MASA LALU

Sepasang remaja yang sedang menyantap makan malam di sebuah kafe terlihat bercengkrama. Selesai makan malam, Al mengantar Nissa pulang dengan motor Ninja RR merahnya. Sampai di depan rumah Nissa, Al memarkirkan motornya lalu mengikuti Nissa masuk ke rumah.

"Makasih ya, Beb, makan malamnya?" ucap Nissa mencium pipi Al, membuat hati Al bahagia.

Pasalnya, sejak mereka berpacaran ini kali pertamanya mereka lakukan hal itu. Maklum saja, usia mereka baru 15 tahun dan mereka baru saja masuk sekolah menengah pertama.

"Kamu masuk ya, cepat tidur, aku akan menjemputmu besok untuk berangkat ke sekolah," ujar Al mengelus pipi Nissa lembut, membuat si pemilik merona. Pipinya memerah bak tomat yang sudah siap dipanen.

Dengan perasaan bahagia, Nissa masuk ke rumah tanpa melepas senyumannya. Al pulang ke rumah dengan perasaan yang tidak kalah bahagianya. Cinta pertama memang suatu perasaan yang tak dapat terlupakan dan sulit untuk dihapuskan.

Suatu ketika kebahagiaan itu menjadi kesedihan yang tak dapat Al dan Nissa tolak. Mendengar orang yang dicintai akan pergi jauh meninggalkannya, demi memilih untuk bersama kedua orang tua. Al dan Nissa duduk di bangku taman kota sore itu. Nissa menunduk dengan air mata yang membasahi pipinya. Al memeluk Nissa dari samping menenangkannya.

"Kamu kapan berangkat?" tanya Al halus sambil mengusap air mata yang selalu mengalir dari mata Nissa.

"Besok pagi, Beb," jawab Nissa sedih dan berat hati.

"Kapan kamu akan kembali ke sini?"

"Aku tidak tahu, Beb."

"Apa aku harus menunggumu?"

"Entahlah Beb, aku enggak bisa memberikan harapan dan meninggalkan janji untumu."

Al menghela napasnya dalam menahan sesak di dadanya. Rasa cinta yang baru saja mereka rasakan, kini harus dikubur dalam-dalam. Apa cinta mereka hanya sesaat, yang orang sering menenggakatakan cinta monyet? Mungkin saja, memang seperti itu. Namun, bagaimana jika cinta itu masih ada ketika mereka dipertemukan lagi nanti?
Al melepas pelukannya dan menghapus air mata Nissa.

"Kamu jaga diri baik-baik dan aku tidak bisa janji untuk setia menunggumu. Jika kamu di sana menemukan penggantiku, aku jangan menjadi bebanmu. Jika orang itu lebih baik dariku, aku rela dan ikhlas melepamu," ujar Al tulus sambil memegang kedua bahu Nissa.

"I love you, Al," ucap Nissa lalu memeluk Al erat.

"I love you too, Nissa," jawab Al membalas pelukan Nissa.

Sejauh apa pun cinta pergi, dia akan menuntun cinta itu untuk kembali.

***

Al dan Nissa duduk di bangku taman kota yang dua tahun lalu menjadi saksi perpisahan mereka. Al menatap lurus, melihat luasnya danau buatan di taman itu. Nissa menyenderkan kepalanya di bahu Al.

"Bagaimana kabarmu, Beb?"

"Aku baik," jawab Al datar.

Al tampak berpikir dan gelisah. Pikirannya selalu tertuju kepada Ily.

"Apa kamu menungguku, Beb?" tanya Nissa lagi yang kali ini membuat bibir Al kelu tak bisa menjawab.

Al diam tanpa menjawab. Pikirannya melayang, membayangkan semua yang sudah dia dan Ily lakukan. Rasa menyesal menjalar di hatinya.

***

AL POV

Nissa kembali? Entah haruskah aku bahagia atau justru itu ancaman untukku dan Ily. Kini aku bingung, masa laluku kembali di saat aku sudah telanjur jauh menjalin hubungan dengan wanita lain. Jujur saja, aku belum sepenuhnya menghapus nama Nissa dari hatiku. Nissa cinta pertamaku dan itu sulit untuk aku melupakannya. Dia gadis pertama yang memasuki hatiku, sekaligus juga menyakiti hatiku. Oh Tuhan, pilihan apa yang Engkau hadapkan kepadaku?

Andai saja dia dulu tidak meninggalkanku, hingga aku dipertemukan dengan Ily, ini semua tidak akan terjadi. Jika saat ini aku suruh memilih, aku tidak dapat menentukan pilihanku. Mereka sama-sama menduduki hatiku.

Dari taman, aku mengantar Nissa pulang dan aku segera melajukan mobilku untuk ke rumah Ily. Sepanjang perjalanan hatiku tidak pernah tenang. Ily tahu jika Nissa adalah cinta pertamaku dan dia sudah tahu semua ceritaku dengan Nissa. Itu karena saat dia menemukan album fotoku bersama Nissa di laci nakas kamar. Dari situ aku menceritakan semuanya. Namun, ada yang membuatku ganjal di hati. Aku bohong jika aku sudah melupakan dan menghapus nama Nissa dari hatiku. Maafkan aku, Sayang.

Sesampainya di depan rumah Ily, perasaanku semakin tidak keruan dan takut. Aku memberanikan diri masuk ke rumah besar dan luas itu. Kakiku seperti ditahan rantai besar yang menjerat pergelangan kakiku. Kenapa aku sangat sulit melangkah? Aku memencet bel rumah, tak berapa lama ada wanita paruh baya membukakan pintu.

"Den Al?" sapa orang itu dengan senyuman yang menampilkan wajah yang sedikit keriput.

"Ily ada ,Bi?" tanyaku sebelum masuk.

"Masuk saja, Den, sepertinya ada di kamar," jawabnya membuka pintu lebar untukku.

Semua orang di rumah ini sudah mengenalku, kecuali orang tua Ily. Aku sudah biasa keluar masuk di rumah ini, sesuka hatiku. Saat aku masuk dan berniat naik ke kamar Ily, suara yang sangat aku kenal menghentikan langkahku.

"Kita ngobrol di ruang tamu saja," ujarnya membuatku menoleh ke sumber suara. Dia memasang wajah jutek dan tak acuh.

Aku mengikutinya duduk di sofa. Aku duduk di sebelahnya. Namun, dia menghindariku dan pindah duduk di sofa sigle. Aku merasa ada sesuatu yang berbeda di sini. Ini bukan sikap dia seperti biasanya.

"Kamu tadi pulang sekolah bersama siapa, Sayang?" tanyaku memecah keheningan di antara kami.

"Corin sama Putri," jawabnya singkat dan datar.

"Kamu sudah makan?" tanyaku lagi dan aku mencoba menggapai tangannya. Namun, dia dengan cepat menyingkirkan tangannya lalu sibuk memegang ponsel.

"Sudah," jawabnya singkat membuatku harus menghela napas dalam. Sudah aku duga ini akan terjadi.

"Yang ...?" panggilku lirih dan berlutut di depannya.

"Apa?" jawabnya judes tanpa menatapku.

"Aku bisa jelaskan sama kamu." Kedua tanganku berada di atas lututnya.

"Sudahlah Al, lebih baik kamu pulang dan jangan pernah menemui aku lagi."

Deg!

Seketika jantungku merasa seperti lepas dari tempatnya. Apa separah itukah amarahnya padaku?

"Kamu bicara apa sih, Sayang? Aku enggak suka kamu bilang seperti itu."

"Terserah aku, mau bicara apa karena ini mulutku. Pergi dari rumahku dan temani saja gadis yang lebih baik dariku itu."

"Kamu bicara apa?" sahutku sedikit meninggikan suara. Aku sangat tidak suka dia bicara seperti itu.

"Jangan sok munafik, aku sadar jika aku ini wanita yang tidak baik dan tidak bisa menjaga diriku sendiri. Aku gagal menjaga kesucianku dan bodohnya aku percayakan pada laki-laki yang selama ini tidak mencintaiku sepenuh hati. Sudahlah Al, anggap saja kita tidak pernah kenal dan aku akan tanggung ini semua sendiri. Ini salahku yang terlalu percaya dengan mulut manismu," katanya dengan sorot mata amarah yang membuat hatiku merasa sangat sakit.

"Aku bisa menjelaskannya dan ...."

"Cukup aku tidak mau dengar lagi alasan apa pun itu! Kamu keluar dari rumahku!" Ily mengusirku, dia berdiri sambil menunjuk ke arah luar. Aku ikut berdiri, berusaha memeluknya. Namun, dia mendorong tubuhku hingga terdorong ke belakang.

"Keluar!" bentaknya lagi, aku lihat matanya sudah berkaca-kaca dan aku yakin jika aku keluar, air mata itu akan tumpah.

"Aku tidak akan keluar sebelum kamu mendengarkan penjelasanku," ucapku pelan agar dia memberi waktu untukku menjelaskan.

"Gue bilang keluar dan jangan lagi lo temui gue!" bentaknya lagi membuat hatiku semakin sakit, seperti dihujami ribuan belati. Aku tetap diam, mematung di depannya.

"Oke, kalau lo enggak mau keluar, tersera! Gue yang pergi!" ujar lalu berlari menaiki tangga. Aku lihat bahunya terguncang dan tangannya membekap mulut.

Aku pastikan dia saat ini menangis, ingin rasanya aku menenangkannya. Namun, apa? Aku sentuh saja dia tidak mau. Saat aku memerhatikan kepergiaan Ily, ponselku berdering. Aku lihat ternyata dari Nissa. Aku geser tombol hijau lalu menjawab panggilan itu.

"Halo, ada apa, Nissa?" tanyaku dari ujung telepon.

"Al, apa kamu bisa datang ke rumahku sekarang? Aku membutuhkanmu," katanya yang tak dapat aku tolak.

"Oke, tunggu sepuluh menit aku sampai di rumah kamu," jawabku, lalu aku masukan ponsel ke saku celana dan berlalu keluar dari rumah Ily.

***

AUTHOR POV

Di kamar, Ily menangis menumpahkan sesak di hatinya yang sedari tadi tertahan. Dia menyenderkan tubuhnya di daun pintu, tangannya menekan-nekan dada yang terasa sesak, dia memukul-mukul dadanya agar sesak itu berkurang. Namun, sia-sia itu justru membuat dadanya terasa sakit. Semakin lama tubuhnya melorot dan menelungkupkan wajahnya di sela lutut yang dia lipat. Rasa sakit hati yang teramat, dia rasakan saat ini. Dia menyesal apa yang sudah selama ini dilakukannya bersama Al.

Dia berpikir jika semua itu kesalahan yang bodoh. Mencintai dan dengan mudahnya termakan buaian kata cinta yang manis dari laki-laki yang baru saja dia kenal dan pacari. Sekarang semua sudah telanjur begitu, apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Penyeselan selalu datang terakhir.

"Aku benci kamu, Al! Kamu jahat!" pekik Ily dalam isakannya.

Ily berdiri mengambil jaket dan kunci mobil. Dengan perasaan kalut dan pikiran yang kacau, dia mengendarai mobilnya. Sepanjang perjalanan dia menangis dan tidak memedulikan kecepatan yang dia tempuh. Dalam pikirannya sekarang, dia ingin menghapus pikirannya tentang Al. Sampai di kelab, Ily turun dan segera masuk mencari teman-temannya. Terlihat Dion, Briana dan lainnya di tempat itu. Ily menghampirinya lalu duduk di samping Briana.

"Nah, ini anak datang juga. Mana Al, Ly?" tanya Briana.

"Gue sendiri ke sini. Dia sedang sibuk," jawab Ily lalu menuangkan vodka ke sloki.

"Oh, tumben prangko sama amplop bisa dipisahin. Biasanya juga nempel terus," sahut Dion membuat semua terkekeh.

"Ck! Bawel deh lo," decak Ily lalu menengenggak habis vodka itu.

"Jangan banyak-banyak minumnya, Ly. Gue enggak mau entar digantung Al hidup-hidup." Brian mengingatkan sambil bercanda.

"Gue lagi pengin menghilangkan penat. Pusing kepala gue!" jawab Ily lagi-lagi menengenggak vodka.

Jika sudah seperti itu, teman-temannya angkat tangan, tidak berani lagi membantah. Hanya Al yang dapat meluluhkan kerasnya hati Ily. Semua teman-teman yang bergabung di set sofa itu menjaga Ily, takutnya jika ada orang yang tidak bertanggung jawab mendekatinya. Saat Ily sudah tidak sadarkan diri, Briana berniat ingin mengantarnya pulang, tetapi dicegah Dion.

"Biar aku telepon Al saja, Say," ujar Dion mendapat anggukan dari Briana.

Dion segera menelepon Al, sekitar 30 menit mereka menunggu, akhirnya Al datang, melihat kondisi Ily yang sudah tak berdaya tidur di pangkuan Briana.

"Nih, bini lo mabuk berat. Bawa pulang gih!" Briana menegakan tubuh Ily. Al menghampiri Ily dan menahannya.

"Thank, guys" ucap Al sebelum mengangkat Ily.

"Jaga baik-baik Al, sepertinya dia sedang ada pikiran berat," ujar Dion dijawab Al hanya dengan senyuman manis.

Al mengangkat Ily keluar dari kelab dan mencari mobil Ily. Al menurunkan Ily, tubuh lemas Ily disandarkan di mobil. Al mencari kunci mobil Ily, setelah menemukannya, Al membuka pintu dan memasukan Ily di jok samping kemudi. Setelah itu Al mengitari mobil masuk di jok kemudi, Al melajukan mobil Ily dengan kecepatan rata-rata. Setelah sampai apartemen Al, segera dia mengangkat Ily, membawanya masuk ke kamar.

Al menidurkan Ily di ranjang yang pernah menjadi saksi bisu mereka melakukan itu untuk pertama kalinya. Al membuka sepatu Ily dan membuka jaketnya. Al tidur di samping Ily dan memeluknya. Ada rasa bersalah yang menyeruak di hati Al. Ini salahnya hingga membuat Ily seperti itu. Al merasa ada pergerakan pada tubuh Ily.

"Al," panggil lirih Ily dengan keadaan tak sadarkan diri.

Al melihat wajah cantik Ily. Mata sayu yang terbuka itu memancarkan luka dalam. Tangan Ily meraba pipi Al.

Plak!

Sangat keras Ily menampar pipi Al, Al tidak marah, dia menyadari jika Ily saat ini sedang marah dan kecewa padanya. Al mengusap pipinya yang terasa panas bekas tamparan Ily. Dengan cepat Ily melepas pelukan Al, sambil sempoyongan dia berdiri.

"Jangan pernah sentuh gue!" Ily menunjuk ke Al.

"Sayang, sudah, sini, kamu sedang mabuk berat," ujar Al mencoba menarik tangan Ily. Namun, Ily menepis tangan Al kasar.

"Hah! Sayang? Basi! Gue mau lo jahuin hidup gue. Jangan pernah ganggu hidup gue lagi. Jangan pernah mengenal dan niduri gue lagi. Gue jijik sama lo!" serunya sambil menunjuk-nunjuk Al.

Mata Ily memerah karena terlalu banyak minum. Al berdiri lalu menghampiri Ily. Namun, Ily justru berjalan mundur. Al semakin berjalan maju dan akhirnya tubuh Ily terbentur tembok. Al menghimpit tubuh Ily dengan tubuh kekarnya.

"Mau apa lo?" tanya Ily galak dan semakin menantang Al.

"Aku kangen kamu dan aku sedang ingin bercinta denganmu, Sayang?" ujar Al, tangannya membuka resreting jeans Ily lalu melorotkannya.

Al menciumi leher Ily yang setengah sadar itu. Karena terpancing dengan gairah dan nafsu Al, akhirnya Ily membalas ciumannya. Pergulatan panas malam ini kembali mereka lakukan.

Semua yang kita putuskan saat ini akan berakibat di kehidupan selanjutnya. Penyesalan tak akan ada gunanya lagi ketika saat itu tiba. Jangan pernah merasa bersalah dengan kejadian yang selalu menimpa kita karena sesungguhnya itu adalah takdir Tuhan.

###########

Iiiiih, Al kok gitu sih?

Terima kasih vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top