Daddy tahu. Pasti mereka kecewa," jawab Ily mulai dilanda penyesalan.
"Kita hadapi orang tuamu bersama, ya? Bertahan dulu hingga ujian sekolah selesai."
"Tapi kamu enggak akan kabur ninggalin aku kan, Honey?" tanya Ily khawatir jika Al lari dari tanggung jawab.
"Enggak, Sayang, ini darah dagingku dan buah cinta kita. Aku akan berusaha mempertahankannya. Kamu percayakan sama aku," ujar Al menangkup kedua pipi Ily.
"Tapi keburu besar, Honey, perutku. Ujian sebulan lagi. Aku malu kalau sampai teman-teman tah." Ily semakin terisak.
"Kita cek ke dokter sekarang. Berapa usia kandungan kamu, jika memang kamu hamil," ajak Al lalu menggapai celana yang menyebar di lantai.
Kini Al dan Ily sudah berada di klinik 24 jam, terdekat dengan apartemen Al. Jantung mereka berdebar kencang dan rasa takut menyelimuti. Tak seharusnya itu terjadi di usia mereka yang masih belia, harusnya mereka masih bisa berkarya sebagai generasi yang baik. Namun, apa daya jika itu sudah terjadi, mereka harus menanggungnya.
"Bagai mana, Dok? Apa hasilnya?" tanya Al tak sabar setelah dokter memeriksa Ily.
"Kalian masih muda, seharusnya ini tidak terjadi. Pacar kamu hamil, usia kandungan tiga minggu," jawaban dokter itu.
Final, dokter menjawab semua kekhawatiran Al belakangan ini. Al menghela napas panjang dan membasahi bibirnya dengan lidah.
"Ini resep yang harus kamu tebus untuk menguatkan kandungannya dan mengurangi rasa mual. Pesan saya, jangan membunuh janin yang sudah berkembang sehat di dalam rahim. Itu berarti kamu pembunuh," ujar dokter yang sebenarnya dia merasa sangat miris dengan kejadian kedua remaja itu.
Apa haknya? Dia hanya sebagai dokter tidak ada hak untuk menasihati lebih jauh. Dokter itu mengelus dadanya setelah Al dan Ily keluar dari klinik.
"Anak zaman sekarang, mau jadi apa negara ini jika generasi mudanya saja sudah hancur. Ck!" gerutu dokter itu lalu melanjutkan pekerjaannya.
Al dan Ily saling diam, hingga suasana di mobil hening. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Al menghentikan mobilnya di pinggir jalan lalu turun membukakan pintu untuk Ily.
"Ayo!" ajak Al membantu Ily turun dari mobil.
Mereka berjalan menghampiri gerobak yang sering di taman itu setiap pagi. Al menarik kursi untuk Ily duduk.
"Pak, bubur ayam dua, ya? Teh manis hangatnya juga dua."
Sementara menunggu, Ily bersandar di bahu Al. Tubuhnya lemas dan perutnya mual. Al mengelus rambut Ily. Setelah mereka selesai sarapan, Al kembali ke apartemennya bersiap untuk ke sekolah.
"Kamu mau masuk sekolah atau enggak, Sayang?" tanya Al yang sudah rapi dengan seragam putih abu-abu, tertutup jaket jeans atasnya.
"Aku berangkat, Honey. Aku enggak mau ketinggalan pelajaran. Sebentar lagi ujian, kita harus lulus, Honey," jawab Ily menghampiri Al dan menyenderkan kepala di dada bidangnya.
"Iya sudah, kamu mandi, terus aku antar kamu pulang dulu ganti seragam, ya?" ujar Al tersenyum manis lalu mengacak rambut Ily pelan.
Saat jam pelajaran, Ily mengikutinya dengan baik, walau tubuhnya terasa lemas, tidak bersemangat, dan dia harus menahan mual yang kadang-kadang timbul dan hilang. Al menghampiri Ily ke kelas saat jam istirahat.
"Tidur dia, Rin?" tanya Al duduk di samping Ily.
"Iya Al, sakit kali nih anak. Pucet wajahnya, terus bawaannya lemes. Ngeluh mulu dia dari tadi. Katanya kepalanya pusinglah, muallah, lemeslah, apalah. Masuk angin kali dia, Al! Lo sih, ngajakin keluar malam terus, jadi sakit kan, ini anak orang," omel Corin yang belum tahu cerita sebenarnya.
"Mungkin, Rin," jawab Al mengelus rambut Ily yang tidur di meja. "Sayang," panggil Al pelan membangunkan Ily.
Ily yang mendengar suara Al lalu menegakan kepalanya dan bersandar di dada Al. Sudah menjadi pandangan biasa bagi teman-teman mereka, apalagi Corin dan Putri.
"Sudah diminum obat pereda mualnya?" tanya Al sedikit berbisik membuat Corin kepo saat samar-samar mendengar percakapan mereka.
"Belum, Honey," jawab Ily lemas dan menutup matanya. Al mengambil tas Ily lalu mencari obat itu.
"Obat apaan itu, Al? Tumben Ily konsumsi obat?" tanya Corin saat melihat Al mengeluarkan obat-obatan dari tas Ily.
"Obat sakit kepala," sahut Al sekenanya.
"Ciah lo, Ly, baru masuk angin biasa saja, obatnya sekarung begitu," cibir Corin lalu terkekeh.
"Biarin! Berisik lo!" sahut Ily lalu mengambil botol minum dan menengenggak obat itu.
Sepulang dari sekolah, Al mengantar Ily sampai depan rumahnya.
"Yang, kamu langsung istirahat, ya? Aku akan telepon kamu nanti setelah berhasil menemui orang tuaku," ujar Al sebelum Ily turun dari mobil.
"Iya," jawab singkat Ily karena saat ini dia benar-benar malas melakukan apa pun.
Al mencium kening Ily. Setelah Ily turun, Al melajukan mobil ke rumah orang tuanya. Selama ini memang Al jarang sekali pulang ke rumah, dia lebih sering tinggal di apartemen yang dibeli sendiri dari hasil keringatnya bermain DJ.
Jantung Al berdebar kencang, ada perasaan takut menemui orang tuanya. Al tahu hari ini orang tuanya ada di rumah, sudah tiga bulan Al ditinggal mengurus bisnis keluarga di luar negeri. Kapasitas pertemuan dengan kedua orang tuanya sangat kecil, apalagi Al tinggal terpisah dari rumah itu. Dia memberanikan masuk ke rumah, terlihat papa dan mamanya sedang bersantai di ruang keluarga.
"Al, tumben pulang," cibir Ramdani, papa Al, saat melihat Al menghampiri mereka ke ruang keluarga.
"Ihhhh, Papa ini, anak pulang ke rumah bukannya disambut baik malah digitukan," sahut Rahma, mama Al.
Al mencium tangan kedua orang tuanya lalu duduk di sofa single. Al menghela napas dalam menenangkan hatinya. Rahma melihat kegugupan Al.
"Al, ada yang mau kamu katakan sama Mama dan Papa?" tanya Rahma mengelus rambut Al.
"Maaf sebelumnya, Pa, Ma ...," ucap Al menggantung, lalu menatap papa dan mamanya bergantian.
Ramdani dan Rahma memiliki firasat yang tidak baik dari ucapan Al barusan. Mereka memerhatikan Al serius, Al menghela napas dalam sebelum mengatakan kejujuran itu.
"Al, mau menikahi Ily, Ma, Pa," ujar Al menatap wajah kedua orang tuanya memohon.
Bagaikan petir di siang bolong, kedua orang tua Al sudah dapat menangkap apa yang dimaksud anaknya itu. Hati keduanya hancur seketika, harapan untuk anak lelakinya itu pupuslah sudah. Air mata Rahma menggantung, hatinya bagaikan dihujami beribu-ribu samurai yang tajam. Dadanya terasa sesak, rasa bersalah menjalar di hatinya. Ramdani berdiri dengan wajah mengeras.
"Tinggalkan rumah ini, jangan pernah kamu kembali dan menginjak rumah ini lagi," ujar Ramdani datar tanpa melihat Al.
"Papa!" pekik Rahma ikut berdiri menatap suaminya dengan linangan air mata.
Al menunduk menyadari kesalahannya. Al bersujud di bawah kaki Ramdani dan Rahma. Al menangis dan mencium kedua kaki orang tuanya.
"Maafkan Al, Ma, Pa. Al khilaf," ujar Al dengan isakannya. Rahma membantu Al berdiri.
"Pa, Al sudah menenggakui kesalahannya," tukas Rahma memeluk Al sambil menangis menyayat hati.
"Aku enggak butuh anak yang tidak tahu diri dan tidak tahu diuntung seperti dia!" Ramdani murka dengan suara meninggi dan menunjuk kepala Al.
"Maafkan Al, Pa." Al berlutut memeluk kaki Ramdani.
Rahma menangis tak tahu lagi harus bagaimana. Ini juga kesalahannya tidak memerhatikan Al.
"Pergi dari sini dan tinggalkan semua fasilitas yang saya beri untuk Anda," ucap Ramdani dengan mata memerah dan amarah tinggi.
"Papa ...," ucap lirih Al masih memeluk kaki Ramdani.
"Jangan sebut saya dengan panggilan itu. Mulai sekarang, saya anggap Anda orang lain." Ramdani lalu pergi meninggalkan Al dan Rahma di ruangan itu.
Rahma tersungkur di lantai memeluk Al yang sudah melemah karena menangis.
"Maafkan Al, Ma, ini salahku. Al mencintainya. Kami saling mencintai, Ma," ujar Al dalam pelukan Rahma dengan isakan.
"Maafkan Mama sama Papa karena terlalu sibuk sampai enggak ada waktu untukmu. Kamu harus bertanggung jawab, Sayang," ucap Rahma menciumi kepala Al dengan deraian air mata.
Ramdani keluar dan menghampiri Al yang sedang berpelukan di lantai dengan Rahma. Ramdani menyeret Al, membuat Rahma shock.
"Cukup, Papa! Lepaskan dia!" pekik Rahma mengejar Ramdani yang menyeret Al keluar dari rumah itu.
"Ini hukuman untuk anak yang tidak tahu diri!" Ramdani mendorong tubuh lemas Al di depan pintu.
Al menangis sesenggukan, dia mengakui kesalahannya dan pasrah menerima hukuman itu. Dia telah membuat orang tuanya murka hingga sedemikian.
"Kartu kredit dan kunci mobil." Ramdani menengadahkan tangannya. Dengan isakan, Al menyerahkan kunci mobil dan kartu kredit kepada Ramdani.
Ramdani menarik Rahma masuk ke rumah lalu menutup pintu dengan keras.
Blam!
"Maafkan Al, M,a Pa," ucap Al lirih di depan pintu yang sudah tertutup rapat itu.
Al menghapus air matanya kasar, dia harus bisa kuat dan tegar mengingat rapuhnya Ily dan tanggung jawabnya sebagai seorang lelaki sejati. Al harus bisa melewati ini semua. Dengan tekad yang kuat Al pergi meninggalkan rumah besar dan luas itu. Tanpa membawa fasilitas apa pun dari orang tuanya. Hanya sisa uang 200 ribu di dompetnya dan tabungan hasil dia menjadi DJ selama ini. Al melangkah pergi, hanya apartemennya yang dapat dituju sekarang. Al menghentikan taksi untuk mengantarnya ke apartemen.
############
Terima kasih vote dan komentarnya.
Di sini ada yang baca ulang enggak? Atau pembaca baru?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top