KELUARGA BESAR

Pernikahan tidak hanya menyatukan dua insan yang saling mencintai. Namun, ketika sudah memutuskan untuk menikah, itu berarti kita harus bisa menyatukan dua keluarga besar. Pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang mendapatkan restu dari kedua belah pihak keluarga terutama orang tua. Restu orang tua masih dianggap sebagai hal yang mutlak diperlukan dan dipercaya akan memuluskan kehidupan rumah tangga. Sayangnya, mendapat restu orang tua kadang menjadi hal yang sulit dan butuh perjuangan.

Semua usaha tidak ada yang sia-sia. Ini buah hasil kerja keras dan kesabaran mereka. Acara syukuran digelar di rumah sederhana mereka. Semua keluarga dari Al dan Ily berkumpul menjadi satu. Berbaur tidak mengenal tua dan muda. Kebahagiaan terasa di tengah keluarga besar itu. Gelak tawa memenuhi setiap sudut rumah. Segerombolan pria berbeda generasi bercanda gurau melupakan masa lalu yang kelabu. Ramdani dan Fauzan terlihat semakin akrab setelah kedua belah pihak keluarga dipertemukan. Al merasa lega, ternyata keluarganya dan Ily bisa saling menerima.

"Bundaaaaa, adik Kiran bangun!" El berlari dari kamar orang tuanya, menghampiri Ily yang ada di ruang makan.

"Iya, Sayang, Bunda dating."

Suara balita menangis keras di kamar, membuat Ily yang tadinya sedang menyiapkan makan untuk keluarga besarnya, harus meninggalkan itu dan segera berlari ke kamarnya.

"Aduhhh, anak Bunda yang paling cantik sudah bangun, ya?" Ily mengangkat Kirana Azalia Athaya, anak keduanya bersama Al.

Ily menggendong Kirana keluar dari kamar. Kirana yang masih sesenggukan lalu menunjuk ingin ikut bersama Al yang sedang bercanda gurau dengan papanya dan mertuanya. Ily menghampiri dan meletakan Kirana di pangkuan Al.

"Oh, anak Ayah sudah bangun. Kenapa nangis?" tanya Al menyeka air mata Kirana. "Biasanya bangun ada nemeni, tadi enggak ada yang nemeni, ya?"

Al menghapus sisa air mata yang di pipi chubby Kirana. Sesekali Kirana masih terdengar sesenggukan. Kirana melendot manja di dada Al. Semua yang ada di situ memerhatikan perlakukan ayah muda itu kepada putri satu-satunya. El yang melihat adiknya masih terlihat sesenggukan lalu memberinya air mineral gelas.

"Adik Kiran, minum dulu." El menyodorkan sedotan di bibir Kirana.

Kirana menyambutnya, membuat yang melihat itu terharu. Apalagi Fauzan dan Ramdani yang duduk tepat berada di depan mereka. Ini adalah pemandangan langka bagi mereka. Ada rasa bangga di hati Fauzan apalagi Ramdani. Kesalahan terbesar yang pernah dibuat Al dan Ily, ternyata mengajarkan mereka banyak hal.

"Begini, ni, kalau anak perempuan lebih dekatnya sama ayah, daripada bundanya," celetuk Fauzan lalu ditanggapi gelak tawa semua orang yang ada di situ.

"Iya, Dad, Kiran kalau sama Al memang manjanya minta ampun," sahut Ily yang berdiri di samping Al.

"Ly, sudah siap makan malamnya?" tanya Rahma yang duduk tidak jauh dari sofa segerombolan para pria berbeda generasi itu.

"Sebentar lagi, Ma," jawab Ily lembut kepada mama mertuanya.

"Ayo! Tante bantu." Mora berdiri lalu membantu Ily penyajikan makan.

Setelah semua makanan siap di meja makan, seluruh anggota keluarga besar itu berkumpul bersama di ruang makan. Walau pun tidak semua kebagian tempat duduk pada satu meja, tetapi kebahagiaan mereka tidak berkurang. Justru rasa persaudaraan semakin terjalin saat Mora dan Nelly menggelar tikar di lantai, lalu mereka duduk makan bersama Ily, Widya, dan Rahma. Sedangkan para Pria duduk di kursi.

Kirana yang sedang aktif-aktifnya merangkak ke sana, kemari membuat Ily harus extra mengawasinya. Untung El sudah bisa membantu menjaga adiknya itu. Dari awal Ily mengetahui kehamilannya, dia dan Al selalu memberi pengertian agar El tidak merasa cemburu ketika adiknya sudah lahir. Ternyata El anak yang sangat pengertian, dia tidak pernah mengeluh apalagi iri kepada adiknya. Justru dia sangat melindungi dan menjaga adik perempuan satu-satunya itu.

"Tidak menyangka, masakan anak Mommy seenak ini. Makanya bisa buka catering sendiri," puji Widya saat merasakan masakan yang Ily masak sendiri.

"Ah, Mommy! Itu juga karena Ily banyak belajar. Kasihan, Al dulu awal kami menikah selalu Ily masakin garam." Ily berkata sambil melirik Al yang duduk di kursi.

"Tapi, dia enggak pernah menyerah, Mom, selalu mencoba masakan baru, walau aku yang selalu jadi kelinci percobaanya," sahut Al membuat semua tertawa membayangkan bagaimana Al dulu harus makan masakan Ily yang masih kurang pas rasanya.

"Tapi kan, sekarang sudah bisa dan masakannya juga termasuk enak," bela Rahma sambil membelai pipi Ily.

"Ini juga berkat Al yang selalu mendukung Ily, Ma. Dia selalu membelikan Ily buku-buku resep sampai kalau dikumpulkan, mungkin bisa buka perpustakaan pribadi." Ily tersenyum manis kepada mama mertuanya itu.

"Nah, itu namanya keluarga. Saling membantu, saling mendukung, dan saling menjaga. Kalian memang ibu dan ayah muda yang sukses. Sukses bukan hanya soal materi, juga sukses membina rumah tangga." Choky berkata sambil menepuk bahu Al yang duduk di sebelahnya.

"Ini juga berkat bimbingan Om sama Tante, kalian enggak pernah bosan menasihati dan mengarahkan kami untuk mengubah nasib. Makasih ya, Om, Tan," Al menatap Choky dan Mora bergantian. Mereka hanya tersenyum dan menganggungkan kepala membalas ucapan Al tadi.

Makan malam itu terasa hangat dan penuh sukacita, malam semakin larut. Semua menginap di rumah baru Al dan Ily yang lebih luas dari rumah yang sebelumnya. Mora duduk sendiri di teras rumah, sambil minum cokelat panas. Widya datang dan duduk di sebelah Mora. Mereka menatap langit malam yang gelap, tamapak indah dengan taburan bintang.

"Makasih, kamu sudah membimbing anak dan menantu Kakak. Kakak merasa gagal menjadi orang tua," sesal Widya membuat Mora tersenyum tanpa menoleh.

Mora menghela napas dalam lalu mengembuskan perlahan. Dia menoleh Widya.

"Jangan sesali apa yang sudah terjadi, karena sesungguhnya itu adalah takdir-Nya yang harus kita jalani," ucap Mora membuat Widya bangga.

"Kamu memang adikku, tapi pemikiranmu lebih dewasa dan bijak. Kakak malu sama kamu. Kalau seandainya Mami sama Papi masih ada, pasti mereka akan menghajar Kakak habis-habisan karena gagal menjaga anak." Mora tertawa keras saat mengingat bagaimana tegas dan ketatnya orang tua mereka.

Hari itu menjadi malam Mora dan Widya bernostalgia, mengingat masa lalu mereka. Ily yang melihat dari jendela kamarnya tersenyum sangat manis.

"Bun, kenapa belum tidur?" tanya Al yang keluar dari kamar mandi.

"Sedang memerhatikan dua saudara bercanda, Yah," jawab Ily masih setia mengintip tante dan mommy-nya.

Al yang penasaran lalu ikut mengintip dari belakang Ily dan memeluknya. Al tersenyum melihat Mora dan Widya tertawa lepas saling mengejek dan sesekali mencubit.

"Itu pemandangan langka, Yah, dulu Mommy enggak seperti itu. Yang ada di dalam pikiran Mommy hanya bisnis dan bagaimana mengembangkan perusahaan."

Al mengeratkan pelukannya dan meletakan dagu di bahu kanan Ily.

"Semua orang akan berubah seiring berjalannya waktu, Bun. Karena kesalahan itu obat yang paling mujarab agar kita tidak mengulanginya lagi. Apa yang pernah kita lakukan dan yang membuat kita menyesalinya, diusahakan jangan sampai terjadi kepada anak-anak kita nanti ya, Bun?" Al membalikan Ily lalu memeluk pinggangnya. Ily mengalungkan tangannya di leher Al dan tersenyum sangat manis.

"Apa kamu menyesal, Yah, dengan apa yang pernah kita lakukan dulu?" tanya Ily membuat Al tersenyum lebar.

"Memang dulu pertama ada rasa menyesal, karena kebodohan kita membuat masa depan hancur. Itu yang aku pikirkan dulu ...." Al mengajak Ily pindah dan berbaring di ranjang. "Tapi, sekarang Ayah enggak ada sedikit pun rasa menyesal. Justru sekarang rasa bersyukur yang selalu aku ucapkan," lanjut Al memeluk Ily, saling berhadapan.

"Bunda juga enggak menyesal, di balik semua cobaan dan ujian pasti ada hikmahnya. Justru Bunda bahagia sekarang. Di usia kita yang masih muda bisa memiliki anak-anak yang pinter dan cerdas." Ily membalas pelukan Al dan menelungkupkan wajahnya di dada.

"I love you, Sayang," ucap Al mencium pucuk kepala Ily.

"I love you too, Honey."

Al menarik bed cover lalu memeluk erat Ily dan mulai memejamkan mata. Semua orang mempunyai masa lalu, di mana masa lalu itu telah terisi oleh kenangan manis maupun pahit. Kesalahan di masa lalu, bagi sebagian orang akan menjadi kenangan pahit yang selalu berusaha untuk dilupakan karena cukup menyesal telah mengalaminya. Seandainya waktu memang bisa kembali, mungkin kita akan berusaha keras untuk menghilangkan kesalahan itu.

Namun, apa daya jika waktu pada kenyataan tidak akan pernah kembali berputar ke masa lalu. Apa yang dapat kita lakukan jika ini sudah telanjur terjadi? Berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dan memperbaiki kesalahan yang dulu pernah diperbuat.

Mengatasi masalah-masalah yang akan muncul di hari esok dan mendapatkan pelajaran dari kesalahan masa lalu sehingga tidak akan melakukan kesalahan itu lagi. Jadikan kegagalan cambuk untuk menuju kesuksesan. Kesalahan adalah pengalaman dan guru berharga dalam kehidupan.

***

Pagi buta Ily sudah meracik bumbu di dapur. Rahma bangun keluar dari kamar tamu, melihat Ily yang sudah sibuk di dapur lalu menghampirinya.

"Pagi sekali kamu bangun, Ly?" sapa Rahma lalu mencari pisau, membantu Ily.

"Iya, Ma, soalnya El nanti ada lomba cerdas cermat. Harus berangkat sekolah pagi buat persiapan di sekolahannya." Ily menjawab tanpa menghentikan kegiatannya.

Rahma memerhatikan gerak-gerik Ily yang terlihat cekatan dan gesit melakukan pekerjaan rumah tangga. Di saat dia sedang meracik bumbu dan sayuran, dia juga sembari memutar mesin cuci. Rahma tersenyum bangga melihat menantunya itu.

"Bun," panggil Al dari kamar.

"Iya, Yah, sebentar!" balas Ily lalu mencuci tangannya. "Sebentar ya, Ma, kebiasaan kalau pagi begitu, Ma."

"Iya, sana samperin dulu!"

Ily segera masuk kamar, melihat Kirana sudah bermain dengan Al di tempat tidur. Tadi saat Kirana bangun, Al memindahkannya dari dalam boks bayi.

"Apa sih, Yah? Kebiasaan teriak. Yang lain belum pada bangun," omel Ily menghampiri Al.

"Maaf, Ayah lupa, Bun," ucap Al lalu duduk di tepi ranjang. "Aku mau mandi, jagain Kirana dulu." Al berdiri lalu mencium bibir Ily cepat sebelum Kirana yang sedang asyik duduk bermain di ranjang melihatnya.

Walau mereka sudah memiliki dua anak, Al tidak pernah berubah, masih romantis dan mesra seperti saat mereka dulu pacaran. Justru dia semakin menyayangi keluarganya. Ily mengangkat Kirana lalu menggendongnya keluar dari kamar. Saat ke dapur, ternyata Rahma sudah ada yang bantu. Widya, Nelly, dan Mora sudah memegang pekerjaan masing-masing. Ily tersenyum melihat seluruh keluarganya dan Al bisa akur, akrab seperti itu. Rasa bersyukur yang tak tergambarkan selalu Al dan Ily panjatkan kepada Sang Pencipta.

Masa lalu biarlah berlalu, jadikan masa lalu sebuah cerminan di masa sekarang, agar tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.

###########

Terima kasih teman-teman untuk yang masih baca cerita ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top