KEGIGIHAN
Di ruang tamu sederhana rumah itu, Al duduk di depan wanita yang sedang hamil, usia kandungannya sama dengan Ily. Al menunduk pasrah saat dipandang Ily dengan tatapan tajam yang duduk di sebelahnya.
"Kenapa Kakak datang ke sini? Tahu dari mana kalau aku di sini?" tanya Al kepada wanita yang duduk di hadapannya itu.
"Enggak usah banyak tanya, kamu sudah mengecewakan Kakak dengan kebandelanmu itu. Beraninya kamu menghancurkan masa depan anak orang dan masa depan kamu sendiri. Sudah musnah angan-angan Kakak dan Papa untuk menjadikanmu CEO di perusahaan Papa," caci maki wanita itu kepada Al.
"Sudahlah, Kak, ini salah Al dan biar Al yang menanggungnya. Al dari dulu juga enggak tertarik dengan perusahaan Papa. Di dalam otak Kakak dan Papa itu sama! Cuma harta dan tahta!" sahut Al dengan nada tinggi, emosinya terpancing. Ily yang duduk di sebelah Al mengusap pelan lengan Al agar dia tenang.
"Berapa usia kandungannya?" tanya wanita itu sinis menunjuk Ily dengan dagunya.
"Istri Al punya nama, Kak! Ilya! Panggil dial Ily!" bentak Al dengan mata yang sudah merah menahan amarah.
Wanita itu tersenyum miring, terlihat sombong dan angkuh.
"Wanita murahan, mau-maunya melakukan hubungan badan di luar nikah."
"Kak Nelly! Cukup! Sudah puas Kakak menghina kami? Lebih baik Kakak pulang dan jangan ganggu rumah tangga kami!" bentak Al yang tidak terima hinaan dari kakak kandungnya itu.
Ily dengan perasaan sakit karena hinaan Nelly berusaha tetap tenang dan sabar. Dia sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak menetes. Ily tidak ingin dianggap lemah oleh kakak kandung suaminya itu.
"Pulanglah ke rumah! Teruskan pendidikan yang tertunda," pinta Nelly dengan tatapan serius.
"Al enggak akan menjilat ludah sendiri. Papa yang menyuruh Al keluar dari rumah. Kakak enggak perlu repot-repot mengurusi kehidupan Al, apalagi sampai ikut campur rumah tangga Al," jawab Al geram, rahangnya mengeras.
"Dasar anak bau kencur! Diajak hidup kaya susah! Kalian mau selamanya hidup di rumah yang sempit dan pengap begini?" cerca Nelly menyapu keseluruh penjuru rumah itu.
"Al tidak perlu hidup mewah dan harta yang berlimpah kalau keluarga tidak utuh. Yang Al dan Ily butuhkan hanya keluarga yang utuh, harmonis, dan berlimpah dengan kasih sayang. Ambil saja seluruh harta yang Papa punya untuk Kakak," sahut Al menatap tajam Nelly.
"Apa kamu bisa?" tanya Nelly senyum miring, meremehkan.
"Al dan Ily masih punya Tuhan yang bisa mengubah sesuatu, kelihatannya tidak mungkin menjadi mungkin. Takdir tidak dapat diubah, tapi nasib masih dapat diubah. Memang kami saat ini masih di bawah, tapi dengan kerja keras, Al yakin, kami mampu hidup yang lebih layak dari saat ini," jawab Al membuat perasaan Ily bangga memiliki imam yang tangguh dan kuat sepertinya.
"Terserah kamu! Kakak akan pulang ke Jakarta."
Akhirnya Nelly mengalah dengan sifat keras kepala adik lelaki satu-satunya itu.
"Untuk kamu, jaga baik-baik keponakanku dan tolong ajari suamimu yang kepala batu itu untuk bersikap sopan dengan orang yang lebih tua," pesan sinis Nelly kepada Ily.
"Maaf, Kak, saya hanya istri yang harus patuh kepada suami. Jika suami saya salah jalan, baru saya berhak menegurnya, tapi jika suami saya benar, saya hanya berkewajiban mentaatinya," jawab Ily memiliki keberanian karena mendapat dukungan dari suaminya. Al tersenyum bangga mendengar jawaban istrinya itu.
"Terserah kalian! Kalian sama saja, kepala batu!" ujar Nelly sebal lalu menenteng tasnya. "Mama sama Papa liburan di Bali. Mereka menginap di hotel kita yang ada di Bali. Kakak ke sini tanpa sepengetahuan mereka dan suami Kakak. Kakak mau pulang," pamit Nelly lalu berdiri diikuti Al dan Ily.
Mereka mengantar Nelly sampai di teras rumah. Al melingkarkan tangan kanannya di pinggang Ily.
"Kak, hati-hati di jalan. Maaf, nanti Kakak melahirkan, Al enggak bisa datang. Istri Al juga sebentar lagi melahirkan," ucap Al sebelum Nelly masuk ke mobil.
"Iya, Kakak paham. Jaga diri kalian baik-baik, Kakak akan mengirimkan uang untukmu setiap bulan."
"Enggak perlu, Kak. Al sudah blokir semua tabungan dan kartu kredit. Jadi, Kakak enggak perlu repot-repot mengirim uang untuk kami," dusta Al yang sebenarnya punya.
"Ya sudah, terserah kalian!" Nelly lalu masuk ke mobil BMW hitam mengkilap.
"Kakak hati-hati," pesan Al. "Pak, hati-hati ya, kalau menyetir," pesan Al kepada sopir yang mengantar Nelly.
Mobil mewah itupun akhirnya melaju, pergi ke pelabuhan Ketapang untuk menyeberang ke Bali. Sebenarnya Nelly kakak yang baik, hanya dia ingin menguji, sampai di mana kemampuan adiknya untuk mempertanggung jawabkan apa yang sudah dia perbuat. Hati Nelly puas dengan setiap jawaban yang Al lontarkan.
Maafkan Kakak, Dek, Kakak hanya ingin tahu sebesar apa tanggung jawabmu dengan apa yang sudah kamu perbuat. Mama sama Papa akan bangga denganmu jika melihat usaha kerasmu itu. Tenang saja, Dek, Kakak akan membawamu dan istrimu masuk ke rumah kita. Apalagi setelah kelahiran keponakan Kakak, aku yakin Mama sama Papa enggak bisa menolaknya, batin Nelly tersenyum puas.
Al dan Ily masuk ke rumah setelah mobil yang dikendarai Nelly tak terlihat. Hati Al lega, tetapi ada sesuatu yang mengganjal.
"Honey, kakakmu emang seperti itu, ya? Serem."
"Dulu enggak seperti itu, sebenarnya baik, mungkin dia kecewa sama aku, Yang," ucap Al sambil menutup pintu. "Maafin kakakku ya, Yang?" kata Al tidak enak hati karena sikap Nelly kepada Ily.
"Iya, aku sudah maafin dia, tanpa kamu memintakan maaf. Aku bangga deh ama kamu. Makasih ya, Honey, kamu sudah membelaku di depan kakakmu," ucap Ily memeluk lengan Al.
"Itu sudah kewajibanku sebagai suami kamu. Aku enggak akan rela jika istri apalagi keluargaku dihina atau diusik orang. Aku akan melakukan apa pun agar kalian aman dan nyaman," jawab Al membuat perasaan Ily menghangat.
Saat mereka berdiri di depan kamar, Al berucap lirih, "Yaaaang ...."
"Hmmmm, ada apa, Honey?" tanya Ily lembut menatap Al.
"Aku pengin nengokin debay," bisik Al pelan di telinga Ily, membuat istrinya tersipu, bersembunyi di belakang lengan Al.
Tanpa menunggu jawaban Ily, Al mengangkat masuk ke kamar. Al menutup pintu dan menguncinya. Dengan hati-hati, Al menurunkan Ily di ranjang. Al menyeringai dengan senyum jahil.
Saat mereka bercumbu, HP Al berdering. Al mengabaikannya. Al tetap melanjutkan cumbuannya. Lagi-lagi HP Al berdering, Ily menahan bibir Al.
"Lihat dulu siapa yang menelpon. Siapa tahu penting," ujar Ily, Al mendengus kesal.
"Ganggu aja! Siapa sih, lagi nanggung juga!" gerutu Al sebal mengambil HP di meja kecil samping kasur.
Al melihat panggilan tak terjawab, ternyata dari Mora. Al segera menghubungi balik.
"Halo, Tan, maaf tadi Al lagi di kamar mandi," dusta Al malu jika jujur apa yang sedang akan dia lakukan bersama Ily.
"Oh, enggak apa-apa, Al. Kamu di rumah atau di kapal sekarang, Al?"
"Ada di rumah, Tan, kapal sedang off. Ada apa ya, Tan?" tanya Al duduk di tepi ranjang mengelus perut Ily yang dibiarkan polos.
"Tante mau nyeberang, ini masih di Gilimanuk. Tante sama Om mau bicara serius sama kamu," ujar Mora membuat Al penasaran.
"Mau membicarakan soal apa, Tan?"
"Nanti kita bahas di rumah saja, ya?" jawab Mora lalu matikan panggilannya sepihak.
Al mencebik lalu melempar HP ke sembarang, di atas ranjang. Al mengusap-usap perut Ily, tak sengaja merasakan pergerakan di dalam perut itu.
"Ih, dia bergerak, Yang, aku usap perut kamu. Berarti dia merespons," girang Al lalu mencari-cari lagi pergerakan di dalam perut Ily.
Ily terkekeh melihat wajah Al yang serius menunggu pergerakan baby yang masih di dalam perut itu.
"Jangan gerak-gerak dong Yang, aku mau menyentuh dia lagi," seru Al tampak serius menunggu.
Ikatan batin seorang anak dengan kedua orang tua terjalin sejak dia di dalam kandungan, benar saja, saat Al serius menunggu, baby dalam perut Ily bergerak, tiba-tiba seakan siku baby itu menyikut perut Ily.
"Lihat Yang, ini ... pegang," girang Al mengangkat tangan Ily agar ikut memegang tonjolan itu.
"Aaaaaaaa, iya, Honey, jadi enggak sabar nunggu dia lahir," seru Ily girang diangguki Al.
"Anak Ayah di dalam sehat ya, Nak. Ayah sama Bunda selalu menjagmu. Kami enggak sabar menyambutmu hadir di dunia ini," kata Al di depan perut Ily.
Ily tersenyum melihat Al yang aktif mengajak anaknya berkomunikasi.
"Pasti sehat dong, Yah. Kan, anak kita pinter. Enggak pernah minta aneh-aneh dan enggak rewel," jawab Ily sambil mengusap perutnya.
"Makasih ya, Yang?" ucap Al, Ily mengerutkan kening.
"Buat apa?"
"Karena kamu adalah wanita yang mau aku tanami benih. Aku bersyukur karena Tuhan memilih wanita yang kuat dan tegar untuk aku sebar benih di dalam kandungannya," jelas Al tulus lalu mencium kening Ily lama menyalurkan rasa cintanya.
"Makasih juga ya, Honey, kamu sudah menjadi sosok pelindung kami dan aku bersyukur karena kamu adalah lelaki satu-satunya yang menyebar benih di dalam rahimku. Kamu adalah cayah yang bertanggung jawab," balas Ily yang tak kalah tulusnya dengan ucapan Al.
"Kita keluar yuk? Bentar lagi Tante Mora sama Om Choky mau datang ke sini."
"Mau apa Tante sama Om ke sini?" tanya Ily beranjak dari tempat tidur dibantu Al.
"Enggak tahu, katanya ada yang mau dibicarakan sama aku, penting," jawab Al merapikan penampilan Ily yang tadinya acak-acakan karena ulahnya.
"Kamu enggak bikin kesalahan kan, Honey?" tanya Ily curiga.
"Enggaklah, Yang. Aku laporan beres dan setoran lancar, enggak ada masalah," jawab Al cepat. Namun, dalam hatinya juga bertanya-tanya.
Al dan Ily keluar dari kamar, menunggu Mora dan Choky datang. Selang 30 menit akhirnya yang ditunggu pun datang.
"Kak Ily," panggil Nidia girang masuk ke rumah sambil merentangkan kedua tangannya, siap memeluk Ily.
"Halo, Sayang," sapa Ily menerima pelukan Nidia.
"Kapan dedek bayinya lahir, Kak?" tanya Nidia tak sabar menunggu kelahiran Ily.
"Sebentar lagi. Nanti Dia temani Kak Ily, ya?"
"Pasti Dia temani Kakak. Dia juga pasti ikut jagain adik bayinya," jawab Nidia menggemaskan.
Mora, Choky, dan Al sudah duduk di sofa ruang tamu, melihat percakapan Nidia dan Ily hanya tersenyum.
"Dia pinter ya, Om? Simpati dan kepeduliannya besar," kata Al saat mereka memerhatikan Nidia membantu Ily menimbang tepung untuk kue.
"Iya, itulah yang kami ajarin dari Dia kecil biar jadi anak yang peka dengan kehidupan di sekelilingnya," jawab Choky memerhatikan putri semata wayangnya itu.
"Oh, iya, tadi Tante mau bicara apa?" tanya Al mengalihkan pembicaraan pada topik awal niat mereka datang menemuinya.
"Begini Al, Om sama Tante sudah sepakat memberimu tanggung jawab satu usaha yang sudah kamu kuasai selama ini. Tante lihat dan perhatikan, kamu sudah bisa menjalankan usaha itu sendiri," jelas Mora mengawali pembicaraan yang kali ini serius.
"Maksud Tante bagaimana?" tanya Al yang belum jelas dengan perkataan Mora tadi.
"Tante akan melimpahkan semua usaha kantin di penyeberangan sini untuk kamu jalankan. Sebentar lagi perusahaan akan menambah armada satu lagi. Jadi, kamu akan memegang dua usaha di perairan Ketapang-Gilimanuk sini," jelas Mora berharap Al mau menerima tawarannya.
Al terlihat berpikir keras. "Terus bagaimana dengan modal untuk membuka kantin di kapal yang baru, Tan? Al saja masih punya utang besar sama Om dan Tante. Ada uang tabungan, tapi untuk persiapan Ily melahirkan," ujar Al masih bingung mencari modal untuk membuka usaha di kapal yang baru.
"Soal modal kamu tenang saja, dulu Tante sudah menjanjikan itu kepadamu, kan? Ini sudah waktunya, Al. Tante perhatikan kamu juga sudah menguasai dan siap memegang usaha ini sendiri."
"Tapi Al masih terlalu muda untuk menjadi pengusaha, Tan. Pendidikan Al sebatas SMA," ujar Al berkecil hati.
"Kamu jangan merendahkan diri sendiri. Menteri kita saja ada yang SMA, tidak lulus malah, tapi lihatlah, kegigihannya dan kerja kerasnya mampu mengubah yang tadinya bukan siapa-siapa sekarang menjadi salah satu orang yang berpengaruh besar di negeri ini. Dia wanita loh, Al! Kamu jangan mau kalah dengan dia."
Dorongan moral dari Choky membuat hati Al semakin yakin.
"Terus apa yang harus Al lakukan untuk mengawali usaha ini, Tan?" tanya Al sudah mulai tertarik pada bisnis yang selama ini Mora jalankan dan ajarkan kepadanya.
Dengan antusias dan senang hati Mora menjelaskan semua dari hal yang paling terkecil hingga yang berpengaruh besar terhadap usaha itu. Al sangat serius memerhatikan penjelasan Mora, banyak pelajaran yang Al dapat dari seorang yang sukses berawal dari nol seperti Mora dan Choky.
Segala sesuatu dapat menjadi mungkin jika Tuhan sudah menghendaki walau kelihatannya tidak mungkin. Bisa apa kita, jika Tuhan sudah berkehendak semua akan bisa berubah dengan seiring berjalannya waktu. Kegigihan dan kerja keras akan menghasilkan sesuatu yang besar dalam hidup kita. Perubahan harus kita lakukan untuk yang lebih baik dari sebelumnya. Bekerja keraslah untuk meraih apa yang kita mau karena hasil dari kerja keras kita akan lebih terasa berkesan.
############
Makasih vote dan komentarnya ya?
Love you all and miss you.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top