KEHADIRANNYA
Ily sedang menyiapkan makan malam. Sedangkan Al menemani El bermain. HP Al bordering, lalu segera Al menjawabnya. Ily yang melihat Al berbicara serius dengan seseorang lewat telepon lalu menghampirinya. Al memutuskan panggilannya lalu meletakan HP-nya kembali di meja.
"Ada apa, Yah? Siapa yang menelepon?" tanya Ily mengelus lengan Al lembut.
"Itu Tante Mora, Bun, minta kita ke rumahnya besok. Katanya ada acara, tapi ditanya acara apa, bilangnya cuma mau ngadain syukuran kecil-kecilan, bertambahnya usia El yang kedua," jelas Al sambil mengangkat El yang sedang asyik bermain.
"Oh, begitu. Terus bagaimana, apa besok kita ke Singaraja?" tanya Ily berjalan di belakang Al yang menggendong El ke meja makan.
"Iya, untuk menghargai usaha Tante Mora yang sudah berniat baik mengadakan syukuran untuk El," jawab Al menarik kursi lalu duduk.
"El sama Bunda dulu ya, Sayang, Ayah biar makan dulu," ajak Ily sambil menjulurkan kedua tangannya untuk menggendong El.
"Dak au, El au cama Ayah," kata El lucu memeluk leher Al.
"Biarin, Bun, kamu duduk saja, kita makan, biar El aku pangku," tukas Al halus lalu Ily duduk di sebelah Al.
"Kalau Ayah di rumah, Bunda enggak dianggap. Maunya bermanjaan sama Ayah," gerutu Ily mengambilkan nasi di piring Al.
"Ya wajar dong, Bun, aku sama El, kan, jarang ketemu, kalau sama kamu setiap hari El ketemu."
"Iya, sih."
"Bagaimana usaha kamu? Lancar?" tanya Al kepada Ily di tengah menikmati makan malamnya.
"Alhamdulilah lancar, Yah. Pesanan semakin banyak, terus catering juga berjalan," jawab Ily sambil menyuapi El.
Setelah melahirkan dan El sudah bisa disambi, Ily melanjutkan usahanya. Dia mendapat tawaran kerjasama dengan kantor ASDP Ketapang untuk membuatkan makan siang nasi kotak. Tidak hanya itu, pesanan juga merambat ke kru kapal yang meminta Ily menyediakan makanan setiap hari tiga kali sehari. Terus untuuk karyawan kereta api.
Usahanya semakin maju dan lancar. Tidak hanya satu perusahaan yang bekerja sama di tempat Ily, hampir semua memesan di tempatnya. Dengan harga yang sesuai rasa dan kebersihan terjamin, membuat catering-nya semakin ramai orderan. Ily sudah memiliki banyak pegawai, tak disangka yang awalnya tidak pernah mengetahui isi dapur justru dari dapur dia mendapat rejeki.
"Syukur deh kalau lancar," ucap Al lalu menyelesaikan makanannya.
Setelah itu, Al dan Ily menemani El bermain hingga dia merasa lelah. Ily membiasakan El mencuci kaki dan menggosok gigi sebelum tidur. Yang terpenting lagi buang air kecil, biar tidak ngompol. Untung saja El anak yang pinter dan penurut. Jadi, Al dan Ily tidak merasa kerepotan mendidik El.
"El au bobo cama Ayah, Bunda," ucap El lucu setelah dia selesai mengganti bajunya dengan piyama.
"Iya, sini," seru Al mengangkat El ke ranjang.
Ily tersenyum melihat keakraban ayah dan anak itu. Al memeluk El dibalas El memeluk pinggangnya. Ily mengganti baju santainya dengan baju tidur yang nyaman. Selesai mengganti baju, dia menyusul Al dan El yang sedang bercengkrama, entah membicarakan apa. Ily berbaring di sebelah El menghadap Al. Dengan senyum yang tulus, Ily mengelus rambut El dan menepuk pelan pantatnya agar tertidur.
"Ayah, tenapa kita ndak bobo di lumah Opa cama Oma?" tanya El saat teringat opa dan omanya yang berada jauh dari mereka saat ini.
"Karena rumah Opa sama Oma jauh dari kita. Nanti kalau El sudah besar, kita ke rumah Oma, Opa lagi, ya?" jawab Al sambil mengelus pipi chubby El.
"Becok jadi ke lumah Oma Mola?"
"Iya, besok kita ke rumah Oma Mora. Sekarang El bobo dulu, ya, sudah malam," kata Al lembut.
"Bunda, peluk El," pinta El manja menggapai tangan Ily yang menepuk pantatnya sgar memeluknya.
Saat Al merasa napas El sudah teratur, dia melihat Ily sepertinya belum tertidur lelap. Al mengganti posisi tidur, di belakang Ily, dia memeluk tanpa celah.
"Ayah, jangan mulai deh."
"Ah, Bunda, bentar saja ... ayo ...."
"Ck, Ayah," decak Ily saat Al menciumi lehernya.
"Kamu berhenti minum pil KB kapan, Bun?" tanya Al menghentikan ciumannya di belakang telinga Ily.
"Kenapa?" tanya Ily menoleh Al.
"Biar El cepat punya adik," jawab Al, mata Ily terbelalak.
"Ayah ini! El kan, masih dua tahun, masa iya mau dibuatin adik. Tunggu sampai dia sekolah dulu," sangkal Ily yang kini menghadap Al.
"Biar jarak mereka tidak terlalu jauh, Bun, biar sekalian biaya sekolah dan lain-lainnya," ujar Al memeluk pinggang Ily.
"Tapi apa enggak kasihan El nanti kalau punya adik, perhatian kita terbagi?"
"Enggak akan terbagi, justru biar kita mengajari El bertanggung jawab menjaga adiknya nanti."
"Ya sudah, besok Bunda diskusikan sama Bidan Yanthi dulu, ya?"
"Iya. Kita lanjutkan," ucap Al menyeringai, lalu menarik selimut menutupi tubuh mereka.
***
Mobil sedan silver, cat masih mulus dan terawat, melaju di kota Singaraja. Pagi-pagi sekali Al dan Ily mengajak El menyeberang ke Bali. El selalu bersemangat dan bergembira saat Al dan Ily mengajaknya ke rumah Mora. Karena Mora dan Choky selalu memanjakannya.
Sesampainya di depan gerbang, satpam penjaga rumah Mora membukakan gerbang. Mereka masuk ke pelataran rumah mewah itu. Al dan Ily mengernyitkan dahi saat melihat rumah tak seperti biasanya. Biasanya sepi, ini justru seperti sedang menerima tamu. Al turun dari mobil membukakan pintu untuk Ily yang menggendong El.
"Tumben tamu Om sama Tante banyak, Yah," tanya Ily saat sudah berjalan di teras.
"Enggak tahu, Bun, mungkin keluarga Om Choky," sahut Al lalu mengangkat El dari gendongan Ily.
Mereka masuk ke rumah, baru sampai di ambang pintu, langkah mereka terhenti. Semua orang yang berada di rumah itu mengalihkan pandangannya ke pintu. Tubuh Ily menegang dan mengeratkan pelukannya di lengan Al. Widya yang tadi sedang bercanda dengan Nidia langsung berdiri melihat balita yang tampan di gendongan Al. Dia perlahan berjalan mendekati Al dan Ily, matanya berkaca-kaca menatap El tanpa kedip. Sesampainya di depan Al, Widya menggapai tangan El, berniat ingin mengajaknya. Namun, El langsung memeluk Al erat.
"Ini Grand Ma, baby boy," tunjuk Widya di dadanya, memperkenalkan diri kepada El.
Al dan Ily hanya terdiam memerhatikan El yang justru kelihatan takut, mungkin karena El belum pernah melihat Widya selama ini.
"Ayah ... pulang ...," ajak El dengan suara bergetar siap menangis.
"El, ini Grand Ma," ujar Ily lembut sambil mengelus rambut El.
"El au pulang, Bunda," ucap El sudah mulai menahan tangisnya.
"Sayang, mau main sama Auntie Nidia enggak? Sini, Auntie punya mobil-mobilan baru loh?" bujuk Mora menghampiri El lalu menjulurkan tangannya.
El menggapai tangan Mora dengan cepat kini sudah berada di gendongan Mora.
"Anti Ia punya mobil, Oma?" tanya El polos sudah melupakan ketakutannya.
"Iya, dong," jawab Mora mengajak El mendekati Nidia yang sedang bermain.
Choky yang tadinya sedang mengobrol dengan Fauzan lalu berdiri menghampiri Al. Choky merangkul Al, mengajaknya duduk satu sofa dengan Fauzan. Sikap stay cool dan wajah garang Fauzan membuat nyali Al ciut.
Al menunduk, tidak berani menatap mertuanya itu. Sedangkan Widya sudah menangis menatap Ily penuh rindu. Widya merentangkan kedua tangannya agar Ily memeluknya. Dengan air mata yang sudah bercucuran, mereka saling berpelukan melepas rindu. Mora dan Choky saling memandang dan tersenyum. Ini sebagian rencana mereka untuk mempertemukan kedua keluarga yang terpisah itu.
"El, sini, Sayang, sama Opa Choky," panggil Choky melambaikan tangan kepada El.
El yang sedari tadi asyik bermain dengan Nidia lalu berlari ke pangkuan Choky. Fauzan sedari tadi memerhatikan El, ada sesuatu yang bergetar di dalam hatinya. Melihat tingkah polosnya yang lincah saat bermain membuat Fauzan tersenyum dalam hati.
"Opa Choky sama Oma Mora punya hadiah untuk ulang tahun El yang kedua," kata Choky sengaja memamerkan kedekatannya dengan El kepada kakak iparnya yang duduk santai bersandar di sampingnya.
"Apa, Opa?" tanya El lucu sambil melendot manja di dada Choky.
"Cium Opa dulu, baru nanti Opa kasih," pinta Choky menunjuk pipinya.
El mencium pipi Choky yang dilihat Fauzan dan Al. Tidak sadar, Fauzan tersenyum tipis melihat tingkah polos El, Al yang sekilas melihat senyum itu, hatinya lega, ternyata secara tidak langsung tingkah polos El membukakan pintu hati mertuanya. Widya dan Ily menghampiri El yang duduk di pangkuan Choky, Ily duduk di sebelah Al sedangkan Widya jongkok, berniat mendekati El.
"El, mau hadiah apa dari Grand Ma?" tanya Widya mengambil hati El.
El menoleh kepada Al dan Ily lalu menggapai tangan Al, agar Al menggendongnya. Al mengangkat El dari pangkuan Choky.
"El, jagoan Ayah, anak pinter, ini Grand Ma Widya. Oma El juga," ujar Al lembut menjelaskan kepada El.
"Glen Ma?" tanya El mengulang kata yang masih asing di telinganya itu.
"Iya, Sayang, ini Grand Ma, sama seperti Oma Rahma dan Opa Ramdani," sahut Ily menambah pengertian kepada El.
Fauzan yang memerhatikan Al dan Ily merasa bangga, ternyata anak dan menantunya dapat mendidik cucunya dengan baik walau usia mereka masih sangat muda. Bayangkan saja, sekarang usia Al dan Ily baru 20 tahun, di situasi sulit untuk mencapai segalanya, mereka dapatkan seperti saat ini. Karena ketabahan, kesabaran, dan kerja keras mereka yang tidak pernah putus asa untuk berusaha, semua dapat mereka jalani.
"Ini Grand Pa, El." Widya memperkenalkan Fauzan.
"Glen Pa?" ucap El lucu membuat Widya gemas.
"Sini ikut Grand Ma, ya?" ajak Widya menggapai El.
El menoleh kepada ayah dan bundanya, dari tatapan itu, seakan El meminta izin. Al dan Ily tersenyum dan mengangguk. El lalu menggapai tangan Widya, dengan cepat Widya memeluk El menumpahkan rasa rindu yang selama ini dia tahan. Widya mengetahui perkembangan El dari foto dan vidio amatir yang Mora kirim. Kini balita itu nyata berada di pelukannya. Widya mencium berulang kali semua wajah El, membuat El geli dan terkikik.
"Ampun, Glen Ma, El geli," mohon El agar Widya menghentikan ciumannya.
"Biar pipi gembul kamu kempes. Grand Ma gemes, pengin gigit pipi bakpao kamu," Widya semakin gemas lalu memindahkan El duduk di pangkuan Fauzan. "Nih, ikut Grand Pa," ujar Widya yang masih memegangi El yang sudah berada di pangkuan Fauzan.
Al dan Ily saling pandang, perasaan mereka was-was, takut jika Fauzan tidak akan menerima El. Ily mengeratkan lingkaran tangannya di lengan Al. Tangan Fauzan yang tandinya hanya diam perlahan memegangi El, Widya tersenyum manis. Mata Al dan Ily terbuka sempurna, tak percaya Fauzan akan dengan mudah menerima kehadiran El.
"Siapa nama panjang, El?" tanya Fauzan menatap Al santai tidak seperti tiga tahun lalu.
"Abrisam Jami' Anas Gavriel, Om," jawab Al masih canggung.
"Jangan panggil saya om. Memangnya saya om kamu? Panggil daddy, seperti Ily memanggil saya," ujar Fauzan membuat hati semua merasa lega.
"Iya, Daddy," sahut Al dengan perasaan lega dan senyuman manisnya.
"Dad ...," gumam Ily lirih, masih dapat didengar.
"Apa? Kamu mau minta jatah bulanan sama Daddy? No! Cuma El yang akan Daddy beri jatah bulanan. Kamu minta kepada suamimu," ujar Fauzan. Ily berdiri lalu memeluk Fauzan dengan perasaan rindu.
"Daddy, maafkan Ily," ucap Ily menangis sambil memeluk Fauzan.
"Sudah, kita lupakan kejadian tiga tahun yang lalu. Sekarang yang terpenting, kita didik bersama El sampai tumbuh jadi anak baik dan jangan sampai mengikuti jejak kebandelan kalian," tukas Fauzan menyeringai Al.
"Maaf, Dad ...," ucap Al tidak enak hati sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Sudahlah, yang penting kamu sudah buktikan pada Daddy, kamu mampu bertanggung jawab dan menjaga keluargamu dengan baik," ujar Fauzan tersenyum bangga kepada Al.
"Yeaaaaaa, akhirnya serial termehek-meheknya udah berakhir," pekik Mora yang sedari tadi memerhatikan adegan mengharukan itu.
"Moraaaaaa!" seru Widya geram kepada adiknya itu, yang sudah merusak suasana.
Semua tertawa bahagia saat melihat wajah Mora ditekuk dan menggerutu tidak jelas. Bahagia itu sederhana, ketika seluruh anggota keluarga berkumpul lengkap bersama tanpa ada yang kurang satu pun. Itu sudah lebih dari apa pun.
##########
Apa yang kamu petik dari cerita ini?
Makasih untuk vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top