HIDUP SEDERHANA

AL POV

Susah memang menjadi kepala rumah tangga. Kini aku merasakan apa yang Papa rasakan. Mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Aku bersyukur, walau jauh dari orang tua, tetapi aku masih mempunyai Tante Mora dan Om Choky yang selalu membimbingku dan Ily.

Sudah dua minggu ini aku bekerja di kapal yang terombang-ambing melawan arus. Bukan sebagai kru kapal, tetapi lebih tepatnya koordinator kantin, usaha Tante Mora. Dia mempercayakannya kepadaku. Ini suatu tanggung jawab yang besar, aku membawahi enam orang karyawan. Aku bekerja sesuai jadwal kapal berjalan, ikut menjaga dan membantu melayani pembeli.

Jika saat bekerja, aku hanya memiliki waktu tidur dua jam. Padahal jadwal kapal tidak pasti, terkadang dua hari jalan, satu hari sandar atau berlabuh jangkar. Aku jadi sering meninggalkan Ily di kos sendiri. Kasihan istriku, setiap malam jika aku sedang bekerja, dia tidur sendiri. Terkadang saat aku masih bekerja, pikiranku tidak tenang. Aku selalu kepikiran dia, sedang apa dia? Apa yang dia lakukan jika tidak ada aku? Sudah makan atau belum? Ah, banyak deh yang aku pikirkan jika jauh darinya.

Pagi ini kapal off dan tender, buru-buru aku pulang ke kos untuk segera menemui istri tercintaku. Aku selalu berjalan kaki jika pulang dan pergi bekerja, biasanya tancap gas, kini aku harus lebih ekstra mengeluarkan tenaga. Kehidupanku terbalik 180°. Sampai di depan kamar kos, aku segera mengetuk pintu, sengaja aku menyuruh Ily untuk mengunci pintu saat aku tidak di kos, aku hanya mengizinkannya keluar sekadar belanja di pasar. Tak menunggu lama akhirnya dia membukakan pintu. Aku selalu bahagia saat pulang kerja disambut dengan senyum manisnya.

"Baru pulang, Honey?" tanya dia langsung bergelayut manja di lenganku.

Aku tersenyum manis dan mencium pelipisnya.

"Iya, kamu lagi ngapain?" tanyaku saat masuk melihat kamar kos yang sedikit berantakan.

"Aku belajar bikin kue. Maaf belum sempat membersihkan, soalnya tadi kepalaku pusing dan mual," jelas dia menunduk, sepertinya dia takut kalau aku akan memarahinya.

"Oh, siapa yang mengajarimu?" tanyaku lembut lalu membawanya duduk di lantai hanya beralaskan tikar sederhana.

"Bunda Neneng," jawabnya dengan nada takut.

"Siapa dia?"

"Tetangga sebelah, tadi kenal di pasar waktu belanja di kiosnya Tante Itha. Aku diajak ngobrol sebentar, ternyata rumahnya bersebelahan dengan kamar kos kita, Honey," jelasnya hati-hati, mungkin agar aku tidak memarahinya.

Aku memang belakangan ini sensitif, kasihan istriku, terkadang menjadi korban amarahku karena pusing dengan pekerjaan. Aku juga terlalu over protektif dengannya, melarang dia untuk tidak banyak mengobrol dengan orang asing dan tidak mengizinkannya keluar kos tanpa aku. Namun, itu aku lakukan demi kebaikannya. Maafkan aku, Sayang.

"Oh, begitu?" jawabku mengangguk.

"Aku bikinkan teh, ya? Aku juga mau goreng telur buat kita makan. Kamu mandi dulu gih!" perintahnya lalu berdiri.

Terkadang aku merasa kasihan pada Ily, di kamar yang sempit seperti ini, dia sekat dengan pembatas rotan yang dikasih dari Tante Mora untuk meletakan alat memasaknya. Tidak terlalu banyak, hanya seperlunya yang dia miliki dan itupun serba kecil. Tante Mora membelikan kami satu set kompor dan rice cooker kecil. Itu semata-mata kado dari dia atas pernikahan kami. Itu sangat berharga untuk kami saat ini. Dengan dua alat itu setidaknya kami bisa menghemat pengeluaran. Maaf, bukannya aku pelit, tetapi kali ini aku harus benar-benar hemat untuk menabung.

Aku berdiri dan masuk ke kamar mandi. Setelah menyelesaikan ritual di kamar mandi, aku keluar, melihat Ily sudah menyiapkan makan siang sederhana. Hanya ada nasi dan telur goreng. Waktu ini hanya telur yang dapat dimasak Ily. Aku tidak pernah mengeluh dan menuntut dia untuk masak yang lebih. Tanpa aku meminta, terkadang dia belajar sendiri walau rasanya masih kurang pas, tetap aku makan.

"Honey, maaf cuma ini yang bisa aku masak sekarang," ucapnya sambil menurunkan sepiring nasi dan segelas air putih di tikar.

Aku berjalan menghampirinya dan duduk di tikar itu. Aku mengangkat piring dan mencium bau telur goreng yang membuat perutku meronta-ronta segera ingin diisi.

"Ada kecap manis?"

Dia berdiri mengambilkannya untukku. Aku menuangkan kecap manis agar sedikit ada rasa pada nasiku. Saat aku ingin menyuapkan nasi ke mulut, aku melihat dia hanya duduk sambil merapikan bahan-bahan kue yang belum sempat dia rapikan tadi.

"Sayang, kamu enggak makan?" tanyaku lembut padanya.

"Aku tadi sudah makan duluan, Honey," jawabnya tersenyum manis.

"Bisa temani aku makan sekarang?" pintaku yang sebenarnya tidak percaya kalau dia sudah makan.

Sejak kehamilannya memasuki bulan ketiga, dia susah sekali makan.

"Tapi aku sudah kenyang," jawabnya meletakkan bahan kue ke stoples besar.

Aku menghela napas dalam, tidak menanggapi lagi pembicaraannya. Aku diam, saat aku ingin menyuapkan nasi ke mulut, dia menghampiriku dan membuka mulutnya. Aku tersenyum, sekarang jurus andalanku adalah mendiamkannya saat dia susah diatur. Karena dia paling tidak bisa aku cueki apalagi aku diamkan. Aku menyuapkan sesendok nasi kepadanya.

"Honey," ucapnya lirih dengan nasi masih di dalam mulut.

"Hmmmm, apa?" gumamku menyendokan nasi untukku sendiri.

"Asin," serunya sambil meringis, aku menatap dia dengan kerutan di dahi.

"Apanya?"

"Telurnya."

"Kan, kamu yang bikin. Kamu kasih garam seberapa?" tanyaku lalu menyuapkan nasi ke mulut.

Benar katanya, ini sangat asin, tetapi masih untung tertutupi rasa manis dari kecap. Aku harus bisa menelan ini, aku tidak mau membuatnya kecewa. Aku harus bisa menghargainya yang sudah berusaha membuatkan dan belajar memasak untukku.

"Enak kok, Yang, tapi lain kali kasih garam dikit aja, ya?" kataku sambil mengunyah, dijawab anggukan darinya.

"Honey," panggilnya pelan padaku.

"Iya, apalagi?"

"Kemarin aku punya utang di kiosnya Tante Itha. Aku beli beras, uangnya kurang. Untung Tante Itha baik, membolehkan aku bawa beras itu dulu," ceritanya membuatku menghela napas dalam.

"Berapa kamu punya utang? Aku, kan, sudah bilang, beli saja apa yang kita butuhkan dan secukupnya dengan uang yang kita miliki," jelasku padanya agar dia dapat mengerti keadaan kami sekarang.

"Maaf, Honey, aku juga enggak tahu kalau harganya sudah naik. Biasanya aku beli harganya masih 45 ribu, tapi sekarang sudah 55 ribu, beras lima kilogram," jawabnya menunduk, aku yakin dia takut jika aku mengomelinya lagi.

"Jadi, utang kamu berapa, Sayang?" tanyaku lembut agar dia tidak takut lagi padaku.

"Dua puluh ribu, Honey. Kemarin sama beli telur setengah kilo," jawabnya menatapku dengan wajah memelas.

"Ya sudah, kamu ambil uang di tasku, jangan ambil yang di amplop, itu uang setorannya Tante Mora," pintaku lembut, akhirnya dia berdiri mengambil dompetku dan memberikannya padaku.

Ini yang aku suka darinya, dia tidak pernah mau mengambil uang sesuka hatinya tanpa aku memberinya. Mengambil sendiri dalam dompetku saja dia tidak mau, walau aku sudah menginjzinkannya. Aku mengambil uang seratus ribu dari dompet.

"Ini, sekarang kamu bayar, ya? Tidak nyaman kalau punya utang," kataku sambil menyodorkan uang itu padanya.

"Terima kasih, Honey," jawabnya tersenyum manis.

Walau dia sudah menjadi istriku, tetapi kata terima kasih saat aku memberikan apa pun padanya tidak pernah dilupakan.

***

Author Pov

Setelah Al memberikan uang, Ily segera pergi ke kios Itha. Sedangkan Al menyelesaikan makannya hingga habis lalu dia mencuci piringnya sendiri. Mata Al sangat berat karena kurang tidur dan badannya lelah bekerja dua hari dua malam tidur hanya empat jam. Sebelum Al tidur, dia membantu Ily membersihkan lantai yang masih terdapat sisa tepung dan lain-lain.

Al menyapu dan mengepel lantai kamar kos yang sempit itu. Setelah bersih, Al menurunkan kasur busa yang disandarkan Ily ke tembok setiap bangun tidur agar tidak cepat kotor dan ruang sedikit luas untuk melakukan aktivitas siang hari. Al membaringkan tubuhnya dan beristirahat, meregangkan otot yang terasa kaku dan memejamkan mata yang sudah sangat mengantuk.

Ily sudah sampai di kios Itha, tidak sengaja bertemu Neneng yang juga sedang belanja.

"Loh, anak cantik belanja apa?" tanya Neneng sambil mengelus rambut Ily lembut.

"Mau bayar kurangan belanja kemarin, Bun," jawab Ily tersenyum ramah. "Oh iya, Bun, mixer sama ovennya masih di tempatku. Nanti aku kembalikan, ya?"

"Bunda enggak buru-buru memakainya. Gimana, jadi tadi kuenya?" tanya Neneng sambil memilih bahan pokok untuknya.

"Belum sukses, Bun, kapan-kapan dicoba lagi deh. Tadi masih bantat," jawab Ily malu-malu membuat Itha dan Neneng tertawa. "Tante Itha, ini aku mau bayar kurangan yang kemarin, sekalian mau beli sabun mandi sama sabun buat cuci baju," ujar Ily menyodorkan uang kepada Itha yang berdiri di balik etalase.

"Sabun mandinya berapa, Neng?" tanya Itha siap mengambilkan sabun untuk Ily.

"Dua saja dulu, Tante, sama sabun untuk cuci bajunya yang ukuran sedang saja," jawab Ily lalu Itha mengambilkannya.

"Ini sabunnya dua, lima ribu, yang ini lima belas ribu, kemarin kurangannya dua puluh ribu, kan?" tanya Itha sambil memasukan belanjaan Ilyt di kantong plastik.

"Iya, Tante," jawab Ily sambil melihat-lihat harga bahan pokok.

"Jadi, semuanya empat puluh ribu dan ini kembaliannya enam puluh ribu, ya?" Itha memberikan uang kembalian dan belanjaan kepada Ily.

"Ini punyaku sekalian dihitung, Jeng," pinta Neneng mengankat keranjang belanjaan ke etalase.

Itha segera menghitung sambil memasukan belanjaannya ke kantong plastik. Setelah selesai membayar, Neneng dan Ily segera pulang. Di perjalanan, Neneng dan Ily banyak mengobrol.

"Bunda, mampir dulu," tawar Ily saat sudah sampai di depan kamar kosnya.

"Terima kasih, lain waktu saja, ya?" tolak Neneng halus agar tidak menyinggung perasaan Ily.

"Iya, Bun."

Ily membuka gerbang kos, sedangkan Neneng berjalan menuju rumahnya yang tepat di samping kamar kos Ily, hanya berbatas tembok penyekat. Ily masuk ke kamar, melihat Al yang sudah tertidur lelap, ini hal biasa bagi Ily saat Al baru saja pulang dari bekerja. Dia dapat memakluminya karena tahu betul bagaimana suaminya itu bekerja. Setelah menyimpan belanjaannya, Ily masuk ke kamar mandi yang sempit untuk merendam pakaian kotor.

Sudah menjadi kebiasaan Ily sekarang mencuci pakaian dengan tangan. Terkadang Al juga membantunya, jika Al libur bekerja, dia yang mencuci baju sedangkan Ily mengerjakan pekerjaan yang ringan. Pekerjaan rumah tangga memang berat dan lebih menguras tenaga. Selesai mencuci pakaian dan menjemurnya, Ily meletakan ember di kamar mandi lalu menutup pintunya. Rasa lelah menariknya untuk ikut berbaring di samping Al.

Ily menghadap Al, dia melihat wajah lelah suaminya itu. Air bening mengalir dari mata indahnya. Rasa bersalah dan berdosa menjalar di hatinya. Ily meraba wajah Al yang tampak tirus dan tubuhnya sekarang juga semakin kurus.

"Maafkan aku, Honey. Terima kasih sudah berusaha sampai seperti ini," ucap Ily, air matanya membasahi bantal.

Ily memeluk Al dari depan dan menelungkupkan wajahnya di depan dada bidang itu. Al yang merasakan Ily menyusulnya tidur, lalu memeluk istrinya. Kebiasaan Al saat tidur tidak pernah lupa memeluk Ily. Hal itu yang membuat perasaan damai di hati Ily. Al memberi kenyamanan dan rasa aman saat memeluknya. Walau dalam keadaan yang kurang, Al berusaha tetap memupuk rasa cintanya agar tidak pernah layu ataupun mati untuk Ily. Justru dengan keadaan seperti itu, mereka saling menghargai dan bekerja sama melewati ujian itu. Cinta mereka semakin besar di batas kekurangan yang ada saat ini.

Karena cinta yang memberi kekuatan dan keyakinan kepada orang yang lemah dan yang sedang diuji. Kekuatan cinta dapat mengalahkan ego yang kita punya. Dengan restu yang diberikan Tuhan di setiap langkah yang kita ambil akan menjadi berkah di sepanjang perjalanan hidupan kita.

############

Apa yang kalian bayangkan jika hidup seperti mereka?

Terima kasih vote dan komentarnya.
Ambil positifnya buang negatifnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top