MERIANG

Tubuhnya lemas, sudah beberapa hari ini dia sangat malas melakukan aktivitas apa pun. Rasanya ingin bermalas-malasan saja di tempat tidur. Gadis berusia sekitar tiga tahun menghampirinya ke kamar.

"Bunda." Gadis itu naik ke tempat tidur lalu memeluk Ily.

"Ada apa, Kirana sayang?" tanya Ily lembut membalas pelukan gadis itu.

"Bunda cakit?" tanya Kirana lucu, bentuk kepedulianya kepada Ily.

"Bunda cuma sedikit pusing dan kelelahan. Di mana Kakak El?"

Gadis itu lalu duduk di samping Ily, memegangi dahinya, Ily tersenyum.

"Bunda keningnya panas. Kilan telepon Ayah, ya?" Kirana mengambil ponsel Ily di nakas.

Ily tersenyum melihat kecerdasan dan inisiatif anak gadisnya. Kirana mencari nomor telepon Al sangat serius, setelah mendapatkan lalu dia menekan tombol telepon. Dia menempelkan ponsel di telinganya. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Al menjawab.

"Halo, Ayah," sapa Kirana menggemaskan.

"Halo, Sayang? Ada apa, Kiran?"

"Bunda cakit, Yah," adu Kirana melihat Ily tersenyum lemah kepadanya.

"Iya, Ayah pulang nanti kalau kapal sandar di Ketapang, ya? Kak El di mana?"

"Kak El main bola, Ayah, sama teman-temanya." Kirana terdengar mengadu sebal kepada Al. "Tadi Kilan mau itut ndak boleh cama Kak El," timpalnya membuat Ily tersenyum lebar.

Al yang mendengar aduan putri kecilnya itu hanya tersenyum dan membayangkan bagaimana menggemaskanya jika dia sekarang melihatnya sendiri.

"Kiran kan, cewek, masa iya mau main bola sama Kak El? Main di rumah saja, ya? Tunggu Ayah," ujar Al meredakan kekecewaan Kirana.

"Iya, Ayah."

"Ya sudah, sekarang Ayah mau bicara sama Bunda."

Kirana memberikan ponselnya kepada Ily. Dia berbaring di samping Ily dan memeluknya.

"Halo, Yah," sapa Ily setelah menerima ponsel dari Kirana.

"Apa yang dirasakan? Sudah minum obat?" tanya Al terdengar cemas.

"Cuma pusing biasa, Yah, karena kecapean mungkin. Tadi juga Bunda sudah minum obat," jawab Ily lembut agar Al tidak terlalu mengkhawatirkanya.

"Ya sudah, tunggu satu jam lagi aku turun. Ini Kapal masih muat di Gilimanuk."

"Iya."

Al memutuskan sambunganya. Al tidak pernah berubah, justru semakin over protektif menjaga keluarganya. Apalagi sekarang dia sudah memiliki dua anak. Aturan di rumah dia buat dan harus diterapkan pada anak-anaknya. Al dan Ily memang memanjakan mereka, tetapi tetap mengarahkan putra-putrinya untuk memakai fasilitas yang Al dan Ily berikan.

Saat Kirana dan Ily sedang bercanda di kamar, anak lelaki dengan pakaian kotor, membawa bola dihimpit di pinggangnya masuk ke kamar.

"Bunda." Ily dan Kirana menoleh El yang baru saja pulang dari bermain sepak bola.

"Iya, Sayang?" Ily melihat El berdiri di samping ranjang dengan luka di lutut karena jatuh saat bermain bola, Ily hanya menghela napas dalam.

Sudah biasa bagi Ily jika melihat El seperti itu. Wajar saja luka itu ada, karena mungkin saat berlari menggiring atau mengejar bola, El terjatuh.

"Kak El mandi dulu. Nanti Bunda obati lukanya," perintah Ily.

"Iya, Bun," jawab El patuh lalu menuruti perintah bundanya.

Kirana masih terlihat sebal saat melihat kakaknya. Pasalnya, tadi saat El ingin keluar bersama teman-temanya, dia melarang Kirana ikut dan langsung meninggalkan begitu saja.

"Kiran kenapa lihat Kak El begitu?" tanya Ily melihat bibir Kirana yang mengerucut lucu dan menggemaskan.

"Kilan masih malah cama Kak El," jawab Kirana melipat tangan dan membuang wajah.

Ily terkekeh melihat lucunya saat Kirana sedang ngambek seperti itu.

"Tidak boleh begitu dong, Sayang. Kak El kan, niatnya baik, buat menjaga Kirana. Nanti kalau di lapangan Kak El sedang main bola, siapa yang mau menemani Kirana?" kata Ily lembut memberi pengertian kepada Kirana.

Kirana tampak berpikir, betul juga kata bundanya. Kirana lalu mendongak menatap Ily yang tersenyum manis kepadanya.

"Iya, Bunda, maafin Kilan," ucap Kirana menyesal. Ily lalu mencium kening Kirana dan mengelus rambutnya.

Al dan Ily berusaha melimpahkan kasih sayang untuk El dan Kirana. Mereka tidak ingin putra-putrinya merasakan apa yang pernah mereka rasakan dulu. Kekurangan perhatian dan kasih sayang orang tua. Al dan Ily juga mendidik dengan baik El dan Kirana hingga mereka menjadi anak yang baik, cerdas, pengertian, dan peduli kepada keluarga serta orang yang ada di sekitar mereka.

"Sekarang kita bantu mengobati luka Kak El, ya?" ajak Ily lembut agar rasa kecewa Kirana tidak berlarut-larut kepada El.

"Iya, Bunda." Kirana melepas pelukanya lalu merangkak turun dari ranjang. Ily menyusul Kirana turun sambil mengikat rambut panjangnya asal.

Mereka keluar dari kamar mencari kotak P3K lalu membawa ke kamar El. Al dan Ily sudah pindah ke rumah yang lebih luas dari rumahnya yang dulu. Saat Ily mengandung Kirana, Al sengaja membeli rumah di perumahan. Karena saat itu Al berpikir, akan bertambah anggota keluarga, tidak mungkin dia tetap tinggal di rumah yang sederhana. Al menjual rumah itu untuk tambahan membeli rumah baru.

Di rumah itu terdapat empat kamar. Sengaja satu kamar mereka kosongi untuk berjaga-jaga jika keluarga mereka datang. Orang tua Al dan Ily sering mendatangi mereka jika akhir pekan. Mengajak El dan Kirana jalan-jalan. Mereka sangat memanjakan cucunya. Namun, Al dan Ily tetap selalu memberi arahan dan pengertian kepada El dan Kirana.

"El, duduk sini." Ily duduk di tepi ranjang sedangkan Kirana naik ke atas.

El selesai mandi lalu menghampiri Ily, duduk di tepi ranjang, kakinya menjutai ke lantai. Ily membuka kotak P3K lalu jongkok di depan El diikuti Kirana yang sangat serius memerhatikan Ily saat mengobati El.

"Kak El cakit?" tanya Kirana mendongak saat Ily menetesi obat merah pada luka El.

"Sedikit perih," jawab El lalu mengacak rambut Kirana pelan.

Kirana meniup luka El, Ily tersenyum melihat perhatian kecil Kirana kepada kakanya.

"Sudah selesai," pekik Ily saat selesai mengobati luka El.

"Makasih, Bunda," ucap El lalu mencium kedua pipi Ily.

"Kak El ndak ngucapin makacih cama Kilan?" rajuk Kirana membuat El gemas lalu mencubit pipi adik satu-satunya itu.

"Makasih adik Kak El yang gemesin dan lucu kayak boneka barbie," ucap El menggemas pipi Kirana lalu mencium keningnya.

Ily selalu tersanjung saat melihat keakraban kedua buah hatinya itu. Al yang sedari tadi sudah berdiri di ambang pintu, melipat kedua tangannya tersenyum. Dia bangga kepada Ily, ternyata selama Al berkerja, Ily sangat baik mendidik buah hati mereka.

"Ehem!"

"Ayah," teriak girang Kirana lalu berlari ke arah Al.

Al menangkap Kirana lalu menggendongnya. Kirana mencium pipi Al lalu mengalungkan tanganya di tengkuk. Kirana meletakan kepalanya manja di bahu Al.

"Ah, Kiran! Manja banget sih!" ucap El pura-pura cemburu.

"Bialin wlek!" sahut Kirana cepat dan menjulurkan lidahnya kepada El. Al dan Ily tertawa.

"Ya sudah, ayo, kita keluar, Bunda siapkan makan malam," ajak Ily merangkul El yang baru turun dari ranjang.

"Beli di luar saja Bun, katanya kamu sakit." Al mengikuti Ily ke luar kamar.

"Cuma pusing biasa, Yah, enggak apa-apa. Masak yang sederhana dan cepat saja."

"Kalau Bunda sakit enggak usah masak. Kita ambil saja lauk di catering," usul El baru mengetahui jika Ily sedang tidak enak badan.

"Iya, benar kata El, Bun," timpal Al menurunkan Kirana dari gendonganya.

"Ya sudah." Akhirnya Ily mengalah.

"Biar El yang ambil." El ingin berlari ke garasi mengambil sepeda kayuhnya.

"El!" panggil Ily menahan El saat baru sampai di ambang pintu samping, menuju garasi. El menoleh. "Bilang sama Eyang Neneng, apa yang kita ambil suruh catat, nanti Bunda yang bayar," pesan Ily sebelum El berangkat.

"Siap, Bun!" jawab El mengacungkan kedua jempolnya kepada Ily.

Sejak catering Ily semakin ramai pesanan, Neneng membantunya mengurus. Corin membantu mengelola manajemen keuangan, karena itu adalah jurusan yang Corin ambil saat kuliah. Sedangkan bahan pokok, Ily mengambil di kios Itha. Hasil keuntungan setiap bulan nanti mereka bagi. Ily menerapkan kepada anak-anaknya untuk tetap memisahkan antara bisnis dan pribadi.

Walau itu catering milik Ily, tetapi jika Ily mengambil makanan di sana, dia tetap harus membayar. Karena itu sudah masuk dalam hitungan dagang. Begitupun pada usaha Al. Mereka tidak sewenang-menang mengambil dagangan. Semua sudah ada hitungannya. Itu juga berlaku untuk El dan Kirana.

Ily menyiapkan piring dibantu Kirana menyusunnya di meja makan. Kirana naik di kursi agar dapat menyusun piring sendok di depan setiap kursi yang nanti akan mereka duduki. Sesekali Ily menoleh memerhatikan Kirana. Al baru membersihkan diri di kamar.

"Bunda." El masuk ke rumah menenteng plastik berisi lauk pauk.

Dia memberikan kepada Ily dan membantu Ily menuangkan sayur ke mangkuk. Selesai memindahkan lauk pauk, Ily dan El membawanya ke meja makan.

"Kilan mau panggil Ayah dulu," seru Kirana langsung turun dari kursi dan berlari ke kamar orang tuanya.

"Ayah," panggil Kirana saat membuka pintu.

"Iya, ada apa, Sayang?" sahut Al selesai memakai baju.

Kirana menghampiri Al lalu memeluk kakinya. Sudah menjadi hal biasa buat Al jika Kirana manja seperti itu. Karena dia adalah anak yang paling bontot dan lebih banyak mendapat perhatian dari keluarga. Namun, El tidak pernah iri kepada Kirana, karena dia menyadari bahwa adik perempuanya lebih membutuhkan perhatian dan penjagaan lebih dari keluarga. El selama ini sangat melindungi dan menjaga Kirana, seperti yang sudah Al terapkan untuk keluarganya.

Al menghampiri meja makan bersama Kirana yang melendot manja dalam gendongannya. Al menurunkan Kirana di kursi sebelah El lalu duduk di kursi sebelah Ily. Seperti biasa, Ily melayani suami dan anak-anaknya dengan telaten. Untung saja El dan Kirana tidak sulit dalam hal menu makanan yang selalu Ily sediakan. Mereka menerima apa adanya yang Ily sajikan.

"Bunda, besok siapa yang mengambil rapot El?" tanya El di sela makan malam.

"Biar Bunda yang ambil," jawab Ily mengelus rambut El.

"Habis pulang dari sekolahan El, kita nyeberang ke Singaraja ya, Bun? Tante Mora ngadain syukuran kelulusan Nidia," ujar Al.

"Iya. Rencana mau lanjutin ke mana Yah, Nidia?"

"Dia dapat beasiswa ke Maroko. Rencananya yang Ayah dengar mau ambil studi bisnis internasional."

"Om sama Tante beruntung punya anak sepinter Nidia. Sudah cerdas, pinter, patuh, enggak neko-neko berbeda jauh sama aku dulu." Ily mengingat kenakalannya dulu saat masih remaja

"Ya beda dong, Bun. Kalau Om sama Tante kan, benar-benar memerhatikan dan mengarahkan Nidia. Enggak usah mengambil contoh yang jauh. Contohnya kita, mendapat arahan dan bimbingan dari mereka selama ini membuahkan hasil yang kita nikmati sendiri."

"Iya sih, Yah. Tanpa mereka minta balas budi kepada kita."

Akhirnya mereka pun menyelesaikan makan malam.

***

Pulang dari mengambil rapot El, Ily masuk rumah sambil mengerucutkan bibir. Al yang sedang menemani Kirana bermain barbie, langsung menghampirinya yang duduk di sofa. Al mengambilkan air minum dan memberikan kepada Ily.

"Gimana hasilnya?" tanya Al.

"Bagus. Dapat peringkat satu," jawab Ily memberikan buku rapot El kepada Al.

"Terus kenapa kamu cemberut begitu?"

"Bunda sebel, Yah."

"Memangnya kenapa?"

"Wali kelas El kan baru, tadi pas giliran Bunda maju ambil rapot El, dia enggak mau ngasih. Katanya harus orang tuanya. Lah, Bunda bilang 'Saya ibunya Abrisam Jami' Anas Gavriel, Bu.' Dia enggak percaya."

"Terus?"

"Dia kira Bunda kakak El, Yah."

"Terus gimana cara Bunda bisa dapat buku rapot ini?" Al mengangkat buku rapot El.

"Bunda ke ruang kepala sekolah, akhirnya guru baru itu percaya Bunda ibunya El."

Al terkekeh mendengar cerita istrinya.

"Kok Ayah malah ketawa sih?" tanya Ily semakin sebal dan mencubit perut Al.

"Aw! Sakit, Sayang. Kamu harus bangga dong, Bun. Karena masih awet muda walau udah brojol dua kepala," jawab Al lalu tertawa lepas.

"Iiiihhh, Ayah nih malah ledekin Bunda," ujar Ily lalu menggelitiki Al hingga tawa Al semakin keras.

Kirana yang melihat kedua orang tuanya bercanda seperti itu hanya tersenyum sambil memainkan bonekanya.

Di rumah Choky sudah ramai. Dia sengaja mengundang seluruh keluarga. Di rumah yang luas itu, sudah ramai dengan canda tawa dan gurauan. Tidak mengenal usia, mereka berbaur menjadi satu. Ramdani dan Fauzan sangat akrab dan tertawa bersama. Sedangkan Rahma dan Widya asyik mengobrol. Ily dan Nelly membantu Mora di dapur.Choky, Al, dan suami Nelly sedang asyik adu main PS. Anak-anak sibuk menyebar main di lantai. Nidia sedang menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke Maroko besok. Sungguh kebahagiaan yang tidak pernah terduga.

#######

Satu langkah lagi menuju ending. Terima kasih yang sudah membaca cerita dari dari awal sampai akhir.

Ambil positifnya, buang negatifnya. Terima kasih atas dukungannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top